Tentang LANGIT
~~~ "Tasya Putri Abdullah. Begitu nama lengkapnya, Pa." Langit tersenyum miring sembari menatap tajam perempuan di depannya yang mulai gelisah. Dimas tampak kaget mendengar ucapan anak semata wayangnya itu. "Kalian sudah saling kenal?" Dimas menatap Langit dan Tasya bergantian. "Oh, tentu, Pa. Kebetulan dia juniorku di kampus dulu. Silakan masuk calon Nyonya Dimas Kuncoro," ucap Langit lagi sembari mempersilakan Tasya masuk ke rumahnya. "Langit! Kenapa sikapmu aneh begitu?" Dimas mengernyit. Dia sedikit curiga dengan sikap Langit yang begitu kaku, sementara calon istrinya mendadak pias dan gelisah. "Hidangan sudah siap. Silakan dinikmati, Mama Tasya," sindir Langit lagi semakin membuat Tasya salah tingkah. "Langit! Kamu kenapa sih aneh begitu? Ada masalah?" Langit menarik kursi makan lalu mendudukinya. Dia kembali menatap papa dan kekasihnya yang duduk di seberang meja. "Nggak ada masalah kok, Pa. Sepertinya justru papa yang sedikit bermasalah." "Maksud kamu?" "Papa nggak salah memilih calon istri?" tanya Langit lagi sembari mencomot udang tepung di piring saji. "Karena terlalu muda?" "Salah satunya." "Nggaklah, Lang. Meski masih muda, seperti yang papa bilang kemarin kalau Tasya ini perempuan baik-baik, perhatian dan pekerja keras. Dia cocok menggantikan mama kamu." Langit menelan ludah lalu kembali melirik Tasya yang gelisah. Perempuan itu tak berani mendongak sedikit pun. Dia memilih menunduk atau mengalihkan pandangan tiap kali tak sengaja bersirobok dengan Langit. "Papa benar. Tasya memang seperti itu. Sejak ayahnya tiada, dia bahkan kuliah sambil bekerja untuk membantu meringankan beban hidup ibunya. Tiap pagi membantu ibunya memasak untuk jualan makanan keliling. Tiap sore sepulang kuliah sampai malam dia sibuk les privat." Dimas kembali mengernyit. Dia melirik Tasya yang tak berani sedikit pun menatap Langit. "Kalian sudah saling kenal lama?" Lagi-lagi Dimas bertanya. "Tasya ... kamu kenal Langit?" tanya Dimas cukup lembut pada calon istrinya. "Dia ...." "Aku seniornya di kampus, Pa." Langit kembali tersenyum miring sembari mengunyah udang tepung kesukaannya. "Langit kekasih saya, Mas. Tapi saya memilih mundur karena dia nyaris tak punya waktu untuk saya. Dia sibuk ke luar kota. Saya pikir, kalau sudah menikah itu harus banyak waktu untuk keluarga. Kalau dia terus begitu, saya nggak yakin hubungan suami istri akan langgeng, makanya saya memilih Mas sebagai calon suami." Tasya begitu gugup. Keringat dingin mulai menetes dari dahinya. Mendengar pengakuan Tasya, Langit terkekeh. Sementara Dimas masih shock dan mencoba menetralkan gemuruh di dadanya yang berdentum tak karuan. "Memilih mundur, putus maksudmu?" Tasya hanya mendongak sekilas tanpa menjawab apapun pertanyaan Langit barusan. "Oke, anggap saja kita sudah putus karena kamu ingin mengejar masa depanmu. Begitu bukan?" sindir Langit lagi membuat Tasya tersedak seketika. Dimas buru-buru memberikannya segelas air putih lalu mengusap punggungnya pelan. "Seharusnya kamu lebih terbuka, Lang. Nggak sepantasnya kamu sindir-sindir Tasya begitu. Kalau memang kalian sudah putus, nggak ada salahnya Tasya bersama papa kan?" Dimas menimpali. Tasya cukup kaget mendengar jawaban calon suaminya itu, sementara Langit hanya tertawa pelan. Langit teramat kecewa melihat sikap kekasihnya yang ternyata di luar dugaan. Lebih kecewa lagi saat papanya seolah tak peduli dengan masa lalu gadis itu, sekalipun dia pernah menjalin asmara dengan anak kandungnya sendiri. "Papa yakin kalau kami sudah putus?" "Tadi Tasya bilang kalau dia memilih mundur. Itu