Home / Romansa / Suami Idaman / hati yang tak pernah dijemput

Share

hati yang tak pernah dijemput

Author: vano ilham
last update Last Updated: 2025-05-11 18:39:26

Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.

Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari.

Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak.

“Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil.

Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa.

Aya sedang tertawa.

Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap.

Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap.

Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya.

Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi.

“Elvano?” tanyanya sambil menaikkan alis.

“Iya...” Elvano berjalan mendekat, menyodorkan buku. “Nemu buku ini. Kayaknya kamu cocok.”

Aya menerima buku itu dengan ragu. Ia buka-buka sedikit, matanya lalu melirik ke halaman dengan puisi berjudul “Yang Tak Pernah Dijemput.”

Ia membacanya pelan.

> “Bukan karena aku tak ingin datang,

Tapi karena kamu terlalu pandai menutup pintu.

Bahkan ketika aku mengetuk,

Hatimu sibuk pura-pura tak mendengar.”

Aya terdiam lama.

Kemudian ia menutup buku itu.

“Elu... nulis ini?” tanyanya.

Elvano menggeleng. “Bukan. Tapi kayaknya penulisnya tahu rasanya suka sama orang bar-bar.”

Aya menghela napas pelan. Bukannya tersinggung, ia justru merasa... tertampar.

“Gue gak bar-bar,” sahutnya akhirnya.

Elvano tersenyum kecil. “Nggak kok. Cuma... susah didekati. Tapi gak apa-apa. Gue suka tantangan.”

Aya ingin marah. Tapi tak ada yang keluar dari mulutnya.

Untuk pertama kalinya, dia tak menemukan kalimat pembelaan.

Karena mungkin... ada bagian dari dirinya yang tak lagi ingin menolak.

Setelah Elvano pergi, Aya masih duduk di depan warungnya. Buku puisi itu diletakkan di pangkuannya, tapi ia belum membukanya lagi. Matanya hanya menatap lurus ke jalanan kampung yang mulai basah oleh gerimis tipis.

Hatinya... terasa aneh.

Biasanya, setelah obrolan seperti tadi, ia akan mendengus, menyumpah, atau minimal lempar sindiran. Tapi kini, ia malah merasa seperti... diingatkan akan sesuatu yang selama ini ia hindari: kehadiran seseorang yang benar-benar sabar.

Di dunia Aya yang keras, kehadiran seperti Elvano itu bukan hanya langka, tapi asing. Dan sesuatu yang asing selalu membuatnya waspada.

Namun untuk pertama kalinya, kewaspadaan itu berubah jadi keheningan yang lembut.

Aya mengambil buku itu lagi. Ia buka sembarang halaman, membaca dalam hati.

> “Yang keras bukan hatimu,

Tapi ketakutan yang kau simpan terlalu lama.

Biar aku pelan-pelan berdiri di depan,

Sampai kamu percaya, tak semua niat itu ingin menyakitimu.”

Ia menutup buku itu kembali. Nafasnya mengembus panjang.

Tanpa ia sadari, ibu pemilik warung sebelah ikut duduk di sampingnya.

“Nak Aya... kamu mulai berubah ya,” ucap ibu itu sambil tersenyum kecil.

Aya melirik. “Berubah apaan, Bu?”

“Dulu kamu kalau orang ngasih perhatian, langsung dicuekin. Sekarang udah bisa diem, baca, mikir... Itu artinya kamu mulai ngerasa. Hati kamu mulai nggak keras.”

Aya diam. Lalu tertawa kecil.

“Emang sebelumnya keras ya, Bu?”

“Kayak batu!” jawab ibu itu sambil tertawa. “Tapi gak apa-apa. Batu kalau dikasih air terus, lama-lama juga lunak.”

Aya kembali menatap ke jalan. Dalam hatinya, ia membantah. Tapi sekaligus... membenarkan.

Mungkin benar kata Elvano.

Ia terlalu sibuk menutup pintu, sampai-sampai tak sadar ada orang yang berdiri lama di depan rumahnya.

Senja datang seperti bias oranye yang malu-malu menerobos celah awan. Kampung mulai lengang, anak-anak kecil pulang membawa layangan robek, dan suara azan maghrib menggema pelan.

