"Siapa dia?" Suara itu terdengar sahut menyahut.
Pandangan mereka beralih pada Senja yang masih bergeming di tempatnya. Dia sendiri tak mengenali laki-laki itu, bahkan dia merasa baru kali ini bertemu dengannya.
"Kamu kenal dengannya, Ja?" tanya Anwar pada anak sulungnya yang masih tampak shock.
Senja menggeleng pelan.
"Kenapa dia tahu namamu? Bahkan izin menikahimu?" Anwar begitu penasaran sosok laki-laki yang tiba-tiba melamar anak kesayangannya itu.
"Senja benar-benar nggak tahu, Pak. Senja juga nggak kenal bahkan sepertinya baru kali ini bertemu dengannya," balas Senja lagi begitu meyakinkan.
"Nah kan. Ternyata ada lelaki lain yang dekat dengan Mbak Senja selain kamu loh, Mas. Jangan-jangan mereka berselingkuh di belakangmu. Keputusanmu memang tepat meninggalkan dia. Jadi, kamu tak perlu merasa bersalah sudah membatalkan pernikahanmu dengannya," timpal Adel dengan senyum liciknya, seolah kesempatan baginya untuk menjelekkan Senja lagi.
Adel memang tak terima menjadi bahan cemoohan para tamu undangan hanya karena kabar kehamilannya barusan. Kini sengaja berusaha mengalihkan obrolan tamu undangan pada lelaki yang tak diundang itu.
"Kakakmu nggak kenal siapa dia, Bel. Jangan mengada-ngada," balas Anwar tak terima.
"Bapak percaya sama Mbak Senja? Oh iya, selama ini memang bapak nggak pernah percaya padaku sih ya! Bapak selalu mengutamakan Mbak Senja dibandingkan aku. Bahkan percaya apapun yang dikatakan anak kesayangan bapak itu sekalipun berdusta. Logikanya Pak, kalau memang Mbak Senja nggak kenal, kenapa dia bisa datang ke sini tepat di hari pernikahannya? Kenapa pula dia tahu nama Mbak Senja bahkan izin menikahinya segala. Buka mata bapak. Nggak selamanya anak sulung bapak itu polos dan suci seperti yang bapak kira kira," sambung Abel lagi membuat kedua mata Senja membulat lebar.
"Selama ini aku selalu diam dan mengalah, Bel. Aku nggak menyangka jika kamu memang ingin membuat nama baikku hancur dan membuat hidupku berantakan."
Senja mulai angkat bicara. Baginya fitnah itu benar-benar men usuk hatinya, membuat harga dirinya serasa hilang seketika. Tiga kali Senja dijodohkan, tiga kali pula calonnya ditikung oleh Abel. Senja selalu diam dan mengalah, hanya menganggap tak berjodoh. Tapi jika difitnah, jelas dia tak bisa terima begitu saja.
"Sudah salah masih ngeles terus kamu, Mbak!" sentak Abel begitu kesal. Adi mengusap lengannya pelan, membuat Senja hanya menghela napas panjang.
"Benar kata Abel, Pak. Tak semua yang dikatakan Senja itu benar. Boleh jadi satu dua kali dia menutupi kebohongannya." Susan, ibu tiri Senja ikut bicara.
Selama ini Susan memang tak pernah peduli dengan Senja. Dia bukanlah ibu tiri yang baik. Hanya saja, sesekali di depan suami dan tetangga menampilkan sandiwaranya agar seolah menjadi seorang ibu yang bijak.
"Maaf, Pak. Mungkin Senja memang tak mengenali saya, tapi saya sudah mengenalnya jauh-jauh hari," ujar tamu tak diundang itu mencoba menengahi keributan yang ada.
"Maksudmu gimana?" Anwar tak paham. Dia memutar kursi rodanya lalu mendekati laki-laki bernama Langit itu. Dia yang masih mematung di samping pintu utama. Langit menyalami Anwar begitu sopan.
"Kamu kenal anak saya di mana? Dia bahkan jarang pergi jauh. Tiap hari hanya jualan nasi dan minuman di warung sederhana kami di depan gang."
