Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.
Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari. Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak. “Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil. Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa. Aya sedang tertawa. Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap. Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap. Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya. Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi. “Elvano?” tanyanya sambil menaikkan alis. “Iya...” Elvano berjalan mendekat, menyodorkan buku. “Nemu buku ini. Kayaknya kamu cocok.” Aya menerima buku itu dengan ragu. Ia buka-buka sedikit, matanya lalu melirik ke halaman dengan puisi berjudul “Yang Tak Pernah Dijemput.” Ia membacanya pelan. > “Bukan karena aku tak ingin datang, Tapi karena kamu terlalu pandai menutup pintu. Bahkan ketika aku mengetuk, Hatimu sibuk pura-pura tak mendengar.” Aya terdiam lama. Kemudian ia menutup buku itu. “Elu... nulis ini?” tanyanya. Elvano menggeleng. “Bukan. Tapi kayaknya penulisnya tahu rasanya suka sama orang bar-bar.” Aya menghela napas pelan. Bukannya tersinggung, ia justru merasa... tertampar. “Gue gak bar-bar,” sahutnya akhirnya. Elvano tersenyum kecil. “Nggak kok. Cuma... susah didekati. Tapi gak apa-apa. Gue suka tantangan.” Aya ingin marah. Tapi tak ada yang keluar dari mulutnya. Untuk pertama kalinya, dia tak menemukan kalimat pembelaan. Karena mungkin... ada bagian dari dirinya yang tak lagi ingin menolak. Setelah Elvano pergi, Aya masih duduk di depan warungnya. Buku puisi itu diletakkan di pangkuannya, tapi ia belum membukanya lagi. Matanya hanya menatap lurus ke jalanan kampung yang mulai basah oleh gerimis tipis. Hatinya... terasa aneh. Biasanya, setelah obrolan seperti tadi, ia akan mendengus, menyumpah, atau minimal lempar sindiran. Tapi kini, ia malah merasa seperti... diingatkan akan sesuatu yang selama ini ia hindari: kehadiran seseorang yang benar-benar sabar. Di dunia Aya yang keras, kehadiran seperti Elvano itu bukan hanya langka, tapi asing. Dan sesuatu yang asing selalu membuatnya waspada. Namun untuk pertama kalinya, kewaspadaan itu berubah jadi keheningan yang lembut. Aya mengambil buku itu lagi. Ia buka sembarang halaman, membaca dalam hati. > “Yang keras bukan hatimu, Tapi ketakutan yang kau simpan terlalu lama. Biar aku pelan-pelan berdiri di depan, Sampai kamu percaya, tak semua niat itu ingin menyakitimu.” Ia menutup buku itu kembali. Nafasnya mengembus panjang. Tanpa ia sadari, ibu pemilik warung sebelah ikut duduk di sampingnya. “Nak Aya... kamu mulai berubah ya,” ucap ibu itu sambil tersenyum kecil. Aya melirik. “Berubah apaan, Bu?” “Dulu kamu kalau orang ngasih perhatian, langsung dicuekin. Sekarang udah bisa diem, baca, mikir... Itu artinya kamu mulai ngerasa. Hati kamu mulai nggak keras.” Aya diam. Lalu tertawa kecil. “Emang sebelumnya keras ya, Bu?” “Kayak batu!” jawab ibu itu sambil tertawa. “Tapi gak apa-apa. Batu kalau dikasih air terus, lama-lama juga lunak.” Aya kembali menatap ke jalan. Dalam hatinya, ia membantah. Tapi sekaligus... membenarkan. Mungkin benar kata Elvano. Ia terlalu sibuk menutup pintu, sampai-sampai tak sadar ada orang yang berdiri lama di depan rumahnya. Senja datang seperti bias oranye yang malu-malu menerobos celah awan. Kampung mulai lengang, anak-anak kecil pulang membawa layangan robek, dan suara azan maghrib menggema pelan. Elvano baru saja sampai di rumah, mengganti jas tipisnya dengan kaus abu yang sedikit kusut. Meja makan kosong. Ia menyeduh teh sendiri, lalu duduk di balkon lantai dua rumah kecilnya yang sederhana namun rapi. Sejak pindah ke desa ini, ia jarang merasa benar-benar punya tempat pulang. Tapi entah kenapa... warung kecil di seberang jalan itu mulai terasa seperti sebuah arah. Ia menatap buku puisinya yang lain. Dulu, ia menulis juga—tak sebanyak dulu saat kuliah, tapi masih cukup untuk menyimpan banyak luka yang belum sempat dikatakan. Tangannya mengambil pena. Ia mulai menulis: > “Aku tak tahu apa yang lebih sakit dari menunggu, Mungkin... terus berharap dari luar jendela, Sementara dia bahkan tak pernah mengintip ke balik tirai.” Elvano berhenti. Lalu tertawa kecil. “Laki-laki bodoh,” gumamnya pada dirinya sendiri. Tapi ia tahu, dirinya tak sedang bodoh. Ia hanya sedang sabar. Kadang orang mengira cinta itu