artinya dia minta putus kan? Lagipula alasannya sudah jelas, Lang. Kamu memang sibuk dan nggak punya banyak waktu untuk dia, sementara papa nggak punya kesibukan apa-apa sekarang." "Papa nggak sibuk karena semua tugas itu sekarang ada di pundakku. Sekarang papa sadar kan, gimana perasaanku dan mama dulu saat papa sibuk kerja dan dinas ke luar kota? Beruntung mama tetap setia dan tak memilih berpisah." "Langit!" sentak Dimas kemudian. Tasya menarik pelan lengan calon suaminya saat laki-laki itu mendadak berdiri sembari menuding anaknya. "Dia masih terlalu muda untuk menjadi istri papa. Bahkan usianya tiga tahun di bawahku, Pa. Lebih baik papa pikir-pikir lagi sebelum menyesal di kemudian hari." "Papa nggak akan menyesal, Lang. Tasya adalah pilihan terbaik. Suka atau tidak, kamu harus menerima." Tasya menoleh saat mendengar keputusan Dimas detik ini. Begitu pula Langit yang tampak semakin kesal dan kecewa. "Mama pasti kecewa jika penggantinya ternyata seusia anaknya," balas Langit sembari melipat tangan ke dada. Dia kembali menatap Tasya dan papanya yang saling tatap. "Mama kamu sudah pergi. Dia nggak mungkin kecewa ataupun sakit hati." "Oke. Terserah papa. Semoga saja perempuan yang papa anggap terbaik ini benar-benar bisa setia mendampingi papa sampai tutup mata." "Kamu kenapa, Lang? Iri sama papa karena lebih dipilih Tasya? Iya?!" Kali ini Dimas mulai meninggikan suaranya. "Buat apa iri, Pa? Perempuan di luar sana banyak yang lebih baik dan setia. Mana mungkin aku iri sama papa hanya karena perempuan seperti dia," tunjuk Langit dengan santainya. Dia sengaja tak meluapkan emosinya agar Tasya semakin gelisah dan merasa bersalah. Jelas-jelas mereka belum ada kata putus, bahkan kemarin masih telepon dan bertukar pesan. Bisa-bisanya Tasya mendua di saat Langit berusaha menata masa depannya hanya demi dia. "Maksudmu Tasya nggak baik dan nggak setia?" "Tepat. Sepertinya ikon perempuan baik, setia dan tak materialistis itu tak bisa disematkan padanya lagi. Semua sudah berubah. Kamu kenapa, Mama Tasya? Apakah hidupmu akhir-akhir ini terlalu banyak drama sampai akhirnya memilih papaku, duda tua yang memiliki banyak harta itu?" tanya Langit dengan senyum sinis. "Cukup, Mas! Kamu benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya menuduhku seperti itu." "Oh, aku keterlaluan?" tunjuk Langit pada dirinya sendiri. "Keterlaluan bagaimana? Apa karena kekasih yang selama ini kupikir setia, sederhana dan tak memandang seseorang hanya dari hartanya itu, ternyata sama saja dengan perempuan lainnya yang materialistis?" "Setiap perempuan berhak menata masa depannya, Mas. Dia berhak memilih siapa yang pantas dan siapa yang tak pantas menjadi suaminya. Kita hidup di dunia nyata yang tak pernah lepas dari harta benda. Sandang, papan, pangan, pendidikan semua butuh uang. Mana ada perempuan yang mau hidup hanya dengan cinta dan halusinasi belaka. Nggak ada!" Langit kembali tertawa. Tak selang lama tawanya terhenti lalu menatap tajam Tasya yang kini mulai berani menatap kedua matanya. "Apa kurang banyak pengorbananku untukmu selama ini?" tanya Langit tanpa berkedip. "Wajar seorang lelaki berjuang untuk kekasihnya. Semua perempuan butuh diperjuangkan. Semua perempuan materialistis karena mereka sadar jika hidup di dunia tak cukup bermodal cinta." "Memang benar, tapi banyak di antara mereka yang nggak mabuk harta sepertimu. Aku cukup tahu alasanmu memilih papaku, Tasya. Aku bukan lelaki bodoh." "Cukup! Maksud kamu apa ngomong begitu? Kamu pikir papa bodoh?!" Dimas tak terima. Sedari tadi dia berusaha mencerna apa yang sedang diributkan anak dan calon istrinya itu. Dia pikir dengan diam, mereka bisa menyelesaikan masalah itu dengan kepala dingin. Nyatanya justru semakin memanas bahkan nyaris meledak. "Kalau memang ada perempuan yang begitu setia, sederhana dan tak materialistis seperti yang kamu bilang, tunjukkan, Mas! Bawa ke hadapanku, seperti apa sosok itu. Jangan sampai kamu hanya mendapatkannya lewat mimpi. Nggak ada perempuan spek bidadari seperti yang kamu katakan tadi." Langit kembali tersenyum sinis. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu pergi keluar rumah begitu saja. Perasaannya campur aduk. Langit butuh ketenangan dan itu tak akan dia dapatkan di rumah itu. Rumah yang dulu menjadi tempat yang paling dia rindu, kini berubah menjadi tempat yang paling dia benci. ***Tentang LANGIT ~~~"Kamu sudah dewasa, Lang. Bukan anak kecil lagi. Kenapa nggak bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Bukannya dulu kamu sempat bilang kalau kekasihmu pekerja keras, baik dan nggak pernah neko-neko. Itu artinya penilaian kamu sama papa nggak ada bedanya. Kita menilai orang yang sama. Bagaimana mungkin sekarang penilaianmu berbanding terbalik setelah tahu Tasya memilih papa dibandingkan kamu?" Langit menghela napas panjang. Dia benar-benar tak menyangka jika papanya yang begitu bijak dan cermat itu terlalu gegabah memilih pendamping hidup. "Papa sudah memutuskan kalau Tasya akan tetap menjadi pengganti mama kamu. Kalau kamu nggak suka, hidup mandiri di luar jauh lebih baik daripada terus menyudutkan papa dan Tasya. Bukankah papa sudah membekalimu ilmu? Seharusnya kamu berani berdiri sendiri dan buktikan kalau kamu bisa sukses dengan caramu sendiri." Kalimat panjang itu tak mendapatkan balasan apapun dari Langit. Dia hanya menatap papanya beberapa saat la
"Hanya ada uang empat ratus ribu, Pak. Maaf kalau saya belum mempersiapkan mahar terbaik untuk Senja." Langit mengambil empat lembar uang seratus ribuan itu lalu menyimpan kembali dompetnya ke saku celana. "Nggak apa-apa. Yang penting ada maharnya. Kalau Senja gimana? Ridho dengan mahar itu? Yakin kalau pernikahan ini tak salah?" Penghulu yang sedari tadi menyaksikan keributan di rumah itu pun ikut berkomentar. "InsyaAllah yakin, Pak. Saya ridho dengan mahar apapun dan berapapun. Lagipula bukankah sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah atau ringan?" Senyum tulus Senja kembali membuat dada Langit berdebar. "Kamu benar. Setidaknya bukan hal yang menyulitkan salah satu pihak." Penghulu kembali menimpali. Anwar pun mengangguk. "Memang beda ya, mahar yang dibawa Adi itu satu motor dan perhiasan 20 gram," bisik salah seorang kerabat. "Abel cantik, wajar Adi membuktikan cintanya dengan mahar yang pantas," sahut yang lain. "Lagipula Adi memang niat menikahi Abel, dia menikah
Akad nikah usai. Penghulu meminta mempelai perempuan untuk mencium punggung tangan suaminya masing-masing sebagai bentuk penghormatannya setelah sah berstatus istri. "Untuk mempelai perempuan silakan cium tangan suaminya," perintah penghulu pada kakak beradik itu. Abel yang terbiasa mesra dengan Adi pun tak ada canggung-canggungnya. Abel buru-buru menarik dan mencium punggung tangan suaminya. Sepasang suami istri tertawa bersama seolah kebahagiaan itu hanya milik mereka berdua. "Akhirnya sah. Nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi ya, Mas." Senja melirik Abel yang berbisik ke telinga suaminya. Meski sudah memiliki kehidupan masing-masing, wajar jika Senja masih sesakit itu tiap kali mengingat pengkhianatan orang-orang yang disayanginya. "Aku seneng banget bisa sah menjadi istrimu, Mas. Kelak kita akan melahirkan anak-anak yang cantik dan tampan." Adi mengangguk lalu mencium pipi istrinya, sementara Senja masih terdiam. Dua kali penghulu memanggil namanya, dua kali pula Senja masih m
