Bab 28. A
(POV Bu Ninik)
Bagai sebuah petir menggelegar tepat di atas ubun-ubun ini, surat yang kugenggam jatuh dengan sendirinya, beberapa saat kemudian putraku Ardan keluar dengan wajah muramnya."Apa salahku, Ris? selama ini aku sudah jadi suami setia, baik, tak pernah kasar padamu."Ardan mencecar Rista dengan banyak pertanyaan, luka di hatinya teramat kentara, dan sebagai seorang ibu aku pun dapat merasa."Tahu ga, haram hukumnya bagi seorang istri menggugat cerai duluan tanpa sebab, apa kamu ga takut terhadap murkanya." Rista malah menunjukkan wajah pongahnya, seolah ia benar dan anakku berada di posisi yang salah."Jangan bawa-bawa dosa! Coba inget-inget lagi selama kita nikah apa kamu pernah kerja cari nafkah? apa itu juga bukan perbuatan dosa?" tanya Rista dengan jumawa.Ardan menunduk dalam tentu saja ia akan kalah jika ditanya hal itu, si4lnya di dekat kami ada baBab 28.B(POV BU NINIK)Apalagi dengan komentar para ibu-ibu yang lain menambah kesempurnaan firasat burukku.'Bukan ditendang ke laut lagi, tapi kalau gua udah dihempaskan ke dasar bumi, hahahaha.' Komentar Tika yang teramat pedas'Sadis amat sih ibu-ibu untung suamiku orangnya pantang pulang sebelum ada uang, kalau ga gitu siap-siap aja ga dapat jatah, hahaha.' komentar Farida pun tak kalah panas.Karena suasana hati tiba-tiba tak enak, kuputuskan untuk menyimpan ponsel dan mengurai amarah ini, keterlaluan sekali trio bengek itu, berkunjung ke rumahku hanya untuk menggali informasi lalu menjadikannya bahan gibahan dan hinaan.Saat ini ibu-ibu rese itu pasti sedang membicarakanku dengan riangnya, menertawakan kegagalan rumah tangga Ardan dan juga menertawakan kondisi rumah tangga Heri yang memalukan.Ah, ingin saja bersembunyi ke dasar bumi atas nasib memalukan ini, kukira dengan lepa
Perut yang membukit ini sudah terasa mulas-mulas, aku tahu ini pertanda akan lahirnya si kecil ke dunia, betapa haru dan bahagia yang kurasa, akan segera menimang dan memeluknya sepanjang masa.Ia memang lahir tanpa kasih sayang sempurna, di luar sana akan ada seorang ibu dan ayah yang menanti buah hatinya dengan rasa bahagia. Namun, tidak dengan bayi ini yang akan disambut oleh sang bunda saja."Mir, mau ke klinik sekarang?" tanya ibu, terlihat khawatir dan gelisah."Nanti aja, Bu, kayanya baru pembukaan satu," jawabku sambil mondar-mandir di teras rumah.Aku tak boleh manja dan lemah, bagaimana pun juga anak yang kukandung harus lahir normal, sehat dan selamat."Ya sudah nanti kalau mulesnya udah sering, kita ke klinik barusan Ibu udah telpon dokter kandunganmu."Aku mengangguk sambil menahan perihnya sebuah dorongan, hanya lantunan istighfar yang mampu menguatkan, sedangkan a
Bab 30.AIsi hati Heri (POV Heri)Usai Tania mengatakan ide konyol itu leherku berputar memandangnya beberapa ratus detik, haruskah aku lakukan itu lagi terhadap Amira? membiarkan ia terluka demi diriku yang tak bahagia."Kenapa? Kita coba aja ngomong sama Amira, aku yakin dia setuju," ujar Tania dengan percaya dirinya.Ia tak tahu saja Amira itu seperti apa, bahkan ia rela menukar nyawa demi kedua buah hatinya, sampai kiamat pun aku yakin wanita itu takkan menyerahkan anak-anak pada ayah kandungnya.Kupalingkan wajah ke arah Hanan, bayi berwajah bulat berkulit kemerahan, di wajah itu terlukis jejak ayahnya, Sisi jahatku memang menginginkan jika bayi Hanan tetap ada di sampingku."Emang kamu bisa urus bayi?" tanyaku tanpa menoleh wajah Tania."Ya pasti bisa kalau dicoba, siapa tahu aku hamil, Mas, setelah angkat anak ada kok temenku yang begitu."Kami saling terdiam dalam keriuhan, di luar sana orang-orang terdengar heboh menyaksikan dua ekor kambing di sembelih, sementara di sini aku
Bab 30.BMata ibu memerah menumpahkan segala amarah, beberapa detik kemudian ia menyeringai senang, karena semua orang beramai-ramai mencibir dan menghina kami bergantianAku tahu Tania pun sedang memendam bara yang siap dimuntahkan, oleh sebab itu sengaja aku mengeratkan cekalan, agar ia diam dan mengalah saja toh memang kami berdua yang salah."Kalau masih punya muka silakan pergi dari sini," ujar ibunya Amira, kali ini nada suaranya sedikit merendah."Dasar orang sok suci! Harusnya Anda mikir kenapa suami anak Anda bisa terpikat wanita lain, ya karena anakmu saja ga pandai jaga suami, dan juga ga pandai jaga penampilan," celetuk Tania dengan pandangan menantang.Terlihat Amira menjauh dari ketegangan sambil memeluk putranya erat-erat, dapat dipastikan lukanya kembali menganga, entah mengapa semakin waktu bergulir maka semakin dalam rasa iba ini menjalar.Maafkan aku, Amira. "Kaya Lo cantik aja, sadar diri woy coba bedak lo hapus sekarang, gua yakin muka loh ga ada apa-apanya sama
