Aku berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah cepat, berharap bisa segera masuk tanpa gangguan. Namun, takdir sepertinya masih suka bermain-main denganku.
Sebuah mobil mewah berhenti tidak jauh dari gerbang, dan aku langsung mengenali pengemudinya yang baru keluar dari sana, Keyla.
Gadis itu turun dengan anggun dari dalam mobil, lalu tatapannya langsung menangkap sosokku yang berjalan kaki. Senyum penuh ejekan segera terukir di wajahnya.
“Eh? Kok jalan kaki?” serunya dengan nada mengejek. Langkahnya ringan saat mendekatiku, sementara aku berusaha menahan napas agar tidak langsung kehilangan kesabaran.
Aku hanya diam, berharap dia cepat bosan dan pergi. Namun, tentu saja Keyla tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyindirku.
“Ke mana sopir keluarga Bimantara? Kok nggak ada yang nganterin kamu? Jangan bilang mereka udah nggak peduli sama kamu, ya?” Keyla tertawa.
Aku menghembuskan napas pelan. Wajah Keyla nampak sekali tengah mengejekku. Aku menatapnya datar.
“Tante Sandra sedang ada acara penting. Makanya mobil dipakai dulu,” ujar ku.
“Wait! Ngapain kamu panggil Mertuamu sendiri dengan sebutan Tante. Panggil Mama, dong!” Keyla semakin tertawa setelah mengejekku begitu. Aku hanya diam menahan diri agar tidak membalas ejekkannya.
Kami sedang di pinggir jalan dekat sekolah. Keyla benar-benar tak menahan perkataannya. Aku memilih untuk lanjut berjalan.
Namun Keyla menahanku, “Kamu marah ya? Hallah, gitu aja marah, Ra! Lagipula, aku cuma mengatakan yang sebenarnya,” kata Keyla. Aku hanya membalas dengan berguman datar.
“Eh, ngomong-ngomong, Kamu ke sini naik apa? Nggak mungkin dong ya kalo jalan kaki,” tanya Keyla lagi.
“Aku naik taksi,” jawabku dengan sedikit berbohong. Aku masih ingat dengan jelas peringatan Abizar agar Keyla tidak tahu mengenai hubungan kami.
Keyla mengerutkan dahi sejenak, seakan mencoba mencari kebohongan dalam ucapanku. Namun, detik berikutnya dia hanya terkekeh kecil.
“Taksi?” dia mengulang kata itu dengan nada geli. “Kasihan banget, sih. Istri seorang Bimantara, tapi ke sekolah aja harus naik taksi.”
Aku masih berusaha menahan diri. Tidak ada gunanya terpancing oleh omongannya.
Melihatku tak bereaksi lebih lanjut, Keyla tersenyum puas. “Yah, semoga besok kamu masih bisa naik taksi. Jangan sampai harus jalan kaki lebih jauh, ya.” Dengan itu, dia melenggang pergi, meninggalkanku dengan tawa kecil yang terdengar sangat menyebalkan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tidak akan membiarkan mood-ku rusak karena dia. Hari ini masih panjang, dan pelajaran Penjaskes sudah menanti.
Aku harus tetap fokus!
Tanpa membuang waktu lagi, aku mempercepat langkah memasuki gerbang sekolah. Tidak lama setelah bel berbunyi, kami segera ke ruang ganti untuk mengganti seragam.
Aku sangat tidak sabar di pelajaran ini lantaran setelah berkeliling sekolah, aku melihat banyak fasilitas olahraga yang sangat bagus di sekolah ini. Aku tidak sabar untuk bermain di sana.
Hari ini, mata Pelajaran kami di Bola Basket. Matahari bersinar terik di atas lapangan basket sekolah. Pelajaran Penjaskes kali ini terasa lebih istimewa karena kelas kami digabung dengan IPS 1, yang mempunyai jadwal sama.
Kami mulai dengan pemanasan ringan. Lalu lari 3 kali keliling lapangan. Setelah itu, kami diperbolehkan untuk duduk di pinggir lapangan untuk instruktur awal. Pak guru memanggil seorang pemuda dari Kelas IPS 1 untuk maju.
“Hari ini kalian akan dilatih Mahendra dulu. Saya tetap mengawasi dan memberikan penilaian dari praktek kalian,” ujar Guru Penjas.
