"Sayang, kamu kenapa mukanya bete gitu?" tanya Langit begitu kaget saat melihat Senja keluar dari ruangannya. "Nggak apa-apa, Mas." Senja tersenyum meyakinkan. Baru mau melangkah pergi tiba-tiba Luna ikut keluar. Dia cukup kaget melihat Langit dan Senja masih berdiri di depan ruangan itu. "Lun? Kenapa di sini? Yang lain sudah kumpul mau briefing." "Emm ... tadinya cari kamu, Mas. Eh malah ketemu Mbak Senja di dalam. Selamat ya, Mas. Akhirnya kamu berani mengajak istri ke kantor." Luna melirik Senja yang masih menggamit mesra suaminya. Sepertinya dia sengaja melakukan itu agar Luna semakin kepanasan. "Kenapa nggak berani ajak istri sendiri? Kalau ajak istri orang baru takut. Sejak awal menikah aku juga sudah ajak Senja ke kantor, hanya saja Senja masih sibuk. Jadi-- "Oh, jadi selama ini istri Mas Langit yang nggak mau diajak ke kantor? Mungkin minder, nggak percaya diri lihat penampilannya yang norak begini, Mas. Beda sama perempuan pada umumnya." Luna buru-buru menyahut sembari
"Ini kantor kita, Sayang. Kantor yang dulu hanya bangunan kecil kini Alhamdulillah bisa direnovasi sebesar ini. Ada tiga lantai dengan tiga puluhan karyawan di sini." Langit dan Senja turun dari mobil lalu menatap gedung berlantai tiga itu dari area parkir. "Rasanya aku benar-benar seperti upik abu yang berubah menjadi Cinderella ya, Mas. Nggak nyangka bisa menjadi istrimu." Senja menoleh lalu menatap manik mata Langit yang berbinar. "Upik abu yang baik hati memang pantas dipersunting pangeran. Bukan begitu?" Senja tersenyum tipis. "Tak perlu lagi menoleh pada masa lalu yang kelam dan mungkin membuatmu sakit hati, Sayang. Kini, kamu sudah menjadi ratuku, Cinderellaku. Jadi, kita sama-sama berpegangan tangan menyongsong masa depan. Apapun yang terjadi nanti, kita harus saling percaya dan menguatkan. Oke?" Langit menodongkan kelingkingnya ke arah Senja. Seperti kanak-kanak, mereka pun saling menautkan jari kelingking sebagai janji untuk saling menguatkan. "Ayo masuk. Nggak sabar ing
Sejak jam lima pagi Senja sudah berkutat di dapur. Dia ingin membuatkan sarapan khusus untuk suaminya, Langit Biru. Rencananya hari ini dia ingin membuat telur balado, tumis kacang panjang campur tempe dengan udang tepung. "Sayang, masak apa hari ini? Butuh bantuan?" tanya Langit tiba-tiba muncul dari kamar. Senja yang sebelumnya agak melamun spontan menjerit. Tak hanya kaget, tapi telunjuknya pun tergores pisau saat mengiris bawang merah. Senja buru-buru mengguyur telunjuknya dengan air di wastafel. "Astaghfirullah, Sayang. Kamu kena pisau?" Langit sedikit panik saat melihat istrinya meringis kesakitan. "Iya, Mas. Cuma dikit sih, nggak apa-apa kok," ujar perempuan itu setelah mengusap telunjuknya dengan tissu. Bercak merah menempel di tissunya. "Sini coba lihat. Kamu melamun?" Langit meniup-niup telunjuk istrinya lalu meminta Senja duduk di sofa. "Sedikit, Mas." "Melamunin apa sih, Sayang? Kalau ada masalah cerita ya," balas Langit sembari mengobati luka istrinya lalu membalut
"Mas, tolong aku. Aku nggak pernah memakai barang haram itu. Lagipula aku ke rumah Faisal karena dia yang maksa." Tasya merengek pada Dimas saat anak dan bapak itu menjenguk Tasya di kantor polisi. "Maaf, Pak Dimas. Sebelumnya kami akan jelaskan sedikit tentang kronologi penangkapan itu. Ketiga laki-laki ini memang target kami sejak dua bulan belakangan. Mereka sering berpindah-pindah tempat dan kebetulan semalam kami berhasil menggerebek mereka dengan sejumlah barang bukti. Kebetulan juga Bu Tasya ada di rumah itu dengan seorang perempuan lainnya, makanya mau tak mau kami bawa ke sini. Kami belum tahu apakah Bu Tasya ini pecandu atau hanya kebetulan berada di sana saja seperti yang beliau jelaskan pada kami. Kami masih menunggu hasil pemeriksaan lanjutan." Seorang aparat menjelaskan pada Dimas dan Langit. Tasya begitu mengiba, sementara tiga laki-laki itu hanya diam saja, termasuk Faisal yang sesekali memejamkan kedua matanya. "Mas, tolong kali ini percaya sama aku. Aku nggak pern
"Apa, Pa? Dibawa ke kantor polisi? Kok bisa?!" tanya Langit kaget saat mendengar kabar buruk dari papanya itu. "Oke, Pa. Aku ke sana sekarang." Langit mematikan panggilan lalu menghela napas panjang. "Kenapa, Mas? Siapa yang dibawa ke kantor polisi?" tanya Senja ikut kaget dan panik. "Tasya, Sayang. Tadi polisi telepon papa, minta papa ke sana sekarang. Kamu di sini saja ya, temani bapak. Biar aku yang bantu papa mengurus masalah ini. Sepertinya Tasya mulai kena batunya. Dia tak tahu berhubungan dengan siapa." Langit menghela napas panjang. "Maksudmu Faisal, Mas? Dia--"Mereka digrebek saat pesta narkoboy, Sayang. Sudahlah, kamu tak perlu memikirkan masalah ini. Lagipula papa juga tak akan bantu apapun. Papa hanya mengikuti permintaan polisi untuk datang, selebihnya semua akan diserahkan pada yang berwajib. Semoga saja setelah ini Tasya bisa berubah." Senja mengaminkan harapan suaminya itu. Langit pun pamit setelah mencium kening dan puncak kepala istrinya. "Telepon adikmu, Ja.
"Akhirnya setelah cerai dari Adi, Abel bisa lebih mandiri. Sekarang bahkan bisa beli mobil sendiri," ujar Susan yang begitu membanggakan anaknya. Senyum di kedua sudut bibirnya melebar. Susan pun begitu semringah. "Bu ... sini!" panggil Anwar yang diabaikan oleh istrinya. Anwar pasti tak ingin istrinya kembali malu jika terlalu berlebihan membanggakan Abel. Abel yang kini belum jua berubah bahkan semakin menggila. "Bu, sini!" Anwar kembali memanggil, tapi Susan masih sibuk meneliti mobil baru itu. Tak lupa membanggakan dan memamerkannya pada para tetangga yang kini mengerubutinya. "Mobil Abel. Kata masnya sih dibayar cash. Nggak sia-sia dia sering lembur akhir-akhir ini." Susan tersenyum lebar."Lihat, Ja. Abel juga bisa beli mobil sendiri. Memangnya kamu, kalau nggak dibeliin suami mana bisa semandiri ini," tunjuk Susan yang kembali plin-plan. Sebelumnya dia cukup sering membanggakan Langit yang kaya. Dia bahkan berulang kali memuji keberuntungan Senja karena mendapatkan mertua