Share

BAB 6 Hanya Sopir?

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2025-04-29 16:52:43

"Kalian pulang saja. Aku akan baik-baik saja di sini. Jangan bikin mereka curiga," ujar Langit setengah berbisik dua pria yang sejak tadi mendampinginya.

Dua pria itu rupanya merupakan asisten dan bodyguardnya.

Kedua laki-laki itu memang selalu setia menemani Langit ke mana-mana. Langit sendiri adalah putra tunggal pengusaha properti yang cukup ternama, sekaligus seorang CEO perusahaan yang ia bangun sendiri.

Setelah tiga tahun pergi dari rumah, Langit memang mengikuti jejak papanya, meski mengambil dari jenis properti yang berbeda. Dimas Kuncoro lebih memilih mengembangkan tempat penginapan, rumah toko (ruko) dan sewa-menyewa tanah, sementara Langit fokus pada pembangunan perumahan minimalis dan rumah susun syariah.

Langit sengaja mengembangkan bisnis ini untuk mereka yang ingin memiliki tempat tinggal dengan cara kredit, tapi berbasis syariah demi menghindari riba. Berawal dari makelar tanah, rumah dan lainnya, kini benar-benar menjadi pengusaha sukses seperti sekarang.

"Mas Langit yakin nggak apa-apa kalau kami tinggal sendiri di sini?" bisik Bayu, bodyguard Langit.

"Yakin. Ada istri yang akan menjagaku dengan baik." Langit tersenyum.

Bayu dan Bagas saling toleh lalu menghela napas panjang. 

Langit tertawa mendapati respons tersebut. Sejak ia keluar dari rumah, kedua orang itulah yang mendampingi perjuangan Langit.

"Makanya jangan jadi bujang lapuk. Nikah sana!" goda Langit yang dibalas dengan cibiran kecil oleh dua karyawan terbaiknya itu.

"Sombongnya bos kita, Bay. Baru nikah beberapa jam lalu sudah belagu begini. Belum tentu nanti Mbak Senja mau diajak malam pertama," sindir balik Bagas, asisten sekaligus supir pribadi Langit.

Kedua laki-laki di depan Langit itu pun tertawa bersama, sementara Langit hanya meringis kecil.

"Pelan-pelan, Mas. Kalau terburu nafsu, bukannya luluh malah tremor dan trauma." Bagas kembali meringis kecil.

"Berisik kalian berdua. Pulang sana. Jaga rumah, jangan lupa kunci pintu. Besok pagi ke sini lagi sekalian bawa sebagian baju-bajuku."

"Berapa stel, Mas?" tanya Bagas memastikan.

"Eh, jangan ambil baju dari rumah. Semuanya branded,” tegur Langit. Ia sengaja menyembunyikan statusnya. “Belikan beberapa pasang. Yang biasa saja, asal enak dipakai.”

Menurutnya, semua hinaan yang tadi diterima oleh istrinya, harus dibalas dengan setimpal.

Bayu dan Bagas kembali saling tatap. Mereka tahu apa yang kini berkecamuk di benak bosnya.

"Kalian boleh ikut ambil berapapun, anggap saja ucapan terima kasih sudah meminjamkan kemeja ini untukku,” ujar Langit sembari mengusap kemeja batik yang dikenakannya. Itu adalah kemeja kesayangan Bagas yang memang dibawa kalau-kalau harus menghadiri acara penting bosnya. 

Lalu, ekspresi Langit kembali serius dan mengintimidasi saat menambahkan, “Ingat, jangan sampai bocor."

"Beli berapa stel, Mas?" tanya Bagas lagi. 

"Lima kaos, dua kemeja, tiga celana panjang dan dua celana pendek di bawah lutut. Jangan lupa celana dan kaos dalamnya. Sekalian sandal jepit, handuk dan semuanya."

"Jas, dasi, sepatu nggak beli, Mas?" Bayu menyikut lengan Bagas agar tak terlalu banyak tanya. Menurut Bayu, sebagai asisten pribadi, seharusnya Bagas sudah bisa mengira apa saja yang harus disiapkan untuk bosnya demi penyamarannya.

