Share

BAB 4 Mahar 400 ribu

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-04-29 16:47:49

"Maaf kalau saya belum mempersiapkan mahar terbaik untuk Senja." Langit kembali menambahkan, mengabaikan olok-olok Abel dan Adi.

"Nggak apa-apa. Yang penting ada maharnya. Kalau Senja gimana? Ridho dengan mahar itu? Yakin kalau pernikahan ini tak salah?" Penghulu yang sedari tadi menyaksikan keributan di rumah itu pun ikut berkomentar.

"InsyaAllah yakin, Pak.” Senja tersenyum tulus. “Saya ridho dengan mahar apapun dan berapapun. Lagipula bukankah sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah atau ringan?" 

Ucapan Senja membuat Langit menatap wanita itu, lalu tersenyum lembut.

"Kamu benar. Setidaknya bukan hal yang menyulitkan salah satu pihak." Penghulu kembali menimpali. Anwar pun mengangguk.

"Duh. Beda ya. Yang satu bisa kasih mahar satu motor dan perhiasan 20 gram, nggak berat buat Adi,” bisik salah seorang kerabat. “Yang satunya cuma bisa pakai recehan.”

"Ya iya. Kan Abel cantik, wajar Adi membuktikan cintanya dengan mahar yang pantas," sahut yang lain.

"Lagipula Adi memang niat menikahi Abel. Dia sudah persiapkan semuanya,” tanggap yang lain lagi. “Bukan karena kasihan atau karena kebetulan. Senja termasuknya beruntung ada yang mau menikahinya.”

“Benar. Coba bayangkan bagaimana perasaan Senja kalau dia gagal menikah hari ini. Mungkin dia bakal trauma atau bahkan berencana melajang seumur hidup."

Senja memejamkan kedua matanya sesaat lalu menghela napas panjang. Dia ingin sekali menimpali, tapi khawatir kembali membuat keributan yang akan semakin mempermalukan bapaknya.

"Kalau kalian nggak mau diam, silakan keluar dari rumah kami.” Anwar berujar tegas. Seketika beberapa orang yang berbisik-bisik tadi terdiam seketika. “Kami mengundang kalian ke sini agar ikut menyaksikan pernikahan anak kami, bukan untuk berkomentar negatif tentang pernikahan mereka." 

"Pak ... mereka saudara-saudaraku. Kenapa kamu perlakukan seperti orang asing begitu?!" Susan protes. Dia tak terima saudara-saudaranya ditegur oleh Anwar.

"Mau saudara ataupun kerabat, kalau kurang ajar memang harus ditegur, Bu. Jangan sampai omongan mereka merusak kebahagiaan anak-anak kita," balas Anwar setengah berbisik.

"Merusak bagaimana sih? Lagipula yang mereka katakan benar.” Susan merengut. “Bapak jangan denial begitu."

"Mau benar atau tidak, mereka tak pantas bicara seperti itu di depan umum. Apalagi saat anak-anak kita akan ijab qabul. Sebagai orang yang lebih dewasa seharusnya mereka bisa mengontrol ucapan agar tak menyakiti siapapun apalagi keponakan sendiri."

"Bapak, ih!" Susan makin merajuk. Dia tampak kesal dengan jawaban suaminya yang tak mendukung bahkan terkesan menyudutkan saudara-saudaranya.

"Mas, maharmu mana? Siapkan dulu sebelum akad dimulai," pinta Abel sembari melirik Senja yang sedari tadi hanya menunduk.

"Ini perhiasannya, Pak. Kalau motornya ada di teras itu," tunjuk Adi pada penghulu dan saksi pernikahannya. Ketiga laki-laki itu pun manggut-manggut.

"Mbak, kamu juga harus minta calon suamimu menyiapkan maharnya dong. Taruh saja di sini biar kelihatan," tunjuk Abel ke atas meja yang digunakan untuk akad nanti.

Tak mau banyak komentar, Langit meletakkan empat lembar uang itu ke atas meja lalu duduk di depan penghulu. Perlahan Anwar mendekat lalu meminta penghulu dan saksi nikah anaknya untuk membantunya duduk. Dia ingin menjabat tangan menantunya saat akad nanti.

"Siapa dulu yang menikah, Pak?" tanya penghulu.

Anwar duduk di samping penghulu lalu menjawab, "Kakaknya dulu, Pak."

"Bapak! Kenapa Mbak Senja duluan sih, Pak? Sekali-sekali lebih mentingin dan dahuluin aku bisa, kan?” sentak Abel sembari menghela napas kasar. “Aku capek loh selalu dinomorduakan dalam hal apa pun!" 

