LOGIN"Siapa dia?" Suara itu terdengar sahut menyahut.
Pandangan mereka beralih pada Senja yang masih bergeming di tempatnya. Dia sendiri tak mengenali laki-laki itu, bahkan dia merasa baru kali ini bertemu dengannya.
"Kamu kenal dengannya, Ja?" tanya Anwar pada anak sulungnya yang masih tampak shock.
Senja menggeleng pelan.
"Kenapa dia tahu namamu? Bahkan izin menikahimu?" Anwar begitu penasaran sosok laki-laki yang tiba-tiba melamar anak kesayangannya itu.
"Senja benar-benar nggak tahu, Pak. Senja juga nggak kenal bahkan sepertinya baru kali ini bertemu dengannya," balas Senja lagi begitu meyakinkan.
"Nah kan. Ternyata ada lelaki lain yang dekat dengan Mbak Senja selain kamu loh, Mas. Jangan-jangan mereka berselingkuh di belakangmu. Keputusanmu memang tepat meninggalkan dia. Jadi, kamu tak perlu merasa bersalah sudah membatalkan pernikahanmu dengannya," timpal Adel dengan senyum liciknya, seolah kesempatan baginya untuk menjelekkan Senja lagi.
Adel memang tak terima menjadi bahan cemoohan para tamu undangan hanya karena kabar kehamilannya barusan. Kini sengaja berusaha mengalihkan obrolan tamu undangan pada lelaki yang tak diundang itu.
"Kakakmu nggak kenal siapa dia, Bel. Jangan mengada-ngada," balas Anwar tak terima.
"Bapak percaya sama Mbak Senja? Oh iya, selama ini memang bapak nggak pernah percaya padaku sih ya! Bapak selalu mengutamakan Mbak Senja dibandingkan aku. Bahkan percaya apapun yang dikatakan anak kesayangan bapak itu sekalipun berdusta. Logikanya Pak, kalau memang Mbak Senja nggak kenal, kenapa dia bisa datang ke sini tepat di hari pernikahannya? Kenapa pula dia tahu nama Mbak Senja bahkan izin menikahinya segala. Buka mata bapak. Nggak selamanya anak sulung bapak itu polos dan suci seperti yang bapak kira kira," sambung Abel lagi membuat kedua mata Senja membulat lebar.
"Selama ini aku selalu diam dan mengalah, Bel. Aku nggak menyangka jika kamu memang ingin membuat nama baikku hancur dan membuat hidupku berantakan."
Senja mulai angkat bicara. Baginya fitnah itu benar-benar men usuk hatinya, membuat harga dirinya serasa hilang seketika. Tiga kali Senja dijodohkan, tiga kali pula calonnya ditikung oleh Abel. Senja selalu diam dan mengalah, hanya menganggap tak berjodoh. Tapi jika difitnah, jelas dia tak bisa terima begitu saja.
"Sudah salah masih ngeles terus kamu, Mbak!" sentak Abel begitu kesal. Adi mengusap lengannya pelan, membuat Senja hanya menghela napas panjang.
"Benar kata Abel, Pak. Tak semua yang dikatakan Senja itu benar. Boleh jadi satu dua kali dia menutupi kebohongannya." Susan, ibu tiri Senja ikut bicara.
Selama ini Susan memang tak pernah peduli dengan Senja. Dia bukanlah ibu tiri yang baik. Hanya saja, sesekali di depan suami dan tetangga menampilkan sandiwaranya agar seolah menjadi seorang ibu yang bijak.
"Maaf, Pak. Mungkin Senja memang tak mengenali saya, tapi saya sudah mengenalnya jauh-jauh hari," ujar tamu tak diundang itu mencoba menengahi keributan yang ada.
"Maksudmu gimana?" Anwar tak paham. Dia memutar kursi rodanya lalu mendekati laki-laki bernama Langit itu. Dia yang masih mematung di samping pintu utama. Langit menyalami Anwar begitu sopan.
"Kamu kenal anak saya di mana? Dia bahkan jarang pergi jauh. Tiap hari hanya jualan nasi dan minuman di warung sederhana kami di depan gang."
Langit mengangguk.
"Benar, Pak. Sebelum jam enam pagi Senja sudah ada di sana dan pulang saat dzuhur tiba. Bakda ashar dia kembali berjualan makanan ringan dan gorengan di sana sampai menjelang maghrib. Saya tahu itu," ujar Langit masih dengan senyum tipisnya.
"Itu benar. Jadi, selama ini kamu sudah mengamati anak saya?"
"Benar, Pak. Saya juga tahu di mana sekolahnya dulu, bahkan calon suaminya."
Semua tamu yang sedari tadi berisik, kini mendadak diam. Mereka saling toleh dan curiga siapa Langit sebenarnya. Kenapa Langit banyak tahu soal Senja yang mana Senja sendiri bilang tak pernah tahu siapa laki-laki itu.