Langit mengangguk.
"Benar, Pak. Sebelum jam enam pagi Senja sudah ada di sana dan pulang saat dzuhur tiba. Bakda ashar dia kembali berjualan makanan ringan dan gorengan di sana sampai menjelang maghrib. Saya tahu itu," ujar Langit masih dengan senyum tipisnya.
"Itu benar. Jadi, selama ini kamu sudah mengamati anak saya?"
"Benar, Pak. Saya juga tahu di mana sekolahnya dulu, bahkan calon suaminya."
Semua tamu yang sedari tadi berisik, kini mendadak diam. Mereka saling toleh dan curiga siapa Langit sebenarnya. Kenapa Langit banyak tahu soal Senja yang mana Senja sendiri bilang tak pernah tahu siapa laki-laki itu.
"Maaf jika selama ini saya mengamati kegiatan Senja diam-diam. Semua saya lakukan karena saya jatuh hati pada anak bapak. Saya tahu dia perempuan baik-baik dan pantas untuk dibahagiakan, tapi bapak jangan berpikir macam-macam karena setelah saya tahu dia akan menikah, saya tak pernah berniat untuk menghancurkan pernikahannya."
"Jadi, kedatanganmu ke sini saat ini hanya karena kebetulan?" tanya Anwar lagi.
"Tak hanya kebetulan semata, Pak. Saya memang ingin datang ke sini, awalnya sekadar menyaksikan apakah Senja benar-benar menikah dengan calon suaminya. Ternyata tragedi ini terjadi dan tak ada salahnya saya mengajukan diri bukan?"
Anwar manggut-manggut mengerti. Dia menghela napas panjang. Kedua matanya berkaca. Ada rasa haru dan lega yang kini menyelimuti hatinya. Anwar merasa jika inilah jawaban dari doa-doanya selama ini. Dia selalu berharap mendapatkan menantu yang begitu tulus mencintai anak-anaknya, terutama Senja yang selama ini terlalu banyak berkorban untuk keluarga.
"Terima saja dia, Pak. Meski tak semapan dan sekaya Mas Adi, setidaknya bisa mengurangi malu keluarga. Mumpung ada yang mau menikahi Mbak Senja. Selama ini kan calon suaminya selalu berpaling. Bapak nggak mau Mbak Senja jadi perawan tua kan?" ujar Abel begitu angkuh.
Langit menoleh ke arahnya lagi dan lagi. Dia masih terlihat tenang, tapi sorot matanya tak lagi sama. Ada amarah yang tersirat dalam tatapnya.
"Apa kamu bawa mahar untuk anakku?" tanya Anwar setelah berpikir beberapa saat.
"Saat ini saya hanya membawa sedikit uang, Pak. Mungkin itu yang bisa saya jadikan mahar saat ini,” ujar Langit. “Tapi saya janji. Setelah menikah, saya akan membahagiakan anak Bapak.”
Abel kembali mencibir.
"Bilang saja memang hanya punya sedikit uang. Lagaknya kaya orang kaya saja yang tak terbiasa bawa uang cash," balas Abel lagi. Perempuan itu melihat Langit mengeluarkan seluruh isi dompetnya dan menyerahkannya pada Anwar.
“Hanya ada uang empat ratus ribu, Pak.”
Mendengar itu Abel dan Adi tertawa. Mengabaikan dua lelaki di samping Langit yang tampak ingin membungkam mereka..
