Samira mengerjap kedua matanya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Semua perlakuan dan jawaban tiba-tiba dari Morgan membuat hatinya bergetar hebat.
Tak disangkal ia sempat merasa hangat dan nyaman dengan itu. Namun, segera sadar hanya sandiwara, Samira memaksa dirinya fokus dengan tujuannya. Untuk meyakinkan Phillip, seakan mendukung kesungguhan Morgan yang ingin menikahinya, Samira mengangguk mengiyakan ucapan Morgan. Pun tidak ingin berlama-lama mendengar ocehan tante Lala yang hanya memperkeruh keadaan. Silva meneguk liurnya tidak bisa berkata apa-apa lagi, dirinya cukup malu dan tersinggung dengan ucapan Phillip tadi. Sedikit ada rasa sesal karena tidak bisa menahan diri dari hasutan adiknya sampai ikut-ikutan meremehkan Morgan. "Harusnya kamu bisa menjaga bicaramu di depan Philip, Lala!" bisik Silva menggertak giginya. "Terserah kamu percaya padaku atau sama mantan suamimu itu, Silva," ketus Lala melengos pergi. Silva tidak menjamin Philip tidak akan membahasnya nanti. Yang hanya akan membuat dirinya semakin menyedihkan di depan mantan suaminya itu. Sesaat berbincang-bincang, sandiwara Morgan juga sangat menyakinkan kedua orangtuanya. Menghindari ibunya bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Morgan, Samira ikutan pamit alih-alih melanjutkan kencan dengan Morgan. "Terimakasih sudah berperan baik tadi," ucap Samira membuka suara. Wajahnya memerah dengan dada berdebar-debar setelah hanya berduaan dengan Morgan sekarang. "Ini bayaran kamu! Aku minta maaf untuk hal yang tadi. Aku rasa kamu bisa melupakannya," ujar Samira meletakkan setumpuk uang yang baru saja dikeluarkan dari sling bag-nya ke dashboard mobil Morgan. Sedikit lega setelah berhasil menepati janjinya kepada kedua orangtuanya. Meski harus menahan rasa gugup dan malu sepanjang duduk bersebelahan dengan Morgan. Urusan janji-janji tadi, nanti-nanti ia pikirkan lagi. Seenggaknya ia sudah bisa membuktikan dirinya bisa menjalin hubungan dengan pria, pun membersikan namanya atas kejadian semalam. Setelah ini iapun akan terbebas dari kata-kata yang menyakiti hatinya. Beberapa saat menunggu, tidak ada tanggapan dari Morgan, Samira mulai berkeringat dingin. Saking gugupnya, sampai ia bisa mendengar suara degup jantungnya yang memompa lebih cepat dari biasanya. Samira mengatur napas, menyeka asal keringat yang memenuhi dahinya dengan punggung tangannya. Sekilas melirik ke samping namun Morgan hanya melajukan mobil sampai berhenti di satu tempat. Sangat santai Morgan menghempas punggungnya ke sandaran kursi. "Ini, ambillah kembali, tidak perlu membayar ku cuma untuk melakukan hal tadi," ucap Morgan tanpa emosi, meraih tumpukan uang dan mengembalikannya ke Samira. Samira terperangah, menatap Morgan dengan mata melotot. Takut Morgan benar tersinggung dengan hal tadi, jadi ia berpikir menambahkan bonusnya sebagai permintaan maaf. "Kamu tidak perlu marah dengan mengembalikannya. Aku akan menambahkannya!" Tangannya cekatan mengeluarkan beberapa lembaran uang dari dompet dan kembali menyodorkannya ke Morgan. "Ambillah, kalau masih kurang tinggal bilang saja," tambah Samira terdengar royal. Morgan tertawa kecil. Kemudian menyilangkan tangan di dada menolak pemberian Samira seraya berkata, "Tidak perlu begitu, simpan saja uang kamu Kedua bola mata Samira