“Suamiku....”
Nada menjeda perkataannya. Ia sedang mengumpulkan kekuatan agar ia bisa menceritakannya dengan baik tanpa harus ada drama menangis.“Suami Mbak kenapa?” tanya Akbar saat Nada tak melanjutkan perkataannya.Tatapan Nada yang awalnya mengarah ke balik jendela bus. Kini berubah menjadi menatap ke arah foto yang dipegang oleh Nazril.Dengan menarik napas. Nada pun mulai menceritakan apa yang terjadi pada suaminya meski tidak keseluruhan.“Lima tahun lalu suamiku pamit, bilangnya mau kerja ke Jakarta. Awal kepergian, kami sering tukang kabar lewat telepon. Lalu dua kali mengirim surat dan setelah itu tak ada kabar lagi tentang dirinya.”Mata Nada mulai mengembun. Sekali saja berkedip pasti air matanya luruh. Namun, Nada terus mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat mata berharap dengan cara seperti itu air matanya tidak luruh.“Lalu apa Mbak tahu di mana suami Mbak kerja? Maksud aku Jakartanya sebelah mana? Biar kita cari bersama-sama,” tutur Akbar begitu tulus.Nada membungkuk lalu mengambil kembali dua amplop usang, surat yang diberikan Aziz untuk Nada. Setelah itu ia menyerahkan amplop tersebut pada Akbar. Akbar yang merasa heran karena Nada malah memberinya dua buah amplop.“Ini apa, Mbak?” tanya Akbar saat tangannya meraih amplop yang diserahkan Nada.“Di sana tertera alamat di mana surat itu di buat. Dan di dalam surat satunya lagi ada sebuah nomor teman kerja Mas Aziz. Karena Mas Aziz enggak punya handphone makanya kami selalu tukar kabar ke nomor itu. Saat mas Aziz tiba-tiba hilang tak ada kabar aku mencoba menghubungi nomor itu lagi. Sayang, orang itu pun sudah enggak kerja di sana lagi.”Akbar membaca alamat yang tertera di sana. Akbar terkejut sebab alamat yang tertulis di sana tidak jauh dari rumahnya. Dan“Terus apa lagi yang Mbak punya untuk mempermudah pencarian suami Mbak?”“Belum lama ini ada yang menelepon. Orang itu bilang jika suamiku tidak di sana lagi, aku di suruh datang ke tempat ini.” Nada memperlihatkan sebuah alamat yang tertulis di secarik kertas.Untuk kedua kalinya Akbar dibuat terkejut. Pasalnya, ia kenal dengan alamat itu.“Mbak ini enggak salah kan?” tanya Akbar memastikan.“Entahlah, aku juga tidak tahu apa itu alamat asli atau hanya sekadar ingin menenangkan, agar aku berharap jika suamiku memang berada di sana,” ucap Nada begitu lemas.Akbar terdiam, ia sedang mengingat sesuatu. Peristiwa yang terjadi lima tahun lalu. Saat itu ia baru kelas satu SMA. Di perusahaan milik sang papa mengalami incident. Saat pembangunan gedung baru terjadi kecelakaan kerja mengakibatkan banyak korban terutama para pegawai bangunan.Akbar takut, jika salah satu korbannya adalah suami dari orang yang saat ini ada di sampingnya.‘Semoga apa yang aku khawatirkan tidaklah terjadi. Kalau sampai benar... aku akan merasa bersalah. Bagaimanapun juga peristiwa itu berhubungan dengan keluargaku,’ batin Akbar.Alamat yang tertera di surat itu adalah alamat perusahaan papa Akbar. Sedangkan alamat kedua merupakan alamat rumah kakaknya Ilham. Akbar ingat betul, sebagai bentuk tanggung jawab dari perusahaan. Papa dan kakaknya menampung para pekerja yang memang berasal dari luar kota. Akbar pun ingat salah satu dari mereka adalah orang Lampung.Perasaan Akbar semakin dibuat kalut. Ia tidak bisa membayangkan jika orang di sampingnya tahu yang sebenarnya.“Akbar... Akbar.”Akbar tersadar dari lamunannya.“Eh, apa Mbak,” ucap Akbar jadi salah tingkah.“Kok, kamu jadi melamun?” tanya Nada, disertai tawa sinisnya.“Aku lagi mengingat alamat itu dan sepertinya aku tahu,” bohong Akbar kenyataannya ia sedang melamunkan peristiwa lima tahun lalu.“Serius? Kau tahu?” Nada ingin memastikan.“Iya, dan rumahku pun tidak jauh dari sana. Mbak bisa sekalian nginap di rumahku,” usul Akbar dan berharap Nada setuju.