"Maaf kalau saya belum mempersiapkan mahar terbaik untuk Senja." Langit kembali menambahkan, mengabaikan olok-olok Abel dan Adi.
"Nggak apa-apa. Yang penting ada maharnya. Kalau Senja gimana? Ridho dengan mahar itu? Yakin kalau pernikahan ini tak salah?" Penghulu yang sedari tadi menyaksikan keributan di rumah itu pun ikut berkomentar.
"InsyaAllah yakin, Pak.” Senja tersenyum tulus. “Saya ridho dengan mahar apapun dan berapapun. Lagipula bukankah sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah atau ringan?"
Ucapan Senja membuat Langit menatap wanita itu, lalu tersenyum lembut.
"Kamu benar. Setidaknya bukan hal yang menyulitkan salah satu pihak." Penghulu kembali menimpali. Anwar pun mengangguk.
"Duh. Beda ya. Yang satu bisa kasih mahar satu motor dan perhiasan 20 gram, nggak berat buat Adi,” bisik salah seorang kerabat. “Yang satunya cuma bisa pakai recehan.”
"Ya iya. Kan Abel cantik, wajar Adi membuktikan cintanya dengan mahar yang pantas," sahut yang lain.
"Lagipula Adi memang niat menikahi Abel. Dia sudah persiapkan semuanya,” tanggap yang lain lagi. “Bukan karena kasihan atau karena kebetulan. Senja termasuknya beruntung ada yang mau menikahinya.”
“Benar. Coba bayangkan bagaimana perasaan Senja kalau dia gagal menikah hari ini. Mungkin dia bakal trauma atau bahkan berencana melajang seumur hidup."
Senja memejamkan kedua matanya sesaat lalu menghela napas panjang. Dia ingin sekali menimpali, tapi khawatir kembali membuat keributan yang akan semakin mempermalukan bapaknya.
"Kalau kalian nggak mau diam, silakan keluar dari rumah kami.” Anwar berujar tegas. Seketika beberapa orang yang berbisik-bisik tadi terdiam seketika. “Kami mengundang kalian ke sini agar ikut menyaksikan pernikahan anak kami, bukan untuk berkomentar negatif tentang pernikahan mereka."
"Pak ... mereka saudara-saudaraku. Kenapa kamu perlakukan seperti orang asing begitu?!" Susan protes. Dia tak terima saudara-saudaranya ditegur oleh Anwar.
"Mau saudara ataupun kerabat, kalau kurang ajar memang harus ditegur, Bu. Jangan sampai omongan mereka merusak kebahagiaan anak-anak kita," balas Anwar setengah berbisik.
"Merusak bagaimana sih? Lagipula yang mereka katakan benar.” Susan merengut. “Bapak jangan denial begitu."
"Mau benar atau tidak, mereka tak pantas bicara seperti itu di depan umum. Apalagi saat anak-anak kita akan ijab qabul. Sebagai orang yang lebih dewasa seharusnya mereka bisa mengontrol ucapan agar tak menyakiti siapapun apalagi keponakan sendiri."
"Bapak, ih!" Susan makin merajuk. Dia tampak kesal dengan jawaban suaminya yang tak mendukung bahkan terkesan menyudutkan saudara-saudaranya.
"Mas, maharmu mana? Siapkan dulu sebelum akad dimulai," pinta Abel sembari melirik Senja yang sedari tadi hanya menunduk.
"Ini perhiasannya, Pak. Kalau motornya ada di teras itu," tunjuk Adi pada penghulu dan saksi pernikahannya. Ketiga laki-laki itu pun manggut-manggut.
"Mbak, kamu juga harus minta calon suamimu menyiapkan maharnya dong. Taruh saja di sini biar kelihatan," tunjuk Abel ke atas meja yang digunakan untuk akad nanti.
Tak mau banyak komentar, Langit meletakkan empat lembar uang itu ke atas meja lalu duduk di depan penghulu. Perlahan Anwar mendekat lalu meminta penghulu dan saksi nikah anaknya untuk membantunya duduk. Dia ingin menjabat tangan menantunya saat akad nanti.