membulat sempurna, kemudian hanya tertawa kecil. Pegawai magang ini terlalu menjaga harga dirinya. Ia pun tahu berapa gaji pegawai magang, tidak sebanding dengan uang yang ia berikan ini. "Kamu tersinggung dengan ucapan tante Lala tadi?" "Bukan. Semua itu benar, kamu memang atasanku di kantor dan aku cuma pegawai magang!" Samira menelan liur kecewa, tidak ingin membahasnya lagi, yang hanya membuat dirinya semakin malu. "Kita sudah membuat kesepakatan, jadi itu milikmu," jawab Samira memalingkan wajahnya. Sejenak Morgan menghela napas panjang sebelum menghempasnya kasar. Melipat kedua tangan di belakang untuk menyanggah kepalanya. Menoleh ke samping dengan berkata tenang, "Aku rasa kita berdua memiliki problem yang sama." "Maksudnya, kamu juga didesak menikah?" buru Samira tanpa malu-malu menoleh cepat. Berlahan mengurai tatapannya dari wajah Morgan. Melihatnya masih muda, tidak mungkin keluarganya mendesaknya segera menikah. Mana baru memulai pekerjaannya hari ini. "Yah, kurang lebih begitu. Aku sangat membutuhkan pasangan sekarang." Dingin Morgan menjawab, dagunya terangkat tinggi, menggeser tatapannya lurus ke depan. "Sebagai pacar?" Kedua bola mata Samira membulat sempurna. "Bukan, tapi istri!" "I-istri?" Samira memutar badan cepat menghadap Morgan. Matanya melebar sempurna saking kagetnya. "J-jadi kamu mau menikah?" lanjutnya. "Tepatnya menikah kontrak!" "Apa?" Samira membuang wajah, bahunya melorot kecewa. Ia bahkan tidak pernah berpikir sejauh itu. Penasaran, masakan setampan Morgan harus menikah kontrak. Mungkin, ia sendiri pun tidak akan menolak kalau Morgan mau menikah benaran dengannya sekarang. Samira merenung sejenak. Usianya sudah 34 tahun, menjalani pernikahan kontrak hanya membuang-buang waktunya saja. Ia butuh seseorang yang benar-benar siap menikahinya. "Aku tidak memaksa kamu harus tertarik dengan tawaran ini. Pikir-pikir kita memiliki problem yang sama dengan misi yang berbeda! Kamu bisa lepas dari desakan keluarga besarmu, dan aku juga bisa melanjutkan misiku!" Beberapa saat Samira terdiam, seolah mencerna tawaran Morgan. Bila berpikir-pikir, tawaran ini sangat membantunya. Ia bisa terlepas dari tantenya. Ia juga tidak mau keluarganya memiliki tanggapan miring atas dirinya yang berganti-ganti pacar. Ayahnya bahkan sudah percaya Morgan akan segera menikahinya. Tapi ... menikah kontrak belum pernah ada di dalam pikirannya. "Kontrak berapa lama?" "Sampai misi kita berdua selesai." Samira kembali terdiam. Misi sebenarnya ingin menikah benaran. Jadi, tidak ada batas waktu. Melihatnya membungkam, buru-buru Morgan menarik ucapannya. "Kalau kamu keberatan, aku tidak memaksa!" Gemuruh dada Samira meningkat, ia masih ragu menerima tawaran gila namun ... Otaknya terus memutar. Ragu, karena Morgan masih belum bisa menunjukkan yang diinginkan oleh Philip. Takut papinya itu belum setuju ia menikah sekarang. Tapi ... Samira juga takut kehilangan tawaran Morgan ini. "Apa kamu bisa menjaga rahasia pernikahan kontrak kita nanti dari kedua orangtuaku?" tanya Samira tidak mau jika rahasia itu sampai terbongkar. Ia tahu apa yang akan terjadi. Untung-untung hanya ditertawakan, yang ada malah jadi bahan sindiran pedas tante dan ibunya seumur hidup. Atau, ibunya tidak segan-segan mengusirnya tinggal dengan istri muda ayahnya. "Iya, karena