Share

BAB 3 Fitnah

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-04-29 16:46:00

"Siapa dia?" Suara itu terdengar sahut menyahut. 

Pandangan mereka beralih pada Senja yang masih bergeming di tempatnya. Dia sendiri tak mengenali laki-laki itu, bahkan dia merasa baru kali ini bertemu dengannya. 

"Kamu kenal dengannya, Ja?" tanya Anwar pada anak sulungnya yang masih tampak shock.

Senja menggeleng pelan. 

"Kenapa dia tahu namamu? Bahkan izin menikahimu?" Anwar begitu penasaran sosok laki-laki yang tiba-tiba melamar anak kesayangannya itu. 

"Senja benar-benar nggak tahu, Pak. Senja juga nggak kenal bahkan sepertinya baru kali ini bertemu dengannya," balas Senja lagi begitu meyakinkan. 

"Nah kan. Ternyata ada lelaki lain yang dekat dengan Mbak Senja selain kamu loh, Mas. Jangan-jangan mereka berselingkuh di belakangmu. Keputusanmu memang tepat meninggalkan dia. Jadi, kamu tak perlu merasa bersalah sudah membatalkan pernikahanmu dengannya," timpal Adel dengan senyum liciknya, seolah kesempatan baginya untuk menjelekkan Senja lagi. 

Adel memang tak terima menjadi bahan cemoohan para tamu undangan hanya karena kabar kehamilannya barusan. Kini sengaja berusaha mengalihkan obrolan tamu undangan pada lelaki yang tak diundang itu. 

"Kakakmu nggak kenal siapa dia, Bel. Jangan mengada-ngada," balas Anwar tak terima.

"Bapak percaya sama Mbak Senja? Oh iya, selama ini memang bapak nggak pernah percaya padaku sih ya! Bapak selalu mengutamakan Mbak Senja dibandingkan aku. Bahkan percaya apapun yang dikatakan anak kesayangan bapak itu sekalipun berdusta. Logikanya Pak, kalau memang Mbak Senja nggak kenal, kenapa dia bisa datang ke sini tepat di hari pernikahannya? Kenapa pula dia tahu nama Mbak Senja bahkan izin menikahinya segala. Buka mata bapak. Nggak selamanya anak sulung bapak itu polos dan suci seperti yang bapak kira kira," sambung Abel lagi membuat kedua mata Senja membulat lebar. 

"Selama ini aku selalu diam dan mengalah, Bel. Aku nggak menyangka jika kamu memang ingin membuat nama baikku hancur dan membuat hidupku berantakan." 

Senja mulai angkat bicara. Baginya fitnah itu benar-benar men usuk hatinya, membuat harga dirinya serasa hilang seketika. Tiga kali Senja dijodohkan, tiga kali pula calonnya ditikung oleh Abel. Senja selalu diam dan mengalah, hanya menganggap tak berjodoh. Tapi jika difitnah, jelas dia tak bisa terima begitu saja. 

"Sudah salah masih ngeles terus kamu, Mbak!" sentak Abel begitu kesal. Adi mengusap lengannya pelan, membuat Senja hanya menghela napas panjang. 

"Benar kata Abel, Pak. Tak semua yang dikatakan Senja itu benar. Boleh jadi satu dua kali dia menutupi kebohongannya." Susan, ibu tiri Senja ikut bicara. 

Selama ini Susan memang tak pernah peduli dengan Senja. Dia bukanlah ibu tiri yang baik. Hanya saja, sesekali di depan suami dan tetangga menampilkan sandiwaranya agar seolah menjadi seorang ibu yang bijak.

"Maaf, Pak. Mungkin Senja memang tak mengenali saya, tapi saya sudah mengenalnya jauh-jauh hari," ujar tamu tak diundang itu mencoba menengahi keributan yang ada. 

