Share

BUKAN PRIORITAS

Author: Suciuldr
last update Last Updated: 2023-09-04 20:24:35

"Eughh, aku lelah! Kenapa rasanya sangat menyiksa?"

"Aku mengutuk kehadiranmu!"

Rasa ngantuk yang dibarengi mual begitu menyiksa Sheilla pagi ini. Hari masih teramat pagi, saking paginya matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Jika biasanya jam segini Sheilla masih asik di dalam selimut, tidak dengan hari ini. Mual hebatlah yang memaksa wanita cantik itu bergegas lari ke kamar mandi.

Tubuh lemas Sheilla bersandar ke dinding, tatapannya terus tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Perutnya memang masih terlihat rata, pasti tidak lama akan membesar. Itu artinya ... apa harus tersiksa seperti ini setiap hari sampai anaknya lahir?

"Diminum dulu."

Kelopak mata Sheilla terbuka, seketika dia dihadapi segelas air mineral di depan mata. Sheilla menoleh, kini tatapannya tertuju pada sosok pria yang notabenya adalah suami. Sheilla yang enggan ribut mengambil gelas itu lalu meneguk air hangat pemberian Mathew sampai setengah.

Tenggorokan yang awalnya tercekak, kini kembali sejuk. Dirasa cukup, Sheilla memberikan gelas itu pada Mathew.

"Butuh ke rumah sakit? Kenapa tidak membangunkanku?"

"Untuk apa aku membangunkanmu?"

Mathew tertawa kecil. Alih-alih merasa kesal, pria itu justru merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya. Tidak ada penolakan, Sheilla menerima pelukan hangat dari Mathew. Cukup lama keduanya saling berpelukan sampai Sheilla kembali melepaskan karena rasa mual yang muncul.

"Apa semua orang hamil seperti ini? Kenapa banyak wanita ingin hamil setelah menikah? Hamil itu menyusahkan, menyiksa!" Sheilla kembali mencak-mencak, tangannya tak sungkan memukul dada bidang milik Mathew. Apa yang Sheilla katakan memang seperti yamg dia rasakan saat ini.

Memang dimana enaknya hamil?

"Itu menurutmu, menurut otak dangkalmu. Sayangnya, wanita dewasa serta bijaksana tidak akan berfikir random seperti tadi. Memang apa yang diharapkan setelah menikah? Tentu keturunan untuk menjadi penerus," ucap Mathew dengan sabar dan tenang. Menanggapi otak Sheilla yang masih remaja memang susah ditebak.

Mendengar kata demi kata yang Mathew lontarkan membuat otak serta mulut Sheilla buntu. Jawabannya tidak salah, justru lebih banyak benarnya. Akan tetapi bukan Sheilla namanya kalau menolak paham. Bagi pasangan siap moment ini sangat dinanti bahkan ada yang bertahun-tahun.

"Tapi dalam perjalanan hidupku, menikah dan memiliki anak bukan prioritas! Semua perjalanku terhambat karna mengenalkau!" Tangan bebas Sheilla mencubit kecil pinggang Mathew sampai pria itu mengaduh kesakitan. Walaupun rasanya perih, tawa Mathew tetap saja terdengar renyah di telinga Sheilla.

***

"Hari ini kau ke kantor? Atau mau ke mana?"

"Bagaimana denganmu?"

Kedua tangan Sheilla berhenti mendadak saat sedang mengoles selai. Sesaar tatapannya tertuju pada pria yang kini duduk di sampingnya. Menyebalkan memang, halal sekali untuk dipukul. Memang ... apa pantas pertanyaan dibalas pertanyaan?

Melihat wajah Sheilla berubah Mathew ketawa seraya berkata, "hari masih pagi, kau terlalu sensitif. Tentu pagi ini aku ke kantor karna ada beberapa meeting serta pekerjaan yang belum aku cek. Kenapa? Kau mau ke mana? Jangan main kucing-kucingan, karna satu langkah kau ke luar, aku tetap tahu."

Sheilla menghembuskan napasnya.

Menyebalkan.

Bukankah itu menyebalkan?

Tiada hari tanpa menyebalkan serta ancaman.

Tidak membalas, Sheilla memilih melanjutkan kegiatannya memberi roti tawar dengan selai cokelat. Itu bukan untuknya, tetapi Mathew yang meminta. Setelah selesai, roti itu Sheilla taruh di piring. Berbeda dengan kelahapan Mathew, sedangkan Sheilla tidak nafsu makan.

"Jadi, kau mau ke mana? Jadi kuliah?"

Sheilla berdecak. "Bagaimana bisa aku kuliah dalam kondisi hamil?"

"Ya sudah, nanti saja setelah lahiran," sahut Mathew santai.

Keheningan kembali menyapa saat Sheilla membiarkan suaminya menikmati sarapan. Sebetulnya dia sendiri tidak ada agenda ke mana-mana, tidak ingin pergi juga. Hanya saja, entah kenapa Sheilla kefikiran dengan Daisy serta Chelsea yang mengajaknya bertemu. Entah mana dulu yang Sheilla ingin temui.