"Siapa dulu yang menikah, Pak?" tanya penghulu.
Anwar duduk di samping penghulu lalu menjawab, "Kakaknya dulu, Pak."
"Bapak! Kenapa Mbak Senja duluan sih, Pak? Sekali-sekali lebih mentingin dan dahuluin aku bisa, kan?” sentak Abel sembari menghela napas kasar. “Aku capek loh selalu dinomorduakan dalam hal apa pun!"
Abel tak terima jika bapaknya selalu mendahulukan Senja daripada dia. Abel iri dengan sikap bapaknya yang dinilai pilih kasih dalam hal apapun. Padahal selama ini Anwar selalu berusaha adil.
"Pokoknya sekarang aku mau nikah duluan! Lagipula memang pernikahan ini Mas Adi yang menyiapkan semuanya. Wajar jika kami yang diutamakan.” Abel kembali protes. Beberapa kerabat ibunya ikut mengiyakan. “Yang numpang seharusnya sadar diri sih. Ibarat kata saat ini aku ratunya. Jangan sampai datang ngelunjak mau ngalahin ratu. Mana ada begitu."
"Abel benar, Pak. Sudah, dia dulu saja yang menikah.” Susan menimpali. Wanita itu melirik ke arah Senja. ”Lagipula cuma jeda waktu saja loh ya. Masa Senja nggak mau ngalah."
"Kalian itu ributtttt terus. Hal sesederhana apapun selalu dijadikan masalah." Anwar berdecak kesal. Padahal ia hanya ingin memberikan dukungan pada anak sulungnya, tapi justru dibelokkan dan disalahpahami seperti ini.
"Abel duluan nggak apa-apa, Pak. Ayo lekas ijab qobul. Tak elok menunda-nunda. Kasihan penghulu masih banyak acara lainnya." Kali ini Senja menengahi, membuat Anwar menghela napas karena putri sulungnya kembali harus mengalah.
Bukan kali ini saja, tapi tiap kali Abel protes tentang apapun Senja memang lebih sering mengalah.
Sayangnya, sikap itu tak pernah dianggap ada oleh Abel. Dia masih saja bilang kalau kakak dan bapaknya terlalu egois dan selalu menomorduakannya.
"Kalau begitu, mari kita langsungkan akad nikahnya," ujar penghulu sembari memerintahkan Anwar dan Adi berjabat tangan.
"Setelah Pak Anwar mengucapkan ijab, Mas Adi langsung menjawab ya. Sudah hafal nama calon istrinya, Mas? Jangan sampai keliru," goda penghulu dengan senyum tipis.
"Iya, Pak. InsyaAllah nggak akan keliru." Adi berujar tegas membuat Abel berbunga-bunga. Dia begitu bahagia melihat perjuangan Adi untuk mempersuntingnya bahkan dengan mahar yang menurutnya cukup mengejutkan.
"Silakan dimulai, Pak." Anwar mengangguk lalu menghela napas panjang sebelum memulai ijabnya.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Adi Hidayat bin Rudy Hidayat dengan anak saya Abel Prameswari Putri dengan mahar satu unit motor dan 20 gram emas dibayar tunai," ujar Anwar tegas meski dengan mata berkaca.
Adi mengangguk lalu mengucapkan qabulnya," Saya terima nikah dan kawinnya Abel Prameswari Putri binti Anwar Mahendra dengan mahar tersebut dibayar tunai." Adi tersenyum setelah mengucapkan qabulnya dengan lancar.
"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu kepada para saksi. Kedua lelaki itu pun membalas kata yang sama.
"Saaah."
Syukur Alhamdulillah terdengar mengisi ruangan yang tak terlalu luas itu. Penghulu pun mengucapkan selamat pada mempelai karena sekarang sudah sah menjadi suami istri. Tak melanjutkan doa seperti biasanya, penghulu kembali menikahkan calon lain yang saat ini masih berdebar tak karuan.