"Maksudmu gimana?" Anwar tak paham. Dia memutar kursi rodanya lalu mendekati laki-laki bernama Langit itu. Dia yang masih mematung di samping pintu utama. Langit menyalami Anwar begitu sopan. 

"Kamu kenal anak saya di mana? Dia bahkan jarang pergi jauh. Tiap hari hanya jualan nasi dan minuman di warung sederhana kami di depan gang." 

Langit mengangguk. 

"Benar, Pak. Sebelum jam enam pagi Senja sudah ada di sana dan pulang saat dzuhur tiba. Bakda ashar dia kembali berjualan makanan ringan dan gorengan di sana sampai menjelang maghrib. Saya tahu itu," ujar Langit masih dengan senyum tipisnya. 

"Itu benar. Jadi, selama ini kamu sudah mengamati anak saya?" 

"Benar, Pak. Saya juga tahu di mana sekolahnya dulu, bahkan calon suaminya." 

Semua tamu yang sedari tadi berisik, kini mendadak diam. Mereka saling toleh dan curiga siapa Langit sebenarnya. Kenapa Langit banyak tahu soal Senja yang mana Senja sendiri bilang tak pernah tahu siapa laki-laki itu. 

"Maaf jika selama ini saya mengamati kegiatan Senja diam-diam. Semua saya lakukan karena saya jatuh hati pada anak bapak. Saya tahu dia perempuan baik-baik dan pantas untuk dibahagiakan, tapi bapak jangan berpikir macam-macam karena setelah saya tahu dia akan menikah, saya tak pernah berniat untuk menghancurkan pernikahannya."

"Jadi, kedatanganmu ke sini saat ini hanya karena kebetulan?" tanya Anwar lagi. 

"Tak hanya kebetulan semata, Pak. Saya memang ingin datang ke sini, awalnya sekadar menyaksikan apakah Senja benar-benar menikah dengan calon suaminya. Ternyata tragedi ini terjadi dan tak ada salahnya saya mengajukan diri bukan?" 

Anwar manggut-manggut mengerti. Dia menghela napas panjang. Kedua matanya berkaca. Ada rasa haru dan lega yang kini menyelimuti hatinya. Anwar merasa jika inilah jawaban dari doa-doanya selama ini. Dia selalu berharap mendapatkan menantu yang begitu tulus mencintai anak-anaknya, terutama Senja yang selama ini terlalu banyak berkorban untuk keluarga. 

"Terima saja dia, Pak. Meski tak semapan dan sekaya Mas Adi, setidaknya bisa mengurangi malu keluarga. Mumpung ada yang mau menikahi Mbak Senja. Selama ini kan calon suaminya selalu berpaling. Bapak nggak mau Mbak Senja jadi perawan tua kan?" ujar Abel begitu angkuh. 

Langit menoleh ke arahnya lagi dan lagi. Dia masih terlihat tenang, tapi sorot matanya tak lagi sama. Ada amarah yang tersirat dalam tatapnya. 

"Apa kamu bawa mahar untuk anakku?" tanya Anwar setelah berpikir beberapa saat. 

"Saat ini saya hanya membawa sedikit uang, Pak. Mungkin itu yang bisa saya jadikan mahar saat ini,” ujar Langit. “Tapi saya janji. Setelah menikah, saya akan membahagiakan anak Bapak.” 

Abel kembali mencibir. 

"Bilang saja memang hanya punya sedikit uang. Lagaknya kaya orang kaya saja yang tak terbiasa bawa uang cash," balas Abel lagi. Perempuan itu melihat Langit mengeluarkan seluruh isi dompetnya dan menyerahkannya  pada Anwar.

“Hanya ada uang empat ratus ribu, Pak.”