"Maaf jika selama ini saya mengamati kegiatan Senja diam-diam. Semua saya lakukan karena saya jatuh hati pada anak bapak. Saya tahu dia perempuan baik-baik dan pantas untuk dibahagiakan, tapi bapak jangan berpikir macam-macam karena setelah saya tahu dia akan menikah, saya tak pernah berniat untuk menghancurkan pernikahannya."
"Jadi, kedatanganmu ke sini saat ini hanya karena kebetulan?" tanya Anwar lagi.
"Tak hanya kebetulan semata, Pak. Saya memang ingin datang ke sini, awalnya sekadar menyaksikan apakah Senja benar-benar menikah dengan calon suaminya. Ternyata tragedi ini terjadi dan tak ada salahnya saya mengajukan diri bukan?"
Anwar manggut-manggut mengerti. Dia menghela napas panjang. Kedua matanya berkaca. Ada rasa haru dan lega yang kini menyelimuti hatinya. Anwar merasa jika inilah jawaban dari doa-doanya selama ini. Dia selalu berharap mendapatkan menantu yang begitu tulus mencintai anak-anaknya, terutama Senja yang selama ini terlalu banyak berkorban untuk keluarga.
"Terima saja dia, Pak. Meski tak semapan dan sekaya Mas Adi, setidaknya bisa mengurangi malu keluarga. Mumpung ada yang mau menikahi Mbak Senja. Selama ini kan calon suaminya selalu berpaling. Bapak nggak mau Mbak Senja jadi perawan tua kan?" ujar Abel begitu angkuh.
Langit menoleh ke arahnya lagi dan lagi. Dia masih terlihat tenang, tapi sorot matanya tak lagi sama. Ada amarah yang tersirat dalam tatapnya.
"Apa kamu bawa mahar untuk anakku?" tanya Anwar setelah berpikir beberapa saat.
"Saat ini saya hanya membawa sedikit uang, Pak. Mungkin itu yang bisa saya jadikan mahar saat ini,” ujar Langit. “Tapi saya janji. Setelah menikah, saya akan membahagiakan anak Bapak.”
Abel kembali mencibir.
"Bilang saja memang hanya punya sedikit uang. Lagaknya kaya orang kaya saja yang tak terbiasa bawa uang cash," balas Abel lagi. Perempuan itu melihat Langit mengeluarkan seluruh isi dompetnya dan menyerahkannya pada Anwar.
“Hanya ada uang empat ratus ribu, Pak.”
Mendengar itu Abel dan Adi tertawa. Mengabaikan dua lelaki di samping Langit yang tampak ingin membungkam mereka..
***
Pagi ini udara di kantor Harjokusumo Land terasa lebih segar dari biasanya. Sinarnya lembut menembus kaca besar di lantai dua tempat divisi administrasi bekerja. Di meja kerja Ririn, tergeletak sebuah buket bunga lily putih yang masih segar, dibalut pita silver dengan kartu kecil bertuliskan :[Untuk seseorang yang membuat hari-hariku terasa lebih tenang]Ririn menatap bunga itu cukup lama. Jantungnya berdebar aneh. Dia menoleh ke kanan, ke kiri memastikan tidak ada yang memperhatikan. Tapi tentu saja, teman-temannya sudah mulai melirik-lirik dan saling berbisik.“Eh, Mbak Ririn, dari siapa tuh? Romantis banget, lho,” bisik Siska, rekan kerja yang paling cerewet. Ririn buru-buru menunduk. “Entah … mungkin salah taruh?”“Ah masa, Mbak? Nggak mungkin salah alamat ah." Ririn merona mendengar bisik-bisik mereka saat dia ke pantry untuk menyeduh kopi. Jauh di ruangannya yang dingin dan rapi, Damar tengah menatap layar komputer sambil menyembunyikan senyum kecil. Dia sudah tahu siapa peng
Sore ini langit berwarna jingga keemasan. Langit di luar kaca cafe Binar Semesta miliknya tampak seperti lukisan, sementara di ruang kerjanya yang tak terlalu luas itu, Awan duduk termenung di depan laptop yang sudah lama tak disentuh. Tangannya hanya menggulir-gulir mouse tanpa arah, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Yang dia pikirkan bukan masalah bisnisnya yang akan buka cabang baru, tapi tentang Ririn. Perempuan yang akhir-akhir ini selalu terlintas dalam benaknya. Senyumnya lembut, tutur katanya sopan, matanya tenang tapi menyimpan sesuatu yang dalam, mungkin luka, mungkin juga keberanian.Awan menghela napas panjang, lalu berdiri. Dia menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Laki-laki yang cukup gagah, sukses, tapi gelisah. Sejak keputusannya untuk resign sebagai asisten direktur dari kantornya waktu itu, Awan memang fokus mengembangkan bisnis kulinernya. Cafenya sekarang semakin ramai, omsetnya naik cukup signifikan bahkan kini dia berniat membuka cabang baru. Awan
