Share

BAB 5 Menikah

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-04-29 16:51:18

Abel tersenyum penuh kemenangan setelah mengatakan itu, sementara Senja seperti baru tersadar.

“Urus saja suamimu sana. Jangan sampai dianggurin.” ucap Abel lagi. Ia senang mengolok sang kakak, sama sekali lupa ia bisa kuliah dan hidup dari penghasilan kakaknya. “Kasihan loh dia, sudah mengorbankan diri supaya kamu nggak malu eh malah diabaikan begitu saja. Nggak ada rasa terima kasihnya kamu, Mbak."

"Wajar jika kakakmu masih sakit hati. Apa kamu nggak sadar sudah membuatnya terluka selama ini?" Akhirnya Langit berbicara. Ucapannya itu membuat Abel shock, begitupula dengan beberapa tamu yang mendengarnya.

Mereka tak menyangka jika orang asing itu berani membela Senja bahkan seakan menyudutkan Abel.

"Heh, kamu orang asing sok tahu banget sama keluargaku! Jangan mentang-mentang sekarang jadi suami Mbak Senja, kamu jadi belagu ya!" sentak Abel emosi.

Adi menarik lengannya pelan lalu memintanya untuk diam, sementara Anwar kembali menghela napas panjang. Dia tahu jika kembali membenarkan Langit atau membela Senja, bukannya sadar, Abel pasti akan semakin menggila. Oleh karena itulah, Anwar memilih diam. Dia tak ingin memperpanjang keributan, apalagi masih banyak tamu yang berada di ruangan itu.

"Sudah nggak apa-apa, ayo cium tangan suamimu," perintah Anwar sembari mengusap lengan anak sulungnya. Senja mengangguk lalu menatap manik mata Langit saat akan mencium punggung tangannya.

Dadanya berdebar tak karuan. Senja merasa keringat dingin mulai menetes ke pipi. Ada desiran aneh saat tangannya berhasil menyentuh telapak tangan suaminya. Perlahan, Senja mencium punggung tangan itu sembari melangitkan doa agar pernikahannya kali ini bisa sakinah mawadah warahmah.

Langit menatap sang istri yang baru ia nikahi tersebut. Ekspresinya yang sempat dingin karena menegur adik iparnya, perlahan menghangat dan berubah lembut.

"Sudah ciumnya, Mbak Senja. Nanti tangan suamimu kesemutan." Penghulu mengingatkan dengan senyum lebarnya.

Senja sedikit gugup lalu melepaskan tangan suaminya. Wajahnya memerah karena malu apalagi saat Langit tersenyum tipis melihat kekonyolannya. Anwar dan beberapa tamu yang hadir pun ikut tertawa melihat Senja salah tingkah.

"Lanjut nanti malam saja," sambung penghulu setengah berbisik. 

Wajah Senja semakin merona saat mendengar kalimat itu, apalagi dia tahu jika detik ini suaminya masih membeku menatapnya lekat.

Setelah akad dan doa selesai, acara selanjutnya makan bersama. Para tamu diminta untuk memilih makanan apapun yang sudah tersedia di halaman rumah. 

Awalnya Senja memang ingin menikah secara sederhana saja. Dia tak ingin terlalu foya-foya dan membuang-buang uang untuk pernikahannya.

"Menikah itu mudah dan sederhana, Mas. Nggak harus punya modal banyak,” ujar Senja pada Adi waktu itu. “Kalau tabunganmu lebih, baiknya kita pakai untuk membeli rumah atau kebutuhan lainnya setelah menikah. Aku nggak masalah kok misal acaranya di rumah saja. Lagipula aku juga nggak banyak teman, jadi ruang tamu sama ruang tengah sama kurasa cukup untuk menampung tamu."

Hal itu jelas menguntungkan untuk Adi. Selama ini, Senja sangat sederhana dan tak pernah neko-neko. Dia bahkan tak pernah mau saat dibelikan sesuatu yang agak mewah ataupun mahal. Senja tak ingin buang-buang uang.

Berbeda dengan Abel yang sering kali minta dibelikan ini dan itu oleh kekasih-kekasihnya termasuk Adi. Mahar pun dia sendiri yang memilih. Abel tak ingin kalah dari kakaknya. Dia ingin tampil berbeda di depan banyak orang. 