Mendengar itu Abel dan Adi tertawa. Mengabaikan dua lelaki di samping Langit yang tampak ingin membungkam mereka.. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
b3kic0t
woeer...boneka Anabel merepet aja itu mulut diam Napa bukannya kamu sudah mendapatkan apa yg kamu mau ambil saja si Adi yg sok kaya itu buat kamu tapi awas kalau kamu tahu siapa langit jangan gatel karena feelingku mengatakan kalau langit itu orang tajir
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Teror Lain

    Rama menghela napas panjang. Dia menatap Ririn yang masih panik dan gugup melihatnya nyaris baku hantam dengan kakak dan sahabatnya. "Aku nggak mau bikin ribut lagi, Mas. Tolong, jangan ikut campur urusanku. Kita sudah bukan pasangan suami istri lagi." Ririn berujar lirih. Rama mendongak lalu kembali menatap dua lelaki di samping mantan istrinya itu. "Lagipula Mas Awan nggak tahu apa-apa. Jangan mengkambinghitamkan orang lain atas perceraian kita. Alasanku menggugat sudah jelas. Kamu jangan playing victim, Mas. Sekarang, pergi dari sini dan urus hidupmu sendiri. Aku nggak pernah mengusikmu, kuharap kamu juga berhenti mengatur hidupku," balas Ririn tegas. "Kalian nggak apa-apa?" tanya Ririn ke arah dua lelaki di sampingnya. Damar menggeleng pelan, begitu pula dengan Damar. "Tenang, Rin. Kami nggak apa-apa. Belum baku hantam, baru mau mulai sudah kamu cegah." Awan berusaha mencairkan suasana yang mendadak tak nyaman itu. Rama menatap tajam, matanya merah penuh dendam. "Kita meman

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Mengamuk

    Langkah kaki Ririn masih terasa ragu saat memasuki gedung kantor baru milik Damar. Bangunan itu megah dan kokoh, kaca-kaca besar menghiasinya, menandakan keseriusan bisnis properti yang baru saja dibangun kakaknya."Rin, sini!" Damar melambaikan tangan dari balik meja kerjanya yang penuh tumpukan dokumen. Senyum kakaknya itu membuat hati Ririn sedikit tenang."Aku takut ganggu kerjaanmu, Mas," ucap Ririn pelan sambil duduk di kursi tamu."Ngawur. Justru aku sengaja minta kamu datang." Damar meraih sebuah map lalu meletakkannya di meja. "Aku butuh asisten dan aku pengin kamu yang isi posisi itu. Kamu cocok. Lagipula, Opa pasti sangat setuju."Ririn terkejut. "Aku? Mas, aku mana ngerti soal properti, soal bisnis kayak gini. Aku kan cuma--""Cuma apa? Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya, Rin. Siapa lagi kalau bukan adikku sendiri. Iya kan?" sahut Damar cepat. Ririn terdiam. Matanya berkaca-kaca, mengingat masa-masa kelam bersama Rama yang menguras hidupnya. Ririn merasa tak pernah

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Dijodohkan

    "Mulai hari ini, kamu bukan orang asing. Kamu adalah cucu Opa, bagian dari keluarga ini. Jangan pernah ragu akan hal itu, Rin. Kalau memang kamu nggak mau tinggal di Jogja dan memilih tinggal di Jakarta bersama ibumu, nggak apa-apa. Opa juga nggak akan memaksa, tapi kamu harus sering-sering jenguk Opa ya? Keponakanmu juga akan bertambah sebab kakak iparmu hamil muda," ujar Opa setelah pulang dari rumah sakit. Mereka kumpul di ruang keluarga dan mendengarkan beberapa wejangan Opa. Nyaris sepuluh hari Ririn di Jogja dan selama itu pula hubungannya dengan keluarga kandungnya semakin erat dan hangat. Ibunya pun diterima dengan tangan terbuka bahkan Opa memberinya tabungan dua ratus juta untuk modal usaha. Iya, Susanti ingin membuka usaha warung sembako di depan rumahnya. "Opa, modal usahanya terlalu banyak. Warung yang akan saya bikin itu cuma kecil-kecilan karena memang sisa tanahnya juga sedikit," ujar Susanti saat menerima transferan segitu banyak ke rekeningnya. "Nggak apa-apa, Bu.

