Share

bab 7 Selamat Datang di Keluarga Huang

“Rumah majikan?” ucap Damar sambil mengerutkan keningnya, tetapi tidak lama pria itu kembali bersuara. “Ya, ini rumah majikanku,” ucapnya sambil tertawa.

Sontak, Soraya dirundung kepanikan. Ia meraih lengan Damar, menahan pria itu untuk melangkah.

“Kamu gila?!” makinya dengan berbisik. “Kenapa tidak bicara dari awal? Kalau gitu, ayo kita cari kontrakan saja. Uangku kayaknya masih cukup untuk cari kontrakan petak beberapa bulan.”

Di hadapannya Damar menatap Soraya dengan tatapan lembut, “Tidak usah khawatir, percaya saja padaku.”

Meski masih ragu, Soraya akhirnya mengangguk. Sebab, pria itu terlihat begitu yakin, terlebih kala tangan pria itu menggenggam tangannya dan mereka melangkah memasuki rumah mewah itu bersama.

“Damar!”

Seorang wanita separuh baya yang terlihat masih cantik menyambut mereka dengan tatapan membola. Soraya tebak, wanita itu adalah majikan Damar yang marah karena anak buahnya tidak bekerja dengan baik.

Soraya jadi takut kalau Damar akan dipecat dari pekerjaannya. “Perkenalkan Bu, saya Soraya, istrinya Damar.” Berpacu dengan degup jantungnya, ia menatap sorot ibu tersebut yang kini mengarah padanya. “Maaf, kalau kedatangan saya ke sini mengagetkan. Tapi, kalau Ibu tidak berkenan, kami akan segera pergi dari sini.”

“Suami?” Wanita paruh baya itu menatap Soraya, lalu bergantian menatap Damar. “Kapan kamu menikah, kenapa keluargamu tidak tahu?”

Soraya semakin gugup. Namun berbeda dengan Damar yang justru terlihat santai. Pria itu bahkan berusaha menahan tawa.

“I-itu … Maafkan saya lagi, Bu. Tapi, pernikahan kami memang mendadak.” Soraya menatap Damar, meminta pertolongan, tetapi pria itu tak acuh. “Damar diminta menikahi saya tadi, ketika dia sedang bekerja sebagai pelayan di pernikahan adik saya.”

Kerutan yang semakin dalam terlihat di dahi wanita tua itu. “Tapi anakku bukan pelayan.”

Mendadak, Soraya membatu, kemudian dia menoleh ke arah Damar seolah meminta jawaban.

“Soraya, perkenalkan wanita yang ada di depanmu ini adalah mamaku,” ujar Damar setelahnya.

“Jadi, dia … M-mama?” ucap Soraya terkejut.

Damar mengangguk pelan seraya tersenyum. Soraya menjadi kikuk mau berbuat apa.

“T-tapi, kamu bilang kamu–”

Kini, Soraya mulai mengerti sedikit demi sedikit. Damar yang ia kira pelayan, dan bekerja di pernikahan adiknya ternyata adalah seorang anak dari kalangan berada.

Memikirkan hal itu, mendadak terbesit di pikiran Soraya kalau pernikahan mereka mungkin akan menghadapi halangan. Orang kaya, mungkin akan menginginkan pernikahan anak mereka dengan anak dari keluarga setara.

Sementara dirinya … hanya anak angkat dari keluarga kaya. Itu pun ia telah dibuang, dan kini hanya tersisa asal usulnya yang hanyalah seorang anak dari panti asuhan belaka.

“Tenanglah, Soraya. Pernikahan kita bukanlah masalah.” Seolah mengerti, ucapan Damar barusan benar-benar membuatnya tenang.

“Bukan masalah, memang … tapi Mama butuh penjelasan.” Wanita paruh baya itu bertitah tegas. “Damar, bawa istrimu ke ruang keluarga.” 

Kemudian wanita itu melangkah lebih dulu, membuat Damar dan Soraya mengikuti langkahnya.

“Siapa yang mau menjelaskan semuanya?” Mamanya Damar langsung membuka pertanyaan, setelah seorang pembantu rumah tangganya menyajikan minuman dan camilan di hadapan mereka. 

Kembali, Soraya menjelaskan dengan ringkas asal mula mereka mendadak menikah, asal-usul Soraya dan keluarganya pun tidak tertinggal. Tentu, tanpa menceritakan mereka telah terlibat kesepakatan pernikahan sebelumnya.

Semua itu dijelaskan oleh Soraya seorang diri dengan perasaan gugup. Damar justru diam. Pria itu sama sekali tidak membantu Soraya, membuat gadis itu didera rasa kesal.

Soraya harap-harap cemas. Ia sudah menceritakan semua, sekarang tinggal menunggu tanggapan dari mamanya Damar soal dirinya.

Meski pernikahan ini terjadi karena kesepakatan, dan tanpa cinta … tetapi entah mengapa Soraya risau jika mertuanya tidak memberikan restu.

Terdengar helaan napas panjang dari wanita paruh baya itu.