***
"Maaf kalau saya belum mempersiapkan mahar terbaik untuk Senja." Langit kembali menambahkan, mengabaikan olok-olok Abel dan Adi."Nggak apa-apa. Yang penting ada maharnya. Kalau Senja gimana? Ridho dengan mahar itu? Yakin kalau pernikahan ini tak salah?" Penghulu yang sedari tadi menyaksikan keributan di rumah itu pun ikut berkomentar."InsyaAllah yakin, Pak.” Senja tersenyum tulus. “Saya ridho dengan mahar apapun dan berapapun. Lagipula bukankah sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah atau ringan?" Ucapan Senja membuat Langit menatap wanita itu, lalu tersenyum lembut."Kamu benar. Setidaknya bukan hal yang menyulitkan salah satu pihak." Penghulu kembali menimpali. Anwar pun mengangguk."Duh. Beda ya. Yang satu bisa kasih mahar satu motor dan perhiasan 20 gram, nggak berat buat Adi,” bisik salah seorang kerabat. “Yang satunya cuma bisa pakai recehan.”"Ya iya. Kan Abel cantik, wajar Adi membuktikan cintanya dengan mahar yang pantas," sahut yang lain."Lagipula Adi memang nia
Abel tersenyum penuh kemenangan setelah mengatakan itu, sementara Senja seperti baru tersadar.“Urus saja suamimu sana. Jangan sampai dianggurin.” ucap Abel lagi. Ia senang mengolok sang kakak, sama sekali lupa ia bisa kuliah dan hidup dari penghasilan kakaknya. “Kasihan loh dia, sudah mengorbankan diri supaya kamu nggak malu eh malah diabaikan begitu saja. Nggak ada rasa terima kasihnya kamu, Mbak.""Wajar jika kakakmu masih sakit hati. Apa kamu nggak sadar sudah membuatnya terluka selama ini?" Akhirnya Langit berbicara. Ucapannya itu membuat Abel shock, begitupula dengan beberapa tamu yang mendengarnya.Mereka tak menyangka jika orang asing itu berani membela Senja bahkan seakan menyudutkan Abel."Heh, kamu orang asing sok tahu banget sama keluargaku! Jangan mentang-mentang sekarang jadi suami Mbak Senja, kamu jadi belagu ya!" sentak Abel emosi.Adi menarik lengannya pelan lalu memintanya untuk diam, sementara Anwar kembali menghela napas panjang. Dia tahu jika kembali membenarkan L
"Kalian pulang saja. Aku akan baik-baik saja di sini. Jangan bikin mereka curiga," ujar Langit setengah berbisik dua pria yang sejak tadi mendampinginya.Dua pria itu rupanya merupakan asisten dan bodyguardnya.Kedua laki-laki itu memang selalu setia menemani Langit ke mana-mana. Langit sendiri adalah putra tunggal pengusaha properti yang cukup ternama, sekaligus seorang CEO perusahaan yang ia bangun sendiri.Setelah tiga tahun pergi dari rumah, Langit memang mengikuti jejak papanya, meski mengambil dari jenis properti yang berbeda. Dimas Kuncoro lebih memilih mengembangkan tempat penginapan, rumah toko (ruko) dan sewa-menyewa tanah, sementara Langit fokus pada pembangunan perumahan minimalis dan rumah susun syariah.Langit sengaja mengembangkan bisnis ini untuk mereka yang ingin memiliki tempat tinggal dengan cara kredit, tapi berbasis syariah demi menghindari riba. Berawal dari makelar tanah, rumah dan lainnya, kini benar-benar menjadi pengusaha sukses seperti sekarang."Mas Langit