“Alhamdulillah, semoga ini awal yang baik. Semoga aku bisa secepatnya menemukan ayah Nazril.” Nada begitu senang lalu memeluk Nazril yang kembali asyik main handphone.Jika Nada terlihat senang, berbeda dengan Akbar yang memasang wajah gelisah, takut dan gamang. ***Sekitar dua jam perjalanan, akhirnya bus yang ditumpangi Nada, Nazril dan Akbar sampai di terminal pasar senen. Mereka turun dari bus untuk mengganti angkutan lain. Untuk sampai ke daerah Menteng bisa dengan bus lokal, taksi, MRT, ojeg pun bisa.Tapi, Nada memilih menggunakan MRT dengan alasan Nazril belum pernah naik dan tanpa berdosa Nazril merengek ingin naik itu.Benar saja Nazril begitu senang. Ia terus saja mengoceh dan ocehannya itu ditanggapi oleh Akbar. Nada hanya bisa diam dan sesekali tersenyum saat Nazril bertingkah lucu.Nada membayangkan bagaimana jika seandainya Aziz lah yang saat ini tengah bercanda dengan Nazril. Tentu itu sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya. ‘Mas, aku pasti menemukan kamu. Apakah kamu tak merindukan aku juga anakmu? Kau tega, Mas. Aku pasti akan memarahimu jika kita ketemu,’Sesuai kesepakatan antara Nada dan Akbar, Nada bersedia tinggal di rumah Akbar. Sebelumnya Nada menolak dengan alasan dua alasan, pertama; mereka baru saja saling kenal kedua tentu saja karena mereka tidak ada hubungan apa-apa takutnya akan menimbulkan fitnah jika Nada tinggal di rumah Akbar.Tapi, setelah Nada pertimbangkan tidak ada salahnya. Apalagi Akbar bilang di sana bukan hanya mereka yang tinggal melainkan ada ART yang juga tinggal di sana. Akhirnya Nada pun bersedia.Cukup Empat belas menit perjalanan mereka sudah sampai di Menteng lalu mereka melanjutkan dengan menaiki taksi.Nada maupun Nazril begitu sangat takjub saat tiba di rumah Akbar. Rumah dua tingkat itu terlihat megah dan mewah. Nada jadi merasa menyesal telah bersedia tinggal di sini. Ia jadi merasa terlihat rendah.“Akbar, Mbak lebih baik cari kontrakan saja atau rumah yang bisa disewa,” ungkap Nada“Lo, kenapa Mbak? Mbak lebih baik di sini saja. Sayang kalau harus sewa ataupun cari kontrakan,” terang Akbar yang merasa heran karena Nada tiba-tiba berubah pikiran.“Iya, Bunda, tinggal di sini saja. Nazril Mau sama Om Akbar.”“Tapi....”“Mbak, ayolah. Atau gini aja, demi kenyamanan Mbak aku enggak akan tidur di sini aku lebih baik tidur di rumah kakakku. Kebetulan aku juga udah lama enggak ke rumah kakak.”“Bukan itu masalahnya, Akbar. Masalahnya itu aku orang biasa dan bisa tinggal di sini serasa rendah. Rasanya mimpi harus tinggal di rumah sebesar ini.”“Jangan ngomong kaya gitu, Mbak. Kita itu sama, sama-sama makan nasi, sama-sama makhluk ciptaan Allah. So, buat apa Mbak merasa rendah? Enggak ada istilah itu Mbak.”Nada enggak menyangka Akbar pria muda yang baru ia kenal begitu sangat dewasa. Jarang pemuda di zaman sekarang seperti Akbar. Apalagi ia termasuk dari kalangan orang berada, namun, ia tidak sombong apalagi memanfaatkan harta orang tuanya untuk foya-foya.‘Terima kasih atas kebaikanmu Akbar,’ batin Nada dengan diiringi senyum simpul.Kini, Nada tengah ada di dalam kamar. Mengistirahatkan tubuhnya yang seharian penuh menempuh perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Nada begitu bersyukur, sebab dipertemukan dengan orang sebaik Akbar. Awalnya ia menyangka jika Akbar hanyalah seorang pemuda yang ingin berbuat jahat padanya. Pasalnya ia terus saja mengikuti dirinya dan juga Nazril. Namun, setelah melihat keseriusan di raut wajah Akbar, Nada menepis jauh prasangka buruknya. Dia salah, seperti benar apa yang sering orang katakan don’t judge in the cover. Saat ini Nada hanya sendiri. Sebab Nazril begitu lengket dengan Akbar. Sampai-sampai tak mau lepas dan tak mau jauh darinya. Mengingat akan sikap Nazril membuat Nada berpikir jika Nazril butuh sosok ayah. Sosok yang selama ini selalu ia rindukan, sosok yang belum pernah ia temui.Sekarang, bukanlah waktunya untuk bersedih. Ia sudah ada di Jakarta, maka jalan untuk bertemu sang suami tinggal beberapa langkah lagi. Ia enggak boleh lemah, cengeng apalagi putus asa.“Ya Allah