Pagi ini, cahaya matahari menembus tirai putih butik “Cahaya Senja”, menimpa deretan gamis pastel yang tergantung rapi. Suara lembut lagu instrumental mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Aroma melati bercampur wangi kain baru memenuhi udara.Senja berdiri di depan kaca besar, memperhatikan pantulan dirinya yang mengenakan gamis polos berwarna dusty ungu dengan hijab senada. Dia tersenyum kecil. Siapa sangka, mimpi yang dulu hanya dia tulis di buku catatan sederhana kini sudah lebih dari tiga tahun berdiri nyata di hadapannya.“Bu Senja, ada pelanggan minta lihat koleksi limited edition yang warna dusty blue, ya,” panggil Rara, karyawan butik yang ceria.“Oke, Ra. Ambilkan yang di rak sebelah kiri, ya. Yang ada bordir di pergelangan tangan itu.”“Siap, Bu!”Sementara Rara menyiapkan pesanan, Senja menyapukan pandangan ke seluruh butik. Dinding berwarna beige lembut, logo bertuliskan Cahaya Senja dengan font elegan, dan di bawahnya tulisan kecil : ‘Setiap busana, seberkas caha
Sore ini, cahaya jingga menyusup lembut lewat jendela kamar Abel. Di atas pangkuannya, gulungan benang warna pastel masih berantakan, tapi jarum rajut di tangannya terus menari tanpa henti. Sesekali dia berhenti untuk menarik napas, menatap hasil rajutannya yang hampir jadi. Tas kecil berwarna lavender dengan hiasan bunga di tengah.Senja duduk di kursi sebelah, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul. Pandangannya lembut menatap adiknya yang tenggelam dalam dunia benang dan pola."Rapi banget, Bel," kata Senja akhirnya, suaranya hangat tapi lirih. “Kalau aku yang buat, pasti bentuknya udah nggak karuan dari tadi.”Abel terkekeh kecil. “Mbak Senja tuh bisa apa aja, tapi rajut kayak gini emang butuh kesabaran ekstra. Aku aja dulu hampir nyerah. Cuma kan aku nggak bisa bebas kemana-mana. Makanya, mau nggak mau harus sabar dan telaten. Lagipula, dengan merajut begini hatiku terasa lebih tenang dan damai." Senja menatapnya sambil tersenyum. “Tapi kamu nggak nyerah, bahkan sekara
Suasana masih bercampur haru dan bangga saat Senja dan Abel menatap toko baru bernama Rajutan Asa itu dari luar. Abel menatap kakaknya cukup lama. Rasa bersalah di hatinya makin meninggi. Dia benar-benar menyesal dulu sudah memperlakukan kakaknya semena-mena, memfitnah, menghina bahkan merebut calon suaminya dan mempermalukannya di depan orang banyak. Abel menitikkan air mata. Penyesalannya semakin dalam tiap kali mengingat moment itu. Mengingat sikapnya yang dulu sangat jahat dan di luar batas. Dia teramat bersyukur memiliki saudara tiri seperti Senja yang tak pernah sedikitpun dendam padanya. Bahkan, dialah orang pertama yang mendukung bakatnya. Senja pula yang sangat percaya jika dia akan sukses dengan bakat yang dia punya."Mbak, bersyukurnya aku memiliki saudara sepertimu. Kamu terlalu baik buat aku, Mbak. Sikapmu bertolak belakang denganku. Rasanya aku benar-benar malu jika mengingat kebodohan dan kejahatanku di masa lalu. Bodohnya aku tak pernah melihat kebaikan dan kelembutan
Hujan baru saja reda sore ini. Udara lembap menempel di dinding rumah kecil keluarga Abel, adiknya Senja, sementara aroma kayu basah dan teh jahe dari dapur membuat suasana hangat. Di ruang tengah, Abel duduk di kursi rodanya, jarum rajut di tangannya bergerak lincah. Senyum kecil terlukis di wajahnya setiap kali satu pola selesai dengan sempurna.Benang warna pastel menumpuk di meja kecil di depannya. Ada biru muda, krem, dan ungu lembut. Warna yang jadi ciri khas karyanya. Abel membuat gantungan kunci berbentuk bunga matahari, tas rajut kecil, dan cover gelas kopi yang lucu. Semua hasil karyanya kini dijual secara online dengan nama akun @RajutanAsa.Namun titik baliknya dimulai ketika Senja, sang kakak, menatap hasil rajutan itu dan berkata,"Bel, karyamu terlalu bagus kalau cuma dilihat di rumah. Aku pajang di butik ya?"Abel sempat terdiam waktu itu. "Hah? Di butik Mbak Senja? Emangnya ada orang yang mau beli?" tanyanya ragu. Senja tersenyum lembut sambil menatap mata adiknya.







