"Kalian pulang saja. Aku akan baik-baik saja di sini. Jangan bikin mereka curiga," ujar Langit setengah berbisik dua pria yang sejak tadi mendampinginya.
Dua pria itu rupanya merupakan asisten dan bodyguardnya.
Kedua laki-laki itu memang selalu setia menemani Langit ke mana-mana. Langit sendiri adalah putra tunggal pengusaha properti yang cukup ternama, sekaligus seorang CEO perusahaan yang ia bangun sendiri.
Setelah tiga tahun pergi dari rumah, Langit memang mengikuti jejak papanya, meski mengambil dari jenis properti yang berbeda. Dimas Kuncoro lebih memilih mengembangkan tempat penginapan, rumah toko (ruko) dan sewa-menyewa tanah, sementara Langit fokus pada pembangunan perumahan minimalis dan rumah susun syariah.
Langit sengaja mengembangkan bisnis ini untuk mereka yang ingin memiliki tempat tinggal dengan cara kredit, tapi berbasis syariah demi menghindari riba. Berawal dari makelar tanah, rumah dan lainnya, kini benar-benar menjadi pengusaha sukses seperti sekarang.
"Mas Langit yakin nggak apa-apa kalau kami tinggal sendiri di sini?" bisik Bayu, bodyguard Langit.
"Yakin. Ada istri yang akan menjagaku dengan baik." Langit tersenyum.
Bayu dan Bagas saling toleh lalu menghela napas panjang.
Langit tertawa mendapati respons tersebut. Sejak ia keluar dari rumah, kedua orang itulah yang mendampingi perjuangan Langit.
"Makanya jangan jadi bujang lapuk. Nikah sana!" goda Langit yang dibalas dengan cibiran kecil oleh dua karyawan terbaiknya itu.
"Sombongnya bos kita, Bay. Baru nikah beberapa jam lalu sudah belagu begini. Belum tentu nanti Mbak Senja mau diajak malam pertama," sindir balik Bagas, asisten sekaligus supir pribadi Langit.
Kedua laki-laki di depan Langit itu pun tertawa bersama, sementara Langit hanya meringis kecil.
"Pelan-pelan, Mas. Kalau terburu nafsu, bukannya luluh malah tremor dan trauma." Bagas kembali meringis kecil.
"Berisik kalian berdua. Pulang sana. Jaga rumah, jangan lupa kunci pintu. Besok pagi ke sini lagi sekalian bawa sebagian baju-bajuku."
"Berapa stel, Mas?" tanya Bagas memastikan.
"Eh, jangan ambil baju dari rumah. Semuanya branded,” tegur Langit. Ia sengaja menyembunyikan statusnya. “Belikan beberapa pasang. Yang biasa saja, asal enak dipakai.”
Menurutnya, semua hinaan yang tadi diterima oleh istrinya, harus dibalas dengan setimpal.
Bayu dan Bagas kembali saling tatap. Mereka tahu apa yang kini berkecamuk di benak bosnya.
"Kalian boleh ikut ambil berapapun, anggap saja ucapan terima kasih sudah meminjamkan kemeja ini untukku,” ujar Langit sembari mengusap kemeja batik yang dikenakannya. Itu adalah kemeja kesayangan Bagas yang memang dibawa kalau-kalau harus menghadiri acara penting bosnya.
Lalu, ekspresi Langit kembali serius dan mengintimidasi saat menambahkan, “Ingat, jangan sampai bocor."
"Beli berapa stel, Mas?" tanya Bagas lagi.
"Lima kaos, dua kemeja, tiga celana panjang dan dua celana pendek di bawah lutut. Jangan lupa celana dan kaos dalamnya. Sekalian sandal jepit, handuk dan semuanya."
"Jas, dasi, sepatu nggak beli, Mas?" Bayu menyikut lengan Bagas agar tak terlalu banyak tanya. Menurut Bayu, sebagai asisten pribadi, seharusnya Bagas sudah bisa mengira apa saja yang harus disiapkan untuk bosnya demi penyamarannya.
