Share

Bab 6 Cepatlah Pergi ke Rumah Suamimu

"Aku setuju.” Damar tersenyum, lalu mengangguk pelan.

Mereka berdua lalu berjabat tangan, tanda telah menyetujui perjanjian pernikahan. Meski tidak ada perjanjian secara tertulis—belum, tetapi Soraya yakin, Damar adalah pria yang bisa dipercaya.

Tidak hanya itu, Damar bahkan pria yang begitu perhatian. Sebab, sebelum mereka kembali masuk ke Gedung pernikahan Sabrina dan Cakra, pria itu meminta Soraya untuk mengganti bajunya dengan baju yang telah disiapkan oleh pria itu.

“Kapan kamu menyiapkannya?” Soraya bertanya saat seorang perempuan yang tebakannya adalah orang suruhan Damar, membawakannya sebuah gaun pernikahan. “Melihatmu menyiapkan semuanya, aku curiga kalau kamu bukan pelayan biasa.”

Kerutan di dahi Soraya tidak hilang-hilang ketika bertanya. Banyak kejanggalan yang ia temukan pada Damar, sikapnya dan juga kesiapannya pada pernikahan dadakan mereka.

Namun demikian, pria itu hanya tersenyum. “Meski pernikahan ini dadakan, aku ingin istriku memakai gaun semestinya.” Damar menunjuk kotak hitam yang berisikan baju pernikahan. “Meskipun itu hanya sebuah gaun sewaan.”

Soraya menatap kotak yang dipegangnya dan Damar secara bergantian. Gaun sewaan? Pikirnya lagi-lagi curiga.

Di kotak itu tertulis sebuah merk gaun ternama, yang mana ia yakin betul merk itu tidak menerima sewa, apalagi untuk gaun pernikahan. Tetapi, karena tidak memiliki waktu lagi karena pernikahan mereka akan segera dilaksanakan … Soraya pun akhirnya memilih untuk percaya.

Tepat setelah pernikahan Sabrina dan Cakra selesai digelar, ketika tamu sudah mulai meninggalkan gedung … pernikahan Soraya dan Damar dilaksanakan.

Meski diadakan dengan dekorasi sisa pernikahan adiknya, mendapati dirinya tetap menjadi pengantin wanita di hari ini nyatanya membuat Soraya gugup.

Tidak ada penyambutan kala dirinya jalan ke altar seperti pengantin lainnya, tapi Soraya tetap senang. Senyumnya tidak luntur kala ia melangkah menuju altar. Terlebih, saat melihat Sabrina terkejut sebab ia memakai gaun pernikahan juga.

Damar dan Soraya mengikat janji. Keduanya kini telah resmi menjadi sepasang suami istri.

Tepat setelah itu, Bu Amber menghampirinya. Bukan untuk mengucapkan selamat, melainkan datang dengan ucapan sinisnya.

"Setelah ini, kamu bisa mengemasi barangmu dan mengikuti suamimu. Kami tidak punya lagi kewajiban memberikan nafkah padamu."

"Tenang saja, Bu. Soraya sudah jadi tanggung jawab saya. Perihal nafkah, Anda tidak perlu khawatir."

Melihat kepercayaan diri tumbuh begitu besar di wajah kakak iparnya, Sabrina lantas berdecih. “Percuma punya wajah tampan, kalau kamu tidak kaya, Kakak Ipar.”

"Biarlah, Sayang. Dia dan Soraya memang pasangan yang cocok. Sama-sama berstatus rendah," ledek Cakra.

Soraya ingin membalas ucapan Cakra. Tapi Damar mencegahnya agar tidak menimbulkan keributan untuk kedua kalinya. “Terima kasih telah memberiku kesempatan menikahinya, Cakra.”

Di hadapannya, Cakra terlihat geram kala namanya disebut. Pria itu mengepalkan kedua tangan. “Meski kamu kakak iparku, bukankah seharusnya kamu tau sopan santun?”

“Sudahlah, Sayang. Mereka memang tidak punya otak! Jangankan otak, uang saja mereka mungkin tidak ada.” Sabrina mencoba menenangkan suaminya yang mulai kepanasan. “Lihat saja bajunya, meski itu sangat mirip dengan merk ternama, aku yakin itu hanyalah gaun imitasi. Mana mungkin, seorang pelayan dan anak angkat yang hanya desainer tidak berbakat mampu membeli gaun seperti itu, kan?”

Kini, Soraya tidak bisa diam lagi. Kekesalannya sudah mencapai puncak, sebab hinaan dari Sabrina bukan lagi mencecarnya, tetapi juga sang suami.