"Untuk sementara barang seperti itu nggak diperlukan."

"Ambil duit di ATM biasa. Ohya, sekalian belikan istriku perhiasan. Cincin sama kalung."

"ATM Kita sisa tujuh jutaan, Mas. Mas Langit belum isi lagi," ujar Bagas mengingatkan.

"Iya, nanti ditambah isinya. Sudah pulang sana. Aku mau ngobrol sama istri."

"Mas, soal cincin, kita mana tahu ukuran jarinya." Bayu menyahut.

"Benar juga, Mas. Kalau kekecilan atau kebesaran gimana?" timpal Bagas dengan wajah polosnya.

"Pokoknya harus pas. Dikira-kira saja, jangan banyak tanya. Kalau nggak pas, potong gaji," balas Langit yang dibalas Bagas dengan mengomel pelan.

"Kalian ngapain ngobrol di situ?" tanya Adi dan Abel yang keluar rumah bersama dua temannya. Mereka sengaja mengantar dua lelaki itu sampai teras saat mereka pamit pulang.

"Oh, kita bahas–”

"Kalian bukan mafia kan? Atau preman? Buronan? Mantan napi?" cecar Abel curiga dengan tiga laki-laki gagah yang ngobrol di samping gerbang.

"Mana mungkin, Mbak. Kami orang baik-baik dan punya pekerjaan halal. Jangan mengada-ngada." Bagas mendengkus kesal.

"Mana kita tahu. Kenal juga baru siang tadi kan?" Abel melipat tangan ke dada sembari menatap tajam tiga laki-laki itu kembali.

"Pekerjaan kami jelas, Mbak. Saya supir–”

"Oh, kalian bertiga supir?" Belum selesai bicara, kalimat Bagas kembali dipotong oleh Abel. Tawa renyah kemudian terdengar. 

Sementara Adi tersenyum melihat istrinya tertawa sepuas itu.

"Cocok sih sama Mbak Senja. Dia juga cuma jualan makanan di warung kecil depan gang."

"Hasil jualan makanan yang bisa membuatmu lulus SMA dan kuliah. Begitu lebih tepatnya." Langit menimpali.

"Eh, sok tahu kamu. Baru jadi supir saja sudah belagu begitu!" sentak Abel kembali tak terima. 

"Tak ada salahnya menjadi supir. Percuma punya gelar kalau otaknya gesrek, nggak tahu malu dan nggak punya harga diri," balas Bagas saking kesalnya.

"Maksudmu apa ngomong begitu pada istriku?!" Adi tak terima saat melihat wajah Abel memerah. Tawanya terhenti seketika.

"Kalian pulang sekarang. Jangan ditanggapi dan jangan bikin keributan di sini. Ingat pesananku tadi."

Tak ingin semakin kacau, Bayu buru-buru menarik lengan teman seperjuangannya itu. Mereka memasuki mobil keluaran delapan tahun lalu, kado terakhir dari almarhum mamanya Langit yang masih sering dipakainya sampai detik ini.

"Supir mobil jadul saja belagu. Bikin tensi orang naik aja!" tukas Abel lalu membalikkan badan. Adi pun mengekorinya dari belakang saat melihat Langit mulai melangkah memasuki rumah.

Baru sampai ambang pintu, suara Abel kembali terdengar. Sepertinya sengaja diperkeras agar Langit mendengarnya dengan jelas. 

Di depan para kerabat dan tetangga dekat itu, Abel sengaja kembali merendahkan Langit. Seperti biasanya, dia memang selalu ingin terlihat lebih wah dari segi apapun dibandingkan kakaknya.

"Pak, ternyata menantu asing bapak itu cuma seorang supir. Makanya hanya mampu kasih mahar empat ratus ribu. Lagaknya kaya orang gedongan saja, padahal gaji supir juga nggak seberapa. Jangan-jangan malah di bawah UMR kota." 

Senja menghentikan langkahnya saat melihat Langit memasuki ruang keluarga. Laki-laki itu masih terlihat tenang. Ekspresinya tampak biasa seolah tak terjadi apa-apa saat Senja menatapnya lekat.