hanya kita berdua yang boleh tahu rahasia pernikahan kontrak itu nanti." Itu yang diinginkannya, Samira menghela napas lega. Namun, ada satu hal yang masih membuatnya ragu. "Kamu bisa meyakinkan kedua orangtuaku, Morgan? Maksudku, kamu cuma ..." Samira berkata pelan, menghentikan ucapannya takut membuat Morgan tersinggung. Terlihat Morgan meneguk liur. Matanya tegas menatap bola mata Samira, raut wajahnya tanpa ekspresi seolah ingin mengungkap rahasia besar dirinya yang tidak diketahui Samira. "Tidak perlu ragu, aku akan meyakinkan Tuan Philip!" "Tuan Philip?" Samira menyipitkan matanya, mendengar Morgan sudah dua kali menyebut nama ayahnya. "Kamu tahu nama papi ku?" Morgan tengah bersiap melajukan mobil, memutar kepalanya ke samping, mengangguk cepat dan menjawab pendek, "Iya." Samira berpikir keras mengingat kapan ia mengatakan itu ke Morgan. Tidak mau terus-terus penasaran, ia memberanikan bertanya, "Apa aku yang memberitahukannya padamu?" Tanpa mengurai tatapannya dari wajah Samira, Morgan menggeleng lemah. "Bukan." "Lalu?" Samira menaikkan dagunya. Ada rasa takut Morgan memang mengenali dirinya. Tatapan mata dingin itu membuatnya tidak berkutik. Cepat-cepat Samira membuang wajahnya menghindari tatapan tajam itu. Hatinya tidak berhenti bergetar setiap bersirobok pandangan dengan bola mata gelap Morgan. Seingatnya, nama Philip hanya tertulis di kalung yang ada pada Morgan. Namun, Samira tidak cukup berani menanyakannya. "Ini punyamu, 'kan?" Kaget, kedua bola mata Samira kembali membulat sempurna. ***"Samira, kenapa menutupinya dariku?" "Aku tidak menutupi apapun dari kamu. Siapa yang mengatakannya padamu?" desak Samira masih dalam rasa kaget. "Ini! Aku rasa aku tidak salah melihat. Ini milikmu, 'kan?" ucap Morgan meletakkan kotak test pack beserta kertas kehamilannya dari klinik ke dashboard mobil. "D-dari mana kamu mengambilnya?" Wajah Samira memutih seolah-olah darah berhenti mengalir di sana. Matanya melotot, terpaku pada benda yang baru saja diletakkan Morgan. "Tanpa sengaja aku menemukannya dari dalam laci meja di kamar. Aku sedang mencari-cari remote AC tadi, karena kamu lupa mematikannya." Samira terdiam dan menjauhkan wajahnya. Ia tersudut karena tidak bisa membantah lagi. Ia juga pasrah apapun keputusan Morgan dengan hubungan mereka sekarang. Ia juga yakin, jika Timothy sudah menyampaikan semua pembicaraan mereka tadi kepada Morgan "Samira, apa aku bisa bertanya?" "Hmm, apa ada yang penting dibicarakan sekarang?" jawab Samira balik bertanya. Mengangkat
"What? Kamu jangan mengada-ada, Tim! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu kalau sampai berbohong!" "Silakan pulang sekarang dan tanyakan padanya. Samira sudah mengakui kalau dirinyalah wanita yang bersama anda malam itu.""Hahk! Jelas ia bisa saja mengaku-ngaku agar bisa mendapatkan kalung unik itu! Kamu tahu berapa harga kalung itu?" geram Morgan."Yah, Tuan Philip sudah menunjukkan kwitansi pembelian kalungnya. Dan, hanya Samira seorang yang memiliki kalung seperti itu!" jelas Timothy."Sekarang misi sudah selesai. Dan, selama ini pun kamu sudah menikah dengan wanita yang kamu cari-cari," ujar Timothy mengangkat kedua tangannya di atas telinganya."Tim ..." Morgan menggertak gerahamnya kasar. "Apa Samira yang mengatakan itu semuanya?""Yah, itu benar. Aku sangat lelah, jadi harus pulang sekarang."Morgan meremas angin dalam genggaman tangannya. Antara senang dan rasa bersalah setelah mengetahui siapa gadis yang dicari-carinya selama ini.Morgan kembali menghenyakkan duduknya