“Semua ini memang ulah anak nakal itu!” Mama Damar menatap anaknya dengan tatapan geram. “Kamu benar-benar mempermalukan keluarga kita, Damar!”

Mendengar hal itu, Soraya mengerjap. Ia kira, ia akan kena marah dan penolakan. Namun … agaknya mertuanya itu tidak membahas lebih lanjut restunya, melainkan langsung menyalahkan sang anak karena tindakan impulsifnya.

‘Jadi, Mamanya Damar setuju?’ Soraya membatin.

“Aku akan beritahu Kakek soal ini, Ma. Mama tidak perlu khawatir,” sahut Damar, tenang.

“Tentu, itu tugasmu!” Nada geram masih terdengar saat wanita itu menimpali Damar. Mama Damar kemudian berdiri dan menatap Soraya. Tatapannya lembut, dengan lengan terbuka, “Selamat datang di keluarga Huang, Soraya. Bersiaplah, Mama akan kenalkan kamu sebagai menantu di pesta pernikahan.”

**

Setelah berbincang dengan mamanya, Damar mengajak Soraya untuk istirahat di kamar. Tapi sampai di kamar wajah Soraya menjadi tegang, dia menatap garang Damar sambil bersedekap, "Jadi, penjelasan apa yang ingin kamu berikan padaku, Tuan Pembohong?"

Damar menatap Soraya yang sedang marah itu, jika dilihat Soraya semakin cantik membuat jantungnya berdekup kencang seperti orang yang sedang jatuh cinta.

“Mama sudah menjelaskan semuanya tadi,” jawab Damar singkat.

“Tapi aku ingin dengar lagi penjelasan darimu langsung,” sahut Soraya lalu mendekat ke arah Damar yang sepertinya tidak mau buka suara itu.”Tanpa kebohongan, tentu saja!”

“Kamu sudah mengetahui semua tentang diriku dari mama tadi. Sekarang cepat mandi dan tidurlah, besok kita akan pergi bulan madu,” pinta Damar. 

Tak lupa Damar menunjukkan sebuah ruangan kecil di kamar yang besar itu berisi baju, sepatu, dan aksesoris wanita.

“Pernikahan kita hanya perjanjian kontrak. Tapi kamu sudah menyiapkan segala kebutuhanku??”

“Walau pernikahan kontrak, aku harus mendalami peranku sebagai seorang suami.”

Karena sudah lelah, Soraya tidak bertanya lagi, dia langsung mengambil salah satu baju lalu menuju kamar mandi. 

Tanpa Soraya tahu, pria itu tersenyum menatap Soraya yang berjalan dari walk-in-closet menuju kamar mandi. 

Keesokan harinya, Soraya dan Damar terbang menuju sebuah pulau yang indah dengan pemandangan lautan biru yang memanjakan mata.

Soraya merentangkan kedua tangannya, ketika berada di pinggir pantai, menikmati indahnya pemandangan ciptaan Tuhan yang belum pernah dia nikmati sebelumnya.

Namun, tiba-tiba suara seseorang mengganggu kenikmatan Soraya.

“Lihatlah kita bertemu siapa di sini.”

Dialah Sabrina yang kini menatap penuh dengki ke arah Soraya dan Damar. 

“Kenapa di mana-mana aku selalu bertemu kalian?” ucap Cakra dengan malas. “Apa kalian mengikuti kami?”

Sabrina mendengus. “Kakak ipar itu hanya seorang pelayan, kenapa bisa menyusul kita bulan madu di sini. Jangan-jangan dia rela berhutang demi bersaing dengan kita.”

“Kamu benar, Sayang,” ucap Cakra lalu tertawa setelahnya. “Tapi aku heran, mereka memilih berhutang untuk ke sini. Bukankah itu keputusan bodoh?”

Damar mengacuhkan ucapan Sabrina dan Cakra. Pria itu bahkan seolah tidak terganggu sama sekali dengan cibiran tersebut.

Berbeda dengan Soraya yang sudah gatal ingin membalas, tetapi masih ditahannya. 

“Kakak ipar kenapa diam saja, jangan-jangan memang betul kamu berhutang pada rentenir demi gengsi bisa setara dengan kita?”

“Kami tidak berusaha untuk jadi setara dengan kalian.” Akhirnya, Soraya berucap. “Lagipula, untuk apa bersikap sok kaya, lebih baik hidup apa adanya saja.”

“Menikahi pelayan saja, membuatmu berubah angkuh, Kak.” Sabrina tak mau kalah. Dia mengangkat dagunya tinggi. “Pantaslah, Tuhan tidak memberikanmu jodoh orang kaya.”

Soraya tersenyum, nyaris menyeringai. Dia meraih tangan Damar, berniat pergi dari sana. 

Namun sebelum itu, dia berujar tepat di telinga Sabrina.“Tunggu sampai kamu tau satu hal, Sab. Aku tidak yakin, apakah jantungmu itu sanggup berdetak setelah kamu mengetahui kebenarannya.” 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Syukurlah nyonya Margaret baik dan terima Soraya sebagai mantunya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status