Pagi sudah menyingsing. Hari ini adalah menjadi hari pertama proses pencarian sang suami. Nada begitu bahagia, ia tak pernah lepas memamerkan lengkungan di bibirnya. Ia sudah tak sabar, ingin rasanya secepat mungkin memeluk sang suami bahkan ia berjanji dalam hatinya tidak akan pernah lagi membiarkan sang suami pergi lagi, meninggalkan dirinya dan juga Nazril.Pagi ini Nada berencana pergi ke tempat pertama di mana sang suami kerja. Tepatnya di daerah Menteng tepatnya di kelurahan Cikini. Nada memakai baju gamis warna dusty dipadu padankan dengan kerudung berwarna abu tua. Terkena cantik dan elegan. Nada sengaja tampil dari biasanya. Sebab dalam benaknya ia berpikiran bahwa hari ini ia akan bertemu dengan suaminya setelah lima tahun tak jumpa. Tak lupa Nazril pun ia pakaikan baju terbarunya. Alasan Nada satu ia tak ingin terlihat menyedihkan di depan suaminya. “Mbak udah siap?” tanya Akbar tiba-tiba.Nada langsung menoleh ke arah pintu kamar. Pintu yang sengaja ia buka. Di sana berd
Pencarian jejak sang suami pun Nada hentikan. Dirinya belum siap mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. Sebuah kenyataan jika sang suami bisa saja menjadi korban insiden kecelakaan kerja itu.Lalu jika sudah seperti ini bagaimana dengan rasa rindunya? Apakah benar rasa rindunya ini tidak akan pernah ada ujungnya? Tidak akan ada akhirnya? Dan tidak akan pernah usai.Terlebih Nazril, bagaimana dengan dia? Nada telanjur memberikan harapan dan kini harapannya hanya jadi angan saja.Tak terasa motor yang Akbar kendarai sudah sampai di rumahnya. Dan Nada sama sekali tak menyadari. Ia terlalu larut dalam lamunannya, suara Akbar pun mengembalikan angan Nada hingga Nada menyadari jika dirinya telah sampai di rumah Akbar. Baru saja Nada hendak turun dari motor, dari arah rumah Nazril berlari dan memanggil namanya. Nada yang melihat Nazril langsung memasang wajah ceria, ia berjongkok serta merentangkan tangan meminta Nazril masuk ke dalam dekapannya.“Bunda,” teriak Nazril lalu mem
Sebenarnya Nada sudah tak memiliki lagi semangat. Harapannya seketika hilang saat mendengar jika lima tahun lalu ada insiden kecelakaan kerja di tempat suaminya dulu kerja. Nada merasa memang telah terjadi sesuatu pada suaminya. Dia tahu betul bagaimana sifat sang suami. Ia termasuk pria jujur, bertanggungjawab dan sangat mencintai dirinya. Mengetahui kenyataan jika sang suami tidak pulang-pulang membuat Nada ragu dan bertanya-tanya. Apakah terjadi sesuatu pada suaminya? Jawabnya benar, sekarang terjawab sudah. “Mbak... hari ini jadikan mencari suami Mbak lagi?” tanya Akbar ingin memastikan.“Apa harus Akbar?” Nada malah balik bertanya.“Harus Mbak. Ini baru sehari, kemungkinan suami Mbak hidup masih tinggi.”Nada menghela napas kasar. “Kau benar. Kenapa aku malah putus asa seperti ini? Aku akan siap-siap kalau gitu.”Nada berjalan ke kamarnya, ia meyakinkan diri jika banyak kemungkinan suaminya masih hidup. Ia tidak boleh menyerah kecuali jika ia memang ikhtiarnya sudah deras tapi