"Kalian pulang saja. Aku akan baik-baik saja di sini. Jangan bikin mereka curiga," ujar Langit setengah berbisik pada asisten dan body guardnya. Kedua laki-laki itu memang selalu setia menemani Langit ke mana-mana. Maklum, selain putra tunggal pengusaha properti yang cukup ternama, sekarang Langit juga tak kalah populer. Oleh karena itulah harus ada yang menjaganya ke sana-sini, khawatir ada orang jahat ataupun suatu hal yang tak diinginkan terjadi. Setelah tiga tahun pergi dari rumah, Langit memang mengikuti jejak papanya, meski mengambil dari jenis properti yang berbeda. Dimas Kuncoro lebih memilih mengembangkan tempat penginapan, rumah toko (ruko) dan sewa-menyewa tanah, sementara Langit fokus pada pembangunan perumahan minimalis dan rumah susun syariah. Langit sengaja mengembangkan bisnis ini untuk mereka yang ingin memiliki tempat tinggal dengan cara kredit, tapi berbasis syariah demi menghindari riba. Berawal dari makelar tanah, rumah dan lainnya, kini benar-benar menjadi pen
Langit termenung beberapa saat setelah melihat kamar Senja yang cukup jauh berbeda dibandingkan kamar Abel. Kamarnya tak terlalu luas dengan ranjang kecil di sebelah kiri yang tak mungkin muat untuk berdua. Di bagian kanan ada meja kecil dan kursi lalu lemari kayu yang sudah pudar warnanya.Keadaan kamar yang teramat berbeda saat dia tak sengaja melihat kamar Abel terbuka. Dari ukuran kamarnya saja dia lebih luas. Ada ranjang yang muat berdua, lemari lumayan besar dengan meja rias yang cantik. Di sebelah ranjang ada jendela kecil cocok untuk pertukaran udara sekaligus mempercantik kamar. "Kenapa melamun, Mas? Mas nggak ke masjid?" tanya Senja sembari mengambil mukena dari lemarinya. Langit menggeleng pelan. "Maaf, Mas sholat lima waktu juga kan?" Kali ini Langit mengangguk. "Alhamdulillah, syukurlah. Aku takut banget kalau mas jarang shalat, padahal shalat adalah amal pertama yang akan dihisab kelak." Senja tersenyum. Dia teramat lega setelah tahu kalau suaminya sholat lima waktu
"Total pengeluarannya berapa, Di? Nggak usah dibagi dua. Aku ada uang, biar aku saja yang menanggung semuanya. Nanti kutransfer ke rekening kamu, gimana?" ujar Langit kemudian. Pertanyaannya itu justru membuat mertua dan adik iparnya itu shock seketika."Lihat deh, Mas. Belagu banget dia," cibir Abel masih tak percaya jika Langit benar-benar punya uang dan bisa membayar semuanya sendiri. "Totalin semua, Mas. Biar aja dia cari pinjaman. Salah sendiri sok paling berduit." Abel kembali melirik kesal. "Benar kata Abel, Di. Totalin semua. Nggak apa-apalah Senja sama Langit yang bayar acara sederhana hari ini. Paling juga nggak seberapa dibandingkan acaramu di gedung nanti. Lumayan kan bisa buat tambah sewa perias pengantin atau apa." Susan yang sedari tadi diam pun ikut menimpali. "Lang, kalau memang belum punya uang, nggak apa-apa biar Abel sama Adi dulu yang nanggung." Anwar menimpali. Dia tak tega jika melihat anak dan menantunya harus cari pinjaman ke sana-sini. "Nggak apa-apa, Pa
