"Tutup mulut kalian! Kalian nggak berhak menyudutkan saya seperti itu. Selama ini saya sudah menjalankan tugas sebagai kepala desa dengan baik. Tak ada yang salah selama nyaris lima tahun ini. Kenapa baru sekarang kalian protes, sementara selama ini diam-diam saja dan mengiyakan apapun yang saya lakukan di desa ini?! Jangan pernah merasa paling dirugikan. Saya pun sama dirugikannya. Nama baik saya jadi tercemar, anak saya juga babak belur, bukan hanya Awan, Awan dan Awan saja," ujar Agus sembari menunjuk Ibram yang sedari tadi tak bicara sepatah katapun. Dia teramat malas mengikuti pertemuan seperti ini yang menurutnya amat sangat nggak bermutu. "Sebaiknya anda diam dan tak memperkeruh suasana. Jauh lebih baik jika anda minta maaf karena pokok semua masalah ini memang tertuju pada anda. Saya nggak tahu apakah anda menjadi dalangnya atau anda hanya sebagai wayang yang mengikuti apapun perintah sang dalang. Saya tak peduli itu. Tapi anda harus ingat, saya bisa saja melaporkan anda ke p
"Kamu sudah dengar semua pendapat Om tadi, Lang?" tanya Erwin sedikit gugup. "Saya sudah di belakang sana sejak dua puluh menit lalu, Om. Om pikir saja sendiri apakah saya sudah mendengarnya atau belum," balas Langit dengan senyum tipis. Senyum yang justru semakin membuat Erwin tercekat dan bingung akan membalas apa. Seperti memiliki telepati, Senja dan Langit saling tatap lalu tersenyum tipis. Sepertinya dalam hati mereka memikirkan hal yang sama bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Erwin. Entah apa. "Om hanya takut kamu kenapa-kenapa, Lang. Makanya coba ambil opsi itu," ujar Erwin cukup tenang. Langit manggut-manggut lalu kembali menatap kepala desa yang mulai gelisah. "Bapak, Ibu ... saya Langit Biru, putra kandung Dimas Kuncoro. Di sini saya mewakili beliau ingin minta maaf jika kehadiran kami ataupun usaha kami di sini cukup mengganggu warga sekitar. Seperti yang sudah papa saya jelaskan sebelumnya, tak ada yang berubah dengan kesepakatan itu. Semua sudah cukup jelas dan ada
"Pak, bukannya tadi Pak Dimas bilang kalau semua terserah Mas Langit? Kenapa bapak berpendapat seperti itu sebelum mendengar keputusan dari bos muda?" lirih Bayu yang masih tak mengerti kenapa Erwin membalas seperti itu. Padahal sejak berangkat dari rumah tadi Erwin tetap mengikuti perintah dari sahabat sekaligus bosnya itu. "Sudahlah, Bay. Saya pikir Langit ada di sini, tapi ternyata mereka masih menyembunyikan Langit entah dimana. Saya khawatir dia kenapa-kenapa, makanya lebih baik mengikuti kemauan mereka saja biar Langit aman," balas Erwin sembari berbisik pula. "Nggak bisa gitu dong, Pak. Walau bagaimanapun kita harus mengikuti perintah atasan dan jangan mengambil keputusan sendiri jika tak ingin semakin runyam." Bayu menghela napas panjang. Dia tak tahu mengapa Erwin selancang itu, padahal biasanya dia selalu mendukung Langit dan papanya. "Kamu meragukan saya, Bay? Nggak percaya kalau keputusan itu akan menguntungkan kedua belah pihak?" Bayu gugup lalu menoleh ke arah Bagas y
"Bukannya kita cuma dengar cerita itu dari Pak Lurah? Kalau memang nggak ada saksinya, berarti Pak Lurah yang membohongi kita semua. Benar kan?" Seorang ibu muda ikut berkomentar. Senja menoleh lalu tersenyum tipis saat tak sengaja bersirobok dengannya. Wanita itu yang pertama kali Senja lihat di desa ini. Senja lupa tak bertanya siapa namanya. "Betul, Sin. Kita memang cuma dengar dari Pak Lurah saat rapat terakhir itu kan?" Sinta mengangguk. "Waktu itu Pak Lurah bilang kalau saksinya nggak mau tampil karena takut," sahut yang lain. Sinta manggut-manggut. "Masalahnya, benar ada saksi mata atau semua hanya rekayasa kepala desa saja." Senja menghela napas lega saat warga mulai memahami masalah yang terjadi dan tak lagi menyudutkan Langit. Sepertinya mereka mulai curiga dan merasa ada yang disembunyikan oleh kepala desanya sendiri."Kalian semua lebih percaya pemuda dari kota dan mereka ini daripada saya?!" Suara Agus mulai meninggi. Terlihat jelas dari sorot matanya yang penuh amar
"Diam!" Kepala desa bernama Agus itu menggebrak meja. Dia mulai emosi melihat warganya yang kini tak bisa dikendalikan lagi. Agus tahu jika warganya mulai curiga dengan masalah ini. "Pasti ada udang di balik batu. Kita lihat saja apakah pebisnis dari kota itu yang ingin mengeruk keuntungan lebih atau-- "Atau apa?" Beberapa warga kembali saling sahut. Senja menoleh ke sana-sini untuk mendengarkan. Dia ingin melihat siapa saja yang berani protes tentang masalah ini. Roni, ternyata pemuda itu ikut protes. Senja manggut-manggut. Dia merasa bersalah sudah menuduh laki-laki itu macam-macam. Ternyata Roni tak seburuk yang Senja bayangkan. "Atau ada dalang dalam masalah ini. Dia yang sebenarnya ingin mengadu domba kita semua demi keuntungannya sendiri." Roni menoleh pada Senja yang kini kembali menunduk. "Stop! Jangan berpikir macam-macam. Kita sepakat untuk menjemput pemuda itu kan? Kenapa sekarang saling melempar kesalahan?!" Ketua RT menyahut. Laki-laki yang duduk di samping kepala de
"Saya kaget loh Mbak Senja sudah di sini." Bagas mengawali percakapan saat dia dan Senja sudah di mobil menuju rumah kepala desa. "Aku nggak tenang di rumah, Mas. Entah mengapa dalam hatiku bilang kalau Mas Langit ada di desa itu. Makanya aku diam-diam ke sana dengan alasan cari teman SMAku dulu." Senja menjelaskan. "Saya kagum sama Mbak Senja. Ada saatnya lemah lembut, ada saatnya tegas dan berani. Apalagi tadi kenapa ketiga laki-laki itu malah tumbang semua. Bayu pernah bilang soal aksi beladiri Mbak Senja yang cukup mumpuni. Saya pikir cuma bercanda, ternyata tadi saya melihatnya sendiri. Benar-benar menakjubkan. Perempuan selembut ini mengalahkan tiga berandalan." "Nggak begitu juga, Mas. Kalau nggak ada Mas Awan entah gimana nasibku tadi. Mas Awan yang melawan mereka satu persatu. Aku cuma sedikit membantu saat dia tak berdaya. Nggak mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua. Mas Bagas memujinya berlebihan. Lagian tadi Mas Bagas lihatnya kan saat mereka sudah tumbang semua." S