"Maaf saya nggak bisa melanjutkan acara ini. Pernikahan saya dengan Senja sebaiknya dibatalkan saja," ucap mempelai laki-laki itu dengan tegas.
Wajahnya tak menampakkan penyesalan, justru terlihat lebih lega dan tenang. Di sudut lain, mempelai wanita dengan gaun putih gadingnya yang elegan tampak menitikkan air mata. Apalagi saat para tamu undangan mulai riuh, bergosip, berbisik bahkan ada yang mulai menyalahkannya. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Di? Kenapa nggak bilang jauh-jauh hari kalau memang ingin membatalkan pernikahan ini? Kasihan Senja kamu perlakukan seperti ini," ungkap laki-laki yang duduk di kursi roda itu. Anwar, dia adalah bapak kandung mempelai perempuan. "Maafkan saya, Om. Saya benar-benar nggak sanggup menikah dengan anak sulung, Om. Tapi Om Anwar tak perlu risau, saya akan tetap menjadi menantu Om jika Om mengizinkan saya menikah dengan Abel." Istighfar terdengar nyaris bersamaan di ruangan itu. Anwar pun berkaca-kaca. Ingin rasanya mengamuk dan memaki, tapi putri sulungnya itu seolah tak mengizinkan. Senja menggenggam erat punggung tangan bapaknya yang kini berdebar tak karuan. "Saya mencintai Abel, Om. Cinta saya pada Abel jauh lebih besar dibandingkan cinta saya pada Senja. Jadi-- "Jadi, kamu ingin menikah dengan Abel bukan dengan Senja, begitu?" tanya Anwar memastikan. Meski dengan suara bergetar menahan geram dan emosi, tapi sebagai seorang bapak dari kedua anak gadisnya, dia tetap harus menjadi penengah dan pemberi keputusan. "Benar, Om. Saya ingin menikahi Abel," balas Adi kembali meyakinkan. "Izinkan kami menikah, Pak. Bukan maksudku menikung Mbak Senja, tapi mau bagaimana lagi kalau memang calon suaminya lebih memilihku dibandingkan dia. Namanya cinta kan nggak bisa dipaksa." Kini Abel menimpali. Gadis itu sepertinya sudah menyiapkan semuanya, terbukti dia pun berdandan layaknya pengantin dengan kebaya warna salem yang menawan. "Kamu sudah tahu rencana Mas Adi, Bel?" lirih Senja di tengah isaknya. "Aku juga baru tahu beberapa jam lalu, Mbak. Awalnya dia ragu, tapi setelah kuminta dia berpikir lagi dan lagi akhirnya yakin jika keputusannya ini sudah bulat. Kamu nggak bisa menyalahkan aku ya, Mbak. Ini bukan kali pertama kejadian seperti ini karena dua calonmu sebelumnya pun melakukan hal yang sama. Mereka lebih memilihku dibandingkan kamu. Wajar mereka begitu karena dari sudut manapun sepertinya aku memang lebih cantik. Benar kan?" balas Abel begitu angkuh seolah tak merasa bersalah dan tak berempati sedikitpun pada kakaknya. Bulir bening kembali menetes di kedua sudut mata Senja. Dia tak menyangka jika kisah cintanya kali inipun gagal karena adiknya senasabnya itu. "Abel! Jaga bicaramu. Seperti apapun kakakmu, dia yang sudah menyekolahkanmu sampai lulus SMA bahkan membiayai kuliahmu sampai sarjana. Kamu nggak akan bisa seperti sekarang tanpa bantuannya," bela Anwar tak terima anak sulungnya disudutkan oleh adiknya sendiri, apalagi di depan banyak orang seperti ini. "Ini! Ini yang paling kubenci dari bapak. Bapak selalu membela Mbak Senja. Bapak nggak pernah mengerti perasaanku selama ini. Bapak pilih kasih. Karena itu pula aku semakin merasa nggak bersalah tiap kali menyakiti Mbak Senja. Kalau bapak nggak lumpuh,dia juga nggak mungkin rela jadi tulang punggung keluarga, Pak. Dia nggak mungkin mau membiayai sekolah dan kuliahku," cerocos Abel tanpa jeda, membuat hati Senja semakin terasa sakit seperti teriris sembilu. Perihnya tak terkira. Pengorbanan dan perjuangannya selama ini untuk keluarga terutama adiknya seolah tak ada artinya. Dia benar-benar tak menyangka jika adiknya masih menyimpan dendam, padahal selama ini dia sudah cukup banyak berkorban waktu, tenaga dan perasaan. Suasana semakin gaduh. Keributan di antara para tamu pun tak terelakan lagi. "Benar kan dugaanku? Mempelai laki-laki pasti lebih memilih adiknya, secara memang jauh lebih cantik dan menarik. Mana masih muda pula," bisik seorang wanita yang disetujui ibu-ibu lainnya. "Mungkin ada alasan lain, Bu. Bukan karena Abel yang lebih cantik." "Mana mungkin alasan lain. Dua calon sebelumnya pun lebih memilih adiknya, meski akhirnya cinta mereka kandas di tengah jalan." "Sepertinya kali ini Abel sudah lelah berpacaran, makanya