Nada dan Nazril sudah berada dalam bus menuju Jakarta. Jangan lupakan Akbar yang masih setia mengikuti Nada. Sebenarnya Nada begitu risi dengan kehadiran Akbar. Bagaimanapun mereka baru saling mengenal. Tapi, Akbar bertingkah seperti sudah lama mengenal dirinya.
Seperti saat ini, karena posisi bus penuh dan kursi kosong tersisa dua kursi membuat Nada terpaksa untuk duduk bersebelahan dengan Akbar. Pria muda itu tak hentinya berkicau, membuat Nada merasakan pusing.“Mbak mau ke Jakarta mana? Mau ke rumah siapa? Atau mungkin mau kerja, ya? Kenapa aku tanya tidak dijawab terus?” keluh Akbar.Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan Akbar. Tidak ada salahnya jika ia perhatian. Mungkin sebagai bentuk rasa hormat pada yang lebih tua. Namun, Nada sedang dalam keadaan tak ingin diganggu tak punya minat untuk menimpali perkataan Akbar.Sepanjang perjalanan Nada hanya melihat ke arah jendela bus. Melihat pemandangan di sisi jalan yang dilewati. Lalu sekelebat bayangan masa lalu berputar begitu saja. Kenangan saat bersama Aziz, kenangan penuh kebahagiaan.Masa-masa yang ingin Nada ulangi bersama Aziz kini kembali muncul. Ia ingin hidup normal kembali menciptakan kebahagiaan bersama. Dan ia berjanji jika Aziz ketemu dia tidak akan sekali pun mengizinkan Aziz pergi kembali. Nada lebih memilih hidup susah ketimbang harus berjauhan dengan suami. Kebahagiaannya itu bukan harta melainkan suami dan anaknya.Setetes air mata tiba-tiba jatuh. Ia tak kuasa untuk menahan rasa rindu yang sepertinya semakin dalam. Ia ingin secepatnya memeluk sang suami dan bertanya kenapa ia pergi dan tak kunjung kembali? Kenapa dia tega meninggalkan Nada dan Nazril tahun-tahun lamanya?Beruntung ada Nazril dan Ningsih yang selalu ada untuk dirinya. Terlebih Nazril ia teramat mirip Aziz. Mulai rambut hitamnya, hidung bangirnya, mata elangnya serta bibir tebalnya. Tentunya itu bisa mengobati rasa rindunya.Nada sedikit membungkuk lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Selembar foto usang. Nada membelai orang yang ada dalam foto itu. Apa yang Nada lakukan tertangkap oleh mata Akbar. Hingga membuat Akbar dibuat penasaran oleh tingkah Nada. Bahkan Akbar berusaha untuk curi-curi pandang pada selembar foto yang dipegang Nada.“Foto siapa, Mbak? Suaminya, ya?” tanya Akbar pada Nada.Nada mengusap air matanya.Mendengar kata foto siapa membuat Nazril yang sadari tadi fokus main game menoleh ke arah bundanya.“Itu siapa Bunda?” kini giliran Nazril yang bertanya. Selama ini dirinya memang tidak pernah memperlihatkan foto Aziz pada Nazril.Nada dengan menghela napas akhirnya memperlihatkan foto ayahnya pada Nazril. Dan itu gara-gara Akbar hingga dengan terpaksa harus memperlihatkan foto yang ia pegang.“Ini ayah,” jelas Nada dan membuat Nazril merebutnya.“Ini ayah Nazril, Bun?” tanya Nazril dengan mata yang tak henti menatap foto itu.“Om lihat, dong,” Akbar penasaran. Lalu mendekatkan kepalanya ke arah Nazril.“Suami Mbak memang di mana?” tanya Akbar dengan mata yang terus menelisik foto yang ada di tangan Nazril.Nada melihat raut penasaran Akbar. Hingga Nada pun berpikir enggak ada salahnya jika memberi tahu Akbar. Mungkin saja benar, Akbar bisa membantu dirinya untuk mencari Aziz. Ia orang Jakarta sedangkan dirinya perantau yang tidak tahu apa-apa tentang kota Jakarta.Dengan menarik napas panjang serta tatapan kosong ke arah jendela bus. Nada menjawab pertanyaan Akbar.“Suamiku....”“Suamiku....” Nada menjeda perkataannya. Ia sedang mengumpulkan kekuatan agar ia bisa menceritakannya dengan baik tanpa harus ada drama menangis.“Suami Mbak kenapa?” tanya Akbar saat Nada tak melanjutkan perkataannya.Tatapan Nada yang awalnya mengarah ke balik jendela bus. Kini berubah menjadi menatap ke arah foto yang dipegang oleh Nazril.Dengan menarik napas. Nada pun mulai menceritakan apa yang terjadi pada suaminya meski tidak keseluruhan.