Intinya, Abel ingin dinomorsatukan karena dia capek dan lelah merasa selalu dinomorduakan.

"Kamu nggak makan?" tanya Langit tiba-tiba sembari membawa somai di piring kecilnya. 

Senja tersenyum lalu menggeleng pelan.

"Mas makan saja. Kenapa nggak bilang aku dulu kalau mau makan? Biar aku yang ambilkan, Mas." Senja kembali menatap manik mata suaminya yang terlihat teduh menurutnya.

"Oh, harus bilang dulu ya?" bisik Langit tak paham maksud Senja. "Bapak bilang kita harus makan dulu karena boleh jadi masih ada beberapa tamu yang akan datang. Apa porsi yang kubawa kebanyakan?"

Senja kembali menggeleng sembari tersenyum tipis. Senja tak sengaja menyentuh tangan Langit yang masih membawa piring somainya. Keduanya sama-sama salah tingkah setelah itu.

"Itu bentuk baktiku sebagai istri, Mas. Menyiapkan makan suami itu berpahala dan aku ingin berburu pahala setelah menikah denganmu," balas Senja sembari mengangguk pelan untuk meyakinkan.

"Seindah itukah menikah? Sekadar mengambil makanan saja istriku yang akan menyiapkan?"

"Iya. Aku yang akan memasak, menyiapkan di meja makan dan menemanimu makan."

Langit tersenyum lebar. "Meski aku belum mampu memberimu nafkah lebih?" tanya Langit kemudian.

Senja mengangguk pelan.

"Yang penting kamu berusaha semaksimal yang kamu bisa, Mas. Berapapun itu, InsyaAllah aku akan menerimanya dengan ikhlas."

"Indahnya ...." Langit kembali menggumam.

Sebenarnya Langit sangat ingin memeluk dan menciumi istrinya bertubi-tubi, sayangnya itu tak mungkin terjadi meski mereka sudah sah menjadi suami istri. Langit masih berusaha mengontrol diri sendiri agar Senja tak shock apalagi takut dengan kehadirannya.

"Pak, bulan depan aku sama Mas Adi mau adakan resepsi di gedung!” Tiba-tiba Abel berujar. “Masa nikah cuma sekali, tapii acaranya cuma begini? Aku mau undang teman-temanku dan teman kantor Mas Adi juga.”

“Acara hari ini kan sudah mengundang beberapa teman kamu dan teman kantornya Adi, Bel,” tanggap Anwar. “Lagipula, kenapa harus resepsi segala? Lebih baik uangnya untuk masa depan kalian saja. Ditabung dulu buat kebutuhan mendadak di kemudian hari.”

Abel meradang karena bapaknya tak setuju dengan rencana dan impiannya itu. 

“Temanku banyak, Pak. Teman kantor Mas Adi juga banyak, secara dia karyawan tetap di kantornya kan? Masa mereka nggak ikut menyaksikan kebahagiaan ini."

“Tapi, Bel–”

"Sebaiknya Bapak nggak usah ikut campur deh,” potong Abel. Ia melipat tangan di depan dada lalu duduk di samping Adi. “Aku juga nggak minta pendapat. Ini sekadar pernyataan bukan pertanyaan. Lagipula resepsi itu pakai duit Mas Adi, bukan duit Bapak. Bapak mana punya duit, kerja juga nggak kan?" 

Anwar cukup shock mendengar kata-kata anak bungsunya itu, tapi dia sadar jika kata-kata itu tidaklah salah.

Tatapan Abel jatuh pada Senja dan Langit yang sedang tersenyum saat makan.

"Eh, kalian nggak diajak ya! Jangan senyum-senyum begitu. Resepsi itu pakai duit suamiku, jadi cuma kami raja dan ratunya. Kalian mana mampu menyewa gedung segala," tunjuk Abel pada Senja dan Langit yang senyum-senyum sedari tadi.

Mungkin Abel kira mereka terlalu mendengarkan obrolannya, padahal sepasang suami istri itu memiliki cerita sendiri. Cerita yang cukup sederhana, tapi membuat keduanya berbunga.

"Maaf, Bel. Mbak juga nggak pengin bikin resepsi segala kok. Acara sederhana seperti ini sudah cukup. Yang penting sah."