harus terlihat, harus saling. Tapi tidak semua cinta butuh dua arah untuk bernapas. Cinta Elvano, pada saat ini, cukup baginya untuk tetap bernapas sendiri. Ia hanya ingin Aya tahu: Tak semua pria datang untuk memaksa masuk. Ada yang cukup berdiri di luar, menunggu, dengan membawa kehangatan... bukan pintu. Dan malam itu, sebelum tidur, Elvano hanya berharap satu hal: semoga besok hujan turun lagi. Supaya ia punya alasan sederhana untuk menawarkan payung ke Aya. Kadang cinta memang sesederhana itu. Keesokan paginya, hujan memang turun. Bukan hujan deras, hanya gerimis yang jatuh halus seperti suara nafas seseorang yang sedang ragu. Aya sedang menata beberapa kardus mie di rak warung ketika mendengar langkah kaki familiar mendekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Langkah itu terlalu tenang untuk bukan Elvano. “Pagi,” sapa Elvano sambil menepuk-nepuk air dari payung kecil hitamnya. Aya melirik sebentar, lalu kembali sibuk dengan kardus. “Lu gak kerja?” tanyanya, mencoba tetap terdengar biasa. “Telat masuk hari ini. Mau beli kopi dulu. Warung kamu rasa kopi kelurahan,” jawab Elvano ringan, lalu tersenyum. “Tapi lebih manis, kayak yang punya.” Aya nyaris menyenggol rak. “Apaan sih. Gombal!” “Ya... daripada galak terus.” Aya mendesah. Tapi kali ini, tak ada bentakan, tak ada tatapan tajam. Hanya tatapan pelan yang jatuh pada payung Elvano. “Kenapa lu ke sini bawa payung? Emang kira-kira gua bakal hujan-hujanan?” “Enggak,” jawab Elvano. “Gua bawa payung buat jaga-jaga... kalau aja kamu mau diajak jalan.” Aya terdiam. Bukan karena kalimat itu terlalu manis. Tapi karena kalimat itu... terlalu tulus. Biasanya, laki-laki datang padanya dengan semangat memburu, mengklaim, atau menantang. Tapi Elvano datang dengan cara yang paling sulit ditolak: kesabaran. Aya membuka laci warung, mengambil dua bungkus kopi sachet, lalu menyodorkannya. “Nih. Gratis. Tapi jangan bawa payung kecil kayak gitu. Bikin sebel ngeliatnya.” Elvano tertawa. “Mau gua bawa payung gede?” Aya tidak menjawab. Tapi bibirnya tersenyum tipis. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Elvano pulang dari warung Aya tanpa rasa ingin mempercepat waktu. Karena ia tahu, sebongkah es di hati perempuan itu… akhirnya mulai retak. Sore itu, langit kembali cerah. Aya duduk sendirian di bangku kecil depan warung. Tangannya memegang buku puisi pemberian Elvano. Tak dibaca, hanya dipegang. Ada rasa ganjil yang tak bisa dijelaskan. Seumur hidup, Aya terbiasa menjaga jarak. Ia belajar bahwa terlalu dekat dengan siapa pun hanya akan melukai diri sendiri. Dunia tak pernah memberinya alasan cukup untuk mempercayai cinta—apalagi dari seorang lelaki seperti Elvano. Kaya. Tampan. Romantis. Dermawan. Justru itu masalahnya. Semua itu terlalu sempurna untuk dunia Aya yang tak sempurna. Rasanya seperti menggenggam bunga di tangan penuh luka—indah, tapi menyakitkan. “Kalau kamu terus jaga jarak, kapan hatimu bisa pulang?” Kalimat itu muncul kembali di pikirannya. Suara Elvano saat mengucapkannya... masih terngiang. Bukan karena kata-katanya menyentuh. Tapi karena... itu pertama kalinya ada yang menyebut hati Aya sebagai ‘rumah’. Aya menunduk. Angin berhembus pelan, menerbangkan satu halaman buku. Ia memungutnya. Dan di halaman itu tertulis: > “Kalau hatimu tak bisa diserahkan sekarang, Tak apa. Biar aku tunggu. Sampai kamu siap membukakan pintunya, Meskipun hanya celah.” Aya menarik napas panjang. Malam menjelang. Elvano tidak datang hari ini. Aneh. Aya justru merasa... kosong. Dulu, kehadiran Elvano selalu dianggap gangguan. Tapi kini, tanpa sapaan paginya, tanpa payung kecil hitamnya... ada ruang di dada yang tiba-tiba terasa sunyi. “Gila,” gumam Aya. Ia bangkit, berjalan ke tepi jalan, memandangi rumah Elvano dari kejauhan. Tak ada lampu menyala. “Dia ke mana?” tanyanya dalam hati. “Besok... datang lagi gak ya?” Untuk pertama kalinya, bukan Elvano yang menunggu. Melainkan Aya. Dan mungkin, di sinilah cinta mulai tumbuh—bukan dari tawa, bukan dari pelukan, tapi dari kehilangan yang tak disadari sedang ditakutkan.Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce
Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”
Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi
“Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”
Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m
Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d