siap menikah dengan laki-laki itu. Semoga saja setelah menikah, kelak dia tak lagi menjadi duri kisah cinta kakaknya." Batin Senja semakin terluka mendengar ucapan miring mereka. Ketiga kalinya dia dijodohkan dan nyaris menikah, tapi ketiga kalinya pula calon suami membatalkan perjodohan. Alasannya mungkin memang sama, lebih memilih menjalin hubungan dengan adiknya yang lebih cantik dan seksi. "Ya Allah, Adi. Kenapa kamu mempermalukan ibu begini?" lirih Kalina, ibu kandung Adi dengan berurai air mata. Wanita paruh baya itu sebenarnya memilih Senja sebagai menantunya. Kalina merasa cocok dan sudah menganggap Senja seperti anaknya sendiri. Tak menyangka jika harapannya luntur seketika saat anak semata wayangnya itu justru memilih Abel sebagai calon istri. "Maafkan Adi, Bu. Adi nggak bisa membohongi perasaan ini," balas Adi sembari memeluk ibunya. "Kenapa dadakan begini? Kenapa nggak jauh-jauh hari jika ingin membatalkan acara pernikahannya. Kasihan Senja, Nak. Dia pasti akan malu dan menjadi perbincangan banyak orang," ucap Kalina lagi diiringi isaknya yang terdengar lirih. "Maaf, Bu. Adi harus menikahi Abel apapun dan bagaimanapun caranya." Kalina mendongak. Dia menatap lekat wajah tampan anaknya, mencoba mencari tahu alasan apa yang membuat anak semata wayangnya itu mengkhianati calon menantu kesayangannya. "Apa alasanmu membatalkan pernikahan ini, Mas? Tolong jawab pertanyaanku agar aku bisa lebih ikhlas menerima keputusanmu," tanya Senja setelah mencoba menenangkan batinnya yang terluka. "Aku nggak bisa mengatakannya, Ja. Aku takut membuatmu semakin terluka. Maaf." "Katakan saja yang sejujurnya, Mas. Dengan kejujuranmu, InsyaAllah akan membuatku lebih ikhlas menerima takdirNya." "Kamu yakin?" Senja mengangguk pasrah dan berusaha menenangkan hatinya. "Alasannya sama seperti dua calon lainnya. Abel benar, aku memang lebih menyukainya karena dia cantik. Penampilannya yang menarik dan seksi membuatku tak malu sebagai seorang pacar dan suami nantinya. Kamu terlalu polos, Senja. Tak tahu fashion dan sibuk dengan dunia kerjamu sampai tak memikirkan penampilanmu sendiri. Namanya lelaki pasti lebih menyukai perempuan yang sedap dipandang, sementara kamu-- "Stop! Jangan lanjutkan ucapan sampahmu itu!" sentak Anwar begitu emosi. Kedua tangannya mengepal, nyaris melayangkan kepalannya ke wajah laki-laki itu andai Senja tak menarik tangannya kuat-kuat. ***Suara ketukan pintu membuat Ririn yang sedang melipat pakaian di ruang tamu menoleh. Langkahnya sempat terhenti ketika pintu terbuka, menampilkan sesosok lelaki yang tak asing. Wicaksono tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Di belakangnya, Dimas berdiri dengan mata teduh yang menyiratkan beban besar. Ririn sempat kaget melihatnya karena ini pertemuan pertama mereka. "Assalamu’alaikum .…" Suara Wicaksono dalam, berusaha terdengar tenang."Wa’alaikumussalam." Ririn menjawab pelan, sedikit ragu. Matanya menatap bergantian pada dua lelaki di depannya. "Pak Wicaksono yang tempo hari-- Ririn tak melanjutkan kalimatnya setelah melihat anggukan Wicaksono yang membenarkan pertanyaannya. Ririn mulai tak tenang dan bertanya-tanya kenapa Wicaksono kembali datang dengan lelaki asing pula. Dia percaya ini tak sekadar bersilaturahmi biasa yang pernah dijanjikannya. "Silakan duduk, Pak. Maaf lumayan berantakan karena belum beberes," ujar Ririn lagi. Dia mempersilakan dua tamunya untuk masuk da
Rama menyalakan mesin mobil dengan kasar. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Di sebelahnya, Bu Rukayah duduk diam sambil sesekali melirik putranya yang mengemudi dengan kecepatan tinggi.Suasana mobil mencekam, hanya terdengar deru mesin dan napas berat Rama yang terdengar seperti mendidih."Apa-apaan ini, Bu?!" Rama akhirnya membuka suara dengan nada meledak. "Kita udah datang jauh-jauh ke sini buat minta maaf, tapi Ririn tetap nggak mau balik! Dia malah ngusir kita!" ujar Rama dengan suara meninggi. "Sabar dulu, Rama. Kita cari cara lain," balas Rukayah mencoba menenangkan."Sabar?! Sampai kapan aku harus sabar, Bu?! Dia masih sah menjadi istriku dan sekarang dia berani nolak aku mentah-mentah?! Di depan muka aku?! Dia pikir paling hebat apa?!" bentak Rama sambil membanting setir.Bu Rukayah memejamkan mata, menahan tangis. "Kalau Ririn nggak mau balik dan tetap bersikukuh memilih cerai, habislah kita, Bu." Rama kembali mengacak rambutnya kasar."Tenang saja. Langit nggak mungk
