Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.
Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”Hujan turun sejak pagi. Bukan gerimis romantis yang biasa diputar di adegan drama, tapi hujan deras, penuh petir, yang membenamkan suara kota dalam gemuruh yang panjang. Aya berdiri di balik jendela kaca apartemen, memegang cangkir kopi yang belum ia teguk sejak sepuluh menit lalu.Biasanya, Elvano sudah berangkat sejak pagi. Tapi hari ini, jam sudah hampir pukul sembilan dan laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat tidur."Lo sakit?" tanya Aya pelan, setengah ragu untuk mendekat.Elvano hanya mengangguk. Matanya setengah terbuka, napasnya agak berat.Aya mendekat, menyentuh dahi suaminya dengan punggung tangan. "Anget… lo demam, El.""Sepertinya masuk angin," sahut Elvano pelan. "Kemarin kena hujan waktu pulang kantor."Aya bergumam kesal. "Gue udah bilang, jangan maksa pulang jalan kaki kalau lagi hujan. Nyari sopir pengganti susah ya? Mobil segede gaban tapi lo malah pengen jadi manusia romantis di tengah hujan."
Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”
Elvano berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit miring. Ia mencoba merapikannya sambil mendengus pelan. Biasanya ada asistennya di kantor yang bisa membantu—tapi pagi ini, ia sengaja tidak ke kantor lebih dulu.Hari ini ia akan menemani Aya ke rumah orang tuanya. Bukan acara resmi. Tapi tetap saja, cukup membuatnya gugup.“Lu gak perlu dandan segitunya, Van,” kata Aya dari belakangnya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan wajah tanpa makeup.Elvano tersenyum menatap bayangannya di kaca. “Gue pengen bikin kesan yang baik.”Aya duduk di ujung ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kayak lu belum cukup bikin orang kesengsem aja.”Elvano berbalik. “Termasuk lu?”Aya langsung melempar handuk ke arahnya. “Jangan geer!”Tapi senyum di bibirnya tipis. Tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke rumah orang tua Aya tidak jauh, tapi suasananya seperti perjala
Hujan turun sejak subuh. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih sejuk dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jendela kamar, dan aroma tanah basah perlahan masuk lewat celah ventilasi.Aya duduk di tepi ranjang dengan rambut yang belum disisir, hoodie kebesaran yang menggantung di bahunya, dan wajah yang masih setengah kantuk. Ia menatap keluar jendela sambil sesekali mengusap embun yang menempel di kaca.Dari dapur, terdengar suara gelas beradu dan suara air mengalir. Elvano, seperti biasa, bangun lebih dulu. Tapi pagi ini tidak terdengar suara musik jazz lembut dari speaker dapur, tidak juga siulan santainya. Pagi ini… lebih sunyi.Aya bangkit dan berjalan pelan menuju dapur.Elvano berdiri membelakanginya, tengah menyeduh kopi dengan mata yang tampak berat. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan daster masak yang biasa ia pakai terlihat lebih longgar di tubuhnya hari ini.Aya berdiri diam sejenak di ambang pintu, memp
Sudah dua hari sejak Elvano diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aya menyetir mobil dengan ekspresi datar, tapi sesekali melirik ke kaca spion tengah, memastikan Elvano yang duduk di belakang bersama adik perempuannya, Ellin, tak tertidur dalam posisi yang salah.Ellin masih pucat, tapi jauh lebih segar dari saat pertama mereka dilarikan ke rumah sakit. Kini ia hanya mengandalkan selang infus portabel dan duduk bersandar di kursi mobil, tertidur tenang.“Lu yakin gak mau duduk di depan, Van?” tanya Aya tanpa menoleh.“Gak apa-apa,” jawab Elvano dari belakang. Suaranya rendah, tapi hangat. “Biar lebih gampang jagain Ellin kalau dia tiba-tiba butuh sesuatu.”Aya mengangguk pelan. Tak ada percakapan panjang sepanjang jalan pulang, hanya denting pelan lagu dari radio yang mengalun seperti latar adegan film yang... terlalu sepi.Sesampainya di rumah, Aya membantu membawa koper kecil dan tas obat Ellin ke kamar tamu. Elvano menyusul setelah m
Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.Bukan Elvano.Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemeta
Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari.Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak.“Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil.Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa.Aya sedang tertawa.Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap.Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap.Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya.Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi.“Elvano?” tanya
Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar.Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis.Aya.Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya.Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel.Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya."Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung.Seketika, pintu ruangannya diketuk.Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen."Ini
Hari itu, matahari bersinar cukup terik di langit biru yang cerah.Elvano baru saja keluar dari sebuah kafe kecil setelah menyelesaikan pertemuan bisnis singkat dengan calon klien baru. Setelan putih bersihnya tampak begitu mencolok di tengah jalanan kota yang ramai. Dengan santai, ia memasukkan tangan ke dalam saku celana, menikmati langkah-langkahnya yang tenang di trotoar.Wajah tampannya menarik perhatian banyak wanita yang berlalu-lalang. Beberapa bahkan tanpa malu-malu melirik, berharap mendapat balasan senyuman.Tapi Elvano? Seperti biasa, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sopan.Seolah tak pernah sadar betapa dirinya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di seberang jalan.Aya.Gadis itu tampak terburu-buru, berjalan dengan langkah lebar, sambil memeluk sebuah tas belanjaan besar di dadanya. Sesekali ia mengumpat kecil ketika harus menghind