Siang ini Langit pulang untuk makan siang bersama istrinya. Sejak kehamilan Senja mulai bertambah, Langit memang tak mengizinkannya ke kantor. Langit tak ingin istrinya kecapekan yang akan berpengaruh pada perkembangan janin di dalam kandungannya. "Mau makan sekarang, Mas?" tanya Senja setelah suaminya ganti baju biasa. "Boleh, Sayang. Masak apa?" Langit mencium kening Senja lalu mengajaknya ke meja makan. "Soto, sate telur puyuh sama tahu tempe saja, Mas. Katanya masak apapun yang aku suka nanti mas juga suka," balas Senja sembari mendongak, menatap suaminya lekat. Langit pun menatapnya dengan senyum tipis. Seperti biasa, Langit kembali mencium istrinya dan mengusap puncak kepalanya pelan sembari melangkah ke ruang makan. "Iya, Sayang. Masaknya sesuai yang kamu suka dan pengin saja. Pokoknya apapun yang kamu masak, kusuka." Langit kembali tersenyum. Dia menarik kursi lalu membantu istrinya duduk di kursi makan. "Enak banget bau sotonya. Ini kamu masak sendiri, Sayang? Nggak dib
"Ngapain bapak datang ke sini?" Langit terlihat tak begitu ramah pada tamunya kali ini. Tatapannya tajam, sementara laki-laki yang kini duduk di depan meja kerjanya itu hanya menunduk. Dia masih diam lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya saya tak ingin ikut campur urusan bapak dengan adik ipar saya, tapi sebagai laki-laki saya hanya ingin bapak sedikit bertanggungjawab atas ini semua. Adik ipar saya memang salah karena sudah menyakiti istri bapak, merusak rumah tangga yang sudah kalian bangun bertahun-tahun, tapi semua itu tak akan terjadi jika bapak tak menanggapi. Jadi, kenapa sekarang seolah balasan itu hanya ditimpakan pada Abel? Sementara bapak lepas tangan begitu saja. Paling tidak, bapak minta maaf pada orang tua Abel atau menjenguk Abel meski untuk terakhir kalinya. Kesalahan itu terjadi karena kalian berdua, bukan hanya sepihak saja." Langit kembali menyandarkan punggungnya ke kursi kerjanya. "Saya tak bermaksud membela Abel, tak pula memaksa bapak untuk bertanggungjawa
"Kita mau tinggal di mana, Pak? Rumah itu satu-satunya tempat tinggal yang kita punya." Susan tergugu di tepi ranjang kamar tamu rumah Langit. Anwar yang baru datang pun berusaha menenangkan, meski batinnya sendiri sangat gelisah dan bingung. Sebagai kepala keluarga, selama ini Anwar sadar tak bisa menjalankan perannya dengan maksimal. Kakinya sering kali tak bisa diajak kompromi. Sekalipun sekarang Senja sudah mapan, Anwar juga tak ingin terus menerus merecoki kehidupan anaknya. "Bu, Pak, kalau tanah bekas rumah kebakaran kita jual saja bagaimana? Hasilnya nanti buat modal usaha. Mas Langit bilang masih ada sisa dua unit di perumahan pertama cinta. Ibu dan bapak bisa tinggal di sana. Nanti malah dekat dengan papa," ujar Senja setelah berunding dengan suaminya di kamar. Anwar kaget mendengar solusi dari anak sulungnya itu. Susan pun terkejut dan tak menyangka jika menantu dan anak tirinya itu langsung memberikan tempat tinggal untuk mereka. Susan pikir, Langit tak akan seroyal it
"Kamu! Semua gara-gara kamu! Kamu membuatku seperti ini!" Abel menunjuk Senja yang hampir sampai di dekatnya.Melihat adiknya semurka itu, Senja menghentikan langkah. Dia tak ingin mendekat sebab takut jika Abel kembali mengamuk dan melemparinya barang ini dan itu."Dasar perempuan sialan! Kamu sudah menghancurkan hidupku! Aku benci kamu! Kamu!" Tiba-tiba Abel menjalankan kursi rodanya ke arah Senja.Abel menabrak Senja begitu ganas sampai membuatnya kesakitan. Lutut Senja tertabrak kursi roda sampai membuatnya sedikit pincang."Mbak Senja nggak apa-apa?" Bayu yang baru keluar dari toilet buru-buru membantu istri bosnya itu."Senja, sini sama papa!" panggil Dimas yang kini duduk di sofa panjang."Senja, maafkan Abel ya? Dia--Senja mengangguk saat ibu tirinya itu minta maaf atas sikap Abel padanya. Dia sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan ibunya saat ini. Senja tahu sebagian pikiran ibunya memikirkan rumahnya yang terbakar, sementara bagian lain cukup pusing dan shock melihat ke
"Ada apa, Han? Apa ada sesuatu?" tanya Senja yang kini berdiri lalu melangkah perlahan mendekati tetangga sekaligus sahabatnya itu."Kebakaran, Ja. Kebakaran," ujarnya begitu panik. Mendengar kata itu pun Senja ikut kaget."Kebakaran di mana, Na?" Senja ikut panik melihat mimik wajah tetangga sekaligus sahabatnya itu yang tak biasa.Para tamu yang masih menikmati hidangan di rumah Langit pun mulai gempar mendengar kabar itu. Mereka saling bisik dan tanya kebakaran dimana."Yang tenang, Na. Kebakaran di mana?" Kali ini Anwar yang bertanya. Dia ikut panik saat mendengar cerita singkat dari tetangganya itu."Rumah kita kebakaran, Paman. Maafkan ibu ya, Paman. Ibu lupa mematikan kompor sebelum pergi. Tadi kami baru separo perjalanan langsung ditelepon suruh balik sama Pak RT. Apinya sudah merembet ke rumah paman sama rumah Bi Salma. Sepertinya korsleting listrik juga." Hana menitikkan air mata saat menceritakan musibahnya."Innalilahi wainnailaihi roji'un. Semua terbakar habis, Na?" Anwar
"Alhamdulillah, malam ini kita bisa berkumpul di sini, Pak, Bu. Saya dan istri saya, Senja mengucapkan terima kasih sekali karena bapak dan ibu menyempatkan waktu untuk menghadiri syukuran kecil-kecilan empat bulanan buah hati kami tercinta. Semoga pertemuan malam ini membawa keberkahan untuk kita bersama." Ustadz Ibrahim mengaminkan, disusul oleh para tamu itu. Beberapa tetangga dan karyawan di kantor Dimas yang belum pernah melihat Senja pun saling bisik. Mereka memuji keanggunan dan kecantikan istri Langit itu. Namun, beberapa orang justru salah fokus dengan kehadiran Abel di kursi rodanya. Setelah memberikan sambutan singkat, Langit mempersilakan Ustadz Ibrahim untuk melanjutkan acaranya. Ustadz Ibrahim mengajak semua yang hadir di rumah itu untuk bershalawat bersama lalu membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Setelahnya, ustadz Ibrahim memberikan tausiyah singkat tentang kehamilan sesuai dengan Qur'an dan Sunnah. "Seperti yang kita tahu dalam surah Al-Mu’minun ayat 12-14 Allah