"Untuk sementara barang seperti itu nggak diperlukan."
"Ambil duit di ATM biasa. Ohya, sekalian belikan istriku perhiasan. Cincin sama kalung."
"ATM Kita sisa tujuh jutaan, Mas. Mas Langit belum isi lagi," ujar Bagas mengingatkan.
"Iya, nanti ditambah isinya. Sudah pulang sana. Aku mau ngobrol sama istri."
"Mas, soal cincin, kita mana tahu ukuran jarinya." Bayu menyahut.
"Benar juga, Mas. Kalau kekecilan atau kebesaran gimana?" timpal Bagas dengan wajah polosnya.
"Pokoknya harus pas. Dikira-kira saja, jangan banyak tanya. Kalau nggak pas, potong gaji," balas Langit yang dibalas Bagas dengan mengomel pelan.
"Kalian ngapain ngobrol di situ?" tanya Adi dan Abel yang keluar rumah bersama dua temannya. Mereka sengaja mengantar dua lelaki itu sampai teras saat mereka pamit pulang.
"Oh, kita bahas–”
"Kalian bukan mafia kan? Atau preman? Buronan? Mantan napi?" cecar Abel curiga dengan tiga laki-laki gagah yang ngobrol di samping gerbang.
"Mana mungkin, Mbak. Kami orang baik-baik dan punya pekerjaan halal. Jangan mengada-ngada." Bagas mendengkus kesal.
"Mana kita tahu. Kenal juga baru siang tadi kan?" Abel melipat tangan ke dada sembari menatap tajam tiga laki-laki itu kembali.
"Pekerjaan kami jelas, Mbak. Saya supir–”
"Oh, kalian bertiga supir?" Belum selesai bicara, kalimat Bagas kembali dipotong oleh Abel. Tawa renyah kemudian terdengar.
Sementara Adi tersenyum melihat istrinya tertawa sepuas itu.
"Cocok sih sama Mbak Senja. Dia juga cuma jualan makanan di warung kecil depan gang."
"Hasil jualan makanan yang bisa membuatmu lulus SMA dan kuliah. Begitu lebih tepatnya." Langit menimpali.
"Eh, sok tahu kamu. Baru jadi supir saja sudah belagu begitu!" sentak Abel kembali tak terima.
"Tak ada salahnya menjadi supir. Percuma punya gelar kalau otaknya gesrek, nggak tahu malu dan nggak punya harga diri," balas Bagas saking kesalnya.
"Maksudmu apa ngomong begitu pada istriku?!" Adi tak terima saat melihat wajah Abel memerah. Tawanya terhenti seketika.
"Kalian pulang sekarang. Jangan ditanggapi dan jangan bikin keributan di sini. Ingat pesananku tadi."
Tak ingin semakin kacau, Bayu buru-buru menarik lengan teman seperjuangannya itu. Mereka memasuki mobil keluaran delapan tahun lalu, kado terakhir dari almarhum mamanya Langit yang masih sering dipakainya sampai detik ini.
"Supir mobil jadul saja belagu. Bikin tensi orang naik aja!" tukas Abel lalu membalikkan badan. Adi pun mengekorinya dari belakang saat melihat Langit mulai melangkah memasuki rumah.
Baru sampai ambang pintu, suara Abel kembali terdengar. Sepertinya sengaja diperkeras agar Langit mendengarnya dengan jelas.
Di depan para kerabat dan tetangga dekat itu, Abel sengaja kembali merendahkan Langit. Seperti biasanya, dia memang selalu ingin terlihat lebih wah dari segi apapun dibandingkan kakaknya.
"Pak, ternyata menantu asing bapak itu cuma seorang supir. Makanya hanya mampu kasih mahar empat ratus ribu. Lagaknya kaya orang gedongan saja, padahal gaji supir juga nggak seberapa. Jangan-jangan malah di bawah UMR kota."