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Penuh Haru dan Bahagia

    Pagi di Jogja terasa tenang dan damai. Burung-burung berkicau, udara lembut masuk melalui jendela kamar tempat Ririn tidur. Sejak pagi dia belum keluar kamar, kecuali saat shalat subuh di musholla rumah itu. Ririn ingin membantu membersihkan rumah, tapi dua asisten di sana melarang. Mereka meminta Ririn untuk santai atau jalan-jalan pagi saja seperti anak Opa lainnya. Tak membantah, Ririn akhirnya memilih kembali ke kamar sementara ibunya duduk di dapur bersama salah satu asisten rumah tangga. Ibunya menolak kembali ke kamar dan memilih ngobrol dengan salah satu asisten sembari membantu mengupas bawang. Sebelum jam enam pagi, suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Ririn beranjak dari kursi rias lalu membuka pintu. Raya tersenyum tipis saat melihat adik iparnya itu. "Bi Sumi sudah bikin sarapan. Kita sarapan sama-sama ya. Setelah itu kamu sama ibu kuajak ke toko baju. Mas Dimas semalam bilang kalau kamu dan ibu bebas pilih baju, sandal, tas atau apapun kebutuhanmu. Terserah yang ma

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Kabar Mengejutkan

    Malam semakin larut. Setelah makan malam bersama dan bercengkerama di ruang keluarga, akhirnya mereka beranjak ke kamar masing-masing. Ririn tak bisa langsung memejamkan kedua matanya. Dia masih bolak-balik, membayangkan masa lalunya sampai kembali ke masa kini di mana dia tahu almarhum kedua orang tua kandungnya bukanlah orang sembarangan. Mereka pengusaha terkenal di kota gudeg itu. Ririn benar-benar masih seperti mimpi dan sulit percaya kalau dia keturunan konglomerat. Saat semua terlelap, Ririn justru terjaga. Sembari tiduran di ranjang, Ririn menatap layar ponselnya. Ada pesan masuk dari Senja, sahabat terbaiknya. [Rin, maaf ganggu malammu. Ada kabar penting tentang Mas Rama. Aku dapat info, Mas Rama terlibat kasus korupsi di kantor Mas Langit. Jumlahnya cukup besar. Sepertinya akan segera diusut dan kemungkinan besar dibawa ke ranah hukum]Ririn terdiam, jantungnya berdegup kencang. Dia tak menyangka kabar seperti itu datang malam ini, di saat dia sudah bahagia dengan keluarg

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Keluarga Baru

    Bandara sore ini ramai. Ririn menggenggam erat tangan ibunya. Perasaannya campur aduk, antara tegang dan bahagia. Tepat di sebelah mereka, Dimas tersenyum hangat."Tenang, Rin. Perjalanan nggak lama kok. Satu jam lebih sedikit sudah sampai Jogja. Kakak ipar dan keponakanmu sudah menunggu di sana. Iparmu bahagia banget punya adek perempuan. Maklum, dia juga yatim piatu sejak kecil," ucap Dimas menenangkan.Ririn mengangguk pelan. Dalam hati bersyukur jika kehadirannya memang ditunggu banyak orang. Hal yang ditakutkan Ririn selama ini adalah sikap sinis dan tak bersahabat dari keluarga besar atau kerabat. Jika mereka menyambut dengan tangan terbuka, tentu Ririn jauh lebih bahagia. "Aku memang gugup, Mas. Sudah lama nggak naik pesawat. Ibu sepertinya juga agak gugup."Susanti menghela napas, menatap ke arah landasan. "Iya, dulu ibu naik pesawat cuma sekali waktu masih muda. Setelah itu nggak pernah lagi. Makanya, sekarang agak panas dingin."Dimas tertawa kecil. "Nanti jadi terbiasa,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status