"Jangan sentuh aku, Mas!" Ririn menolak saat Rama ingin menarik lengannya. "Rin … aku mohon. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku janji bakal jadi suami yang bener. Nggak akan selingkuh lagi, nggak akan kasar lagi. Aku siap keluar dari rumah ibu kalau itu yang kamu mau!" Suara Rama parau, hampir menangis.Ririn menatapnya tajam. "Kenapa nggak dari dulu, Mas? Kenapa baru sekarang setelah semuanya hancur? Setelah aku nggak punya rasa lagi? Dan setelah aku berpikir sekian kali sampai akhirnya memilih pergi?"Ririn menarik napas panjang, air matanya jatuh satu per satu. Tapi suaranya tetap tegas."Maaf. Aku nggak bisa balik, Mas. Aku nggak sanggup hidup sama orang yang udah hancurin hatiku berkali-kali. Selingkuh itu bukan salah ketik, Mas. Itu pilihan. Dan kamu udah milih Sonia. Aku tak tahu hubungan kalian sampai sejauh mana. Yang jelas, pesan-pesan kalian begitu mesra bahkan kalian juga sering bertemu. Jangan harap aku bisa percaya lagi. Sekarang, ajak ibu pulang karena aku nggak mau b
Pagi ini, Ririn sedang duduk di ruang tengah setelah sibuk berkutat di dapur bersama ibunya. Dia sudah selesai memasak soto, perkedel kentang dan ayam goreng. Ibunya pamit ke rumah tetangga setelah selesai sarapan bersamanya. Ririn yang biasanya duduk santai sembari berselancar ria di ponselnya, kini memilih menonton siaran televisi. Ponselnya dia taruh dieja dalam keadaan mati. Ririn malas mendapatkan pesan dan teror telepon dari Rama sejam semalam. Belasan pesan sengaja nggak dia baca saking capek dan bosan. Puluhan panggilan juga tak dia terima karena malas bertengkar. Handphone berdering nyaring sampai tak bersuara, dibiarkan mati dengan sendirinya. Malas dengan suara ponsel yang cukup mengganggu itulah, Ririn memilih menonaktifkan ponselnya sampai sekarang. Sambil menyeruput kopi, Ririn mencari channel yang cukup menarik ditonton. Namun, kedua matanya mengerjap pelan saat mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Tak selang lama, suara laki-laki dan perempuan terdengar di
Malam ini rumah keluarga Dimas di Jogja terasa berbeda. Setelah perbincangan mengejutkan dengan Wicaksono kemarin malam, tentang adiknya yang hilang beberapa tahun silam itu, hati Dimas masih campur aduk. Dia duduk di ruang keluarga, menatap kosong tas koper yang belum terisi.Raya-- istrinya, datang sambil membawa pakaian yang sudah dilipat."Mas … aku udah siapin beberapa baju. Kalau Mas jadi ke Jakarta, bawa ini aja," ujar perempuan itu lembut. Dimas menghela napas panjang, saat Raya duduk di sebelahnya. "Aku masih bingung, Raya," lirih Dimas. "Bingung kenapa, Mas?" Raya menatap lekat suaminya yang memijit kening. "Bagaimana perasaan Ririn nanti setelah aku cerita semuanya. Apa dia bakal menyalahkan kami atau--Kalimatnya terhenti. Dimas mengingat kembali beberapa potongan memori di masa lampau saat masih bersama Ririn kecil.Raya mengusap kening suaminya, menawarkan segelas teh hangat di meja lalu kembali menatap lembut. "Mas, kamu nggak boleh terus menerus merasa bersalah da
Wicaksono dan Dimas yang duduk di teras rumah bertingkat itu sama-sama terdiam beberapa saat. Mereka baru mulai kembali bicara saat Raya meletakkan dua cangkir kopi di meja. Wicaksono duduk tenang lalu menatap Dimas dalam-dalam. "Om rasa dia memang adikmu, Dim. Orang suruhan Om sudah cari tahu siapa keluarga Susanti dan bagaimana kehidupannya. Mereka bilang Ririn memang bukan anak kandung Susanti. Ririn diajak Susanti ke Jakarta saat usianya nyaris lima tahun. Saat itulah dia baru mengurus dokumen-dokumen untuk Ririn." Dimas masih bergeming, sementara Raya yang menguping pembicaraan mereka pun mulai bertanya-tanya. Mungkinkah anak yang hilang nyaris seperempat abad silam bisa ditemukan kembali? Jika itu benar, artinya dia akan memiliki adik ipar perempuan. Beragam tanya masih lalu lalang di benak Raya, namun dia tak berani mengungkapkannya. Kini dia hanya berharap jikalaupun itu benar, semoga saja Ririn tipe ipar yang menyenangkan. "Apa benar dia masih hidup, Om? Apa benar dia kemb