"Iyalah yang penting sah. Masih untung juga ada yang mau numbalin diri buat nikahin kamu, Mbak. Kalau nggak, bisa jadi perawan tua nggak nikah-nikah. Nanti pasti aku lagi dan lagi yang disalahin Bapak."

Abel melengos. Dia begitu kesal dengan kakak dan bapaknya. Apapun yang mereka lakukan selalu salah di mata Abel. Apapun itu.

"Menurut saya, silakan pakai resepsi asalkan ada tabungan dan bukan dari hutang. Nanti repot setelah menikah malah sibuk bayar cicilan." 

Salah seorang kerabat ikut menimpali, tapi entah mengapa sukses membuat Adi tersedak seketika.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si senja betul2 kayak g punya harga diri. minimal bersuara dikit dan jgn cuma menye2 g jelas. sok baik dan sok sederhana jd membosankan.
goodnovel comment avatar
kyrunaa24
ngulang dong bikin resepsinya...biarin aja sih repot sendiri ntar juga klo abel rasa gaji adi ga cukup paling selingkuh minta cerai
goodnovel comment avatar
Zidan Kasan
mba salah komen ini cerita apa komennya apa kagak nyambung pisan ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Buket Lily

    Pagi ini udara di kantor Harjokusumo Land terasa lebih segar dari biasanya. Sinarnya lembut menembus kaca besar di lantai dua tempat divisi administrasi bekerja. Di meja kerja Ririn, tergeletak sebuah buket bunga lily putih yang masih segar, dibalut pita silver dengan kartu kecil bertuliskan :[Untuk seseorang yang membuat hari-hariku terasa lebih tenang]Ririn menatap bunga itu cukup lama. Jantungnya berdebar aneh. Dia menoleh ke kanan, ke kiri memastikan tidak ada yang memperhatikan. Tapi tentu saja, teman-temannya sudah mulai melirik-lirik dan saling berbisik.“Eh, Mbak Ririn, dari siapa tuh? Romantis banget, lho,” bisik Siska, rekan kerja yang paling cerewet. Ririn buru-buru menunduk. “Entah … mungkin salah taruh?”“Ah masa, Mbak? Nggak mungkin salah alamat ah." Ririn merona mendengar bisik-bisik mereka saat dia ke pantry untuk menyeduh kopi. Jauh di ruangannya yang dingin dan rapi, Damar tengah menatap layar komputer sambil menyembunyikan senyum kecil. Dia sudah tahu siapa peng

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Sebuah Pengakuan Mengejutkan

    Sore ini langit berwarna jingga keemasan. Langit di luar kaca cafe Binar Semesta miliknya tampak seperti lukisan, sementara di ruang kerjanya yang tak terlalu luas itu, Awan duduk termenung di depan laptop yang sudah lama tak disentuh. Tangannya hanya menggulir-gulir mouse tanpa arah, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Yang dia pikirkan bukan masalah bisnisnya yang akan buka cabang baru, tapi tentang Ririn. Perempuan yang akhir-akhir ini selalu terlintas dalam benaknya. Senyumnya lembut, tutur katanya sopan, matanya tenang tapi menyimpan sesuatu yang dalam, mungkin luka, mungkin juga keberanian.Awan menghela napas panjang, lalu berdiri. Dia menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Laki-laki yang cukup gagah, sukses, tapi gelisah. Sejak keputusannya untuk resign sebagai asisten direktur dari kantornya waktu itu, Awan memang fokus mengembangkan bisnis kulinernya. Cafenya sekarang semakin ramai, omsetnya naik cukup signifikan bahkan kini dia berniat membuka cabang baru. Awan

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Cahaya Senja yang Bersinar

    Pagi ini, cahaya matahari menembus tirai putih butik “Cahaya Senja”, menimpa deretan gamis pastel yang tergantung rapi. Suara lembut lagu instrumental mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Aroma melati bercampur wangi kain baru memenuhi udara.Senja berdiri di depan kaca besar, memperhatikan pantulan dirinya yang mengenakan gamis polos berwarna dusty ungu dengan hijab senada. Dia tersenyum kecil. Siapa sangka, mimpi yang dulu hanya dia tulis di buku catatan sederhana kini sudah lebih dari tiga tahun berdiri nyata di hadapannya.“Bu Senja, ada pelanggan minta lihat koleksi limited edition yang warna dusty blue, ya,” panggil Rara, karyawan butik yang ceria.“Oke, Ra. Ambilkan yang di rak sebelah kiri, ya. Yang ada bordir di pergelangan tangan itu.”“Siap, Bu!”Sementara Rara menyiapkan pesanan, Senja menyapukan pandangan ke seluruh butik. Dinding berwarna beige lembut, logo bertuliskan Cahaya Senja dengan font elegan, dan di bawahnya tulisan kecil : ‘Setiap busana, seberkas caha