"Mas, kamu tidur di ranjang ya. Aku tidur di bawah pakai kasur lantai. Kalau berdua di ranjang jelas nggak cukup." Senja tersenyum tipis pada suaminya yang masih duduk di tepi ranjang. Tak berapa lama, kasur lantai itu pun direntangkan di lantai. Senja mengambil sebuah bantal di ranjang lalu meletakkannya di ujung kasur. "Kamu yang tidur di ranjang. Aku sudah terbiasa tidur di bawah." Langit menarik pelan lengan istrinya. Tak mampu menjaga keseimbangan, Senja oleng dan menindih Langit yang sama-sama terjatuh di ranjang. Mereka saling tatap dalam jarak teramat dekat bahkan hembusan napasnya pun terasa hangat di wajah. Senja mengerjap pelan lalu berusaha bangkit. Sayangnya, tangan Langit justru kembali menekan punggung istrinya sampai tak mampu bergerak. Langit tersenyum melihat wajah Senja yang makin lama makin memerah karena malu. Dia bahkan tak berani membuka mata, lebih memilih menutup kedua matanya dengan telapak tangan. "Kamu mau ngapain sih, Mas? Jangan aneh-aneh." Getar sua
"Kenapa dimatikan, Mas? Beneran nggak penting?" Lagi-lagi Langit menggeleng lalu membaca pesan yang baru saja terkirim di aplikasi hijaunya. Pesan yang membuatnya shock seketika. [Lang, ini Om Erwin, sahabat papamu. Ada masalah serius dan kamu harus segera pulang.] Langit terdiam sejenak lalu menghela napas panjang. Rasa kesal, kecewa dan benci itu masih tampak jelas di raut wajahnya yang tampan. Tiga tahun berlalu, tapi rasa itu belum sepenuhnya padam. Langit hanya kecewa mengapa papanya lebih memilih perempuan muda bahkan mantan kekasih anaknya sendiri sebagai pengganti mamanya. Untuk cinta, Langit tak lagi merasakannya. Dia bahkan jijik tiap kali mengingat perempuan itu. "Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanya Senja lirih. Dia merasa ekspresi suaminya berubah saat menerima pesan beberapa detik lalu. Langit mengerjap lalu kembali seperti semula yang seolah tak terjadi apa-apa. "Kamu baik-baik saja, Mas?" ulang Senja. "Iya, Sayang. Aku baik-baik saja." Langit tersenyum sembari me
"Kenapa diam saja?" Langit bertanya lembut saat sepasang suami istri itu meninggalkan area rumah sakit. "Nggak apa-apa." Senja tak menoleh, dia memilih menatap ke luar jendela. Meski tak ingin membuat suaminya kesal dengan sikapnya, tapi untuk pura-pura baik-baik saja memang tak semudah itu. "Justru nggak apa-apa itu berarti ada apa-apa. Ayo ngomong kenapa diam seperti itu?" Lagi-lagi Langit sengaja pura-pura tak tahu apa alasan istrinya terlihat begitu kesal. "Katanya nggak bisa pulang sampai beberapa hari ke depan. Kenapa sekarang pulang?" "Memangnya nggak suka kalau suaminya pulang? Katanya kangen?" Langit tersenyum tipis, sementara Senja hanya memanyunkan bibirnya. "Sekarang ke salon dulu, gimana?""Mau ngapain ke salon? Dari dulu nggak pernah nyalon," balas Senja lagi. "Justru karena itu, mulai sekarang boleh ke salon kapanpun kamu mau, Sayang." "Nggak ah, nanti duit kamu habis. Kan katanya gaji supir nggak terlalu banyak," sindir Senja sembari melirik suaminya. Langit k
"Kenapa, Mas? Mas Langit sibuk? Nggak balas pesan?" Senja ikut bertanya saat melihat Bayu yang duduk di depannya tampak gelisah. "Mungkin sedang rapat, Mbak. Jadi, handphonenya dimatikan." "Rapat? Oh, seorang supir ikut rapat juga?" sindir Senja sembari menghela napas panjang. Wajah Bayu dan Bagas ikut menegang mendengar sindiran itu. Mereka tahu jika saat ini perasaan Senja memang campur aduk. Tak biasanya dia bicara seketus itu pada mereka. "Gimana?" Bagas menggerak-gerakkan bibirnya agar tak terdengar oleh Senja dan Anwar. Bayu menggeleng pelan sambil bilang," Ceklis satu." Setelah itu keduanya sama-sama menghela napas panjang. Sampai rumah sakit, Senja membantu bapaknya turun lalu duduk di kursi roda. "Makasih sudah mengantar kami, Mas. Pulangnya nggak usah ditunggu atau dijemput, kami bisa pulang sendiri. Sekali lagi terima kasih," ujar Senja sembari sedikit membungkukkan badan. Senyum yang biasanya selalu terlukis di bibirnya tiap kali, kini seolah hilang seketika. Bayu