"Mas Langit sudah siap?" tanya penghulu memastikan. “Langit Biru bin Dimas Kuncoro. Benar?”
Sedetik, lalu Langit mengangguk. Ekspresinya sedikit berubah mendengar nama ayahnya–padahal tadi ia sempat menyebutkan nama beliau pada penghulu dan calon mertuanya..
Langit dan Anwar saling tatap beberapa saat lalu sama-sama mengangguk pelan dan berjabat tangan.
Ada rasa haru, bangga dan syukur yang terlukis di wajah tua itu. Harapannya saat ini hanyalah melihat anak-anaknya bahagia dengan suaminya masing-masing.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Langit Biru bin Dimas Kuncoro dengan anak kandung saya Senja Prameswari dengan mahar uang empat ratus ribu rupiah dibayar tunai."
Langit tersenyum tipis sebelum mengucapkan qabulnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Senja Prameswari binti Anwar Mahendra dengan mahar tersebut dibayar tunai," balas Langit dengan sekali tarikan napas.
Anwar menghela napas panjang seolah ada beban berat yang kini luruh dari pundaknya.
"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu untuk kali kedua. Seperti sebelumnya saksi pun membalas dengan kata yang sama.
"Saaaahhh."
Senyum tipis terukir di kedua sudut bibir Senja. Kini, dia telah sah menjadi istri. Status yang selalu dia impikan sejak dulu karena dia selalu ingat dan percaya dengan sabda Rasulullah," Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya."
***
Akad nikah usai. Penghulu meminta mempelai perempuan untuk mencium punggung tangan suaminya masing-masing sebagai bentuk penghormatannya setelah sah berstatus istri.
"Untuk mempelai perempuan silakan cium tangan suaminya," perintah penghulu pada kakak beradik itu.
Abel yang terbiasa mesra dengan Adi pun tak ada canggung-canggungnya. Abel buru-buru menarik dan mencium punggung tangan suaminya. Sepasang suami istri tertawa bersama seolah kebahagiaan itu hanya milik mereka berdua.
"Akhirnya sah. Nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi ya, Mas."
Senja melirik Abel yang berbisik ke telinga suaminya. Meski sudah memiliki kehidupan masing-masing, wajar jika Senja masih sesakit itu tiap kali mengingat pengkhianatan orang-orang yang disayanginya.
"Aku seneng banget bisa sah menjadi istrimu, Mas. Kelak kita akan melahirkan anak-anak yang cantik dan tampan." Adi mengangguk lalu mencium pipi istrinya.
Sementara Senja masih terdiam. Dua kali penghulu memanggil namanya, dua kali pula Senja masih membisu dan tenggelam dalam lamunan.
"Woi, Mbak! Kenapa melamun? Masih sakit hati karena Mas Adi lebih milih aku dibanding kamu?”