Senja menghentikan langkahnya saat melihat Langit memasuki ruang keluarga. Laki-laki itu masih terlihat tenang. Ekspresinya tampak biasa seolah tak terjadi apa-apa saat Senja menatapnya lekat.
"Tak perlu terus menyudutkan suamiku, Bel. Urus saja suamimu. Jangan sampai dia berpaling ke perempuan lain,” balas Senja cukup tenang. “Bukankah selingkuh itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja?"
***
"Kamu yakin akan pulang sekarang, Sayang? Nggak istirahat di sini dulu? Kamu masih lemas kan?" Langit mengusap kening istrinya begitu lembut dan penuh kasih. Dia tak tega melihat istrinya yang sakit itu masih difitnah pula oleh adik dan iparnya sendiri. "Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma lemas saja tadi. Mungkin efek datang bulan juga, makanya seperti ini. Ditambah efek kangen sama kamu. Sekarang sudah ketemu kan? Lihat saja jauh lebih baik." Senja tersenyum dan sengaja memperlihatkan sedikit kekuatannya agar Langit tak terlalu cemas. "Yakin mau pulang?" tanya Langit lagi yang dibalas dengan anggukan. "Dokter sudah ngasih obat sama vitamin. InsyaAllah besok juga sudah sehat seperti biasanya. Kita harus segera menyelesaikan masalah ini, Mas. Takutnya makin melebar kemana-mana. Aku nggak mau ada fitnah antar saudara. Bapak pasti juga tak tenang di rumah. Aku nggak mau membuat beban pikirannya bertambah. Kasihan, Mas." Mendengar permintaan dan permohonan istrinya, Langit pun mengizinkan d
"Senja, kamu nggak apa-apa kan? Ririn bilang kamu dibawa ke klinik?" Anwar begitu panik saat mendengar berita itu dari Ririn, sahabat Senja sejak kecil. Dia pun buru-buru menelepon Senja saat itu juga. Susan ikut mendengar obrolan bapak dan anak itu dengan menyalakan speaker handphonenya. Beberapa kerabat yang lain pun ikut menguping. Mereka penasaran apakah ada perbedaan antara cerita Senja dengan cerita Abel yang baru saja mereka dengarkan. "Alhamdulillah membaik, Pak. Senja memang agak demam dan lemas dari pagi, makanya nggak ikut bapak ke rumah bibi. Sekarang sudah ada Mas Langit yang jaga Senja di sini. Jadi, bapak tak perlu khawatir lagi." Anwar sedikit lebih tenang setelah mendengar keadaan anak sulungnya itu. "Tadi Abel sudah menelepon ibumu. Dia cerita banyak tentang kejadian ini. Cuma bapak ....""Bapak nggak percaya sama cerita Abel kan? Pasti nanti bapak akan lebih percaya dengan cerita Senja. Bapak selalu begitu dari dulu. Gimana Abel nggak makin benci sama kakaknya d
Sejak kejadian honeymoon kala itu, sikap Adi mulai berubah. Dia sering malas ngobrol banyak hal dengan Abel. Apalagi saat melihat sikap Senja pada suaminya, rasa cemburu itu tiba-tiba menghantam dada. Adi kesal dan cemburu melihat senyum Senja dan perhatiannya pada Langit saat mereka makan ataupun saat Langit akan berangkat kerja. Senja yang begitu melayani suaminya dengan baik, jauh berbeda dengan Abel yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Selama menikah, tak sekalipun Abel menyiapkan makannya atau mencarikan kaos kaki dan menyemir sepatu pantofelnya. Semua dilakukan Adi sendiri meski dalam keadaan hati yang dongkol. "Aku juga sibuk kerja, Mas. Kamu siapkan sendiri bisa kan?" ucap Abel tiap kali Adi minta tolong dicarikan kaos kaki atau dibersihkan sepatunya. "Biasanya juga kamu harus sendiri saat di rumah bunda, Mas. Jangan manja ah." Lagi-lagi Adi tak bisa protes, sampai akhirnya dia tak lagi meminta tolong hal-hal sepele itu pada istrinya. Adi menghela napas panjang. Dia kem