Senja lalu menggamit lengan suaminya menuju kamar.Senja tak peduli dengan kekesalan adiknya. Dia memilih menutup pintu rapat. Dia malas bergabung dengan keluarga besarnya yang pasti akan semakin merendahkan suaminya."Maafkan keluargaku ya, Mas. Tak sepantasnya mereka bicara seperti itu padamu," ujar Senja dengan mata berkaca saat mereka sama-sama duduk di tepi ranjang. Langit tersenyum lalu mengusap puncak kepala istrinya perlahan."Nggak apa-apa jika mereka menghina dan meremehkanku. Yang penting kamu nggak begitu. Perhatian dan cintamu saja sudah lebih dari cukup. Biarkan mereka sibuk menghina, boleh jadi kelak akan menangis dan menyesal jika mengingat semuanya," balas Langit dengan senyum tipisnya.Senja mengerjap. Mendengar kalimat itu, Senja merasa ada sesuatu hal yang disembunyikan Langit darinya. Entah apa.Langit termenung beberapa saat setelah melihat kamar Senja yang cukup jauh berbeda dibandingkan kamar Abel. Kamarnya tak terlalu luas dengan ranjang kecil di sebelah kiri
"Halal dan berpahala. Katanya mau mengejar banyak pahala setelah menikah. Mau dicium atau cium di sini," tunjuk Langit ke pipinya.Wajah Senja memerah seketika. Dia tak menyangka jika laki-laki asing yang kini sah menjadi suaminya itu bisa segampang itu meminta cium. Meski memang sudah halal dan sah sebagai suami istri, Senja masih sangat canggung. Dia heran kenapa Langit tak punya rasa canggung sedikitpun?"Hitung sampai tiga, oke? Aku yang cium deh."Senja masih membeku. Dia bahkan seperti manekin hidup yang hanya kedua matanya saja yang tampak berkedip-kedip. Melihat ekspresi dan sikap istrinya sontak membuat Langit terkekeh. Tak lagi menggoda Senja dengan sebuah ciuman, Langit memilih mengacak puncak kepala istrinya sampai tak sengaja membuat hijab merah muda itu terlepas seketika.Kedua mata Langit membulat seketika saat melihat rambut hitam panjang dengan sedikit bergelombang tergerai indah di depan matanya. Wajah mungil dengan mata indah dan hidung bangir itu seakan terukir beg
"Total pengeluarannya berapa, Di? Nggak usah dibagi dua. Aku ada uang, biar aku saja yang menanggung semuanya. Nanti kutransfer ke rekening kamu, gimana?" ujar Langit kemudian.Pertanyaannya itu justru membuat mertua dan adik iparnya itu shock seketika. Namun, Abel segera pulih dari keterkejutannya."Lihat deh, Mas. Belagu banget dia," cibir Abel masih tak percaya jika Langit benar-benar punya uang dan bisa membayar semuanya sendiri. "Totalin semua, Mas. Biar aja dia cari pinjaman. Salah sendiri sok paling berduit." "Benar kata Abel, Di. Totalin semua. Paling juga nggak seberapa dibandingkan acaramu di gedung nanti. Lumayan kan bisa buat tambah sewa perias pengantin atau apa." Susan yang sedari tadi diam pun ikut menimpali."Lang, kalau memang belum punya uang, nggak apa-apa biar Abel sama Adi dulu yang nanggung." Anwar berkata. Dia tak tega jika melihat anak dan menantunya harus cari pinjaman ke sana-sini."Nggak apa-apa, Pak. Saya punya sedikit tabungan. InsyaAllah bisa untuk bayar
"Baju murah atau mahal nggak terlalu penting karena yang utama untuk menutupi aurat," balas Senja santai, tapi justru membuat Abel meradang."Apa maksudmu ngomong begitu, Mbak? Kamu nyindir aku?" tanya Abel sembari meneliti pakaian yang dikenakannya.Abel hanya memakai kaos pendek dengan celana hotpants saat di rumah. Seolah tak peduli jika saat ini di rumahnya sudah ada dua penghuni baru."Siapa yang nyindir, Bel? Aku nggak punya banyak tenaga untuk sindir menyindir.""Dasar sok alim biar disayang bapak." Abel berujar lirih sembari meneguk air di gelasnya sampai setengah bagian.***"Mas, kamu tidur di ranjang ya. Aku tidur di bawah pakai kasur lantai. Kalau berdua di ranjang jelas nggak cukup." Senja tersenyum tipis pada suaminya yang masih duduk di tepi ranjang.Tak berapa lama, kasur lantai itu pun direntangkan di lantai. Senja mengambil sebuah bantal di ranjang lalu meletakkannya di ujung kasur."Kamu yang tidur di ranjang. Aku sudah terbiasa tidur di bawah." Langit menarik pelan