"Berita perceraian orang tuamu sedang ramai, bagaimana menurutmu? Mamahmu baik-baik saja?" Disela-sela suapan Mathew berranya.

Lagi-lagi Sheilla menolak paham, wanita itu mendelikan bahu tanda acuh. Selagi otaknya merancang jawaban, Sheilla meminum cokelat panas miliknya. Sesekali lewat ekor mata Sheilla melirik Mathew. Tidak ada ekspresi apapun dari pria itu, wajahnya tetap sama.

"Apa-apa yang sudah hancur memang tak selamanya bisa didaur ulang. Salah satunya pecahan kaca. Mau seusaha apapun, pecahan itu tidak akan bisa utuh kembali selayaknya kaca pada umumnya."

"Entah, aku bingung, tidak paham. Apa harus aku merasa senang? Atau sedih?" Kedua tangan Sheilla menopang dagu, tatapannya masih tertuju pada Mathew. Sheilla penasaran, apa lagi yang akan pria itu katakan.

Selain menyebalkan, Sheilla tidak bisa munafik jika otak serta pembawaan Mathew jauh sangat matang di luar perkiraan otaknya.

"Rasakan saja keduanya. Hatimu gamang karna tidak mendapat peran mereka sejak dulu. Jadi, wajar saja."

Bibir mungil Sheilla mengerucut, otak mininya kini sedang mencerna perkataan Mathew. Omongan Mathew memang menohok hati, sayang semuanya fakta. Tubuh Sheilla menegak kembali, tetapi mulutnya tidak memberi jawaban apapun.

"Aku tidak mau ikut campur urusan mereka, lagipula bukankah sekarang aku bukan putrinya? Entah pilihanku waktu itu benar atau tidak, yang jelas...." Kata-kata Sheilla terhenti, sedangkan Mathew menunggu apa yang akan wanita itu katakan lagi.

"Memilih bersamamu sepertinya opsi terbaik daripada aku harus jadi gembel." Sangat di luar perkiraan, Sheilla tersenyum lebar sambil memakan anggur segar yang sangat menggodanya.

Kurang lebih setengah jam menghabiskan waktu di meja makan, Mathew bergegas pergi ke kantor. Setelah mengantar serta memastikan, Sheilla kembali masuk. Sheilla tidak langsung masuk ke dalam, tetapi dia duduk di teras sembari memperhatikan Yuki—asisten rumah tangganya yang kedua. Dibandingkan Rubby, umur Yuki jauh lebih muda sekitar dua puluh empat tahun, bahkam lebih tua dia daripada Sheilla sendiri.

"Nona, mau dibuatkan sesuatu?"

Lamunan Sheilla buyar, tatapannya beralih ke sebelah kiri. Tepat di sampingnya Rubby berdiri sambil menatapnya teduh. Melihat Rubby mengingatkan Sheilla pada sosok Emma—wanita yang sejak dulu mengurus dirinya dengan baik.

"Tidak, Bi, aku tidak mau apa-apa. Ah, iya, bagaimana kesan Bibi bekerja di sini? Senang atau menyesal?"

Rubby terdiam. Beberapa detik terdiam, wanita paruh baya itu menjawab, "tidak ada kata menyesal, nona Sheilla. Terlebih Bibi memang membutuhkan uang. Bertemu dengan tuan Mathew membuat harapan Bibi kembali terang. Kalian berdua orang baik, Bibi tidak menyesal."

Jawaban simple namun sukses membuat hati Sheilla terenyuh. Baru ingin menjawab, suara klakson serta gerbang terbuka mengalihkan fokus Sheilla. Siapa yang datang? Apa mungkin ada barang tertinggal maka dari itu Mathew kembali? Sheilla masih tidak beranjak, dia menunggu orang di luar sana masuk.

Bukan hanya Sheilla, Rubby pun ikut penasaran siapa yang bertamu.

"Hai, Sheill!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami CEO-ku Yang Posesif   HARI MEMBAHAGIAKAN (END)

    "Menjauh dan pergi dari hadapan saya.""Kasih saya waktu untuk bic–""NOW!"Bentakan tak terbantahkan itu menggema di ruang tamu. Akan tetapi walaupun begitu nyali Mathew tidak menciut. Walaupun hatinya sangat berat untuk ke sini dan bertemu Alexander, semua ini Mathew lakukan demi Sheilla yang akan melahirkan sore hari ini."Sheilla, putri anda, dia akan melahirkan sore ini. Persalinan normalnya batal karena ada beberapa kendala, maka dari itu dia harus melakukan caesar demi keselamatannya dan juga kedua anak kami. Sheilla ingin dan berharap anda datang. Setidaknya temuilah dia sebentar," ujar Mathew dengan penuh kesabaran. Untuk saat ini dia harus menghilangkan keegoisannya.Mendengar permintaan Mathew barusan Alexander tertawa. Masih dengan tatapan remehnya dia menjawab, "putri? Apa telinga saya tidak salah mendengar? Sejak dia ke luar dari rumah ini, dia resmi bukan putri saya! Dia sendiri yang mengambil keputusan itu, dan dia pula yang harus bertanggung jawab."Masih keras kepala