Abel tak terima jika bapaknya selalu mendahulukan Senja daripada dia. Abel iri dengan sikap bapaknya yang dinilai pilih kasih dalam hal apapun. Padahal selama ini Anwar selalu berusaha adil.

"Pokoknya sekarang aku mau nikah duluan! Lagipula memang pernikahan ini Mas Adi yang menyiapkan semuanya. Wajar jika kami yang diutamakan.” Abel kembali protes. Beberapa kerabat ibunya ikut mengiyakan. “Yang numpang seharusnya sadar diri sih. Ibarat kata saat ini aku ratunya. Jangan sampai datang ngelunjak mau ngalahin ratu. Mana ada begitu." 

"Abel benar, Pak. Sudah, dia dulu saja yang menikah.” Susan menimpali. Wanita itu melirik ke arah Senja. ”Lagipula cuma jeda waktu saja loh ya. Masa Senja nggak mau ngalah."

"Kalian itu ributtttt terus. Hal sesederhana apapun selalu dijadikan masalah." Anwar berdecak kesal. Padahal ia hanya ingin memberikan dukungan pada anak sulungnya, tapi justru dibelokkan dan disalahpahami seperti ini.

"Abel duluan nggak apa-apa, Pak. Ayo lekas ijab qobul. Tak elok menunda-nunda. Kasihan penghulu masih banyak acara lainnya." Kali ini Senja menengahi, membuat Anwar menghela napas karena putri sulungnya kembali harus mengalah.

Bukan kali ini saja, tapi tiap kali Abel protes tentang apapun Senja memang lebih sering mengalah. 

Sayangnya, sikap itu tak pernah dianggap ada oleh Abel. Dia masih saja bilang kalau kakak dan bapaknya terlalu egois dan selalu menomorduakannya.

"Kalau begitu, mari kita langsungkan akad nikahnya," ujar penghulu sembari memerintahkan Anwar dan Adi berjabat tangan.

"Setelah Pak Anwar mengucapkan ijab, Mas Adi langsung menjawab ya. Sudah hafal nama calon istrinya, Mas? Jangan sampai keliru," goda penghulu dengan senyum tipis.

"Iya, Pak. InsyaAllah nggak akan keliru." Adi berujar tegas membuat Abel berbunga-bunga. Dia begitu bahagia melihat perjuangan Adi untuk mempersuntingnya bahkan dengan mahar yang menurutnya cukup mengejutkan.

"Silakan dimulai, Pak." Anwar mengangguk lalu menghela napas panjang sebelum memulai ijabnya.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Adi Hidayat bin Rudy Hidayat dengan anak saya Abel Prameswari Putri dengan mahar satu unit motor dan 20 gram emas dibayar tunai," ujar Anwar tegas meski dengan mata berkaca.

Adi mengangguk lalu mengucapkan qabulnya," Saya terima nikah dan kawinnya Abel Prameswari Putri binti Anwar Mahendra dengan mahar tersebut dibayar tunai." Adi tersenyum setelah mengucapkan qabulnya dengan lancar.

"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu kepada para saksi. Kedua lelaki itu pun membalas kata yang sama.

"Saaah."

Syukur Alhamdulillah terdengar mengisi ruangan yang tak terlalu luas itu. Penghulu pun mengucapkan selamat pada mempelai karena sekarang sudah sah menjadi suami istri. Tak melanjutkan doa seperti biasanya, penghulu kembali menikahkan calon lain yang saat ini masih berdebar tak karuan.

"Mas Langit sudah siap?" tanya penghulu memastikan. “Langit Biru bin Dimas Kuncoro. Benar?”

Sedetik, lalu Langit mengangguk. Ekspresinya sedikit berubah mendengar nama ayahnya–padahal tadi ia sempat menyebutkan nama beliau pada penghulu dan calon mertuanya.. 

Langit dan Anwar saling tatap beberapa saat lalu sama-sama mengangguk pelan dan berjabat tangan. 

Ada rasa haru, bangga dan syukur yang terlukis di wajah tua itu. Harapannya saat ini hanyalah melihat anak-anaknya bahagia dengan suaminya masing-masing.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Langit Biru bin Dimas Kuncoro dengan anak kandung saya Senja Prameswari dengan mahar uang empat ratus ribu rupiah dibayar tunai."

Langit tersenyum tipis sebelum mengucapkan qabulnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Senja Prameswari binti Anwar Mahendra dengan mahar tersebut dibayar tunai," balas Langit dengan sekali tarikan napas.

Anwar menghela napas panjang seolah ada beban berat yang kini luruh dari pundaknya.

"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu untuk kali kedua. Seperti sebelumnya saksi pun membalas dengan kata yang sama.

"Saaaahhh."

