Abel tersenyum penuh kemenangan setelah mengatakan itu, sementara Senja seperti baru tersadar.
“Urus saja suamimu sana. Jangan sampai dianggurin.” ucap Abel lagi. Ia senang mengolok sang kakak, sama sekali lupa ia bisa kuliah dan hidup dari penghasilan kakaknya. “Kasihan loh dia, sudah mengorbankan diri supaya kamu nggak malu eh malah diabaikan begitu saja. Nggak ada rasa terima kasihnya kamu, Mbak."
"Wajar jika kakakmu masih sakit hati. Apa kamu nggak sadar sudah membuatnya terluka selama ini?" Akhirnya Langit berbicara. Ucapannya itu membuat Abel shock, begitupula dengan beberapa tamu yang mendengarnya.
Mereka tak menyangka jika orang asing itu berani membela Senja bahkan seakan menyudutkan Abel.
"Heh, kamu orang asing sok tahu banget sama keluargaku! Jangan mentang-mentang sekarang jadi suami Mbak Senja, kamu jadi belagu ya!" sentak Abel emosi.
Adi menarik lengannya pelan lalu memintanya untuk diam, sementara Anwar kembali menghela napas panjang. Dia tahu jika kembali membenarkan Langit atau membela Senja, bukannya sadar, Abel pasti akan semakin menggila. Oleh karena itulah, Anwar memilih diam. Dia tak ingin memperpanjang keributan, apalagi masih banyak tamu yang berada di ruangan itu.
"Sudah nggak apa-apa, ayo cium tangan suamimu," perintah Anwar sembari mengusap lengan anak sulungnya. Senja mengangguk lalu menatap manik mata Langit saat akan mencium punggung tangannya.
Dadanya berdebar tak karuan. Senja merasa keringat dingin mulai menetes ke pipi. Ada desiran aneh saat tangannya berhasil menyentuh telapak tangan suaminya. Perlahan, Senja mencium punggung tangan itu sembari melangitkan doa agar pernikahannya kali ini bisa sakinah mawadah warahmah.
Langit menatap sang istri yang baru ia nikahi tersebut. Ekspresinya yang sempat dingin karena menegur adik iparnya, perlahan menghangat dan berubah lembut.
"Sudah ciumnya, Mbak Senja. Nanti tangan suamimu kesemutan." Penghulu mengingatkan dengan senyum lebarnya.
Senja sedikit gugup lalu melepaskan tangan suaminya. Wajahnya memerah karena malu apalagi saat Langit tersenyum tipis melihat kekonyolannya. Anwar dan beberapa tamu yang hadir pun ikut tertawa melihat Senja salah tingkah.
"Lanjut nanti malam saja," sambung penghulu setengah berbisik.
Wajah Senja semakin merona saat mendengar kalimat itu, apalagi dia tahu jika detik ini suaminya masih membeku menatapnya lekat.
Setelah akad dan doa selesai, acara selanjutnya makan bersama. Para tamu diminta untuk memilih makanan apapun yang sudah tersedia di halaman rumah.
Awalnya Senja memang ingin menikah secara sederhana saja. Dia tak ingin terlalu foya-foya dan membuang-buang uang untuk pernikahannya.
"Menikah itu mudah dan sederhana, Mas. Nggak harus punya modal banyak,” ujar Senja pada Adi waktu itu. “Kalau tabunganmu lebih, baiknya kita pakai untuk membeli rumah atau kebutuhan lainnya setelah menikah. Aku nggak masalah kok misal acaranya di rumah saja. Lagipula aku juga nggak banyak teman, jadi ruang tamu sama ruang tengah sama kurasa cukup untuk menampung tamu."
Hal itu jelas menguntungkan untuk Adi. Selama ini, Senja sangat sederhana dan tak pernah neko-neko. Dia bahkan tak pernah mau saat dibelikan sesuatu yang agak mewah ataupun mahal. Senja tak ingin buang-buang uang.
Berbeda dengan Abel yang sering kali minta dibelikan ini dan itu oleh kekasih-kekasihnya termasuk Adi. Mahar pun dia sendiri yang memilih. Abel tak ingin kalah dari kakaknya. Dia ingin tampil berbeda di depan banyak orang.