"Sayang, kamu kenapa?" Langit menghentikan pukulannya setelah melihat Senja limbung, sementara Adi masih memegangi sudut bibirnya yang pecah-pecah. "Sayang ...." Langit mengusap-usap kedua pipi Senja lalu membopongnya dengan tergesa menuju mobil. Langit akan membawa istrinya ke klinik terdekat. Di saat itu pula ada beberapa tetangga yang melihat. Salah satu dari mereka buru-buru menelepon Abel dan mengabarkan jika suaminya dihajar oleh Langit. Handphone Adi berdering saat dia masih membersihkan wajahnya dengan tissu. Umpatan dan makian keluar dari bibirnya tiap kali mengingat sikap Langit padanya tadi. Dia benar-benar tak menyangka jika Langit tiba-tiba datang dan menghancurkan semuanya. "Mas, Kinan bilang kamu dihajar sama Langit? Kenapa?" Suara panik Abel terdengar dari seberang setelah Adi menerima panggilan itu. "Iya, nggak waras dia. Istrinya lagi sakit bukannya dibawa ke klinik malah sibuk kerja dan nggak pulang berhari-hari. Tadi aku pulang mau ambil berkas, nggak sengaja
Suasana di rumah lumayan sepi. Abel mulai kerja kantoran dan biasanya pulang sebelum maghrib tiba. Adi pun sama saja mulai sibuk dengan pekerjaannya, sementara kedua orang tua Senja menginap di rumah kerabat karena ada hajatan kecil-kecilan. Awalnya Senja ingin ikut, tapi bapaknya melarang. Anwar tak ingin melihat menantunya kecewa saat dia pulang rumah dalam keadaan tak bertuan. [Sayang, nanti aku pulang ya. Kamu pengin makan apa nanti kubelikan sekalian.] Pesan dari Langit muncul di layar. Meski masih tampak lemas, Senja sedikit berbinar saat melihat pesan dari suaminya. Maklum, sudah lima hari mereka tak bertemu. Rasa rindu jelas ada, apalagi saat ini keadaan Senja memang tak baik-baik saja. [Buah aja, Mas. Sama camilan pedas juga mau. Apa saja deh] Senja membalas pesan itu lalu kembali meletakkan handphonenya di atas meja. Beberapa saat kemudian dia sudah terlelap sampai adzan dzuhur berkumandang. Merasakan perutnya yang keroncongan, mau tak mau Senja mulai beranjak dari kama
"Kamu pakai cincin, Ja? Kapan belinya?" Susan melirik jemari Senja saat makan malam bersama. "Oh ini, Bu. Mas Langit yang beliin," balas Senja sembari melihat kembali cincin permata putih itu. "Buat gantiin mahar kali, Bu. Kemarin maharnya kan cuma duit empat ratus ribu. Mana ada spesialnya coba." Abel menyahut lalu kembali menikmati malam malamnya. "Nggak kok. Ini memang hadiah spesial aja dari Mas Langit." "Hadiah spesial cuma cincin yang harganya nggak seberapa?" Abel masih saja mencibir. "Sama kalung juga kok. Cantik ada liontin hatinya," balas Senja dengan senyum tipis membuat Abel terlihat begitu kaget. "Kamu dibeliin cincin sama kalung, Mbak? Coba lihat kalungnya kaya apa? Bagusan mana sama kalungku?" Abel menarik kursi yang diduduki Senja sampai membuatnya nyaris terjatuh saking kagetnya. "Abel! Apa-apaan sih kamu!" sentak Senja sembari menepis tangan adiknya yang kini berusaha menyingkap hijabnya. "Gila kamu, Bel!" ucap Senja geram karena auratnya nyaris terlihat, pad
