Share

AYO KITA PERGI!

“Mbak, ayo kita pergi!”

Ajakan seseorang membuat Nada langsung mendongakkan kepala. Ia kaget melihat siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya.

“Kamu?”

“Hehe, iya, Mbak ini aku,” Akbar cengengesan.

“Aku kira kamu udah pergi,” kata Nada seraya bangkit dan hendak pergi.

“Aku nungguin Mbak, biar kita berangkat bareng,” terang Akbar seraya ikut berjalan mengikuti Nada.

Nada menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke Akbar yang ada di sampingnya.

“Bareng?” ulang Nada dengan nada keheranan

“Aku mau ke Jakarta, kamu lebih baik lanjutin perjalanan kamu,” tolak Nada seraya kembali berjalan.

“Aku pun mau ke Jakarta, Mbak. Aku memang tinggal di sana. Ke Lampung aku habis melakukan penelitian tentang gunung Krakatau,” terangnya.

Tanpa mempedulikan Akbar Nada terus berjalan. Dengan mata yang tak henti mencari sesuatu, sarapan yang cocok untuk dirinya dan Nazril. Sementara Akbar masih setia mengikuti Nada dari belakang. Tanpa sepengetahuan Nada diam-diam Akbar mengikuti Nada mulai dari kapal. Entah kenapa Akbar ingin sekali membantu Nada.

Meskipun Akbar tidak tahu Nada ke Jakarta untuk apa. Apa memang tinggal di Jakarta atau mungkin mau mengunjungi Sanak saudaranya. Entahlah. Yang pasti Akbar ingin menemani Nada hingga selamat sampai tujuan.

“Mbak,” panggil Akbar, ia merasa terabaikan.

“Hmm,” jawab Nada.

“Mau ke mana lagi?” tanya Akbar

Lagi-lagi Akbar hanya diabakan oleh Nada. Nada tidak merespons pertanyaan Akbar. Hal itu malah membuat Akbar tersenyum simpul.

‘Melihat Mbak Nada aku jadi teringat almarhumah Mbak Niken,’ batin Akbar.

Akhirnya Akbar memilih diam dan mengikuti saja ke mana pun Nada melangkah. Hingga Nada pun berhenti tepat di depan gerobak bertuliskan Bubur Ayam. Sarapan favorit dirinya dan Nazril.

Nada, Nazril dan Akbar duduk di emperan. Di atas tikar yang disediakan oleh penjual. Lalu Nada memesan tiga porsi bubur ayam.

“Oh, Mbak ternyata cari sarapan?” tanya Akbar setelah beberapa menit lamanya bungkam.

Nada tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Tapi, berbeda dengan Nazril yang sepertinya merasa penasaran akan sosok pria yang sedari tadi mengikutinya.

“Om, siapa?” tanya Nazril.

Akbar yang merasa ditanya langsung melihat ke arah Nazril.

“Ya Ampun, aku hampir lupa. Kita belum kenalan kan?” sesal Akbar sabari menepuk jidat tanda menyesal.

“Aku Nazril,” jawab Nazril

“Om namanya Akbar, salam kenal, ya.”

Akbar mengangkat tangan seperti ingin melakukan adu tos sebagai tanda perkenalan. Nazril paham, sebab ia

pun sering melakukan hal itu dengan Yudi.

“Kita teman, ya sekarang.”

“Iya, Om Akbar sekarang teman Nazril, hore, Nazril punya teman.” Nazril begitu senang.

“Bunda, Nazril punya teman baru,” adu Nazril pada Nada, Nada pun membalas dengan senyuman.

Beberapa menit kemudian, tiga porsi bubur ayam terhidang di meja depan mereka. Akbar yang merasa tak pesan merasa heran, saat tukang bubur ayam tiba-tiba meletakkannya tepat di depannya.

Baru saja Akbar akan membuka suara ingin protes karena merasa tidak memesan, Nada langsung menyala.

“Makan, aja. Jakarta itu jauh dan kita tidak tahu Bus akan berhenti kapan lagi. Kalau kelaparan di jalan gimana?”

Akbar tersenyum. “Ah, Mbak Nada baik banget, sih, terhura aku.”

“Om, terhura itu apa?” tanya tiba-tiba Nazril.

“Terharu maksudnya. Hehe.” Akbar cengengesan.

“Oh.”

Akbar kembali menatap ke arah Nada.

“Makasih, Mbak baik, deh.”

Obrolan sejenak terhenti, mereka bertiga terlalu fokus menikmati sarapan. Meski hanya sarapan bubur, tapi, semoga bisa mengganjal rasa lapar. Nada harus Berhemat sebabe ia tak tahu berapa lama ia akan tinggal di Jakarta. Tentu jika ia tak berhemat maka sudah dipastikan sebelum suaminya ketemu bekalnya sudah habis.

Akbar orang pertama yang menghabiskan sarapannya. Sembari menunggu Akbar terus saja berceloteh, sepertinya ia begitu penasaran dengan Nada sampai-sampai yang ia tanyakan semua tentang Nada.

“Mbak, Jakarta-nya sebelah mana? Siapa tahu saja satu jalur denganku, biar aku antar Mbak sama Nazril sampai tujuan?”

“Nazril mau mencari Ayah, Om,” kicau Nazril tiba-tiba hingga membuat Nada memanggil namanya. Nazril paham saat berbicara dengan orang lain lalu Nada menyebut namanya itu artinya ia harus diam tidak boleh bicara sembarangan.

“Nazril. Habiskan dulu makanannya,” titah Nada dan di iyakan oleh Nazril.

Nada melanjutkan sarapannya, lain halnya dengan Akbar. Dia memang baru mengenal sosok Nada beberapa jam lalu bahkan bisa dibilang belum ada sehari kenal. Tapi, entah kenapa Akbar begitu ingin menolong Nada. Ada sesuatu hal yang memuat Akbar harus menolongnya, tapi entah apa. Apa mungkin karena Nada mirip almarhumah kakak iparnya? Entah.

Selesai sarapan, Nada hendak membayar. Tetapi sudah terlebih dulu dibayar oleh Akrab. Nada yang paling anti menyusahkan orang, ia pun berniat mengganti uang yang dikeluarkan Akbar untuk membayar sarapannya. Padahal, niat awalnya justru ia akan membayar milik Akbar tapi malah ia yang dibayari.

“Kenapa kamu harus repot-repot bayarin punyaku dan Nazril? Aku punya uang, kok. Ini ambil, ya sebagai ganti uangmu tadi.” Nada menjulurkan tangan dan di tangannya ada uang untuk mengganti uang Akbar.

“Enggak usah, Mbak. Aku tahu Mbak pasti punya uang.Tapi, masa iya pria dibayarin sama wanita, harga diri aku mau ditaruh di mana Mbak,” terangnya dan malah membuat Nada tersenyum walau seulas.

“Kamu ada-ada aja. Lagian aku sudah berniat untuk sekalian bayarin punya kamu," terang Nada dengan tersenyum.

“Nah, gitu dong Mbak. Senyum, kan makin terlihat cantik.”

Senyum di bibir Nada tiba-tiba sirna dan itu membuat Akbar langsung keheranan. Hanya dalam beberapa menit saja ekspresi Nada langsung berubah.

‘Apa aku salah ngomong?’ batin Akbar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status