“Lima tahun lalu suamiku pamit, bilangnya mau kerja ke Jakarta. Awal kepergian, kami sering tukang kabar lewat telepon. Lalu dua kali mengirim surat dan setelah itu tak ada kabar lagi tentang dirinya.” Mata Nada mulai mengembun. Sekali saja berkedip pasti air matanya luruh. Namun, Nada terus mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat mata berharap dengan cara seperti itu air matanya tidak luruh.“Lalu apa Mbak tahu di mana suami Mbak kerja? Maksud aku Jakartanya sebelah mana? Biar kita cari bersama-sama,” tutur Akbar begitu tulus.Nada membungku
Kini, Nada tengah ada di dalam kamar. Mengistirahatkan tubuhnya yang seharian penuh menempuh perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Nada begitu bersyukur, sebab dipertemukan dengan orang sebaik Akbar. Awalnya ia menyangka jika Akbar hanyalah seorang pemuda yang ingin berbuat jahat padanya. Pasalnya ia terus saja mengikuti dirinya dan juga Nazril. Namun, setelah melihat keseriusan di raut wajah Akbar, Nada menepis jauh prasangka buruknya. Dia salah, seperti benar apa yang sering orang katakan don’t judge in the cover. Saat ini Nada hanya sendiri. Sebab Nazril begitu lengket dengan Akbar. Sampai-sampai tak mau lepas dan tak mau jauh darinya. Mengingat akan sikap Nazril membuat Nada berpikir jika Nazril butuh sosok ayah. Sosok yang selama ini selalu ia rindukan, sosok yang belum pernah ia temui.Sekarang, bukanlah waktunya untuk bersedih. Ia sudah ada di Jakarta, maka jalan untuk bertemu sang suami tinggal beberapa langkah lagi. Ia enggak boleh lemah, cengeng apalagi putus asa.“Ya Allah
Pagi sudah menyingsing. Hari ini adalah menjadi hari pertama proses pencarian sang suami. Nada begitu bahagia, ia tak pernah lepas memamerkan lengkungan di bibirnya. Ia sudah tak sabar, ingin rasanya secepat mungkin memeluk sang suami bahkan ia berjanji dalam hatinya tidak akan pernah lagi membiarkan sang suami pergi lagi, meninggalkan dirinya dan juga Nazril.Pagi ini Nada berencana pergi ke tempat pertama di mana sang suami kerja. Tepatnya di daerah Menteng tepatnya di kelurahan Cikini. Nada memakai baju gamis warna dusty dipadu padankan dengan kerudung berwarna abu tua. Terkena cantik dan elegan. Nada sengaja tampil dari biasanya. Sebab dalam benaknya ia berpikiran bahwa hari ini ia akan bertemu dengan suaminya setelah lima tahun tak jumpa. Tak lupa Nazril pun ia pakaikan baju terbarunya. Alasan Nada satu ia tak ingin terlihat menyedihkan di depan suaminya. “Mbak udah siap?” tanya Akbar tiba-tiba.Nada langsung menoleh ke arah pintu kamar. Pintu yang sengaja ia buka. Di sana berd
Pencarian jejak sang suami pun Nada hentikan. Dirinya belum siap mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. Sebuah kenyataan jika sang suami bisa saja menjadi korban insiden kecelakaan kerja itu.Lalu jika sudah seperti ini bagaimana dengan rasa rindunya? Apakah benar rasa rindunya ini tidak akan pernah ada ujungnya? Tidak akan ada akhirnya? Dan tidak akan pernah usai.Terlebih Nazril, bagaimana dengan dia? Nada telanjur memberikan harapan dan kini harapannya hanya jadi angan saja.Tak terasa motor yang Akbar kendarai sudah sampai di rumahnya. Dan Nada sama sekali tak menyadari. Ia terlalu larut dalam lamunannya, suara Akbar pun mengembalikan angan Nada hingga Nada menyadari jika dirinya telah sampai di rumah Akbar. Baru saja Nada hendak turun dari motor, dari arah rumah Nazril berlari dan memanggil namanya. Nada yang melihat Nazril langsung memasang wajah ceria, ia berjongkok serta merentangkan tangan meminta Nazril masuk ke dalam dekapannya.“Bunda,” teriak Nazril lalu mem