"Oleh-oleh buat ibu sama bapak dari Mas Adi." Abel menaruh dua paper bag di atas meja dengan senyum bangga. "Kemeja baru?" Anwar menyahut lalu mengucapkan terima kasih pada anak bungsunya itu. "Wah, tas sama sandal. Beneran ini buat ibu?" pekik Susan tak percaya sebab dia tahu kalau barang itu cukup bermerk dan lumayan mahal menurutnya. "Bilang makasihnya sama Mas Adi saja, Pak, Bu. Dia yang beli kok. Aku kan cuma pilihin warna sama ukurannya saja." Abel menarik lengan Adi agar duduk di sebelahnya. Anwar dan Susan pun mengucapkan terima kasih pada menantunya itu. "Maaf kamu nggak dapat jatah ya, Mbak. Kamu kan sudah bersuami. Minta saja sama suamimu sendiri." Abel melirik sinis. "Iya, Bel. Lagian mana pernah kamu jatah aku? Bukannya dari dulu kamu nggak pernah sekalipun beliin aku sesuatu?" tukas Senja begitu santai sembari berbalas pesan dengan suaminya."Dih! Kamu kan punya duit sendiri, jangan mental gratisan deh." Abel melengos kesal. "Siapa yang mental gratisan sih, Bel. Ak
"Ada kasus korupsi di bisnis papa yang mangkrak itu. Kemungkinan besar Adi terlibat." "Maksudnya, Mas?" Senja nyaris tersedak mendengar cerita suaminya. Dia semakin bingung kenapa mantan tunangannya itu bisa terlibat korupsi di perusahan mertuanya. "Mas Adi terlibat korupsi di kantor papanya Mas?" Senja masih tak percaya. "Iya, Sayang. Papaku, papamu juga sekarang.""Eh iya, papa." Senja tersenyum malu-malu. Langit pun kembali mengusap puncak kepala istrinya dengan gemas. "Memangnya kamu nggak tahu kalau dia kerja di kantor papa?" Senja menggeleng pelan. Selama ini dia memang tak pernah tanya calon-calon kerja di mana. Yang dia tahu hanya kerja sebagai staf di kantor, itu saja. "Kamu memang sepolos itu. Sudah, jangan berpikir macam-macam. Biar aku saja yang menyelesaikan semuanya. Yang penting sekarang kamu sudah tahu cerita sebenarnya. Jangan berpikir aneh-aneh lagi ya?" Langit menatap istrinya lekat, sementara Senja hanya mengangguk lalu menunduk. Setelah itu, Langit mulai men
"Janji nggak ngambek dan cemburu lagi?" Langit mengulurkan kelingking kanannya ke arah Senja. Tanpa banyak kata, Senja pun mengaitkan kelingkingnya. "Janji, asalkan kamu benar-benar move on. Kalau masih cinta sama dia ya balikan saja sana," balas Senja sembari mengerucutkan bibirnya. "Nah, kan. Baru bilang begitu dikira gagal move on. Gimana mau cerita semuanya?" Langit menghela napas panjang."Janji beneran move on?" Kali ini Senja sedikit menarik kelingking Langit yang masih terkait dengan kelingkingnya. "Iya, Sayang. Janji." "Kalau begitu. Ceritakan semuanya biar aku nggak selalu curiga." Langit pun tersenyum setelah melihat kedua sudut bibir istrinya melengkung indah. "Setahun menjalin hubungan dengan Tasya, aku mulai sibuk dengan urusan bisnis milik papa. Papa memilih berhenti dan menyerahkan semuanya padaku. Kesibukan itulah yang mungkin membuat Tasya berpaling. Dia sering berbohong dan tak lagi seperti dulu. Penampilannya mulai berubah, tak lagi sederhana seperti yang kuke