  • Suami CEO-ku Yang Posesif   KONTRAKSI PALSU

    Hari masih terbilang masih pagi. Bagaimana tidak, matahari belum sepenuhnya terbit menyinari bumi. Tapi seperti biasa, Sheilla sudah terbangun karena tidurnya tidak nyenyak. Bahkan semalam Sheilla hanya bisa tidur satu jam paling lama. Posisi tidur yang serba salah, perut sakit, semua beradu menjadi satu. Andai bisa berteriak, mungkin mulutnya sudah menyuarakan kata nyarah puluhan kali.Sheilla menghembuskan napasnya perlahan. Sebelum beranjak dari tempat tidur wanita itu mengamati wajah suaminya yang masih terlelap. Mathew terlihat sangat damai, semalam juga dia ditemani pria itu begadang karena tidak bisa tidur. Maka dari itu Sheilla tidak ada niat membangunkan, biarkan saja suaminya tidur. Tangan Sheilla terulur mengusap pipi Mathew."Maaf ya kalau selama ini aku selalu ngerepotin. Makasih kamu masih mau memperjuangkan aku. Aku sadar belum bisa jadi istri yang baik, tapi akan selalu aku usahakan. Begitupun nanti, aku akan belajar jadi ibu yang baik untuk anak kita," ujar Sheilla pe

  • Suami CEO-ku Yang Posesif   SEBENTAR LAGI

    Setelah tiga hari berada di rumah sakit kini Sheilla sudah diperbolehkan untuk pulang. Selama di rumah sakit, Mathew lah yang setia menunggu serta merawat dengan tulus. Sheilla sendiri sampai detik ini masih bingung. Bingung ingin merespon apa. Mathew memang tidak membahas apapun soal kejadian di rumah ayahnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal.Infusan sudah dilepas, baju sudah ganti, kini Sheilla tinggal menunggu Mathew yang sedang mengurus administrasi serta mengambil obat. Sheilla turun dari tempat tidur, kakinya melangkah menuju jendela. Dari atas Sheilla bisa melihat kendaraan berlalu-lalang."Sudah bukan waktunya berfikir soal masalah kemarin. Itu sudah berlalu, sekarang fikirkan saja anak kita. Kau akan segera melahirkan, jadi jangan banyak fikiran. Aku di sini, bersamamu, selamanya. Iya, selamanya. Sudah aku bilang, apapun yang sudah menjadi milikku akan kembali pada tuannya. Sudahlah, lupakan ayahmu."Tubuh Sheilla berputar, dia menatap pria yang kini berdiri tepat ri de

  • Suami CEO-ku Yang Posesif   SUMBER SEGALA MASALAH

    "Jadi maksudnya ... ini semua?"Rasa kaget kini menyelimuti hati Daisy. Bukan hanya Daisy, tetapi Elena juga. Keduanya baru saja mendengar rekaman dari ponsel Mathew. Dalam rekaman itu sangat jelas disebut kaau dalang dari kekisruhan ini adalah Alexander."Iya, mantan suami anda.""Math, kamu serius?" Elena meraih tangan Mathew, menunggu jawaban detail dari mulut putranya sendiri.Bukan lagi rekaman, kini Mathew mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. Kertas itu dia berikan kepada Elena agar kedua wanita di dekatnya membuka sendiri tanpa perlu dia jelaskan. Mathew sudah teramat lelah dengan semua drama ini, ingin rasanya dia cepat-cepat mengakhiri."Tapi saat ini Sheilla sedang menginap di rumah ayahnya. Mathew, kamu bisa hari ini juga jemput Sheilla. Mama akan dampingi kamu untuk ke sana. Ternyata semuanya benar. Ini semua ulah Alexander." Daisy berdecak tidak percaya. Padahal selama sebulan kebelakangan dia sudah menilai beda mantan suaminya itu.Akan tetapi semua dugaan baik Daisy

  • Suami CEO-ku Yang Posesif   GAME OVER!

    “Alexander!”“Alexander siapa yang kau maksud? Di dunia ini banyak nama Alexander. Maka dar—”“Alexander Harrvad Watson! Dia yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Dia juga yang menyuruh serta membayar kalau saya berhasil menaruh bayi itu di depan rumah anda. Sungguh, apa yang saya katakana benar adanya. Tuan Alexander juga yang menyuruh saya pergi dari kota ini sebelum anda mencari tahu.”Mendengar itu Mathew sempat terdiam sesaat. Bukan kaget, justru yang ada di dalam hati Mathew diisi oleh kemarahan. Ternyata dugaannya beberapa hari ini benar adanya. Awalnya Mathew mengira dalang dibalik ini semua adalah Freya, tapi setelah berfikir ulang kecurigaan Mathew tertuju pada Alexander. Dan sial, ternyata semua benar adanya.“Sialan!” umpat Mathew.Semua informasi yang dia tunggu-tunggu sudah didapat. Tanpa mengatakan apapun Mathew berdiri meninggalkan wanita yang masih tersungkur di lantai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia papasan dengan Arvel. Hanya dengan saling tata

  • Suami CEO-ku Yang Posesif   BENDERA PERANG

    “Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status