Sebenarnya Nada sudah tak memiliki lagi semangat. Harapannya seketika hilang saat mendengar jika lima tahun lalu ada insiden kecelakaan kerja di tempat suaminya dulu kerja. Nada merasa memang telah terjadi sesuatu pada suaminya. Dia tahu betul bagaimana sifat sang suami. Ia termasuk pria jujur, bertanggungjawab dan sangat mencintai dirinya. Mengetahui kenyataan jika sang suami tidak pulang-pulang membuat Nada ragu dan bertanya-tanya. Apakah terjadi sesuatu pada suaminya? Jawabnya benar, sekarang terjawab sudah. “Mbak... hari ini jadikan mencari suami Mbak lagi?” tanya Akbar ingin memastikan.“Apa harus Akbar?” Nada malah balik bertanya.“Harus Mbak. Ini baru sehari, kemungkinan suami Mbak hidup masih tinggi.”Nada menghela napas kasar. “Kau benar. Kenapa aku malah putus asa seperti ini? Aku akan siap-siap kalau gitu.”Nada berjalan ke kamarnya, ia meyakinkan diri jika banyak kemungkinan suaminya masih hidup. Ia tidak boleh menyerah kecuali jika ia memang ikhtiarnya sudah deras tapi
Tut... tut...“Halo assalamualaikum, Akbar. Tumben kamu hubungi Kakak,” ucap seseorang di balik telepon.“Memang Akbar enggak boleh hubungi kakak sendiri, gitu?”“Haha. Bukan begitu juga Akbar. Kamu kan kalau enggak Kakak yang telepon duluan, enggak bakalan telepon kakak. Ada masalah penting ‘kah?” terka sang Kakak.Dari balik telepon sana, Akbar menghela napas berat. Ia seolah-olah ragu untuk mengatakanya. Sang kakak yang menyadari hal tersebut langsung kembali bertanya.“Ada apa, Dik? Ceritalah sama Kakak. Jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Kamu sekarang tanggung jawab Kakak,” sang Kakak mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Akbar.“Anu... Kak. Mengenai kejadian lima tahun lalu yang menyebabkan ayah kita terkena serangan jantung dan memakan banyak korban. Akbar....” Perkataan Akbar di menggantung di udara.“Itu peristiwa dulu, Dik. Jangan diingat lagi. Jika mengingat itu membuat Kakak merasa bersalah sama ayah karena tidak bisa berada disisinya,” sesal san
Dia....”“Apa Pak? Suami aku kenapa?” “Sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tuan kami menampung semua korban yang memang rumahnya jauh. Kalau tidak salah ada sekitar sepuluh orang yang tinggal di sini, salah satunya suami neng. Dari kesepuluh orang itu hanya ada tiga orang yang mengalami luka berat. Ada yang kepalanya di perban, tangan dan kakinya patah bahkan ada juga yang harus kehilangan satu kakinya.”“Astagfirullah,” Nada beristighfar mendengar penjelasan dari satpam itu.Satpam lalu melihat penuh iba pada Nada. Ia harus mengatakan walau wanita yang ada di hadapannya ini akan syok berat.“Dan orang yang harus kehilangan satu kakinya adalah Aziz, orang yang ada di foto itu orang yang neng sebut suami Neng.”Jleb....Nada bergeming dengan air mata yang berjatuhan dari kedua pelupuk matanya. Ia menggeleng seraya terus meracau.“Tidak, tidak mungkin!”Akbar yang merasa iba, berusaha menenangkan Nada. Meski dirinya pun merasa terkejut luar biasa.“Bapak bohong kan?” tanya Nada pada sat
Nada terdiam beberapa saat, lalu ia menatap ke arah Akbar. Ia hampir melupakan pemuda itu, pemuda yang menurutnya sudah banyak membantu dirinya. Entah dengan cara apa dirinya harus membalasnya, ucapan terima kasih saja rasanya tidak cukup."Akbar, kita pulang. Terima kasih untuk bantuan hari ini," tutur Nada dengan tak bertenaga. Untuk kedua kalinya ia gagal menemukan keberadaan suaminya.Akbar tahu saat ini Nada sedang tidak baik-baik saja, perasaan bersalahnya pun semakin besar. Karena secara tidak langsung dirinya lah penyebab suami Nada hilang. Entah hilang atau memang sudah meninggal.Akbar menghela napas, ia tersenyum simpul lalu mengiyakan ajakan Nada. "Baiklah Mbak. Menurutku pulang solusi yang terbaik. Masih ada hari esok dan esok untuk mencari keberadaan suami Mbak Nada " tutur Akbar seraya dirinya naik ke atas motor.Nada bergeming, tiba-tiba ia skeptis. Apa mungkin ia bisa menemukan keberadaan suaminya? Entahlah dirinya pun tidak tahu."Mas sebenarnya kamu di mana?" Bati