Bakda subuh, Ririn sudah berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Setelah ayam goreng dan sayur asemnya selesai, Ririn membuat sambal. Semua sudah terhidang di meja makan. Hanya ada tiga potong ayam goreng di piring, sesuai dengan jumlah penghuni rumah itu. Semua memang harus diperhitungkan karena nyatanya Ririn tak mendapatkan tambahan uang belanja. Sering kali dia memakai uang pribadinya sebagai reseller dagangan tetangganya untuk menambal kebutuhan dapur. Hal itu dia lakukan agar tak memiliki hutang di warung. Demi nama baik suaminya yang konon sebagai pekerja kantoran dengan gaji besar. Ririn tak ingin nama baik suaminya menjadi buruk di mata para tetangga. Berusaha menyembunyikan rasa sakit dan aib rumah tangganya sendiri. Hanya saja, akhir-akhir ini dia mulai lelah. "Bukannya nyapu atau ngepel malah duduk di sini. Lihat rumah tetangga, semuanya bersih. Nggak kaya rumah kita, ada penghuni tapi kaya rumah kosong. Banyak debu dan kotorannya!" tukas ibu mertua begitu sinis saat m
"Ada apa, Mas?" tanya Senja setelah Langit terdiam beberapa saat. "Sebentar, Sayang. Ada mobil saling senggol di parkiran. Supirnya adu mulut. Aku minggir dulu, sudah ada satpam yang melerai." Senja manggut-manggut. Ternyata kekhawatirannya tadi tak terjadi. Dia pikir keributan itu berhubungan dengan papa mertuanya. "Papa nggak kenapa-kenapa kan, Mas?" tanya Senja lagi. "Dokter bilang, kejadian ini cukup berpengaruh sama strokenya papa. Kalau dibilang makin parah ya nggak separah itu. Cuma papa memang harus lebih banyak istirahat. Kamu tenang saja, Sayang. InsyaAllah papa akan lekas membaik. Lintang gimana? Dokter Ismail sudah datang?" tanya Langit sembari duduk di kursi samping area parkir. Setelah mengurus administrasi, Langit sengaja memilih duduk di sana untuk menenangkan diri dan mengabari istrinya. Di kamar inap, papanya sudah ada yang menjaga. Astuti, perawat papanya selalu siaga di sana. "Ya Allah, padahal papa sudah belajar banyak biar bisa lekas jalan. Qodarullah mala
[Mas Langit, bapak jatuh dari kamar mandi. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Mitra Keluarga. Maafkan saya yang nggak bisa menjaga bapak dengan baik, Mas. Kebetulan saya tadi ke mini market beli keperluan mandi. Saat pulang, Pak Lukman sama Bi Lilis sudah heboh. Sekali lagi saya minta maaf, Mas] Pesan dari Astuti, perawat khusus Dimas muncul di layar handphone Langit. Langit menghela napas panjang laluengetik balasan. [Tolong, jaga papa dulu ya, Mbak. Saya segera ke sana. Namanya musibah, Mbak. Nggak ada yang tahu. Kita doakan saja papa nggak kenapa-kenapa] "Kasihan papa, Mas," lirih Senja setelah Langit mengirimkan balasan. "Iya, Sayang. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kamu di rumah saja jagain Lintang ya? Aku sudah kasih kabar ke dokter Ismail. Mungkin sebentar lagi beliau akan datang periksa Lintang. Kamu yang tenang, InsyaAllah semua baik-baik saja," ujar Langit sembari mengusap puncak kepala Senja. "Oh, sama dokter Ismail saja ya, Mas? Nggak jadi cek dokter di rumah sakit?
Mentari menyinari bumi dengan hangat. Cahayanya menembus celah-celah daun jendela. Senja membuka gorden dan membuka jendela kamarnya. Semalam dia begadang karena Lintang demam. Bakda subuh dia baru terlelap setelah rewel semalaman. Langit pun selalu menemaninya, membantunya menggendong Lintang agar lebih tenang. "Kamu capek kan, Sayang? Istirahat dulu biar aku yang gendong Lintang." Ucapan Langit beberapa jam lalu kembali terngiang di benak Senja. Dia menatap sosok lelaki yang tidur di ranjang karena kelelahan. Diusapnya pelan kening Langit lalu mengecupnya. Senja tersenyum, menatap wajah suaminya yang tetap tampan meski terlelap. Tatapan Senja beralih di box bayi yang tak jauh dari tempat tidurnya. Di sanalah buah hatinya terlelap. "Terima kasih, Mas. Kamu tak hanya menjadi suami siaga, tapi juga seorang lelaki yang sudah siap dengan status barumu sebagai ayah," ujar Senja lirih. Senja beranjak dari tepi ranjang lalu turun ke lantai bawah. Dia ingin membuat roti panggang dengan
[Ja, kenapa kamu ngasih gelang sama kalung begini? Mana mahal banget harganya] Pesan dari Ririn masuk ke aplikasi hijau milik Senja. Senja tersenyum lalu mengetikkan balasan. Senja tahu bagaimana keadaan sahabatnya itu, namun dia hanya mendengarkan cerita Ririn dan tak ingin mencampuri masalah rumah tangga sahabatnya terlalu jauh. Senja sengaja memberi perhiasan karena Ririn sudah membantu dan menemaninya pasca melahirkan. Dia hanya berharap perhiasan itu bisa digunakan Ririn jika keadaan mendesak. Bahkan surat pembeliannya pun sengaja dimasukkan ke kotak itu. Jika kelak Ririn akan menjual barang pemberiannya, Senja tak masalah. Justru dia sengaja memberikan itu untuk tabungan Ririn jika sewaktu-waktu dibutuhkan. [Lebih mahal waktu dan kesabaran kamu ngerawat aku, Rin. Pokoknya aku berterima kasih banget kamu sudah datang tiap hari ke rumah selama dua bulan belakangan ini. Aku merasa ada teman saat Mas Langit sibuk dengan pekerjaannya bahkan saat dia keluar kota. Pakai ya? Kalau me
"Bukannya tiap hari kamu masakin ibu cuma tempe, tahu, bayam, kangkung? Kalau aku pulang lembur juga masakannya sudah habis. Makanya, aku beli makan dari luar karena tahu kalau sampai rumah semua sudah habis."Ririn menghela napas. Dia benar-benar kaget mendengar ucapan suaminya yang dia yakini semua akibat fitnah mertuanya. "Duit sejuta dari kamu itu kalau dibilang cukup ya nggak cukup, Mas. Apalagi kalau makannya minta yang enak-enak. Itu sejuta kan bukan cuma buat dapur, tapi masih kepotong wifi, listrik, air, uang sampah, uang sosial dan lainnya. Coba bayangkan, kamu sekali makan misal beli nasi goreng atau bakmi aja udah dua puluh ribuan. Sementara kamu kasih jatah aku sebulan buat tiga orang dewasa, masih kepotong biaya ini itu. Sisanya berapa coba? Bisa makan sama tempe, tahu, sayur saja sudah beruntung. Sesekali aku juga masakin ayam, ikan dan lainnya kok, tapi nggak bisa sering-seringlah. Kalau keseringan duitnya nggak cukup. Kalau hutang di warung, nanti kamu protes pula."