Intinya, Abel ingin dinomorsatukan karena dia capek dan lelah merasa selalu dinomorduakan.
"Kamu nggak makan?" tanya Langit tiba-tiba sembari membawa somai di piring kecilnya.
Senja tersenyum lalu menggeleng pelan.
"Mas makan saja. Kenapa nggak bilang aku dulu kalau mau makan? Biar aku yang ambilkan, Mas." Senja kembali menatap manik mata suaminya yang terlihat teduh menurutnya.
"Oh, harus bilang dulu ya?" bisik Langit tak paham maksud Senja. "Bapak bilang kita harus makan dulu karena boleh jadi masih ada beberapa tamu yang akan datang. Apa porsi yang kubawa kebanyakan?"
Senja kembali menggeleng sembari tersenyum tipis. Senja tak sengaja menyentuh tangan Langit yang masih membawa piring somainya. Keduanya sama-sama salah tingkah setelah itu.
"Itu bentuk baktiku sebagai istri, Mas. Menyiapkan makan suami itu berpahala dan aku ingin berburu pahala setelah menikah denganmu," balas Senja sembari mengangguk pelan untuk meyakinkan.
"Seindah itukah menikah? Sekadar mengambil makanan saja istriku yang akan menyiapkan?"
"Iya. Aku yang akan memasak, menyiapkan di meja makan dan menemanimu makan."
Langit tersenyum lebar. "Meski aku belum mampu memberimu nafkah lebih?" tanya Langit kemudian.
Senja mengangguk pelan.
"Yang penting kamu berusaha semaksimal yang kamu bisa, Mas. Berapapun itu, InsyaAllah aku akan menerimanya dengan ikhlas."
"Indahnya ...." Langit kembali menggumam.
Sebenarnya Langit sangat ingin memeluk dan menciumi istrinya bertubi-tubi, sayangnya itu tak mungkin terjadi meski mereka sudah sah menjadi suami istri. Langit masih berusaha mengontrol diri sendiri agar Senja tak shock apalagi takut dengan kehadirannya.
"Pak, bulan depan aku sama Mas Adi mau adakan resepsi di gedung!” Tiba-tiba Abel berujar. “Masa nikah cuma sekali, tapii acaranya cuma begini? Aku mau undang teman-temanku dan teman kantor Mas Adi juga.”
“Acara hari ini kan sudah mengundang beberapa teman kamu dan teman kantornya Adi, Bel,” tanggap Anwar. “Lagipula, kenapa harus resepsi segala? Lebih baik uangnya untuk masa depan kalian saja. Ditabung dulu buat kebutuhan mendadak di kemudian hari.”
Abel meradang karena bapaknya tak setuju dengan rencana dan impiannya itu.
“Temanku banyak, Pak. Teman kantor Mas Adi juga banyak, secara dia karyawan tetap di kantornya kan? Masa mereka nggak ikut menyaksikan kebahagiaan ini."
“Tapi, Bel–”
"Sebaiknya Bapak nggak usah ikut campur deh,” potong Abel. Ia melipat tangan di depan dada lalu duduk di samping Adi. “Aku juga nggak minta pendapat. Ini sekadar pernyataan bukan pertanyaan. Lagipula resepsi itu pakai duit Mas Adi, bukan duit Bapak. Bapak mana punya duit, kerja juga nggak kan?"
Anwar cukup shock mendengar kata-kata anak bungsunya itu, tapi dia sadar jika kata-kata itu tidaklah salah.
Tatapan Abel jatuh pada Senja dan Langit yang sedang tersenyum saat makan.
"Eh, kalian nggak diajak ya! Jangan senyum-senyum begitu. Resepsi itu pakai duit suamiku, jadi cuma kami raja dan ratunya. Kalian mana mampu menyewa gedung segala," tunjuk Abel pada Senja dan Langit yang senyum-senyum sedari tadi.
Mungkin Abel kira mereka terlalu mendengarkan obrolannya, padahal sepasang suami istri itu memiliki cerita sendiri. Cerita yang cukup sederhana, tapi membuat keduanya berbunga.
"Maaf, Bel. Mbak juga nggak pengin bikin resepsi segala kok. Acara sederhana seperti ini sudah cukup. Yang penting sah."
"Iyalah yang penting sah. Masih untung juga ada yang mau numbalin diri buat nikahin kamu, Mbak. Kalau nggak, bisa jadi perawan tua nggak nikah-nikah. Nanti pasti aku lagi dan lagi yang disalahin Bapak."
Abel melengos. Dia begitu kesal dengan kakak dan bapaknya. Apapun yang mereka lakukan selalu salah di mata Abel. Apapun itu.
"Menurut saya, silakan pakai resepsi asalkan ada tabungan dan bukan dari hutang. Nanti repot setelah menikah malah sibuk bayar cicilan."
Salah seorang kerabat ikut menimpali, tapi entah mengapa sukses membuat Adi tersedak seketika.
***
Rama menghela napas panjang. Dia menatap Ririn yang masih panik dan gugup melihatnya nyaris baku hantam dengan kakak dan sahabatnya. "Aku nggak mau bikin ribut lagi, Mas. Tolong, jangan ikut campur urusanku. Kita sudah bukan pasangan suami istri lagi." Ririn berujar lirih. Rama mendongak lalu kembali menatap dua lelaki di samping mantan istrinya itu. "Lagipula Mas Awan nggak tahu apa-apa. Jangan mengkambinghitamkan orang lain atas perceraian kita. Alasanku menggugat sudah jelas. Kamu jangan playing victim, Mas. Sekarang, pergi dari sini dan urus hidupmu sendiri. Aku nggak pernah mengusikmu, kuharap kamu juga berhenti mengatur hidupku," balas Ririn tegas. "Kalian nggak apa-apa?" tanya Ririn ke arah dua lelaki di sampingnya. Damar menggeleng pelan, begitu pula dengan Damar. "Tenang, Rin. Kami nggak apa-apa. Belum baku hantam, baru mau mulai sudah kamu cegah." Awan berusaha mencairkan suasana yang mendadak tak nyaman itu. Rama menatap tajam, matanya merah penuh dendam. "Kita meman
Langkah kaki Ririn masih terasa ragu saat memasuki gedung kantor baru milik Damar. Bangunan itu megah dan kokoh, kaca-kaca besar menghiasinya, menandakan keseriusan bisnis properti yang baru saja dibangun kakaknya."Rin, sini!" Damar melambaikan tangan dari balik meja kerjanya yang penuh tumpukan dokumen. Senyum kakaknya itu membuat hati Ririn sedikit tenang."Aku takut ganggu kerjaanmu, Mas," ucap Ririn pelan sambil duduk di kursi tamu."Ngawur. Justru aku sengaja minta kamu datang." Damar meraih sebuah map lalu meletakkannya di meja. "Aku butuh asisten dan aku pengin kamu yang isi posisi itu. Kamu cocok. Lagipula, Opa pasti sangat setuju."Ririn terkejut. "Aku? Mas, aku mana ngerti soal properti, soal bisnis kayak gini. Aku kan cuma--""Cuma apa? Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya, Rin. Siapa lagi kalau bukan adikku sendiri. Iya kan?" sahut Damar cepat. Ririn terdiam. Matanya berkaca-kaca, mengingat masa-masa kelam bersama Rama yang menguras hidupnya. Ririn merasa tak pernah
"Mulai hari ini, kamu bukan orang asing. Kamu adalah cucu Opa, bagian dari keluarga ini. Jangan pernah ragu akan hal itu, Rin. Kalau memang kamu nggak mau tinggal di Jogja dan memilih tinggal di Jakarta bersama ibumu, nggak apa-apa. Opa juga nggak akan memaksa, tapi kamu harus sering-sering jenguk Opa ya? Keponakanmu juga akan bertambah sebab kakak iparmu hamil muda," ujar Opa setelah pulang dari rumah sakit. Mereka kumpul di ruang keluarga dan mendengarkan beberapa wejangan Opa. Nyaris sepuluh hari Ririn di Jogja dan selama itu pula hubungannya dengan keluarga kandungnya semakin erat dan hangat. Ibunya pun diterima dengan tangan terbuka bahkan Opa memberinya tabungan dua ratus juta untuk modal usaha. Iya, Susanti ingin membuka usaha warung sembako di depan rumahnya. "Opa, modal usahanya terlalu banyak. Warung yang akan saya bikin itu cuma kecil-kecilan karena memang sisa tanahnya juga sedikit," ujar Susanti saat menerima transferan segitu banyak ke rekeningnya. "Nggak apa-apa, Bu.