Bab 31. A(POV HERI)Semua perbuatan ada balasannya"Gimana? mau tetap menyuruhku minta maaf? sadar, Mas ini rumahku, jadi jangan seenaknya," ucapnya menantang sambil kembali duduk di kursi.Aku melirik ibu yang melengos meninggalkan kami, sudah pasti ia benci situasi ini, di mana sang menantu tak lagi menghargai dirinya, masih lebih baik Amira walau perempuan itu sering menantang, tapi ia tak pernah merendahkan suami dan mertuanya.Ah lagi-lagi Amira, ada perbedaan besar antara dirinya dan Tania, aku memang bodoh terpikat oleh perempuan yang cantik di luar, sedangkan hatinya lebih busuk dari seekor bangkai."Aku ini suamimu, Tania, ga pantes kamu ngomong kaya gitu." Suaraku sedikit merendah.Sesakit inikah rasanya tak dihargai? padahal pernikahan kami belum genap berusia satu tahun, lalu bagaimana dengan Amira yang hampir sepuluh tahun hidupnya tak pernah di hargai suami."Kalau kamu ngaku suami usaha dong cari uang, aku butuh banyak uang, pengen bayar servis mobil ga tahan kalau kem
"Aku mau kasih ini buat Tania, bagus ga?" "Bagus, Jeng." Ibu mengangguk sambil cemberut."Ini tuh oleh-oleh dari anakku yang sudah melakukan perjalanan ke Lombok, semoga aja Tania suka ya, Bu.""Anakku ada tiga, dua cowo satu cewe. Anak pertama yang perempuan punya dua butik besar di Jakarta, sedangkan anak kedua dia seorang CEO di perusahaan ternama, kalau yang bungsu sekarang lagi merintis usaha. Anak-anakmu gimana, Bu?"Ibu langsung terdiam sambil menundukkan wajah, apa yang harus ia katakan karena semua anaknya tak ada yang berhasil sukses dan membanggakan."Anak-anak Ibu itu pengangguran semua, Tante. Apalagi Ardan anak bungsunya kerajaannya tiap hari cuma ngerem aja di kamar kaya anak gadis," sahut Tania sambil melangkah menghampiri.Ibu diam dengan wajah murkanya, kali ini ia tak memiliki daya untuk melawan serangan hinaan."Semua manusia itu sama cuma ahlak dan keimanan yang membedakan. Ayo, Bu, masuk ke kamar," selaku berusaha memotong ucapan mereka yang menyakitkan."Tunggu
Bab 32.A(POV Rista)Semenjak perceraianku dan Ardan dilayangkan, Ayra anak kami selalu rewel tiap harinya, entah itu siang ataupun malam, bahkan seorang pengasuh berpengalaman pun tak dapat membuatnya tenang.Apakah ia memiliki ikatan batin yang kuat dengan ayahnya? secara anak itu sering digendong Ardan siang dan malam.Puncaknya adalah saat ini anak itu menangis dengan kuatnya, sudah dicek popok tak basah, di bajunya pun tak ada serangga bahkan ia tak ingin meminum ASI yang kuberikan, anak ini benar-benar membuatku stres!"Ayra masih rewel, Ris?" tanya mama usai membuka pintu kamar."Iya," jawabku sambil berdecak kesal.Kesal karena merasa terjebak oleh keadaan, seharusnya aku masih bebas mengekspresikan diri di luar sana, bukan terjebak menjadi seorang ibu yang harus menyusui siang dan malam."Ya sudah biar saya yang gendong." Mama mengambil alih Ayra dari tangan pengasuh, karena aku sudah lelah sejak tadi menggendong dan menenangkan tangisannya.Satu menit hingga lima menit tangi
bab 32.B (POV Rista)Mama berdecak kesal, tangisan Ayra membuatku kesulitan berfikir jernih, bawaannya selalu ingin marah-marah."Ya engga lah, ogah banget punya mantu pemalas begitu. Maksud Mama kamu perbaiki hubungan hanya demi Ayra saja, bilang sama Ardan untuk menjenguk putrinya kapan saja, siapa tahu Ayra rewel karena kangen papanya, atau anak itu bisa merasakan kegalauan papanya."Kusenderkan kepala ke sofa, rasanya berat sekali melakukan apa yang mama titahkan, padahal aku ingin sepenuhnya jauh dari Ardan dan masa lalu."Males ah," jawabku sambil menutup telinga."Kamu tuh ya ga bisa dibilangin ini demi Ayra." Mama duduk mendekati."Dahulu waktu kamu masih bayi Mama sama Papa bertengkar hebat, sampai berhari-hari ga saling tegur sapa. Tahu apa yang terjadi sama kamu? pengasuh bilang kalau seharian kamu rewel dan sering nangis, akhirnya kami baikan lagi dan setelah itu pengasuh juga bilang kalau kamu jadi lebih tenang seperti sedia kala."Aku diam dalam keheningan mencoba mence