“Duh, ngapain Pak Guru harus nyuruh Mahendra, sih?” keluh Giselle yang duduk di dekat ku.
“Iya. Males banget sama Crocodile satu itu,” imbuh Ririn yang juga terlihat tidak suka.
Dahi ku berkerut penasaran. “Memangnya dia siapa?” tanyaku pada mereka.
“Dia tuh Kapten Tim Basket Sekolah. Tapi orangnya sombong banget, Ra! Pokoknya liat aja deh, Ra. Sedikit lagi kamu pasti akan tahu kelakuannya,” balas Giselle.
Aku mulai merasa akan ada sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Teman-teman yang lain juga nampak tidak suka. Mahendra, Kapten Tim Basket yang tadi mereka sebutkan sudah berdiri di tengah lapangan dengan bola di tangannya, senyum meremehkan terpatri di wajahnya.
“Kita akan mulai dengan Dribble! Yok, Dua Cowok dan Dua Cewek maju!” Mahendra mulai mengajarkan teknik-teknik dasar.
Semua siswa bergantian mempraktekannya. Sampai ke beberapa teknik dasar permainan Bola Basket sudah diajarkan. Guru juga sudah mengambil nilai praktek kami. Sekarang saatnya yang ku tunggu yaitu bermain Basket di waktu Penjas yang masih tersisa banyak.
Saat aku dan teman-teman sekelasku sedang asyik mengoper bola, tiba-tiba Mahendra ikut masuk ke permainan dan mengambil dominasi. Dia dengan gesit melewati kami, lalu memasukan bola dengan mudah ke dalam ring.
“Sepertinya kelas kalian nggak punya pemain yang bisa diandalkan, ya?” katanya, suaranya terdengar cukup keras hingga bisa didengar semua orang.
Beberapa teman kelasku menggerutu, tapi tidak ada yang berani membalas. Aku mengerutkan dahi. Padahal dia yang asal nimbrung ke dalam permainan kami barusan.
“Kok langsung nge-judge gitu sih?” tanyaku dengan nada sedikit kesal.
Mahendra menoleh padaku, lalu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. “Kalian kelihatan sekali keroconya. Sangat tidak berbakat dalam permainan ini. Mending minggir deh dari lapangan. Ketimbang hanya jadi badut lapangan!” cibir Mahendra disambut tawa oleh teman-teman sekelasnya.
“Heh, Mahen! Kita di sini buat bersenang-senang ya. Emang kami nggak sebagus kamu mainnya, tapi seenggaknya kami berkeringat dengan main suka-suka. Plis deh, nggak usah banyak mulut!” Giselle yang sudah lama menahan emosi akhirnya maju.
Aku dan Ririn berusaha menarik lengan Giselle agar tidak terbawa pancingan Mahendra. Ketua kelas kami juga menengahi agar tidak terjadi pertengkaran.
“Yah, kecuali kalian mau membuktikan kalau ucapanku salah,” kata Mahendra dengan senyum mengejek.
Aku tersenyum miring. “Oke! Aku akan coba!” tantangku percaya diri.
Sorakan kecil terdengar dari teman-teman kelasku. Aku tahu mereka juga tidak suka diremehkan begitu saja. Untuk pelajaran ini, Aku sangat percaya diri karena sering ikut turnamen di desa. Meski begitu, aku juga harus berhati-hati karena Mahendra adalah raja lapangan Basket di sekolah ini.
“Baiklah,” Mahendra terkekeh, masih dengan senyumnya yang percaya diri.
“Sederhana saja. Kalian hanya perlu mencetak satu poin ke ring kami. Kalau bisa, aku akan mengakui kalau kelas kalian nggak seburuk yang aku pikir,” kata Mahendra.
Satu poin? Terdengar mudah, tapi melihat bagaimana Mahendra dan timnya sudah berpengalaman, jelas ini tidak akan sesederhana kedengarannya.
Pertandingan pun dimulai!
Seperti yang kuduga, Mahendra dan teman-temannya bermain dengan agresif. Mereka menguasai bola dengan mudah, mengoper dengan cepat, dan pertahanan mereka hampir mustahil ditembus.
Beberapa kali aku mencoba merebut bola, tapi selalu gagal. Namun, aku tidak akan menyerah begitu saja.
Aku memperhatikan celah dalam pertahanan mereka. Begitu salah satu temanku berhasil mengalihkan perhatian lawan, aku dengan cepat menyelinap dan mencuri bola.