***
Abel tersenyum penuh kemenangan setelah mengatakan itu, sementara Senja seperti baru tersadar.“Urus saja suamimu sana. Jangan sampai dianggurin.” ucap Abel lagi. Ia senang mengolok sang kakak, sama sekali lupa ia bisa kuliah dan hidup dari penghasilan kakaknya. “Kasihan loh dia, sudah mengorbankan diri supaya kamu nggak malu eh malah diabaikan begitu saja. Nggak ada rasa terima kasihnya kamu, Mbak.""Wajar jika kakakmu masih sakit hati. Apa kamu nggak sadar sudah membuatnya terluka selama ini?" Akhirnya Langit berbicara. Ucapannya itu membuat Abel shock, begitupula dengan beberapa tamu yang mendengarnya.Mereka tak menyangka jika orang asing itu berani membela Senja bahkan seakan menyudutkan Abel."Heh, kamu orang asing sok tahu banget sama keluargaku! Jangan mentang-mentang sekarang jadi suami Mbak Senja, kamu jadi belagu ya!" sentak Abel emosi.Adi menarik lengannya pelan lalu memintanya untuk diam, sementara Anwar kembali menghela napas panjang. Dia tahu jika kembali membenarkan L
"Kalian pulang saja. Aku akan baik-baik saja di sini. Jangan bikin mereka curiga," ujar Langit setengah berbisik dua pria yang sejak tadi mendampinginya.Dua pria itu rupanya merupakan asisten dan bodyguardnya.Kedua laki-laki itu memang selalu setia menemani Langit ke mana-mana. Langit sendiri adalah putra tunggal pengusaha properti yang cukup ternama, sekaligus seorang CEO perusahaan yang ia bangun sendiri.Setelah tiga tahun pergi dari rumah, Langit memang mengikuti jejak papanya, meski mengambil dari jenis properti yang berbeda. Dimas Kuncoro lebih memilih mengembangkan tempat penginapan, rumah toko (ruko) dan sewa-menyewa tanah, sementara Langit fokus pada pembangunan perumahan minimalis dan rumah susun syariah.Langit sengaja mengembangkan bisnis ini untuk mereka yang ingin memiliki tempat tinggal dengan cara kredit, tapi berbasis syariah demi menghindari riba. Berawal dari makelar tanah, rumah dan lainnya, kini benar-benar menjadi pengusaha sukses seperti sekarang."Mas Langit
Senja lalu menggamit lengan suaminya menuju kamar.Senja tak peduli dengan kekesalan adiknya. Dia memilih menutup pintu rapat. Dia malas bergabung dengan keluarga besarnya yang pasti akan semakin merendahkan suaminya."Maafkan keluargaku ya, Mas. Tak sepantasnya mereka bicara seperti itu padamu," ujar Senja dengan mata berkaca saat mereka sama-sama duduk di tepi ranjang. Langit tersenyum lalu mengusap puncak kepala istrinya perlahan."Nggak apa-apa jika mereka menghina dan meremehkanku. Yang penting kamu nggak begitu. Perhatian dan cintamu saja sudah lebih dari cukup. Biarkan mereka sibuk menghina, boleh jadi kelak akan menangis dan menyesal jika mengingat semuanya," balas Langit dengan senyum tipisnya.Senja mengerjap. Mendengar kalimat itu, Senja merasa ada sesuatu hal yang disembunyikan Langit darinya. Entah apa.Langit termenung beberapa saat setelah melihat kamar Senja yang cukup jauh berbeda dibandingkan kamar Abel. Kamarnya tak terlalu luas dengan ranjang kecil di sebelah kiri
"Halal dan berpahala. Katanya mau mengejar banyak pahala setelah menikah. Mau dicium atau cium di sini," tunjuk Langit ke pipinya.Wajah Senja memerah seketika. Dia tak menyangka jika laki-laki asing yang kini sah menjadi suaminya itu bisa segampang itu meminta cium. Meski memang sudah halal dan sah sebagai suami istri, Senja masih sangat canggung. Dia heran kenapa Langit tak punya rasa canggung sedikitpun?"Hitung sampai tiga, oke? Aku yang cium deh."Senja masih membeku. Dia bahkan seperti manekin hidup yang hanya kedua matanya saja yang tampak berkedip-kedip. Melihat ekspresi dan sikap istrinya sontak membuat Langit terkekeh. Tak lagi menggoda Senja dengan sebuah ciuman, Langit memilih mengacak puncak kepala istrinya sampai tak sengaja membuat hijab merah muda itu terlepas seketika.Kedua mata Langit membulat seketika saat melihat rambut hitam panjang dengan sedikit bergelombang tergerai indah di depan matanya. Wajah mungil dengan mata indah dan hidung bangir itu seakan terukir beg
"Total pengeluarannya berapa, Di? Nggak usah dibagi dua. Aku ada uang, biar aku saja yang menanggung semuanya. Nanti kutransfer ke rekening kamu, gimana?" ujar Langit kemudian.Pertanyaannya itu justru membuat mertua dan adik iparnya itu shock seketika. Namun, Abel segera pulih dari keterkejutannya."Lihat deh, Mas. Belagu banget dia," cibir Abel masih tak percaya jika Langit benar-benar punya uang dan bisa membayar semuanya sendiri. "Totalin semua, Mas. Biar aja dia cari pinjaman. Salah sendiri sok paling berduit." "Benar kata Abel, Di. Totalin semua. Paling juga nggak seberapa dibandingkan acaramu di gedung nanti. Lumayan kan bisa buat tambah sewa perias pengantin atau apa." Susan yang sedari tadi diam pun ikut menimpali."Lang, kalau memang belum punya uang, nggak apa-apa biar Abel sama Adi dulu yang nanggung." Anwar berkata. Dia tak tega jika melihat anak dan menantunya harus cari pinjaman ke sana-sini."Nggak apa-apa, Pak. Saya punya sedikit tabungan. InsyaAllah bisa untuk bayar
"Baju murah atau mahal nggak terlalu penting karena yang utama untuk menutupi aurat," balas Senja santai, tapi justru membuat Abel meradang."Apa maksudmu ngomong begitu, Mbak? Kamu nyindir aku?" tanya Abel sembari meneliti pakaian yang dikenakannya.Abel hanya memakai kaos pendek dengan celana hotpants saat di rumah. Seolah tak peduli jika saat ini di rumahnya sudah ada dua penghuni baru."Siapa yang nyindir, Bel? Aku nggak punya banyak tenaga untuk sindir menyindir.""Dasar sok alim biar disayang bapak." Abel berujar lirih sembari meneguk air di gelasnya sampai setengah bagian.***"Mas, kamu tidur di ranjang ya. Aku tidur di bawah pakai kasur lantai. Kalau berdua di ranjang jelas nggak cukup." Senja tersenyum tipis pada suaminya yang masih duduk di tepi ranjang.Tak berapa lama, kasur lantai itu pun direntangkan di lantai. Senja mengambil sebuah bantal di ranjang lalu meletakkannya di ujung kasur."Kamu yang tidur di ranjang. Aku sudah terbiasa tidur di bawah." Langit menarik pelan
Langit terdiam sejenak lalu menghela napas panjang. Rasa kesal, kecewa dan benci itu masih tampak jelas di raut wajahnya yang tampan. Tiga tahun berlalu, tapi rasa itu belum sepenuhnya padam.Langit hanya kecewa mengapa papanya lebih memilih perempuan muda bahkan mantan kekasih anaknya sendiri sebagai pengganti mamanya. Untuk cinta, Langit tak lagi merasakannya. Dia bahkan jijik tiap kali mengingat perempuan itu."Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanya Senja lirih. Dia merasa ekspresi suaminya berubah saat menerima pesan beberapa detik lalu. Langit mengerjap lalu kembali seperti semula yang seolah tak terjadi apa-apa."Kamu baik-baik saja, Mas?" ulang Senja."Iya, Sayang. Aku baik-baik saja." Langit tersenyum sembari menaik turunkan kedua alisnya.Tiap kali mendengar sebutan itu, wajah Senja selalu merona. Baru kali ini dia merasakan ketulusan seseorang. Meski belum ada rasa cinta di dalam hatinya karena memang baru kenal bahkan baru bertemu di saat akad nikah tadi, tapi Senja berjanji
Mungkin bagi orang lain, kalimat itu cukup mengejutkan. Tapi bagi Anwar kalimat-kalimat seperti itu sudah sering terdengar. Dia paham betul bagaimana karakter istri dan kedua anaknya."Maksud Senja nggak begitu, Bu ...." Anwar mulai bicara, tapi lagi-lagi dipotong oleh istrinya."Nah, kan. Sudah ibu duga kalau bapak pasti belain dia lagi. Cuma dia yang bapak percaya. Mana pernah percaya omongan ibu sama Abel.""Ibu sama Abel sering melebih-lebihkan omongan, wajar jika bapak nggak percaya." Senja menyahut."Memangnya kamu nggak, Mbak? Merasa paling benar?""Senja mau masak dulu, Pak. Ada Mas Langit di sini. Senja mau menyiapkan sarapan dulu," pamit Senja tanpa peduli dengan ekspresi ibu tiri dan adiknya itu."Kamu sengaja mengalihkan pembicaraan kan, Ja?! Dasar anak susah diatur!" sentak Susan lalu melangkah pergi ke kamar mandi.Abel pun kembali ke kamarnya, sementara Anwar dan Langit saling tatap lalu menghampiri Senja di samping kulkas."Maafkan ibu dan adikmu ya, Nak. Maafkan bapak
"Izin cium." Langit berujar lirih sembari tersenyum setelah berhasil mencium bibir istrinya. Senja masih membisu. Dia cukup shock mendapatkan kejutan tak terduga itu. "Kalau cuma pelampiasan, nggak akan seperti itu. Aku tulus. Kamu harus percaya itu." Langit membingkai wajah istrinya dengan kedua telapak tangan. Nyaris kembali mencium bibir itu andai Senja tak menutup wajahnya dengan telapak tangan. Langit terkekeh melihat wajah istrinya yang memerah dan terlihat salah tingkah. "Kamu terbiasa begitu, Mas?" tanya Senja setelah Langit kembali membenarkan letak duduknya. "Terbiasa apa? Cium bibir?" "Iya. Itu kan yang baru kamu lakukan." "Nggak terbiasa.""Berarti pernah?" "Pernah dong. Kamu juga pernah kan barusan." "Issh, maksudnya sama perempuan lain." "Hmmm ....""Sama Tasya itu?" tanya Senja ingin memastikan. "Sering? Sudah terbiasa?" cecarnya. "Sekali, dua kali.""Astaghfirullah." "Itu masa lalu, Sayang. Nggak perlu diungkit. Aku juga sudah lupa bagaimana rasanya. Lagipu
"Kenapa diam saja?" Langit bertanya lembut saat sepasang suami istri itu meninggalkan area rumah sakit. "Nggak apa-apa." Senja tak menoleh, dia memilih menatap ke luar jendela. Meski tak ingin membuat suaminya kesal dengan sikapnya, tapi untuk pura-pura baik-baik saja memang tak semudah itu. "Justru nggak apa-apa itu berarti ada apa-apa. Ayo ngomong kenapa diam seperti itu?" Lagi-lagi Langit sengaja pura-pura tak tahu apa alasan istrinya terlihat begitu kesal. "Katanya nggak bisa pulang sampai beberapa hari ke depan. Kenapa sekarang pulang?" "Memangnya nggak suka kalau suaminya pulang? Katanya kangen?" Langit tersenyum tipis, sementara Senja hanya memanyunkan bibirnya. "Sekarang ke salon dulu, gimana?""Mau ngapain ke salon? Dari dulu nggak pernah nyalon," balas Senja lagi. "Justru karena itu, mulai sekarang boleh ke salon kapanpun kamu mau, Sayang." "Nggak ah, nanti duit kamu habis. Kan katanya gaji supir nggak terlalu banyak," sindir Senja sembari melirik suaminya. Langit k
"Kenapa, Mas? Mas Langit sibuk? Nggak balas pesan?" Senja ikut bertanya saat melihat Bayu yang duduk di depannya tampak gelisah. "Mungkin sedang rapat, Mbak. Jadi, handphonenya dimatikan." "Rapat? Oh, seorang supir ikut rapat juga?" sindir Senja sembari menghela napas panjang. Wajah Bayu dan Bagas ikut menegang mendengar sindiran itu. Mereka tahu jika saat ini perasaan Senja memang campur aduk. Tak biasanya dia bicara seketus itu pada mereka. "Gimana?" Bagas menggerak-gerakkan bibirnya agar tak terdengar oleh Senja dan Anwar. Bayu menggeleng pelan sambil bilang," Ceklis satu." Setelah itu keduanya sama-sama menghela napas panjang. Sampai rumah sakit, Senja membantu bapaknya turun lalu duduk di kursi roda. "Makasih sudah mengantar kami, Mas. Pulangnya nggak usah ditunggu atau dijemput, kami bisa pulang sendiri. Sekali lagi terima kasih," ujar Senja sembari sedikit membungkukkan badan. Senyum yang biasanya selalu terlukis di bibirnya tiap kali, kini seolah hilang seketika. Bayu
"Mas kenal dengan perempuan ini? Apa mereka memang punya hubungan dekat sebelumnya?" tanya Senja sembari menunjukkan foto itu pada Bayu. Bayu tercekat. Dia menelan ludah seketika lalu melirik Bagas yang masih fokus pada gagang stirnya. "Kenal, Mas? Siapa dia?" ulang Senja membuat Bayu menghela napas panjang. "Mantan kekasihnya Mas Langit, Mbak. Tapi mereka sudah nggak berhubungan kok. Sudah putus tiga tahun lalu. Mereka-- "Oke, Mas. Makasih infonya ya." Senja menarik handphonenya yang terulur ke arah Bayu lalu kembali menyandarkan badannya ke sofa. Mendengar kata mantan kekasih, pikiran Senja semakin kemana-mana. Senja semakin merasa jauh dan asing karena tak mengenali siapa suaminya sendiri. Jangankan soal hidupnya di masa lalu, bahkan hidupnya saat ini pun Senja tak tahu. Dia hanya bisa meraba-raba, menduga lalu bertempur dengan perasaan dan hatinya sendiri yang tak setuju dengan prasangka itu. Terlalu banyak hal yang mencurigakan dan memang pantas dipertanyakan, tapi tiap kal
"Sarapan dulu, Pak. Setelah ini Senja ajak bapak kontrol ya?" ujar Senja saat menyiapkan sarapan di meja makan. Susan muncul dari kamar sembari membenarkan kuncir rambutnya yang panjang. "Masak apa kamu?" tanya Susan singkat lalu mengambil air dingin di kulkas. "Masak sayur bayam sama ayam goreng, Bu. Ada tempe sama tahu goreng juga itu.""Suamimu nggak pulang semalaman?" bisik Susan semakin penasaran. Senja menoleh lalu menggeleng pelan. "Lihat tuh, Pak. Menantu kesayangan bapak itu benar-benar nggak pulang semalam. Jangan-jangan dia memang punya pekerjaan lain atau-- "Mas Langit memang banyak urusan, Bu. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dulu, setelah selesai dia baru pulang. Mungkin sampai beberapa hari ke depan. Ibu tenang saja, semalam Senja sudah tanya soal pekerjaan Mas Langit. Dia bilang kerjaannya halal kok, bahkan dia bersumpah nggak akan kasih istri dan anaknya duit haram. Ibu jangan terlalu banyak pikiran, takutnya tensi ibu naik lagi." Senja menoleh sesaat lalu kemb
"Aku berangkat dulu ya, Bu. Nanti pulangnya kubawakan oleh-oleh deh." Abel berpamitan pada ibu dan bapaknya. Dia bilang mau honeymoon di Bali bersama sang suami. "Jangan iri ya, Mbak. Aku mau honeymoon, sementara kamu malah ditinggal suami kerja. Mau kasihan, tapi gimana namanya cari duit kan nggak apa-apa. Daripada nggak punya duit, nggak ada salahnya kerja meski baru saja akad nikah." Abel kembali melirik sinis lalu menggamit lengan suaminya. "Kamu juga hati-hati, Bel. Jangan terlalu foya-foya, takutnya suamimu banyak hutangnya. Sesuaikan sama pendapatan suami. Jangan besar pasak daripada tiang nanti roboh rumahmu." Senja menyahut. Dia sudah bertekad tak akan mengalah lagi pada adiknya. Terlalu banyak pengorbanannya selama ini, tapi tak sedikitpun dianggap ada. Sudah saatnya memberontak daripada terus diinjak. Senja merasa, sesekali Abel memang harus di-skak. "Mbak! Suamiku nggak seperti suamimu yang supir itu ya!" sentak Abel lagi lalu menoleh pada suaminya yang hanya tersenyum