Langit terdiam sejenak lalu menghela napas panjang. Rasa kesal, kecewa dan benci itu masih tampak jelas di raut wajahnya yang tampan. Tiga tahun berlalu, tapi rasa itu belum sepenuhnya padam.Langit hanya kecewa mengapa papanya lebih memilih perempuan muda bahkan mantan kekasih anaknya sendiri sebagai pengganti mamanya. Untuk cinta, Langit tak lagi merasakannya. Dia bahkan jijik tiap kali mengingat perempuan itu."Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanya Senja lirih. Dia merasa ekspresi suaminya berubah saat menerima pesan beberapa detik lalu. Langit mengerjap lalu kembali seperti semula yang seolah tak terjadi apa-apa."Kamu baik-baik saja, Mas?" ulang Senja."Iya, Sayang. Aku baik-baik saja." Langit tersenyum sembari menaik turunkan kedua alisnya.Tiap kali mendengar sebutan itu, wajah Senja selalu merona. Baru kali ini dia merasakan ketulusan seseorang. Meski belum ada rasa cinta di dalam hatinya karena memang baru kenal bahkan baru bertemu di saat akad nikah tadi, tapi Senja berjanji
"Janji nggak ngambek dan cemburu lagi?" Langit mengulurkan kelingking kanannya ke arah Senja. Tanpa banyak kata, Senja pun mengaitkan kelingkingnya. "Janji, asalkan kamu benar-benar move on. Kalau masih cinta sama dia ya balikan saja sana," balas Senja sembari mengerucutkan bibirnya. "Nah, kan. Baru bilang begitu dikira gagal move on. Gimana mau cerita semuanya?" Langit menghela napas panjang."Janji beneran move on?" Kali ini Senja sedikit menarik kelingking Langit yang masih terkait dengan kelingkingnya. "Iya, Sayang. Janji." "Kalau begitu. Ceritakan semuanya biar aku nggak selalu curiga." Langit pun tersenyum setelah melihat kedua sudut bibir istrinya melengkung indah. "Setahun menjalin hubungan dengan Tasya, aku mulai sibuk dengan urusan bisnis milik papa. Papa memilih berhenti dan menyerahkan semuanya padaku. Kesibukan itulah yang mungkin membuat Tasya berpaling. Dia sering berbohong dan tak lagi seperti dulu. Penampilannya mulai berubah, tak lagi sederhana seperti yang kuke
Langit memeluk istrinya beberapa saat sampai dia terlihat lebih tenang. Setelah mengurus pembayaran, Langit ngajak Senja kembali ke mobil. Setelah memakaikan seat belt pada istrinya, Langit mulai melajukan mobil itu ke arah cafe langganannya. "Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?" Langit bertanya sembari mengusap pelan puncak kepala Senja saat mobil berhenti di lampu merah. "Tasya telepon kamu, Mas." "Ohya? Kamu terima panggilannya kan? Sudah kuduga dia pasti telepon lagi." Kali ini Senja menoleh lalu menatap lekat suaminya. "Jadi, kamu sudah tahu kalau dia akan meneleponmu, Mas? Atau memang sering begitu?" "Dia pakai nomor baru. Nomor yang lama sudah kublokir, Sayang. Dia memang sering telepon, tapi hanya sekali kuterima. Itupun awalnya karena tak tahu itu nomor barunya." "Terus?" "Sengaja aku kasih handphone itu ke kamu karena yakin dia pasti telepon lagi. Biar dia tahu kalau saat ini aku sudah punya istri dan sudah bahagia sama kamu." Langit menoleh sembari tersenyum lalu mulai
