Share

Bab 5 Perjanjian Pernikahan

Soraya menelengkan kepalanya menatap Damar. “Apa yang aku dapatkan dari menikahimu, Damar?”

Lelaki itu mengedikkan bahu, santai. “Kebebasanmu, mungkin?”

Sesaat, Soraya terhenyak. Ucapan Damar begitu tepat, seolah lelaki itu sudah tahu kehidupannya.

Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, mengusir kemungkinan-kemungkinan yang mana sulit terjadi di dunia nyata.

Bagaimana pun, menemukan lelaki yang ternyata telah mengagumi sang wanita sejak lama tanpa wanita itu tahu … adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi di dunia nyata!

Soraya mengembuskan napas panjang, sebelum menjawab. “Katakanlah aku bersedia. Apa isi perjanjian itu?”

Kemudian, Damar terlihat menoleh ke kiri dan kanan, menilai situasi. Terlihat, para tamu mulai kembali memadati aula pernikahan Sabrina. Antreannya bahkan mengular, hingga keluar.

“Mau berbicara di luar?” tawar Damar. Lelaki itu kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang.”

“Tidak usah. Aku tidak lapar.”

Namun kemudian, tiba-tiba terdengar suara perut Soraya berbunyi.

Damar terlihat menahan tawa. Lelaki itu berdeham. “Ya, aku percaya kamu tidak lapar.”

Seketika, pipi Soraya bersemu merah. Ia malu, karena Damar menggodanya karena suara perutnya yang bunyi tadi.

Tanpa menunggu persetujuan lagi, Damar kemudian menarik Soraya keluar dari area Gedung pernikahan, menuju sebuah restoran yang berada di seberangnya.

“Kamu yakin mau makan di sini?” Ketika duduk di bangku yang dipersilakan Damar, Soraya berbisik. Ia mendongak, menatap Damar yang masih berdiri dan berbisik, “Harga restoran di sini mahal loh?”

Damar tersenyum tipis. “Tenang saja, aku masih sanggup membayar bill-nya.”

Kemudian, pria itu menarik kursi di hadapan Soraya. “Kita masih bisa pindah, kalau kamu mau. Aku hanya tidak mau kamu menguras semua tabunganmu.”

“Kamu tidak perlu khawatir, tabunganku masih cukup.”

Menyerah membujuk Damar untuk mencari restoran yang lain, Soraya pun pasrah. Namun, ia bertekad, akan memilih menu dengan harga paling murah.

Meski ia lapar, ia tidak ingin menyulitkan Damar, orang yang baru ditemuinya hari ini.

Rupanya, hal itu disadari Damar. Lelaki itu gegas menyebutkan menu tambahan, ketika Soraya hanya memesan air mineral dan sepotong roti saja.

Melihat hal itu, Soraya memelotot. Namun, ia menahan suaranya hingga pelayan pergi dari meja meraka.

“Bukankah lebih baik uangmu itu ditabung untuk membeli barang yang lebih penting?” tanya Soraya. Jika ditilik, mungkin pesanan mereka berdua bisa menyentuh angka sekian juta.

“Membelikan calon istriku makanan yang layak juga bagian dari hal penting.” Jawaban Damar lagi-lagi sukses membuat Soraya terpaku.

“Kamu ternyata bermulut manis, ya?” Wanita itu mencoba mengalihkan gombalan Damar yang berhasil membuatnya tersipu.

“Tidak juga.” Damar menyahut singkat, sebab terlihat pelayan mulai menyajikan pesanan mereka.

Meja mereka kini penuh dengan makanan. Damar benar-benar berniat memperbaiki gizi, rupanya. Sebab lelaki itu memesan hampir semua—protein, sayuran, hingga makanan penutup yang beragam.

“Kamu tahu, Damar. Meski dibesarkan oleh keluarga kaya, aku jarang sekali memakan makanan seperti ini.”

Soraya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, tentu saja. Meski ia lebih mampu membeli makanan enak untuk dirinya sendiri, tetapi karena keadaannya yang agak berbeda, ia lebih memilih untuk menggunakan uangnya sewajarnya.

Di hadapannya, Damar mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa bicara. Lelaki itu dengan setia mendengarkan celoteh Soraya sambil gadis itu memakan makanan mereka.

“Makanlah. Kalau kurang, kita bisa pesan lagi.”

Mulut yang masih penuh dengan makanan, membuat Soraya menggoyang-goyangkan tangannya, tanda menolak. Setelah mulutnya kosong, barulah ia berujar, “Tidak perlu. Aku tidak mau berhutang banyak padamu.”

Damar tidak menyahut, mereka berdua kemudian terhanyut dalam makanan masing-masing.

Setelah semua makanan habis dan piring-piring kosong diangkut oleh pelayan … Damar dan Soraya memulai percakapan serius mereka.

“Boleh aku mengajuan perjanjian lebih dulu?” tanya Soraya.

“Boleh, silakan.” jawab Damar.

“Karena pernikahan ini bukan didasari suka sama suka, aku minta ketika menikah nanti kamu tidak boleh mencampuri urusan pribadiku, begitu sebaliknya aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu.”

“Oke, aku setuju,” jawab Damar cepat.

“Bagaimana dengan durasi perjanjian?” tanya Soraya lagi.

Damar terlihat berpikir. “Seperti yang kubilang, aku tidak keberatan menjalani pernikahan sungguhan, tapi kalau kamu keberatan … kita bisa coba satu tahun dulu.”

Kemudian, Soraya menimbang. Ia yang tidak pernah berniat mempermainkan pernikahan, jelas menginginkan pernikahan yang langgeng.

Namun, mengingat pertemuannya dengan lelaki di hadapannya ini terjadi tanpa diduga … rasanya satu tahun itu dibutuhkan sebagai waktu pengenalan.

Soraya mengangguk, “Baiklah. Satu tahun agaknya waktu yang pas untuk kita saling mengenal.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Ntar lewat dari satu tahun deh hihi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status