Elvano baru saja sampai di rumah, mengganti jas tipisnya dengan kaus abu yang sedikit kusut. Meja makan kosong. Ia menyeduh teh sendiri, lalu duduk di balkon lantai dua rumah kecilnya yang sederhana namun rapi.

Sejak pindah ke desa ini, ia jarang merasa benar-benar punya tempat pulang. Tapi entah kenapa... warung kecil di seberang jalan itu mulai terasa seperti sebuah arah.

Ia menatap buku puisinya yang lain. Dulu, ia menulis juga—tak sebanyak dulu saat kuliah, tapi masih cukup untuk menyimpan banyak luka yang belum sempat dikatakan.

Tangannya mengambil pena.

Ia mulai menulis:

> “Aku tak tahu apa yang lebih sakit dari menunggu,

Mungkin... terus berharap dari luar jendela,

Sementara dia bahkan tak pernah mengintip ke balik tirai.”

Elvano berhenti.

Lalu tertawa kecil. “Laki-laki bodoh,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Tapi ia tahu, dirinya tak sedang bodoh. Ia hanya sedang sabar.

Kadang orang mengira cinta itu harus terlihat, harus saling. Tapi tidak semua cinta butuh dua arah untuk bernapas. Cinta Elvano, pada saat ini, cukup baginya untuk tetap bernapas sendiri.

Ia hanya ingin Aya tahu:

Tak semua pria datang untuk memaksa masuk.

Ada yang cukup berdiri di luar, menunggu, dengan membawa kehangatan... bukan pintu.

Dan malam itu, sebelum tidur, Elvano hanya berharap satu hal: semoga besok hujan turun lagi. Supaya ia punya alasan sederhana untuk menawarkan payung ke Aya.

Kadang cinta memang sesederhana itu.

Keesokan paginya, hujan memang turun.

Bukan hujan deras, hanya gerimis yang jatuh halus seperti suara nafas seseorang yang sedang ragu.

Aya sedang menata beberapa kardus mie di rak warung ketika mendengar langkah kaki familiar mendekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Langkah itu terlalu tenang untuk bukan Elvano.

“Pagi,” sapa Elvano sambil menepuk-nepuk air dari payung kecil hitamnya.

Aya melirik sebentar, lalu kembali sibuk dengan kardus.

“Lu gak kerja?” tanyanya, mencoba tetap terdengar biasa.

“Telat masuk hari ini. Mau beli kopi dulu. Warung kamu rasa kopi kelurahan,” jawab Elvano ringan, lalu tersenyum. “Tapi lebih manis, kayak yang punya.”

Aya nyaris menyenggol rak. “Apaan sih. Gombal!”

“Ya... daripada galak terus.”

Aya mendesah. Tapi kali ini, tak ada bentakan, tak ada tatapan tajam. Hanya tatapan pelan yang jatuh pada payung Elvano.

“Kenapa lu ke sini bawa payung? Emang kira-kira gua bakal hujan-hujanan?”

“Enggak,” jawab Elvano. “Gua bawa payung buat jaga-jaga... kalau aja kamu mau diajak jalan.”

Aya terdiam.

Bukan karena kalimat itu terlalu manis. Tapi karena kalimat itu... terlalu tulus.

Biasanya, laki-laki datang padanya dengan semangat memburu, mengklaim, atau menantang. Tapi Elvano datang dengan cara yang paling sulit ditolak: kesabaran.

Aya membuka laci warung, mengambil dua bungkus kopi sachet, lalu menyodorkannya.

“Nih. Gratis. Tapi jangan bawa payung kecil kayak gitu. Bikin sebel ngeliatnya.”

Elvano tertawa. “Mau gua bawa payung gede?”

Aya tidak menjawab. Tapi bibirnya tersenyum tipis.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Elvano pulang dari warung Aya tanpa rasa ingin mempercepat waktu.

Karena ia tahu, sebongkah es di hati perempuan itu… akhirnya mulai retak.