"Izin cium." Langit berujar lirih sembari tersenyum setelah berhasil mencium bibir istrinya. Senja masih membisu. Dia cukup shock mendapatkan kejutan tak terduga itu. "Kalau cuma pelampiasan, nggak akan seperti itu. Aku tulus. Kamu harus percaya itu." Langit membingkai wajah istrinya dengan kedua telapak tangan. Nyaris kembali mencium bibir itu andai Senja tak menutup wajahnya dengan telapak tangan. Langit terkekeh melihat wajah istrinya yang memerah dan terlihat salah tingkah. "Kamu terbiasa begitu, Mas?" tanya Senja setelah Langit kembali membenarkan letak duduknya. "Terbiasa apa? Cium bibir?" "Iya. Itu kan yang baru kamu lakukan." "Nggak terbiasa.""Berarti pernah?" "Pernah dong. Kamu juga pernah kan barusan." "Issh, maksudnya sama perempuan lain." "Hmmm ....""Sama Tasya itu?" tanya Senja ingin memastikan. "Sering? Sudah terbiasa?" cecarnya. "Sekali, dua kali.""Astaghfirullah." "Itu masa lalu, Sayang. Nggak perlu diungkit. Aku juga sudah lupa bagaimana rasanya. Lagipu
"Kenapa diam saja?" Langit bertanya lembut saat sepasang suami istri itu meninggalkan area rumah sakit. "Nggak apa-apa." Senja tak menoleh, dia memilih menatap ke luar jendela. Meski tak ingin membuat suaminya kesal dengan sikapnya, tapi untuk pura-pura baik-baik saja memang tak semudah itu. "Justru nggak apa-apa itu berarti ada apa-apa. Ayo ngomong kenapa diam seperti itu?" Lagi-lagi Langit sengaja pura-pura tak tahu apa alasan istrinya terlihat begitu kesal. "Katanya nggak bisa pulang sampai beberapa hari ke depan. Kenapa sekarang pulang?" "Memangnya nggak suka kalau suaminya pulang? Katanya kangen?" Langit tersenyum tipis, sementara Senja hanya memanyunkan bibirnya. "Sekarang ke salon dulu, gimana?""Mau ngapain ke salon? Dari dulu nggak pernah nyalon," balas Senja lagi. "Justru karena itu, mulai sekarang boleh ke salon kapanpun kamu mau, Sayang." "Nggak ah, nanti duit kamu habis. Kan katanya gaji supir nggak terlalu banyak," sindir Senja sembari melirik suaminya. Langit k
"Kenapa, Mas? Mas Langit sibuk? Nggak balas pesan?" Senja ikut bertanya saat melihat Bayu yang duduk di depannya tampak gelisah. "Mungkin sedang rapat, Mbak. Jadi, handphonenya dimatikan." "Rapat? Oh, seorang supir ikut rapat juga?" sindir Senja sembari menghela napas panjang. Wajah Bayu dan Bagas ikut menegang mendengar sindiran itu. Mereka tahu jika saat ini perasaan Senja memang campur aduk. Tak biasanya dia bicara seketus itu pada mereka. "Gimana?" Bagas menggerak-gerakkan bibirnya agar tak terdengar oleh Senja dan Anwar. Bayu menggeleng pelan sambil bilang," Ceklis satu." Setelah itu keduanya sama-sama menghela napas panjang. Sampai rumah sakit, Senja membantu bapaknya turun lalu duduk di kursi roda. "Makasih sudah mengantar kami, Mas. Pulangnya nggak usah ditunggu atau dijemput, kami bisa pulang sendiri. Sekali lagi terima kasih," ujar Senja sembari sedikit membungkukkan badan. Senyum yang biasanya selalu terlukis di bibirnya tiap kali, kini seolah hilang seketika. Bayu
"Mas kenal dengan perempuan ini? Apa mereka memang punya hubungan dekat sebelumnya?" tanya Senja sembari menunjukkan foto itu pada Bayu. Bayu tercekat. Dia menelan ludah seketika lalu melirik Bagas yang masih fokus pada gagang stirnya. "Kenal, Mas? Siapa dia?" ulang Senja membuat Bayu menghela napas panjang. "Mantan kekasihnya Mas Langit, Mbak. Tapi mereka sudah nggak berhubungan kok. Sudah putus tiga tahun lalu. Mereka-- "Oke, Mas. Makasih infonya ya." Senja menarik handphonenya yang terulur ke arah Bayu lalu kembali menyandarkan badannya ke sofa. Mendengar kata mantan kekasih, pikiran Senja semakin kemana-mana. Senja semakin merasa jauh dan asing karena tak mengenali siapa suaminya sendiri. Jangankan soal hidupnya di masa lalu, bahkan hidupnya saat ini pun Senja tak tahu. Dia hanya bisa meraba-raba, menduga lalu bertempur dengan perasaan dan hatinya sendiri yang tak setuju dengan prasangka itu. Terlalu banyak hal yang mencurigakan dan memang pantas dipertanyakan, tapi tiap kal