Tidak lama menunggu di tempat yang mereka janjikan, tampak Timothy berjalan masuk menuju meja Samira menunggu."Maaf membuatmu menunggu," ujar Timothy."Hmm, aku juga baru tiba. Oiya, kamu sendirian kan?" tanya Samira. Kepalanya celingukan seperti mencari seseorang yang datang bersama Timothy."Yah, memangnya harus dengan siapa?""Hehee, nggak seh." Samira tampak salah tingkah. Sedikit lega karena tidak melihat ada Morgan di sana Timothy mencari posisi duduk yang nyaman dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pria tampan tersebut menumpulkan tatapannya di wajah Samira yang tampak sedikit memerah karena malu-malu.Rahang wajahnya mengeras, tatapan matanya sangat serius menatap gadis cantik di depannya. Seakan pria tersebut menyimpan sebuah rahasia besar yang ingin diungkapkan saat itu juga."Samira, apa kamu memiliki hubungan dekat dengan Morgan?" Nada suaranya terdengar tegas."A-apa maksud kamu, Tim?" Setengah mati Samira menguasai rasa gugupnya. Namun, ia tetap berusaha memaksak
"Iya! Kamu tahu apa yang bisa aku lakukan padamu jika sampai mengabaikan perintahku, Tim!" "Satu lagi, kamu melupakan cara sopan menyebut Tuan Muda Morgan Francois!""Itu sangat berpengaruh dengan kedudukan kamu sekarang, Tim?"Morgan melirik ke samping, sengaja menaikkan salah satu sudut bibirnya. Senyumnya sinis penuh ancaman.Merasa terancam Timothy menjadi sedikit gugup, mencoba mencari pembenaran diri. Dia tidak mau kalau Morgan sampai mengadukan yang bukan-bukan kepada pak Baroto. Bisa-bisa pria tua itu menghukumnya jadi pegawai magang.Otak cerdasnya memutar cepat, mungkin cara tepat menyelamatkan dirinya sekarang, dengan menyinggung tentang wanita misterius itu."Oke, saya salah Tuan Muda! Mungkin terbawa suasana jadi ya keceplosan," ujar Timothy menggaruk-garuk kepala belakangnya."Hahaa. Tidak perlu terlalu serius, aku juga cuma bergurau." Morgan menyahuti sambil tertawa kecil namun terdengar menakutkan."Sekarang kamu lakukan apa yang aku perintahkan tadi, Tim!" Kemudian
"Tim, aku pinjam charger ponsel kamu ini, ya," ujar Samira seraya tangan kirinya cepat-cepat menutup laci meja. Sementara tangan kanannya lantas meraih charger yang ia letakkan tadi di atas meja, dan menunjukkannya kepada Timothy. Namun, sang pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu, enggan mengangkat kepala sekedar melihat Samira. "Apa kamu mendengar ku?"Timothy yang kurang fokus mendengar, bertanya, "apa tadi? Charger ya?""Hmm, iya. Ponselku mati, nih. Mana aku lupa membawa charger nya.""Ooh .. tidak apa-apa, pakai saja." Santai Timothy menjawab. Menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana berbahan thaisilk yang dia kenakan.Samira bergeser dari kursi kebesaran Timothy ke arah kursinya guna memberi ruang kepada sahabatnya itu. Gemuruh dadanya meningkat menunggu reaksi pria itu. Ia takut kalau Timothy sampai melihatnya memegang kalung yang ia lihat di laci tadi. Yang ia yakini itu adalah kalung miliknya yang tertinggal pada Morgan di malam panas itu."Apa urusan
"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu