"Kamu benar-benar keterlaluan, Adi. Teganya memperlakukan Senja seperti ini. Apa kamu tak tahu bagaimana posisinya sebagai tulang punggung keluarga? Bagaimana mungkin kamu bisa membandingkan dia dengan Abel hanya karena masalah cantik dan modis. Meski mereka sama-sama anak bapak, jelas tanggungjawab mereka berbeda. Abel hanya sibuk kuliah dan kehidupannya sebagai anak muda, sementara Senja sibuk kerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Nyaris lima bulan kalian dijodohkan bersama, seharusnya kamu tahu bagaimana kehidupan kami sebenarnya. Tak pantas kamu memperlakukan anakku seperti ini!" pungkas Anwar begitu geram. Wajahnya merah padam, emosinya meledak seketika.
"Maafkan saya, Om. Ini hanya ungkapan perasaan saya yang sebenarnya dan saya hanya berusaha jujur seperti permintaan Senja. Maaf jika kata-kata saya melukai hati Om ataupun Senja." "Cukup, Adi. Ibu juga nggak mau mendengarnya," lirih Kalina yang merasa begitu bersalah pada Senja dan keluarganya. "Bapak ini gimana sih? Itu kan cuma unek-unek Adi saja. Wajar jika dia memilih Abel, secara-- Susan, ibu tirinya Senja ikut menimpali, namun sebelum kalimatnya selesai, Anwar sudah memotongnya lebih dulu. "Cukup! Bapak nggak merestui hubungan mereka. Kalau memang Adi membatalkan pernikahannya dengan Senja, itu artinya dia juga tak berhak menikahi Abel. Dia bukan calon suami yang baik untuk anak kita, Bu. Ada banyak lelaki lain di luar sana yang InsyaAllah jauh lebih baik. Bubarkan saja acara ini," perintah Anwar sembari mengusap lengan Senja yang masih terus menitikkan air mata. Anwar menepis tangan istrinya yang berusaha menggenggamnya. Abel histeris mendengar keputusan bapaknya. Dia benar-benar tak terima, begitu pula dengan Adi yang berusaha meyakinkan Anwar dengan kata-kata manisnya. Suasana semakin tak terkendali saat Abel mengamuk. Dia bahkan bilang tak akan menikah seumur hidupnya jika bukan dengan Adi. Melihat keadaannya yang semakin mengerikan, akhirnya Anwar menyerahkan keputusan itu pada istrinya. Dia menyerah dan membiarkan anak bungsunya itu memilih jalan hidupnya sendiri. "Biarkan mereka menikah, Pak. Abel sangat mencintai Mas Adi. InsyaAllah Senja baik-baik saja. Sekuat apapun bapak melarang Mas Adi menikahi Abel, jika memang mereka ditakdirkan berjodoh bagaimana? Kita kan nggak pernah tahu siapa dan bagaimana cara Allah mempertemukan jodoh. Jodoh itu rahasiaNya, Pak. Kelak, Senja juga akan mendapatkan jodoh yang terbaik. Percayalah," ucap Senja meyakinkan bapaknya. Senja hanya tak ingin melihat bapaknya merasa sangat bersalah dan berduka. Dia ingin bapaknya kembali tersenyum dan tertawa seperti biasanya. "Tapi, Nak ...." Anwar kembali menggenggam tangan anak sulungnya. Dia merasa sangat bersalah karena sampai detik ini belum bisa membuat anak sulungnya itu bahagia. Kelumpuhannya selama enam tahun terakhir pasca kecelakaan itu membuatnya putus asa. Dia merasa sangat gagal sebagai pemimpin keluarga karena harus menyerahkan tanggungjawab besar itu pada anaknya, Senja. "Maafkan bapak yang selalu menyusahkanmu. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun bapak tak punya kuasa dan daya apapun." Anwar terisak. Sesak di dadanya kian terasa hingga tak sadar air matanya luruh seketika. Dia tak lagi peduli dengan banyaknya tamu yang masih menyesaki rumahnya. Tangisnya semakin deras mengalir saat istri dan anak bungsunya terus memintanya merestui pernikahan itu. "RidhoNya tergantung ridho kedua orang tua, Pak. Jika memang itu pilihan Abel, ridhoi saja. Restui pernikahan mereka, Pak. Senja tak apa-apa. Bukankah dua calon sebelumnya juga lebih memilih Abel dibandingkan Senja? Bapak juga lihat sendiri kan setelah itu Senja biasa saja dan tetap semangat seperti semula?" ujar Senja terus meyakinkan bapaknya. Meski hatinya teramat terluka, tapi dia berusaha tegar karena ini memang bukan kali pertama. Senja seolah sudah membentengi hatinya sendiri sejak awal jika terjadi sesuatu di luar kehendaknya. "Bapak harus merestui kami karena aku sudah hamil anaknya Mas Adi, Pak." Ucapan Abel membuat Anwar mendongak. Istighfar berulang kali terdengar dari bibirnya yang menghitam. Senja pun semakin kaget saat melihat calon suaminya menunduk, seolah mengiyakan pernyataan adik semata wayangnya itu. "Ya Allah, Adi! Kamu benar-benar keterlaluan!" sentak Kalina yang semakin shock. Kalina tak menyangka jika anak semata wayang yang selalu dididik soal agama dan kesopanan itu ternyata melakukan dosa besar seperti itu. Kalina kembali mengucap maaf pada Anwar dan keluarganya. "Kalau begitu, biarkan mereka menikah, War. Kita akan lebih malu jika Abel melahirkan tanpa suami," lirih Kalina dengan berderai air mata. Suasana yang seharusnya bahagia, apalagi banyak tetangga yang menantikan pernikahan Senja, kini justru berubah sebaliknya. Ada cibiran, hujatan dan kata-kata menyudutkan dari bibir mereka. Mereka yang sebelumnya memuji kecantikan Abel, kini berubah menyudutkannya bahkan mengatakannya sebagai perempuan murahan. Meski Abel tak terima dengan kata-kata menyakitkan itu, tapi dia tak peduli. Baginya yang paling penting saat ini adalah restu bapak agar dia bisa menikah dengan Adi sesuai rencana semula. Abel jelas menyukai Adi yang tampan dan mapan karena bekerja di bagian staf kantor sebuah perusahaan ternama. Masa depannya cukup cerah, apalagi dia anak semata wayang yang akan mewarisi semua harta orang tuanya. Abel tak ingin mengabaikan begitu saja kesempatan emas itu. Jika bukan karena bapaknya yang ingin melihat Senja menikah lebih dulu dibandingkan dirinya, tentu sejak awal Abel akan memaksa bapaknya untuk menjodohkannya dengan Adi Mahendra. "Nikahkan mereka saja, Pak. Daripada semakin ribet. Lagian mana ada laki-laki lain yang mau menikah dengan perempuan hamil seperti Abel," ujar seorang bapak di tengah kerumunan para tamu undangan. "Betul itu. Mereka pasti juga memilih bebet, bibit dan bobotnya. Masa mau menikahi perempuan yang hamil dengan lelaki lain." "Jangan sampai kedua anakmu sama-sama menjadi perawan tua, Pak Anwar. Sudahlah, tekan egomu. Biar saja Abel menikah dengan calon suami kakaknya itu. Lagipula dia sudah hamil, mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Nggak ada yang bisa mengembalikannya seperti semula," sahut yang lain. "Benar, Pak. Biarkan mereka menikah. Jangan berpikir terlalu lama," ujar tetangga dekat mereka. Anwar kembali mengusap wajahnya dengan kasar lalu menghela napas panjang, sementara Senja terus menggenggam tangan bapaknya untuk menguatkan. Seharusnya dia yang harus dikuatkan, tapi melihat bapaknya serapuh itu Senja semakin berusaha tegar. Dia benar-benar takut jika bapaknya putus asa seperti beberapa tahun lalu yang nyaris mengakhiri hidupnya pasca kaki kanannya diamputasi. "Permisi, Pak. Maaf jika saya lancang, kalau bapak berkenan izinkan saya menikahi Senja putri bapak," ucap seorang laki-laki yang baru saja datang ke acara itu. Laki-laki sederhana dan tak kalah tampan itu pun tersenyum saat banyak pasang mata menatapnya bersama-sama. Siapa dia sebenarnya? ***Rama menghela napas panjang. Dia menatap Ririn yang masih panik dan gugup melihatnya nyaris baku hantam dengan kakak dan sahabatnya. "Aku nggak mau bikin ribut lagi, Mas. Tolong, jangan ikut campur urusanku. Kita sudah bukan pasangan suami istri lagi." Ririn berujar lirih. Rama mendongak lalu kembali menatap dua lelaki di samping mantan istrinya itu. "Lagipula Mas Awan nggak tahu apa-apa. Jangan mengkambinghitamkan orang lain atas perceraian kita. Alasanku menggugat sudah jelas. Kamu jangan playing victim, Mas. Sekarang, pergi dari sini dan urus hidupmu sendiri. Aku nggak pernah mengusikmu, kuharap kamu juga berhenti mengatur hidupku," balas Ririn tegas. "Kalian nggak apa-apa?" tanya Ririn ke arah dua lelaki di sampingnya. Damar menggeleng pelan, begitu pula dengan Damar. "Tenang, Rin. Kami nggak apa-apa. Belum baku hantam, baru mau mulai sudah kamu cegah." Awan berusaha mencairkan suasana yang mendadak tak nyaman itu. Rama menatap tajam, matanya merah penuh dendam. "Kita meman
Langkah kaki Ririn masih terasa ragu saat memasuki gedung kantor baru milik Damar. Bangunan itu megah dan kokoh, kaca-kaca besar menghiasinya, menandakan keseriusan bisnis properti yang baru saja dibangun kakaknya."Rin, sini!" Damar melambaikan tangan dari balik meja kerjanya yang penuh tumpukan dokumen. Senyum kakaknya itu membuat hati Ririn sedikit tenang."Aku takut ganggu kerjaanmu, Mas," ucap Ririn pelan sambil duduk di kursi tamu."Ngawur. Justru aku sengaja minta kamu datang." Damar meraih sebuah map lalu meletakkannya di meja. "Aku butuh asisten dan aku pengin kamu yang isi posisi itu. Kamu cocok. Lagipula, Opa pasti sangat setuju."Ririn terkejut. "Aku? Mas, aku mana ngerti soal properti, soal bisnis kayak gini. Aku kan cuma--""Cuma apa? Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya, Rin. Siapa lagi kalau bukan adikku sendiri. Iya kan?" sahut Damar cepat. Ririn terdiam. Matanya berkaca-kaca, mengingat masa-masa kelam bersama Rama yang menguras hidupnya. Ririn merasa tak pernah
"Mulai hari ini, kamu bukan orang asing. Kamu adalah cucu Opa, bagian dari keluarga ini. Jangan pernah ragu akan hal itu, Rin. Kalau memang kamu nggak mau tinggal di Jogja dan memilih tinggal di Jakarta bersama ibumu, nggak apa-apa. Opa juga nggak akan memaksa, tapi kamu harus sering-sering jenguk Opa ya? Keponakanmu juga akan bertambah sebab kakak iparmu hamil muda," ujar Opa setelah pulang dari rumah sakit. Mereka kumpul di ruang keluarga dan mendengarkan beberapa wejangan Opa. Nyaris sepuluh hari Ririn di Jogja dan selama itu pula hubungannya dengan keluarga kandungnya semakin erat dan hangat. Ibunya pun diterima dengan tangan terbuka bahkan Opa memberinya tabungan dua ratus juta untuk modal usaha. Iya, Susanti ingin membuka usaha warung sembako di depan rumahnya. "Opa, modal usahanya terlalu banyak. Warung yang akan saya bikin itu cuma kecil-kecilan karena memang sisa tanahnya juga sedikit," ujar Susanti saat menerima transferan segitu banyak ke rekeningnya. "Nggak apa-apa, Bu.