"Tak perlu terus menyudutkan suamiku, Bel. Urus saja suamimu. Jangan sampai dia berpaling ke perempuan lain,” balas Senja cukup tenang. “Bukankah selingkuh itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (13)
goodnovel comment avatar
kyrunaa24
MANTAP SENJA......
goodnovel comment avatar
Dewi Tjahja
sdh sampai bab 46 kok hrs kembali dr awal sayang ya kok nggak profesional
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
aku suka senja,,dia di tindas gpp,,pi klo suami ny d tindas dia nyakar buat lagit jiwa ceo emang sabar,,sejali ny udh ga kuat baru babd ampe rata
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Teror Lain

    Rama menghela napas panjang. Dia menatap Ririn yang masih panik dan gugup melihatnya nyaris baku hantam dengan kakak dan sahabatnya. "Aku nggak mau bikin ribut lagi, Mas. Tolong, jangan ikut campur urusanku. Kita sudah bukan pasangan suami istri lagi." Ririn berujar lirih. Rama mendongak lalu kembali menatap dua lelaki di samping mantan istrinya itu. "Lagipula Mas Awan nggak tahu apa-apa. Jangan mengkambinghitamkan orang lain atas perceraian kita. Alasanku menggugat sudah jelas. Kamu jangan playing victim, Mas. Sekarang, pergi dari sini dan urus hidupmu sendiri. Aku nggak pernah mengusikmu, kuharap kamu juga berhenti mengatur hidupku," balas Ririn tegas. "Kalian nggak apa-apa?" tanya Ririn ke arah dua lelaki di sampingnya. Damar menggeleng pelan, begitu pula dengan Damar. "Tenang, Rin. Kami nggak apa-apa. Belum baku hantam, baru mau mulai sudah kamu cegah." Awan berusaha mencairkan suasana yang mendadak tak nyaman itu. Rama menatap tajam, matanya merah penuh dendam. "Kita meman

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Mengamuk

    Langkah kaki Ririn masih terasa ragu saat memasuki gedung kantor baru milik Damar. Bangunan itu megah dan kokoh, kaca-kaca besar menghiasinya, menandakan keseriusan bisnis properti yang baru saja dibangun kakaknya."Rin, sini!" Damar melambaikan tangan dari balik meja kerjanya yang penuh tumpukan dokumen. Senyum kakaknya itu membuat hati Ririn sedikit tenang."Aku takut ganggu kerjaanmu, Mas," ucap Ririn pelan sambil duduk di kursi tamu."Ngawur. Justru aku sengaja minta kamu datang." Damar meraih sebuah map lalu meletakkannya di meja. "Aku butuh asisten dan aku pengin kamu yang isi posisi itu. Kamu cocok. Lagipula, Opa pasti sangat setuju."Ririn terkejut. "Aku? Mas, aku mana ngerti soal properti, soal bisnis kayak gini. Aku kan cuma--""Cuma apa? Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya, Rin. Siapa lagi kalau bukan adikku sendiri. Iya kan?" sahut Damar cepat. Ririn terdiam. Matanya berkaca-kaca, mengingat masa-masa kelam bersama Rama yang menguras hidupnya. Ririn merasa tak pernah

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Dijodohkan

    "Mulai hari ini, kamu bukan orang asing. Kamu adalah cucu Opa, bagian dari keluarga ini. Jangan pernah ragu akan hal itu, Rin. Kalau memang kamu nggak mau tinggal di Jogja dan memilih tinggal di Jakarta bersama ibumu, nggak apa-apa. Opa juga nggak akan memaksa, tapi kamu harus sering-sering jenguk Opa ya? Keponakanmu juga akan bertambah sebab kakak iparmu hamil muda," ujar Opa setelah pulang dari rumah sakit. Mereka kumpul di ruang keluarga dan mendengarkan beberapa wejangan Opa. Nyaris sepuluh hari Ririn di Jogja dan selama itu pula hubungannya dengan keluarga kandungnya semakin erat dan hangat. Ibunya pun diterima dengan tangan terbuka bahkan Opa memberinya tabungan dua ratus juta untuk modal usaha. Iya, Susanti ingin membuka usaha warung sembako di depan rumahnya. "Opa, modal usahanya terlalu banyak. Warung yang akan saya bikin itu cuma kecil-kecilan karena memang sisa tanahnya juga sedikit," ujar Susanti saat menerima transferan segitu banyak ke rekeningnya. "Nggak apa-apa, Bu.

