"Benar ini rumahnya Mbak Abel?" tanya seorang laki-laki sedikit gugup saat Langit membuka pintu mobilnya. Senja pun ikut keluar lalu buru-buru membantu bapaknya mengambil kruk dari bagasi. "Maaf banget kalau tadi agak kasar ketuk kacanya, Mas. Saya buru-buru soalnya baru saja ditelepon bini yang mau lahiran. Ini benar-benar rumah Mbak Abel kan?" ulang laki-laki itu membuat Langit mengangguk cepat. Dia yang sebelumnya begitu kesal, akhirnya memaklumi setelah mendengar alasan laki-laki itu. "Benar ini rumahnya Abel, Mas. Ada apa ya?" tanya Anwar cukup tenang. "Kami mau mengantar mobil baru milik Mbak Abel, Pak. Kebetulan tadi Mbak Abel bilang ada urusan mendadak, jadi beliau meminta kami mengantar mobilnya ke sini. Itu mobilnya," tunjuk laki-laki itu ke jalan raya. Bukannya senang, Anwar justru terlihat tegang. Dia menatap ke jalan raya beberapa saat lalu menghela napas panjang. Kekhawatiran dan ketakutannya semakin bertambah saat melihat mobil baru dengan harga lebih dari dua ratu
"Sudah berapa hari kamu nggak jenguk bapak? Mentang-mentang sudah jadi orang kaya lantas lupa kalau masih punya orang tua di sini??" sentak Abel saat Senja dan Langit datang ke rumah Anwar. "Apa maksudmu ngomong begitu, Bel? Kalau aku lupa, nggak mungkin datang ke sini hari ini. Nggak mungkin aku bertukar kabar dengan bapak setiap hari. Jangan mengada-ngada deh." Senja menepis tuduhan Abel yang terlalu berlebihan itu. "Bertukar kabar tiap hari??" cibir Abel sembari melipat tangan ke dada. "Kemarin kemana kutelepon berkali-kali nggak diangkat? Keenakan jalan-jalan ya? Atau menikmati rumah mewahmu itu?" sentak Abel lagi. "Semakin ngelantur kamu, Bel. Perkara telepon nggak diangkat saja sampai begini. Aku sudah jelaskan sama bapak kalau handphone ketinggalan di rumah papa, makanya nggak diangkat. Lagipula suaranya memang aku kecilkan jadi mungkin nggak ada yang dengar kalau handphoneku berdering. Aku nggak perlu jelaskan kenapa mengecilkan volumenya kan? Nggak perlu cerita sama kamu
"Mas, kita mau ke mana?" tanya Senja saat Langit bilang akan mengajaknya ke suatu tempat. "Rumah kita." "Rumah yang kamu ceritakan sama papa kemarin?" Senja menoleh, menatap lekat wajah Langit yang terlihat semakin tampan menurutnya. "Iya dong. Papa kan sebentar lagi mau pindah ke permata cinta, jadi kita juga harus pindah ke rumah utama." "Memangnya papa beneran nggak mau tinggal sama kita saja, Mas? Kasihan loh papa sendiri," lirih Senja yang tak tega membiarkan mertuanya itu hanya tinggal dengan asisten dan perawatnya saja. "Papa sudah bicara sama aku semalam, Sayang. Papa ingin tinggal sendiri di masa tuanya, yang penting kita jenguk papa sesering mungkin. Kalau bisa tiap hari. Lagipula rumah kita nggak jauh, mungkin kamu juga pernah lihat hanya saja tak tahu kalau rumah itu milikku dan sekarang proses balik nama untukmu." Langit kembali tersenyum, sementara Senja shock mendengar kata terakhir itu. "Rumah itu atas namaku, Mas?" "Iya, Sayang. Maaf ya kalau mahar nikahnya cu
"Kamu jual semua aset yang papa punya termasuk rumah ini, Lang. Belikan saja papa rumah minimalis atas nama istrimu. Jadi, kalau nanti papa pergi sudah jelas rumah itu untuk siapa. Papa tak butuh rumah sebesar ini." Dimas menatap satu persatu benda di ruang tengah itu. "Papa bisa tinggal dengan kami di perumahan permata cinta. Dengan begitu, Senja bisa bantu Mbak Astuti untuk merawat papa. Nggak perlu tinggal sendiri, Pa." Senja yang sedari tadi diam ikut menimpali. "Jangan, Ja. Setelah menikah, sebaiknya kalian memang hidup mandiri dan terpisah dari orang tua. Kalian bisa saling mengisi, saling melengkapi dan memahami satu sama lain. Papa bisa tinggal di rumah lain, asalkan ada asisten sudah cukup. Papa ingin menikmati masa tua ini dengan santai, berkebun di taman kecil atau menikmati sore dengan teh hangat." Dimas manggut-manggut lalu tersenyum tipis. "Kalau begitu, papa bisa tinggal bersebelahan dengan kami. Ada beberapa unit rumah yang belum terjual di sana. Iya kan, Mas?" Senj
"Mas, mana bisa wasiat seperti itu. Sebagai istri aku juga berhak mendapatkan warisan. Bagaimanapun keadaannya. Kamu nggak bisa seenaknya begitu. Aku bisa menggugatmu kalau aku mau!" Tasya meradang. Dia tak terima dengan wasiat Dimas yang menurutnya terlalu konyol itu. "Kalaupun kamu nggak suka sama istrimu sendiri, bukan begini caranya, Mas. Kamu bisa melanggar hukum!" Tasya kembali berkomentar. "Tenang dulu, Mbak. Kami-- Tasya memotong ucapan pengacara Dimas itu dengan menggerakkan telapak tangannya ke udara. "Kamu nggak bisa dong bagiin hartamu cuma sama anak dan menantumu saja. Apalagi menantu barumu itu dapat setengah bagian. Memangnya boleh begitu? Pembagian harta kan maksimal sepertiga bagian, Mas. Gimana sih! Tanya pengacaramu itu kalau nggak percaya." Tasya masih tak terima. Dia nggak mau pergi tanpa membawa apapun. Apalagi dia sudah janji pada Faisal akan memberinya jatah khusus jika membantunya mengembalikan kepercayaan Dimas. "Kalaupun wasiat itu kuubah, kamu juga ng
"Benar yang dikatakan Faisal kan, Mas? Wajar aku memilihmu karena saat itu kamu langsung mengajakku menikah, sementara dengan Langit hanya diajak pacaran. Perempuan mana yang mau hanya dijadikan pacar dan cuma sekadar jadi teman kondangan?" Tasya kembali merayu dengan memegang tangan Dimas. Tak menepis dan tak menerima, Dimas hanya diam saja. Senja khawatir jika saat ini papa mertuanya kembali bimbang. Tasya menatap Senja yang mulai was-was, tapi dia berusaha menutupi rasa itu. Senja justru tersenyum lalu mengambil handphonenya di saku gamis. "Maaf kalau ini membuat papa semakin shock dan kecewa," ujar Senja santai, tapi justru membuat Tasya semakin panik. Tasya tak tahu cara apalagi yang akan dilakukan Senja untuk mematahkan semua pembelaannya. "Kamu punya bukti lain, Ja?" tanya Dimas lirih lalu menoleh ke arah anak menantunya itu. Senja mengangguk. Dia menggulir galeri handphonenya lalu memperlihatkan pada mertuanya beberapa obrolan dan foto-foto vulgar dan tak pantas yang dikir