Sore itu, langit kembali cerah. Aya duduk sendirian di bangku kecil depan warung. Tangannya memegang buku puisi pemberian Elvano. Tak dibaca, hanya dipegang. Ada rasa ganjil yang tak bisa dijelaskan.

Seumur hidup, Aya terbiasa menjaga jarak. Ia belajar bahwa terlalu dekat dengan siapa pun hanya akan melukai diri sendiri. Dunia tak pernah memberinya alasan cukup untuk mempercayai cinta—apalagi dari seorang lelaki seperti Elvano.

Kaya. Tampan. Romantis. Dermawan.

Justru itu masalahnya. Semua itu terlalu sempurna untuk dunia Aya yang tak sempurna. Rasanya seperti menggenggam bunga di tangan penuh luka—indah, tapi menyakitkan.

“Kalau kamu terus jaga jarak, kapan hatimu bisa pulang?”

Kalimat itu muncul kembali di pikirannya. Suara Elvano saat mengucapkannya... masih terngiang. Bukan karena kata-katanya menyentuh. Tapi karena... itu pertama kalinya ada yang menyebut hati Aya sebagai ‘rumah’.

Aya menunduk. Angin berhembus pelan, menerbangkan satu halaman buku.

Ia memungutnya.

Dan di halaman itu tertulis:

> “Kalau hatimu tak bisa diserahkan sekarang,

Tak apa.

Biar aku tunggu.

Sampai kamu siap membukakan pintunya,

Meskipun hanya celah.”

Aya menarik napas panjang.

Malam menjelang. Elvano tidak datang hari ini.

Aneh.

Aya justru merasa... kosong.

Dulu, kehadiran Elvano selalu dianggap gangguan. Tapi kini, tanpa sapaan paginya, tanpa payung kecil hitamnya... ada ruang di dada yang tiba-tiba terasa sunyi.

“Gila,” gumam Aya.

Ia bangkit, berjalan ke tepi jalan, memandangi rumah Elvano dari kejauhan. Tak ada lampu menyala.

“Dia ke mana?” tanyanya dalam hati. “Besok... datang lagi gak ya?”

Untuk pertama kalinya, bukan Elvano yang menunggu.

Melainkan Aya.

Dan mungkin, di sinilah cinta mulai tumbuh—bukan dari tawa, bukan dari pelukan, tapi dari kehilangan yang tak disadari sedang ditakutkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Idaman   badai dibalik senyuman

    Hujan turun sejak pagi. Bukan gerimis romantis yang biasa diputar di adegan drama, tapi hujan deras, penuh petir, yang membenamkan suara kota dalam gemuruh yang panjang. Aya berdiri di balik jendela kaca apartemen, memegang cangkir kopi yang belum ia teguk sejak sepuluh menit lalu.Biasanya, Elvano sudah berangkat sejak pagi. Tapi hari ini, jam sudah hampir pukul sembilan dan laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat tidur."Lo sakit?" tanya Aya pelan, setengah ragu untuk mendekat.Elvano hanya mengangguk. Matanya setengah terbuka, napasnya agak berat.Aya mendekat, menyentuh dahi suaminya dengan punggung tangan. "Anget… lo demam, El.""Sepertinya masuk angin," sahut Elvano pelan. "Kemarin kena hujan waktu pulang kantor."Aya bergumam kesal. "Gue udah bilang, jangan maksa pulang jalan kaki kalau lagi hujan. Nyari sopir pengganti susah ya? Mobil segede gaban tapi lo malah pengen jadi manusia romantis di tengah hujan."

  • Suami Idaman   gengsi yang retak

    Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”

  • Suami Idaman   pelan-pelan menuju rasa

    Elvano berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit miring. Ia mencoba merapikannya sambil mendengus pelan. Biasanya ada asistennya di kantor yang bisa membantu—tapi pagi ini, ia sengaja tidak ke kantor lebih dulu.Hari ini ia akan menemani Aya ke rumah orang tuanya. Bukan acara resmi. Tapi tetap saja, cukup membuatnya gugup.“Lu gak perlu dandan segitunya, Van,” kata Aya dari belakangnya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan wajah tanpa makeup.Elvano tersenyum menatap bayangannya di kaca. “Gue pengen bikin kesan yang baik.”Aya duduk di ujung ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kayak lu belum cukup bikin orang kesengsem aja.”Elvano berbalik. “Termasuk lu?”Aya langsung melempar handuk ke arahnya. “Jangan geer!”Tapi senyum di bibirnya tipis. Tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke rumah orang tua Aya tidak jauh, tapi suasananya seperti perjala