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Penuh Haru dan Bahagia

    Pagi di Jogja terasa tenang dan damai. Burung-burung berkicau, udara lembut masuk melalui jendela kamar tempat Ririn tidur. Sejak pagi dia belum keluar kamar, kecuali saat shalat subuh di musholla rumah itu. Ririn ingin membantu membersihkan rumah, tapi dua asisten di sana melarang. Mereka meminta Ririn untuk santai atau jalan-jalan pagi saja seperti anak Opa lainnya. Tak membantah, Ririn akhirnya memilih kembali ke kamar sementara ibunya duduk di dapur bersama salah satu asisten rumah tangga. Ibunya menolak kembali ke kamar dan memilih ngobrol dengan salah satu asisten sembari membantu mengupas bawang. Sebelum jam enam pagi, suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Ririn beranjak dari kursi rias lalu membuka pintu. Raya tersenyum tipis saat melihat adik iparnya itu. "Bi Sumi sudah bikin sarapan. Kita sarapan sama-sama ya. Setelah itu kamu sama ibu kuajak ke toko baju. Mas Dimas semalam bilang kalau kamu dan ibu bebas pilih baju, sandal, tas atau apapun kebutuhanmu. Terserah yang ma

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Kabar Mengejutkan

    Malam semakin larut. Setelah makan malam bersama dan bercengkerama di ruang keluarga, akhirnya mereka beranjak ke kamar masing-masing. Ririn tak bisa langsung memejamkan kedua matanya. Dia masih bolak-balik, membayangkan masa lalunya sampai kembali ke masa kini di mana dia tahu almarhum kedua orang tua kandungnya bukanlah orang sembarangan. Mereka pengusaha terkenal di kota gudeg itu. Ririn benar-benar masih seperti mimpi dan sulit percaya kalau dia keturunan konglomerat. Saat semua terlelap, Ririn justru terjaga. Sembari tiduran di ranjang, Ririn menatap layar ponselnya. Ada pesan masuk dari Senja, sahabat terbaiknya. [Rin, maaf ganggu malammu. Ada kabar penting tentang Mas Rama. Aku dapat info, Mas Rama terlibat kasus korupsi di kantor Mas Langit. Jumlahnya cukup besar. Sepertinya akan segera diusut dan kemungkinan besar dibawa ke ranah hukum]Ririn terdiam, jantungnya berdegup kencang. Dia tak menyangka kabar seperti itu datang malam ini, di saat dia sudah bahagia dengan keluarg

  • Suami Dadakanku Bukan Pria Sembarangan   Keluarga Baru

    Bandara sore ini ramai. Ririn menggenggam erat tangan ibunya. Perasaannya campur aduk, antara tegang dan bahagia. Tepat di sebelah mereka, Dimas tersenyum hangat."Tenang, Rin. Perjalanan nggak lama kok. Satu jam lebih sedikit sudah sampai Jogja. Kakak ipar dan keponakanmu sudah menunggu di sana. Iparmu bahagia banget punya adek perempuan. Maklum, dia juga yatim piatu sejak kecil," ucap Dimas menenangkan.Ririn mengangguk pelan. Dalam hati bersyukur jika kehadirannya memang ditunggu banyak orang. Hal yang ditakutkan Ririn selama ini adalah sikap sinis dan tak bersahabat dari keluarga besar atau kerabat. Jika mereka menyambut dengan tangan terbuka, tentu Ririn jauh lebih bahagia. "Aku memang gugup, Mas. Sudah lama nggak naik pesawat. Ibu sepertinya juga agak gugup."Susanti menghela napas, menatap ke arah landasan. "Iya, dulu ibu naik pesawat cuma sekali waktu masih muda. Setelah itu nggak pernah lagi. Makanya, sekarang agak panas dingin."Dimas tertawa kecil. "Nanti jadi terbiasa,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status