"Sarapan dulu, Pak. Setelah ini Senja ajak bapak kontrol ya?" ujar Senja saat menyiapkan sarapan di meja makan. Susan muncul dari kamar sembari membenarkan kuncir rambutnya yang panjang. "Masak apa kamu?" tanya Susan singkat lalu mengambil air dingin di kulkas. "Masak sayur bayam sama ayam goreng, Bu. Ada tempe sama tahu goreng juga itu.""Suamimu nggak pulang semalaman?" bisik Susan semakin penasaran. Senja menoleh lalu menggeleng pelan. "Lihat tuh, Pak. Menantu kesayangan bapak itu benar-benar nggak pulang semalam. Jangan-jangan dia memang punya pekerjaan lain atau-- "Mas Langit memang banyak urusan, Bu. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dulu, setelah selesai dia baru pulang. Mungkin sampai beberapa hari ke depan. Ibu tenang saja, semalam Senja sudah tanya soal pekerjaan Mas Langit. Dia bilang kerjaannya halal kok, bahkan dia bersumpah nggak akan kasih istri dan anaknya duit haram. Ibu jangan terlalu banyak pikiran, takutnya tensi ibu naik lagi." Senja menoleh sesaat lalu kemb
"Aku berangkat dulu ya, Bu. Nanti pulangnya kubawakan oleh-oleh deh." Abel berpamitan pada ibu dan bapaknya. Dia bilang mau honeymoon di Bali bersama sang suami. "Jangan iri ya, Mbak. Aku mau honeymoon, sementara kamu malah ditinggal suami kerja. Mau kasihan, tapi gimana namanya cari duit kan nggak apa-apa. Daripada nggak punya duit, nggak ada salahnya kerja meski baru saja akad nikah." Abel kembali melirik sinis lalu menggamit lengan suaminya. "Kamu juga hati-hati, Bel. Jangan terlalu foya-foya, takutnya suamimu banyak hutangnya. Sesuaikan sama pendapatan suami. Jangan besar pasak daripada tiang nanti roboh rumahmu." Senja menyahut. Dia sudah bertekad tak akan mengalah lagi pada adiknya. Terlalu banyak pengorbanannya selama ini, tapi tak sedikitpun dianggap ada. Sudah saatnya memberontak daripada terus diinjak. Senja merasa, sesekali Abel memang harus di-skak. "Mbak! Suamiku nggak seperti suamimu yang supir itu ya!" sentak Abel lagi lalu menoleh pada suaminya yang hanya tersenyum
[Mas, sudah bangun? Hampir subuh] Sebelum adzan subuh berkumandang, Senja sudah mengirimkan pesan pada suaminya. Seolah seperti alarm yang mengingatkannya tentang shalat. Langit meraba handphone yang dia letakkan di atas meja di samping pembaringan. Kedua matanya masih memicing sembari menyalakan lampu utama. Saat melihat pesan dari istrinya, kedua matanya berbinar. Kantuk yang sedari tadi menyelimuti kelopak matanya mendadak hilang seketika. [Baru bangun, Sayang. Dengar pesan dari kamu ini jadinya kebangun. Ada apa, Sayang? Kangen?] Langit membalas pesan itu dengan hati berbunga. Meski dia tahu, Senja belum sepenuhnya mencintainya dan sikap-sikapnya selama ini hanya bentuk baktinya pada suami, tapi Langit yakin dengan ketulusannya hati Senja akan luluh juga. [Sedikit sih, Mas. Jangan lupa shalat subuh berjamaah di masjid ya, Mas. Entah mengapa hatiku sedikit tak tenang. Kamu baik-baik saja di sana kan, Mas?] Lagi-lagi Langit tersenyum saat membaca balasan dari istrinya itu. Har