Dengan kecepatan penuh, aku menggiring bola menuju ring lawan. Mahendra berusaha mengejar, tapi aku lebih gesit. Saat tepat di depan ring, aku melompat tinggi. Semua mata tertuju padaku.
Slam dunk!
Bola melesat masuk ke dalam ring dengan sempurna.
Hening sesaat.
Kemudian, lapangan dipenuhi sorakan dan tepuk tangan. Mahendra, yang awalnya terkejut, akhirnya terkekeh kecil.
“Gokil, sih. Nggak nyangka ada pemain sebagus ini di kelas kalian,” ujarnya dengan berjalan ke arahku.
Mahendra mengulurkan tos padaku. Mungkin itu tanda dia mengakui kemampuanku. Dengan senang hati ku balas tosnya. Namun, saat tanganku bersentuhan dengan tangannya, aku tanpa sengaja melihat siluet di ujung lapangan.
Di sana, berdiri seseorang yang mengenakan jas merah khas OSIS dengan tangan terlipat di dada.
Abizar!
Tatapannya gelap dan tajam, membuat bulu kudukku meremang. Kenapa ekspresinya seseram itu?
Lokasi Lelang Tambang Batu Bara - Aula Sementara Dekat Lokasi TambangDeretan kursi VIP tampak dipenuhi oleh para pengusaha tambang dari berbagai daerah. Di bagian depan, dua kubu besar menempati baris utama, perwakilan Sanjaya Corp dan perwakilan dari Bimantara Corp.Di sisi kanan, Wira Sanjaya duduk dengan senyum percaya diri. Di sebelahnya, Kakek Wijaya tampak tenang, meski sorot matanya menyiratkan keinginan menguasai penuh aset tambang tersebut. Mereka sangat percaya diri bisa memenangkan lelang dengan proposal bisnis buatan Kinara, serta bantuan surat wasiat palsu untuk membujuk Tuan Hanafiah.“Lelang ini formalitas saja,” bisik Wira pada Ayahnya. “Dengan surat wasiat ini, mereka tak punya celah untuk menang.”“Pastikan kamu tetap tenang. Setelah ini, tambang itu milik kita,” sahut Kakek Wijaya pelan.Sementara di sisi lain, Om Rudi dan Kak Rangga dari Bimantara Corp duduk dengan tenang. Mereka tampak menunggu dengan senyuman tipis. Dapat mereka lihat raut kesombongan dari sisi
Lorong-lorong sekolah dipenuhi wajah-wajah lega para siswa yang baru saja melewati minggu berat. Suara tawa dan desahan napas lega terdengar di mana-mana. Keyra melangkah keluar dari kelasnya dengan wajah letih, tapi ada sedikit senyum di sana. Ujian itu seperti mimpi buruk yang akhirnya lewat juga.“Keyra!” panggil seseorang dari belakang.Keyra menoleh. Kevin sedang berlari kecil mendekatinya sambil membawa selembar kertas bekas cakaran. Dia meremat kertas itu menjadi bola kecil, lalu melemparnya ke dalam tong sampah. Menandakan akhir dari perjuangan di semester satu.“Eh, Kevin. Udah selesai?” tanya Keyra.“Udah. Gila sih, tadi nomor terakhir bikin nyaris nangis,” Kevin menyodorkan wajah dramatis. “Kamu sendiri gimana?”Keyra mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Lumayan. Kupikir bakal parah, soalnya ini ujian pertamaku di Nusa Bangsa. Tapi ternyata nggak seseram yang aku bayangin.”Kevin mengangguk kagum. “Kamu keren sih, Ra. Bisa ngimbangin materi yang telat dikejar dalam wakt
Setelah kedua remaja SMA itu berganti baju, mereka kembali ke gazebo untuk melihat Keyra dan kawan-kawannya. Sebenarnya hanya Abizar yang ingin ke sana, namun Keyla masih menempelinya seperti semut menempeli gula. Jadi, mau tidak mau tetap ikut bergabung juga.Saat baru mencapai pintu samping, Abizar tertegun dengan suasana di gazebo masih riuh penuh tawa, cerita, dan kehangatan. Namun bukan kericuhan itu yang mengusik Abizar. Melainkan pemadandangan di sudut gazebo, Kevin duduk di sebelah Keyra, meletakkan sesuatu di meja.“Ini... contekan rahasia,” bisiknya. “Aku udah rangkum semua kisi-kisi yang diberikan guru.”Keyra menatapnya terharu. “Makasih, Kevin!”Mata Keyra berbinar melihat catatan yang diberikan Kevin itu. Di mana lagi dia bisa mendapatkan Ketua Kelas sebaik Kevin. Bahkan Giselle dan Ririn yang sebenarnya juga ingin memberikan catatan kisi-kisi pada Keyra kalah cepat dengan Kevin, ikut terkejut.Giselle berteriak, “Eh, emang ya kalo ada modusnya. Gesit banget itu tangan.