Pagi di Jogja terasa tenang dan damai. Burung-burung berkicau, udara lembut masuk melalui jendela kamar tempat Ririn tidur. Sejak pagi dia belum keluar kamar, kecuali saat shalat subuh di musholla rumah itu. Ririn ingin membantu membersihkan rumah, tapi dua asisten di sana melarang. Mereka meminta Ririn untuk santai atau jalan-jalan pagi saja seperti anak Opa lainnya. Tak membantah, Ririn akhirnya memilih kembali ke kamar sementara ibunya duduk di dapur bersama salah satu asisten rumah tangga. Ibunya menolak kembali ke kamar dan memilih ngobrol dengan salah satu asisten sembari membantu mengupas bawang. Sebelum jam enam pagi, suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Ririn beranjak dari kursi rias lalu membuka pintu. Raya tersenyum tipis saat melihat adik iparnya itu. "Bi Sumi sudah bikin sarapan. Kita sarapan sama-sama ya. Setelah itu kamu sama ibu kuajak ke toko baju. Mas Dimas semalam bilang kalau kamu dan ibu bebas pilih baju, sandal, tas atau apapun kebutuhanmu. Terserah yang ma
Malam semakin larut. Setelah makan malam bersama dan bercengkerama di ruang keluarga, akhirnya mereka beranjak ke kamar masing-masing. Ririn tak bisa langsung memejamkan kedua matanya. Dia masih bolak-balik, membayangkan masa lalunya sampai kembali ke masa kini di mana dia tahu almarhum kedua orang tua kandungnya bukanlah orang sembarangan. Mereka pengusaha terkenal di kota gudeg itu. Ririn benar-benar masih seperti mimpi dan sulit percaya kalau dia keturunan konglomerat. Saat semua terlelap, Ririn justru terjaga. Sembari tiduran di ranjang, Ririn menatap layar ponselnya. Ada pesan masuk dari Senja, sahabat terbaiknya. [Rin, maaf ganggu malammu. Ada kabar penting tentang Mas Rama. Aku dapat info, Mas Rama terlibat kasus korupsi di kantor Mas Langit. Jumlahnya cukup besar. Sepertinya akan segera diusut dan kemungkinan besar dibawa ke ranah hukum]Ririn terdiam, jantungnya berdegup kencang. Dia tak menyangka kabar seperti itu datang malam ini, di saat dia sudah bahagia dengan keluarg
Bandara sore ini ramai. Ririn menggenggam erat tangan ibunya. Perasaannya campur aduk, antara tegang dan bahagia. Tepat di sebelah mereka, Dimas tersenyum hangat."Tenang, Rin. Perjalanan nggak lama kok. Satu jam lebih sedikit sudah sampai Jogja. Kakak ipar dan keponakanmu sudah menunggu di sana. Iparmu bahagia banget punya adek perempuan. Maklum, dia juga yatim piatu sejak kecil," ucap Dimas menenangkan.Ririn mengangguk pelan. Dalam hati bersyukur jika kehadirannya memang ditunggu banyak orang. Hal yang ditakutkan Ririn selama ini adalah sikap sinis dan tak bersahabat dari keluarga besar atau kerabat. Jika mereka menyambut dengan tangan terbuka, tentu Ririn jauh lebih bahagia. "Aku memang gugup, Mas. Sudah lama nggak naik pesawat. Ibu sepertinya juga agak gugup."Susanti menghela napas, menatap ke arah landasan. "Iya, dulu ibu naik pesawat cuma sekali waktu masih muda. Setelah itu nggak pernah lagi. Makanya, sekarang agak panas dingin."Dimas tertawa kecil. "Nanti jadi terbiasa,