  • Suami Idaman   titik awal yang baru

    Hujan turun sejak subuh. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih sejuk dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jendela kamar, dan aroma tanah basah perlahan masuk lewat celah ventilasi.Aya duduk di tepi ranjang dengan rambut yang belum disisir, hoodie kebesaran yang menggantung di bahunya, dan wajah yang masih setengah kantuk. Ia menatap keluar jendela sambil sesekali mengusap embun yang menempel di kaca.Dari dapur, terdengar suara gelas beradu dan suara air mengalir. Elvano, seperti biasa, bangun lebih dulu. Tapi pagi ini tidak terdengar suara musik jazz lembut dari speaker dapur, tidak juga siulan santainya. Pagi ini… lebih sunyi.Aya bangkit dan berjalan pelan menuju dapur.Elvano berdiri membelakanginya, tengah menyeduh kopi dengan mata yang tampak berat. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan daster masak yang biasa ia pakai terlihat lebih longgar di tubuhnya hari ini.Aya berdiri diam sejenak di ambang pintu, memp

  • Suami Idaman   saat hati belajar bicara

    Sudah dua hari sejak Elvano diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aya menyetir mobil dengan ekspresi datar, tapi sesekali melirik ke kaca spion tengah, memastikan Elvano yang duduk di belakang bersama adik perempuannya, Ellin, tak tertidur dalam posisi yang salah.Ellin masih pucat, tapi jauh lebih segar dari saat pertama mereka dilarikan ke rumah sakit. Kini ia hanya mengandalkan selang infus portabel dan duduk bersandar di kursi mobil, tertidur tenang.“Lu yakin gak mau duduk di depan, Van?” tanya Aya tanpa menoleh.“Gak apa-apa,” jawab Elvano dari belakang. Suaranya rendah, tapi hangat. “Biar lebih gampang jagain Ellin kalau dia tiba-tiba butuh sesuatu.”Aya mengangguk pelan. Tak ada percakapan panjang sepanjang jalan pulang, hanya denting pelan lagu dari radio yang mengalun seperti latar adegan film yang... terlalu sepi.Sesampainya di rumah, Aya membantu membawa koper kecil dan tas obat Ellin ke kamar tamu. Elvano menyusul setelah m

  • Suami Idaman   saat hening mulai berbicara

    Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.Bukan Elvano.Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemeta

  • Suami Idaman   hati yang tak pernah dijemput

    Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari.Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak.“Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil.Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa.Aya sedang tertawa.Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap.Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap.Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya.Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi.“Elvano?” tanya

  • Suami Idaman   jarak yang tak pernah dekat

    Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar.Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis.Aya.Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya.Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel.Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya."Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung.Seketika, pintu ruangannya diketuk.Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen."Ini

  • Suami Idaman   pertemuan yang tak disengaja

    Hari itu, matahari bersinar cukup terik di langit biru yang cerah.Elvano baru saja keluar dari sebuah kafe kecil setelah menyelesaikan pertemuan bisnis singkat dengan calon klien baru. Setelan putih bersihnya tampak begitu mencolok di tengah jalanan kota yang ramai. Dengan santai, ia memasukkan tangan ke dalam saku celana, menikmati langkah-langkahnya yang tenang di trotoar.Wajah tampannya menarik perhatian banyak wanita yang berlalu-lalang. Beberapa bahkan tanpa malu-malu melirik, berharap mendapat balasan senyuman.Tapi Elvano? Seperti biasa, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sopan.Seolah tak pernah sadar betapa dirinya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di seberang jalan.Aya.Gadis itu tampak terburu-buru, berjalan dengan langkah lebar, sambil memeluk sebuah tas belanjaan besar di dadanya. Sesekali ia mengumpat kecil ketika harus menghind

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status