"Mas kenal dengan perempuan ini? Apa mereka memang punya hubungan dekat sebelumnya?" tanya Senja sembari menunjukkan foto itu pada Bayu. Bayu tercekat. Dia menelan ludah seketika lalu melirik Bagas yang masih fokus pada gagang stirnya. "Kenal, Mas? Siapa dia?" ulang Senja membuat Bayu menghela napas panjang. "Mantan kekasihnya Mas Langit, Mbak. Tapi mereka sudah nggak berhubungan kok. Sudah putus tiga tahun lalu. Mereka-- "Oke, Mas. Makasih infonya ya." Senja menarik handphonenya yang terulur ke arah Bayu lalu kembali menyandarkan badannya ke sofa. Mendengar kata mantan kekasih, pikiran Senja semakin kemana-mana. Senja semakin merasa jauh dan asing karena tak mengenali siapa suaminya sendiri. Jangankan soal hidupnya di masa lalu, bahkan hidupnya saat ini pun Senja tak tahu. Dia hanya bisa meraba-raba, menduga lalu bertempur dengan perasaan dan hatinya sendiri yang tak setuju dengan prasangka itu. Terlalu banyak hal yang mencurigakan dan memang pantas dipertanyakan, tapi tiap kal
"Sarapan dulu, Pak. Setelah ini Senja ajak bapak kontrol ya?" ujar Senja saat menyiapkan sarapan di meja makan. Susan muncul dari kamar sembari membenarkan kuncir rambutnya yang panjang. "Masak apa kamu?" tanya Susan singkat lalu mengambil air dingin di kulkas. "Masak sayur bayam sama ayam goreng, Bu. Ada tempe sama tahu goreng juga itu.""Suamimu nggak pulang semalaman?" bisik Susan semakin penasaran. Senja menoleh lalu menggeleng pelan. "Lihat tuh, Pak. Menantu kesayangan bapak itu benar-benar nggak pulang semalam. Jangan-jangan dia memang punya pekerjaan lain atau-- "Mas Langit memang banyak urusan, Bu. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dulu, setelah selesai dia baru pulang. Mungkin sampai beberapa hari ke depan. Ibu tenang saja, semalam Senja sudah tanya soal pekerjaan Mas Langit. Dia bilang kerjaannya halal kok, bahkan dia bersumpah nggak akan kasih istri dan anaknya duit haram. Ibu jangan terlalu banyak pikiran, takutnya tensi ibu naik lagi." Senja menoleh sesaat lalu kemb
"Aku berangkat dulu ya, Bu. Nanti pulangnya kubawakan oleh-oleh deh." Abel berpamitan pada ibu dan bapaknya. Dia bilang mau honeymoon di Bali bersama sang suami. "Jangan iri ya, Mbak. Aku mau honeymoon, sementara kamu malah ditinggal suami kerja. Mau kasihan, tapi gimana namanya cari duit kan nggak apa-apa. Daripada nggak punya duit, nggak ada salahnya kerja meski baru saja akad nikah." Abel kembali melirik sinis lalu menggamit lengan suaminya. "Kamu juga hati-hati, Bel. Jangan terlalu foya-foya, takutnya suamimu banyak hutangnya. Sesuaikan sama pendapatan suami. Jangan besar pasak daripada tiang nanti roboh rumahmu." Senja menyahut. Dia sudah bertekad tak akan mengalah lagi pada adiknya. Terlalu banyak pengorbanannya selama ini, tapi tak sedikitpun dianggap ada. Sudah saatnya memberontak daripada terus diinjak. Senja merasa, sesekali Abel memang harus di-skak. "Mbak! Suamiku nggak seperti suamimu yang supir itu ya!" sentak Abel lagi lalu menoleh pada suaminya yang hanya tersenyum