“Dengar, ya, Sabrina! Meski gaunku hanya gaun sewaan, aku senang karena gaun ini diberikan suamiku untukku!” Soraya memandang gaun yang dikenakan Sabrina dengan decihan, lalu bergantian menatap Cakra dengan pandangan murka. “Bukan seperti suamimu, memberikan gaun yang seharusnya untuk orang lain. Iya kan, Cakra?”

Seketika Cakra membulatkan matanya, ternyata Soraya menyadari kalau resepsi pernikahannya menggunakan semua ide yang dicetuskan oleh Soraya kala masih pacaran. Tapi Cakra berhasil menutupi kegugupannya itu dengan merangkul Sabrina yang kini resmi menjadi istri sah.

“Kamu ini bicara apa sih, jangan mengada-mengada deh,” ucap Cakra.

“Aku punya buktinya, Cakra. Apa kamu mau aku permalukan lagi,” balas Soraya dengan sorot mata yang tajam.

“Cukup Soraya. Jangan bertingkah konyol lagi di depan umum seperti ini,” tegas Pak Kwong.

Pak Kwong memberikan tiket pesawat untuk bulan madu, Cakra dan Sabrina. Lengkap dengan hotel dan fasilitas lainnya. Hati Soraya menjadi sesak, karena melihat hal itu. Beruntung sekali Sabrina mempunyai orang tua yang menyayanginya. Seandainya itu adalah Soraya, saat ini mungkin dia sudah menjadi orang yang paling bahagia.

“Cepatlah pergi bulan madu, anakku. Kalian harus menikmati masa indah pernikahan yang telah disiapkan oleh ayahmu,” ucap Bu Amber sembari melirik Soraya dengan senyuman menghina. Mungkin dia sadar mimik wajah Soraya yang menunjukkan kesedihan.

“Soraya, kamu tidak boleh iri denganku karena mendapatkan semua ini dari ayah dan ibu,” ledek Sabrina.

“Aku tidak akan pernah iri denganmu, karena suamiku akan mengajakku bulan madu setelah ini,” balas Soraya sambil menggandeng erat tangan Damar. “Iya, ‘kan, sayang?”

Damar hanya mengangguk tanda ia menyetujui pernyataan istrinya. Sedangkan Sabrina mendecih kesal, bisa-bisanya Soraya masih bisa menyombongkan diri menikah dengan seorang pelayan. Memangnya seorang pelayan bisa membawanya bulan madu kemana.

“Sabrina, jangan buang waktumu untuk hal yang tidak penting,” ucap Bu Amber. “Cepatlah pergi bersiap-siap untuk bulan madu,” imbuh Bu Amber. Sabrina mengangguk, lalu menggandeng Cakra dengan bahagia meninggalkan tempat itu.

Bu Amber menatap Soraya yang membuatnya kesal sekaligus malu di hari pernikahan sang putri hari ini.

“Kamu juga cepatlah pergi. Bukannya tadi kamu sudah bilang bisa menafkahi Soraya,” ucap Bu Amber sambil melipat kedua tangannya.  

Damar menggenggam jemari tangan Soraya seraya membisikkan kalimat, “Pamitlah ke orang tuamu, kita akan pulang sekarang,”

“Kita langsung ke rumahmu sekarang?”

Damar hanya mengangguk pertanda mengiyakan. Soraya menatap kedua orang tua angkat yang ada di depannya itu, “Ayah, Ibu, saya pamit,” ucapnya kemudian. Bagaimanapun juga Pak Kwong dan Bu Amber sudah mengasuhnya, jadi ini adalah penghormatan terakhir untuknya. Pak Kwong mengangguk, sedangkan Bu Amber mengibaskan tangannya tanda menyuruh Soraya segera pergi dari hadapannya.

Soraya pergi, mengikuti langkah kaki Damar yang menggandeng tangannya. Hatinya sesak mengingat semau impian pernikahnnya dipakai orang lain. Tapi dia lega juga karena sudah tidak lagi menjadi beban di keluarga Kwong.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Damar, Soraya hanya melamun, larut dalam pikirannya sendiri. Hingga tidak terasa mereka berdua sudah sampai di depan rumah mewah.

“Ayo turun, kita sudah sampai,” ajak Damar.

“Damar, kamu mau ajak aku tinggal di rumah majikanmu?” tanya Soraya yang kebingungan karena yang dia lihat adalah sebuah rumah mewah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Nah . Damar horang kaya. ...terus aja menghina Soraya Sabrina ntar kamu kaget kalo tau damar tajir melintir hihi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status