Pagi di Jogja terasa tenang dan damai. Burung-burung berkicau, udara lembut masuk melalui jendela kamar tempat Ririn tidur. Sejak pagi dia belum keluar kamar, kecuali saat shalat subuh di musholla rumah itu. Ririn ingin membantu membersihkan rumah, tapi dua asisten di sana melarang. Mereka meminta Ririn untuk santai atau jalan-jalan pagi saja seperti anak Opa lainnya. Tak membantah, Ririn akhirnya memilih kembali ke kamar sementara ibunya duduk di dapur bersama salah satu asisten rumah tangga. Ibunya menolak kembali ke kamar dan memilih ngobrol dengan salah satu asisten sembari membantu mengupas bawang. Sebelum jam enam pagi, suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Ririn beranjak dari kursi rias lalu membuka pintu. Raya tersenyum tipis saat melihat adik iparnya itu. "Bi Sumi sudah bikin sarapan. Kita sarapan sama-sama ya. Setelah itu kamu sama ibu kuajak ke toko baju. Mas Dimas semalam bilang kalau kamu dan ibu bebas pilih baju, sandal, tas atau apapun kebutuhanmu. Terserah yang ma
Malam semakin larut. Setelah makan malam bersama dan bercengkerama di ruang keluarga, akhirnya mereka beranjak ke kamar masing-masing. Ririn tak bisa langsung memejamkan kedua matanya. Dia masih bolak-balik, membayangkan masa lalunya sampai kembali ke masa kini di mana dia tahu almarhum kedua orang tua kandungnya bukanlah orang sembarangan. Mereka pengusaha terkenal di kota gudeg itu. Ririn benar-benar masih seperti mimpi dan sulit percaya kalau dia keturunan konglomerat. Saat semua terlelap, Ririn justru terjaga. Sembari tiduran di ranjang, Ririn menatap layar ponselnya. Ada pesan masuk dari Senja, sahabat terbaiknya. [Rin, maaf ganggu malammu. Ada kabar penting tentang Mas Rama. Aku dapat info, Mas Rama terlibat kasus korupsi di kantor Mas Langit. Jumlahnya cukup besar. Sepertinya akan segera diusut dan kemungkinan besar dibawa ke ranah hukum]Ririn terdiam, jantungnya berdegup kencang. Dia tak menyangka kabar seperti itu datang malam ini, di saat dia sudah bahagia dengan keluarg
Bandara sore ini ramai. Ririn menggenggam erat tangan ibunya. Perasaannya campur aduk, antara tegang dan bahagia. Tepat di sebelah mereka, Dimas tersenyum hangat."Tenang, Rin. Perjalanan nggak lama kok. Satu jam lebih sedikit sudah sampai Jogja. Kakak ipar dan keponakanmu sudah menunggu di sana. Iparmu bahagia banget punya adek perempuan. Maklum, dia juga yatim piatu sejak kecil," ucap Dimas menenangkan.Ririn mengangguk pelan. Dalam hati bersyukur jika kehadirannya memang ditunggu banyak orang. Hal yang ditakutkan Ririn selama ini adalah sikap sinis dan tak bersahabat dari keluarga besar atau kerabat. Jika mereka menyambut dengan tangan terbuka, tentu Ririn jauh lebih bahagia. "Aku memang gugup, Mas. Sudah lama nggak naik pesawat. Ibu sepertinya juga agak gugup."Susanti menghela napas, menatap ke arah landasan. "Iya, dulu ibu naik pesawat cuma sekali waktu masih muda. Setelah itu nggak pernah lagi. Makanya, sekarang agak panas dingin."Dimas tertawa kecil. "Nanti jadi terbiasa,