[Mas, sudah bangun? Hampir subuh] Sebelum adzan subuh berkumandang, Senja sudah mengirimkan pesan pada suaminya. Seolah seperti alarm yang mengingatkannya tentang shalat. Langit meraba handphone yang dia letakkan di atas meja di samping pembaringan. Kedua matanya masih memicing sembari menyalakan lampu utama. Saat melihat pesan dari istrinya, kedua matanya berbinar. Kantuk yang sedari tadi menyelimuti kelopak matanya mendadak hilang seketika. [Baru bangun, Sayang. Dengar pesan dari kamu ini jadinya kebangun. Ada apa, Sayang? Kangen?] Langit membalas pesan itu dengan hati berbunga. Meski dia tahu, Senja belum sepenuhnya mencintainya dan sikap-sikapnya selama ini hanya bentuk baktinya pada suami, tapi Langit yakin dengan ketulusannya hati Senja akan luluh juga. [Sedikit sih, Mas. Jangan lupa shalat subuh berjamaah di masjid ya, Mas. Entah mengapa hatiku sedikit tak tenang. Kamu baik-baik saja di sana kan, Mas?] Lagi-lagi Langit tersenyum saat membaca balasan dari istrinya itu. Har
"Woi! Ngapain kamu di situ?! Keluar!" sentak Langit saat melihat Tasya masuk ke kamarnya lalu menutup pintu rapat. Dia teramat kaget. Baru saja meletakkan handphonenya kembali ke atas meja, tiba-tiba muncul perempuan yang teramat dibencinya itu. Tasya masih berdiri di tempat. Dia tersenyum tipis dan tak mempedulikan perintah Langit barusan. "Keluar kubilang! Jangan gila!" sentak Langit sembari menuding wajah Tasya yang semakin mendekat. Perempuan itu semakin menjadi. Langit benar-benar tak mengerti mengapa perempuan yang dulu dicintainya itu berubah sedrastis ini. Bahkan dia seperti tak mengenali Tasya lagi. Sikapnya berubah. Tak lagi lembut seperti dulu. Tak lagi kalem dan sopan, tapi sebaliknya. Kini Langit mulai berpikir apakah dulu Tasya hanya bersandiwara di depannya, atau memang inilah sifat aslinya? Entah. "Mau ngapain kamu?!" Langit melipat kedua tangannya ke dada sembari menatap lurus ke depan. Tasya tak membalas pertanyaan-pertanyaannya. Wajahnya memerah, marah. Dia ce
"Assalamualaikum, Mas. Kamu beneran nggak pulang malam ini?" Suara merdu Senja terdengar dari seberang. Langit tersenyum sembari memperbaiki letak tidurnya agar lebih nyaman. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Iya, malam ini belum bisa pulang. Ada pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan. Sepertinya tak hanya malam ini, Sayang, tapi sampai beberapa hari ke depan aku belum bisa ke rumah. Ada banyak masalah yang harus aku selesaikan. Aku janji setelah semua kelar, aku akan pulang secepatnya. Kamu nggak apa-apa kan kutinggal sendiri?" Langit merasa sangat bersalah pada istrinya, tapi apa mau dikata. Dia juga tak mungkin membiarkan masalah papanya melebar kemana-mana. Langit akan mengurus dan menyelidiki apa yang terjadi setelah kepergiannya. Dia yakin ada dalang di balik ini semua. "Kenapa diam? Kamu kecewa ya sama aku?" lirih Langit yang merasa ada hal tak mengenakkan pada istrinya. Wajar jika Senja berpikir macam-macam padanya karena dia memang belum tahu siapa Langit, bahkan mereka menikah seo
Mobil merah yang dikendarai Tasya berhenti di garasi rumah mewah itu. Perempuan itu tercekat saat melihat Langit masih berdiri di ambang pintu. Tiga tahun tak pernah melihat mantan kekasihnya itu membuat Tasya merasa bersalah. Tak dapat dipungkiri jika di dalam hatinya masih menyimpan rasa cinta. Hanya saja, dulu dia pikir Langit tak sekaya yang dibayangkannya. Dia tak tahu jika Langit adalah putra tunggal Dimas Kuncoro, pengusaha ternama yang akhirnya menjadi suaminya. Tasya keluar dari mobil dengan high heels merahnya. Serasi dengan pakaian dan tasnya. Senyum tipis terukir di kedua sudut bibirnya. Dress di atas lutut melambai seiring dengan gerak langkahnya. "Mas, apa kabar?" tanya Tasya sembari mengulurkan tangan mulusnya. Langit hanya tersenyum miring sembari melipat tangannya ke dada. Dia tak menyangka jika perempuan yang dulu begitu dicintainya, perempuan baik-baik dan begitu lembut, tak pernah neko-neko bahkan selalu berpakaian sopan itu berubah cukup drastis pasca tiga tah