Senyum tipis terukir di kedua sudut bibir Senja. Kini, dia telah sah menjadi istri. Status yang selalu dia impikan sejak dulu karena dia selalu ingat dan percaya dengan sabda Rasulullah," Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya."

***

Akad nikah usai. Penghulu meminta mempelai perempuan untuk mencium punggung tangan suaminya masing-masing sebagai bentuk penghormatannya setelah sah berstatus istri.

"Untuk mempelai perempuan silakan cium tangan suaminya," perintah penghulu pada kakak beradik itu.

Abel yang terbiasa mesra dengan Adi pun tak ada canggung-canggungnya. Abel buru-buru menarik dan mencium punggung tangan suaminya. Sepasang suami istri tertawa bersama seolah kebahagiaan itu hanya milik mereka berdua.

"Akhirnya sah. Nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi ya, Mas."

Senja melirik Abel yang berbisik ke telinga suaminya. Meski sudah memiliki kehidupan masing-masing, wajar jika Senja masih sesakit itu tiap kali mengingat pengkhianatan orang-orang yang disayanginya. 

"Aku seneng banget bisa sah menjadi istrimu, Mas. Kelak kita akan melahirkan anak-anak yang cantik dan tampan." Adi mengangguk lalu mencium pipi istrinya. 

Sementara Senja masih terdiam. Dua kali penghulu memanggil namanya, dua kali pula Senja masih membisu dan tenggelam dalam lamunan.

"Woi, Mbak! Kenapa melamun? Masih sakit hati karena Mas Adi lebih milih aku dibanding kamu?” 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
senja terlalu lemot, dasar mental babu. seharusnya dia bisa sedikit lebih tegas dan g menye2 kayak ayam sayur.
goodnovel comment avatar
Titis Lestari
ini kn penghulunya udh tau abel hamil knp msh mau nikahin,,kn ttp gk sahh nikahnya .
goodnovel comment avatar
RATRINA ALAMSARI
Abel sudah hamil duluan, yg nikahkan bukan bapaknya, tapi wali hakim, kalau tidak pernikahannya tidak syah, bisa jadi pezina seumur hidup
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Buket Lily

    Pagi ini udara di kantor Harjokusumo Land terasa lebih segar dari biasanya. Sinarnya lembut menembus kaca besar di lantai dua tempat divisi administrasi bekerja. Di meja kerja Ririn, tergeletak sebuah buket bunga lily putih yang masih segar, dibalut pita silver dengan kartu kecil bertuliskan :[Untuk seseorang yang membuat hari-hariku terasa lebih tenang]Ririn menatap bunga itu cukup lama. Jantungnya berdebar aneh. Dia menoleh ke kanan, ke kiri memastikan tidak ada yang memperhatikan. Tapi tentu saja, teman-temannya sudah mulai melirik-lirik dan saling berbisik.“Eh, Mbak Ririn, dari siapa tuh? Romantis banget, lho,” bisik Siska, rekan kerja yang paling cerewet. Ririn buru-buru menunduk. “Entah … mungkin salah taruh?”“Ah masa, Mbak? Nggak mungkin salah alamat ah." Ririn merona mendengar bisik-bisik mereka saat dia ke pantry untuk menyeduh kopi. Jauh di ruangannya yang dingin dan rapi, Damar tengah menatap layar komputer sambil menyembunyikan senyum kecil. Dia sudah tahu siapa peng

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Sebuah Pengakuan Mengejutkan

    Sore ini langit berwarna jingga keemasan. Langit di luar kaca cafe Binar Semesta miliknya tampak seperti lukisan, sementara di ruang kerjanya yang tak terlalu luas itu, Awan duduk termenung di depan laptop yang sudah lama tak disentuh. Tangannya hanya menggulir-gulir mouse tanpa arah, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Yang dia pikirkan bukan masalah bisnisnya yang akan buka cabang baru, tapi tentang Ririn. Perempuan yang akhir-akhir ini selalu terlintas dalam benaknya. Senyumnya lembut, tutur katanya sopan, matanya tenang tapi menyimpan sesuatu yang dalam, mungkin luka, mungkin juga keberanian.Awan menghela napas panjang, lalu berdiri. Dia menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Laki-laki yang cukup gagah, sukses, tapi gelisah. Sejak keputusannya untuk resign sebagai asisten direktur dari kantornya waktu itu, Awan memang fokus mengembangkan bisnis kulinernya. Cafenya sekarang semakin ramai, omsetnya naik cukup signifikan bahkan kini dia berniat membuka cabang baru. Awan