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Balasan Yang Indah

    Sore ini, cahaya jingga menyusup lembut lewat jendela kamar Abel. Di atas pangkuannya, gulungan benang warna pastel masih berantakan, tapi jarum rajut di tangannya terus menari tanpa henti. Sesekali dia berhenti untuk menarik napas, menatap hasil rajutannya yang hampir jadi. Tas kecil berwarna lavender dengan hiasan bunga di tengah.Senja duduk di kursi sebelah, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul. Pandangannya lembut menatap adiknya yang tenggelam dalam dunia benang dan pola."Rapi banget, Bel," kata Senja akhirnya, suaranya hangat tapi lirih. “Kalau aku yang buat, pasti bentuknya udah nggak karuan dari tadi.”Abel terkekeh kecil. “Mbak Senja tuh bisa apa aja, tapi rajut kayak gini emang butuh kesabaran ekstra. Aku aja dulu hampir nyerah. Cuma kan aku nggak bisa bebas kemana-mana. Makanya, mau nggak mau harus sabar dan telaten. Lagipula, dengan merajut begini hatiku terasa lebih tenang dan damai." Senja menatapnya sambil tersenyum. “Tapi kamu nggak nyerah, bahkan sekara

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Kehangatan dan Keyakinan

    Suasana masih bercampur haru dan bangga saat Senja dan Abel menatap toko baru bernama Rajutan Asa itu dari luar. Abel menatap kakaknya cukup lama. Rasa bersalah di hatinya makin meninggi. Dia benar-benar menyesal dulu sudah memperlakukan kakaknya semena-mena, memfitnah, menghina bahkan merebut calon suaminya dan mempermalukannya di depan orang banyak. Abel menitikkan air mata. Penyesalannya semakin dalam tiap kali mengingat moment itu. Mengingat sikapnya yang dulu sangat jahat dan di luar batas. Dia teramat bersyukur memiliki saudara tiri seperti Senja yang tak pernah sedikitpun dendam padanya. Bahkan, dialah orang pertama yang mendukung bakatnya. Senja pula yang sangat percaya jika dia akan sukses dengan bakat yang dia punya."Mbak, bersyukurnya aku memiliki saudara sepertimu. Kamu terlalu baik buat aku, Mbak. Sikapmu bertolak belakang denganku. Rasanya aku benar-benar malu jika mengingat kebodohan dan kejahatanku di masa lalu. Bodohnya aku tak pernah melihat kebaikan dan kelembutan

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Rajutan Asa

    Hujan baru saja reda sore ini. Udara lembap menempel di dinding rumah kecil keluarga Abel, adiknya Senja, sementara aroma kayu basah dan teh jahe dari dapur membuat suasana hangat. Di ruang tengah, Abel duduk di kursi rodanya, jarum rajut di tangannya bergerak lincah. Senyum kecil terlukis di wajahnya setiap kali satu pola selesai dengan sempurna.Benang warna pastel menumpuk di meja kecil di depannya. Ada biru muda, krem, dan ungu lembut. Warna yang jadi ciri khas karyanya. Abel membuat gantungan kunci berbentuk bunga matahari, tas rajut kecil, dan cover gelas kopi yang lucu. Semua hasil karyanya kini dijual secara online dengan nama akun @RajutanAsa.Namun titik baliknya dimulai ketika Senja, sang kakak, menatap hasil rajutan itu dan berkata,"Bel, karyamu terlalu bagus kalau cuma dilihat di rumah. Aku pajang di butik ya?"Abel sempat terdiam waktu itu. "Hah? Di butik Mbak Senja? Emangnya ada orang yang mau beli?" tanyanya ragu. Senja tersenyum lembut sambil menatap mata adiknya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status