Setelah memastikan bahwa Ibunya sudah aman dan mendapatkan perawatan yang layak, Keyra akhirnya bisa bernapas lebih tenang, meski tidak sepenuhnya. Saat ini, ia masih harus menghadapi ujian akhir sekolah yang semakin dekat, dan semua orang menyuruhnya untuk fokus pada itu.“Yang lain biar kami yang urus,” kata Tante Sandra tadi pagi.“Masalah ini urusan orang dewasa. Tugasmu sekarang cuma satu Keyra, belajar yang baik untuk ujian!” Nenek ikut menimpali.Atas permintaan semua orang, Keyra akhirnya duduk di gazebo dengan membawa laptop dan beberapa buku yang terbuka di depannya. Namun pikiran Keyra masih sedikit kacau. Sesekali tatapannya menerawang, memikirkan bagaimana hidupnya berubah drastis dalam hitungan hari.Suasana sunyi dan fokus belajar itu tak bertahan lama. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu halaman samping.“Eh, Kalian jangan lari-lari!”“Tenang Abizar, kami hati-hati, kok!”“KEYRAAAA!”Panggilan itu membuat Keyra mengangkat kepala kaget. Beberapa detik kemudi
Mobil hitam itu melaju keluar dari gerbang Kediaman Bimantara dengan mulus, membawa Abizar dan Keyla menuju SMA Nusa Bangsa. Keyla tampak ceria di kursi sebelah kemudi, sibuk berceloteh tentang soal-soal ujian dan rencana belajar kelompok. Namun Abizar hanya menjawab sekenanya. Pikirannya masih tertinggal di rumah, bersama seseorang yang seharusnya duduk di kursi belakang tadi.Sementara itu di balik jendela kamarnya, Keyra memperhatikan mobil mereka hingga menghilang dari pandangan. Napasnya terembus pelan, seolah menurunkan beban tak kasat mata dari pundaknya.‘Akhirnya mereka pergi juga...’Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Meski hari ini dia tak perlu berurusan dengan Keyla, pikirannya tetap dipenuhi bayangan ujian akhir semester. Normalnya, dia akan menghabiskan pagi dengan membaca catatan atau menyusun strategi belajar. Tapi sekarang… prioritasnya bukan sekolah.‘Ibu di mana sekarang? Kak Rangga membawa Ibu ke sini atau ke tempat lain?’Batin Keyra mulai panik, mengingat
Ketiga remaja SMA itu keluar dari rumah. Hanya Keyla yang lengkap dengan seragamnya. Sementara, Abizar dan Keyra masih mengenakan baju biasa.“Berarti kita perlu ke rumahmu dulu, Zar?” tanya Keyla.“Ya! Seragamku ada di rumah,” balas Abizar.Pemuda itu berjalan menghampiri mobilnya di garasi. Saat dia membuka kunci mobil, Keyla tanpa aba-aba menarik pintu depan dan duduk begitu saja. Alis Abizar menukik lantaran bingung dengan sikap Keyla.“Ah, aku ikut ya. Papa bilang nggak akan pulang sampe 1 Minggu. Jadi, nanti aku nginep di rumahmu, Zar,” kata Keyla menjelaskan.Mata Keyra dan Abizar melebar. Mereka langsung saling pandang.“Astaga…” Keyra menggigit bibir bawahnya. Tangannya yang menggenggam tas mulai berkeringat dingin. Kalau Ibu tidak segera disembunyikan, semuanya bisa kacau.‘Bagaimana ini? Apa kita hubungi Kak Rangga dulu supaya menyembunyikan Ibu terlebih dahulu?’ _Keyra‘Jangan terlalu nampak. Keyla pasti akan mencurigai kita.’ _AbizarEntah sejak kapan, Pasutri muda itu mu