[Mas, sudah bangun? Hampir subuh] Sebelum adzan subuh berkumandang, Senja sudah mengirimkan pesan pada suaminya. Seolah seperti alarm yang mengingatkannya tentang shalat. Langit meraba handphone yang dia letakkan di atas meja di samping pembaringan. Kedua matanya masih memicing sembari menyalakan lampu utama. Saat melihat pesan dari istrinya, kedua matanya berbinar. Kantuk yang sedari tadi menyelimuti kelopak matanya mendadak hilang seketika. [Baru bangun, Sayang. Dengar pesan dari kamu ini jadinya kebangun. Ada apa, Sayang? Kangen?] Langit membalas pesan itu dengan hati berbunga. Meski dia tahu, Senja belum sepenuhnya mencintainya dan sikap-sikapnya selama ini hanya bentuk baktinya pada suami, tapi Langit yakin dengan ketulusannya hati Senja akan luluh juga. [Sedikit sih, Mas. Jangan lupa shalat subuh berjamaah di masjid ya, Mas. Entah mengapa hatiku sedikit tak tenang. Kamu baik-baik saja di sana kan, Mas?] Lagi-lagi Langit tersenyum saat membaca balasan dari istrinya itu. Har
"Woi! Ngapain kamu di situ?! Keluar!" sentak Langit saat melihat Tasya masuk ke kamarnya lalu menutup pintu rapat. Dia teramat kaget. Baru saja meletakkan handphonenya kembali ke atas meja, tiba-tiba muncul perempuan yang teramat dibencinya itu. Tasya masih berdiri di tempat. Dia tersenyum tipis dan tak mempedulikan perintah Langit barusan. "Keluar kubilang! Jangan gila!" sentak Langit sembari menuding wajah Tasya yang semakin mendekat. Perempuan itu semakin menjadi. Langit benar-benar tak mengerti mengapa perempuan yang dulu dicintainya itu berubah sedrastis ini. Bahkan dia seperti tak mengenali Tasya lagi. Sikapnya berubah. Tak lagi lembut seperti dulu. Tak lagi kalem dan sopan, tapi sebaliknya. Kini Langit mulai berpikir apakah dulu Tasya hanya bersandiwara di depannya, atau memang inilah sifat aslinya? Entah. "Mau ngapain kamu?!" Langit melipat kedua tangannya ke dada sembari menatap lurus ke depan. Tasya tak membalas pertanyaan-pertanyaannya. Wajahnya memerah, marah. Dia ce
"Assalamualaikum, Mas. Kamu beneran nggak pulang malam ini?" Suara merdu Senja terdengar dari seberang. Langit tersenyum sembari memperbaiki letak tidurnya agar lebih nyaman.Sejenak, ingatannya kembali pada saat pertama kali ia jatuh hati pada Senja."Siapa perempuan itu, Gas?" tanya Langit saat pertama kali mengunjungi lokasi pembangunan perumahan yang dikelolanya."Oh itu, Mas. Namanya Senja. Dia jualan di gang depan,” balas Bagas “Biasanya kuli di sini pesan makanan, minuman atau camilan sama dia. Sekarang dia pasti tengah mengantar pesanan.”"Kamu kenal?""Cuma tahu nama saja, Mas. Kebetulan waktu saya ke sini sama supervisor itu, Senja datang membawa beragam gorengan. Makanya saya tahu namanya. Mandor yang bilang," ujar Bagas kemudian. Langit manggut-manggut.Langit masih mengamati Senja dari dalam mobilnya. Perempuan dengan gamis dan hijab lebarnya itu mengucapkan terima kasih saat salah satu pekerja membayar pesanannya."Nanti sore gorengan ya, Mbak.""Baik, Mas. Nanti saya s