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Cahaya Senja yang Bersinar

    Pagi ini, cahaya matahari menembus tirai putih butik “Cahaya Senja”, menimpa deretan gamis pastel yang tergantung rapi. Suara lembut lagu instrumental mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Aroma melati bercampur wangi kain baru memenuhi udara.Senja berdiri di depan kaca besar, memperhatikan pantulan dirinya yang mengenakan gamis polos berwarna dusty ungu dengan hijab senada. Dia tersenyum kecil. Siapa sangka, mimpi yang dulu hanya dia tulis di buku catatan sederhana kini sudah lebih dari tiga tahun berdiri nyata di hadapannya.“Bu Senja, ada pelanggan minta lihat koleksi limited edition yang warna dusty blue, ya,” panggil Rara, karyawan butik yang ceria.“Oke, Ra. Ambilkan yang di rak sebelah kiri, ya. Yang ada bordir di pergelangan tangan itu.”“Siap, Bu!”Sementara Rara menyiapkan pesanan, Senja menyapukan pandangan ke seluruh butik. Dinding berwarna beige lembut, logo bertuliskan Cahaya Senja dengan font elegan, dan di bawahnya tulisan kecil : ‘Setiap busana, seberkas caha

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Balasan Yang Indah

    Sore ini, cahaya jingga menyusup lembut lewat jendela kamar Abel. Di atas pangkuannya, gulungan benang warna pastel masih berantakan, tapi jarum rajut di tangannya terus menari tanpa henti. Sesekali dia berhenti untuk menarik napas, menatap hasil rajutannya yang hampir jadi. Tas kecil berwarna lavender dengan hiasan bunga di tengah.Senja duduk di kursi sebelah, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul. Pandangannya lembut menatap adiknya yang tenggelam dalam dunia benang dan pola."Rapi banget, Bel," kata Senja akhirnya, suaranya hangat tapi lirih. “Kalau aku yang buat, pasti bentuknya udah nggak karuan dari tadi.”Abel terkekeh kecil. “Mbak Senja tuh bisa apa aja, tapi rajut kayak gini emang butuh kesabaran ekstra. Aku aja dulu hampir nyerah. Cuma kan aku nggak bisa bebas kemana-mana. Makanya, mau nggak mau harus sabar dan telaten. Lagipula, dengan merajut begini hatiku terasa lebih tenang dan damai." Senja menatapnya sambil tersenyum. “Tapi kamu nggak nyerah, bahkan sekara

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Kehangatan dan Keyakinan

    Suasana masih bercampur haru dan bangga saat Senja dan Abel menatap toko baru bernama Rajutan Asa itu dari luar. Abel menatap kakaknya cukup lama. Rasa bersalah di hatinya makin meninggi. Dia benar-benar menyesal dulu sudah memperlakukan kakaknya semena-mena, memfitnah, menghina bahkan merebut calon suaminya dan mempermalukannya di depan orang banyak. Abel menitikkan air mata. Penyesalannya semakin dalam tiap kali mengingat moment itu. Mengingat sikapnya yang dulu sangat jahat dan di luar batas. Dia teramat bersyukur memiliki saudara tiri seperti Senja yang tak pernah sedikitpun dendam padanya. Bahkan, dialah orang pertama yang mendukung bakatnya. Senja pula yang sangat percaya jika dia akan sukses dengan bakat yang dia punya."Mbak, bersyukurnya aku memiliki saudara sepertimu. Kamu terlalu baik buat aku, Mbak. Sikapmu bertolak belakang denganku. Rasanya aku benar-benar malu jika mengingat kebodohan dan kejahatanku di masa lalu. Bodohnya aku tak pernah melihat kebaikan dan kelembutan

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Rajutan Asa

    Hujan baru saja reda sore ini. Udara lembap menempel di dinding rumah kecil keluarga Abel, adiknya Senja, sementara aroma kayu basah dan teh jahe dari dapur membuat suasana hangat. Di ruang tengah, Abel duduk di kursi rodanya, jarum rajut di tangannya bergerak lincah. Senyum kecil terlukis di wajahnya setiap kali satu pola selesai dengan sempurna.Benang warna pastel menumpuk di meja kecil di depannya. Ada biru muda, krem, dan ungu lembut. Warna yang jadi ciri khas karyanya. Abel membuat gantungan kunci berbentuk bunga matahari, tas rajut kecil, dan cover gelas kopi yang lucu. Semua hasil karyanya kini dijual secara online dengan nama akun @RajutanAsa.Namun titik baliknya dimulai ketika Senja, sang kakak, menatap hasil rajutan itu dan berkata,"Bel, karyamu terlalu bagus kalau cuma dilihat di rumah. Aku pajang di butik ya?"Abel sempat terdiam waktu itu. "Hah? Di butik Mbak Senja? Emangnya ada orang yang mau beli?" tanyanya ragu. Senja tersenyum lembut sambil menatap mata adiknya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status