Tut... tut...“Halo assalamualaikum, Akbar. Tumben kamu hubungi Kakak,” ucap seseorang di balik telepon.“Memang Akbar enggak boleh hubungi kakak sendiri, gitu?”“Haha. Bukan begitu juga Akbar. Kamu kan kalau enggak Kakak yang telepon duluan, enggak bakalan telepon kakak. Ada masalah penting ‘kah?” terka sang Kakak.Dari balik telepon sana, Akbar menghela napas berat. Ia seolah-olah ragu untuk mengatakanya. Sang kakak yang menyadari hal tersebut langsung kembali bertanya.“Ada apa, Dik? Ceritalah sama Kakak. Jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Kamu sekarang tanggung jawab Kakak,” sang Kakak mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Akbar.“Anu... Kak. Mengenai kejadian lima tahun lalu yang menyebabkan ayah kita terkena serangan jantung dan memakan banyak korban. Akbar....” Perkataan Akbar di menggantung di udara.“Itu peristiwa dulu, Dik. Jangan diingat lagi. Jika mengingat itu membuat Kakak merasa bersalah sama ayah karena tidak bisa berada disisinya,” sesal san
Dia....”“Apa Pak? Suami aku kenapa?” “Sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tuan kami menampung semua korban yang memang rumahnya jauh. Kalau tidak salah ada sekitar sepuluh orang yang tinggal di sini, salah satunya suami neng. Dari kesepuluh orang itu hanya ada tiga orang yang mengalami luka berat. Ada yang kepalanya di perban, tangan dan kakinya patah bahkan ada juga yang harus kehilangan satu kakinya.”“Astagfirullah,” Nada beristighfar mendengar penjelasan dari satpam itu.Satpam lalu melihat penuh iba pada Nada. Ia harus mengatakan walau wanita yang ada di hadapannya ini akan syok berat.“Dan orang yang harus kehilangan satu kakinya adalah Aziz, orang yang ada di foto itu orang yang neng sebut suami Neng.”Jleb....Nada bergeming dengan air mata yang berjatuhan dari kedua pelupuk matanya. Ia menggeleng seraya terus meracau.“Tidak, tidak mungkin!”Akbar yang merasa iba, berusaha menenangkan Nada. Meski dirinya pun merasa terkejut luar biasa.“Bapak bohong kan?” tanya Nada pada sat
Nada terdiam beberapa saat, lalu ia menatap ke arah Akbar. Ia hampir melupakan pemuda itu, pemuda yang menurutnya sudah banyak membantu dirinya. Entah dengan cara apa dirinya harus membalasnya, ucapan terima kasih saja rasanya tidak cukup."Akbar, kita pulang. Terima kasih untuk bantuan hari ini," tutur Nada dengan tak bertenaga. Untuk kedua kalinya ia gagal menemukan keberadaan suaminya.Akbar tahu saat ini Nada sedang tidak baik-baik saja, perasaan bersalahnya pun semakin besar. Karena secara tidak langsung dirinya lah penyebab suami Nada hilang. Entah hilang atau memang sudah meninggal.Akbar menghela napas, ia tersenyum simpul lalu mengiyakan ajakan Nada. "Baiklah Mbak. Menurutku pulang solusi yang terbaik. Masih ada hari esok dan esok untuk mencari keberadaan suami Mbak Nada " tutur Akbar seraya dirinya naik ke atas motor.Nada bergeming, tiba-tiba ia skeptis. Apa mungkin ia bisa menemukan keberadaan suaminya? Entahlah dirinya pun tidak tahu."Mas sebenarnya kamu di mana?" Bati
Ini adalah hari ketiga pencarian jejak suaminya. Setelah semalam ia menelepon nomor yang diberikan Pak Wanto. Dan pemilik nomor itu mengatakan jika Aziz dulu memang pernah tinggal bersamanya selama satu tahun. Setelah itu Aziz memutuskan untuk pergi. Orang tersebut malah memberikan sebuah alamat. Ia meminta Nada untuk mencarinya di sana. Dan kini dia ada di sini. Di daerah tanah Abang. Hari ini Nada pergi sendiri. Awalnya Akbar ingin menemani Nada namun Nada menolak. Setelah ia berpikir matang-matang, ia bertekad untuk tidak menyusahkan lagi Akbar. Ia tidak terbiasa menyusahkan orang lain. Dan tentunya ia terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri. Sedangkan Nazril seperti biasa ia titipkan pada Bi idah.Nada kembali membaca alamat yang tertera di handphone, ia takut salah alamat. Setelah dipastikan alamat tersebut sesuai dengan yakin Nada melangkah. Ia berharap kali ini dia bisa menemukan suaminya.Langkah kaki Nada terasa berat, saat ia semakin jauh melangkah ia justru semakin mel