Home / Romansa / Suami Idaman / saat hening mulai berbicara

Share

saat hening mulai berbicara

Author: vano ilham
last update Huling Na-update: 2025-05-12 09:32:20

Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.

Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.

Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.

“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.

Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.

Bukan Elvano.

Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.

Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”

Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemetar saat membacanya.

Aya menatap layar ponselnya cukup lama.

Lalu ia membalas:

> “Lu gak bilang dari awal?”

Balasannya datang cukup cepat.

> “Aku gak mau ganggu kamu. Kamu juga gak suka aku terlalu sering nongol.”

Aya menggigit bibir. Satu sisi, ia merasa bersalah. Sisi lain, ia kesal pada dirinya sendiri. Kenapa malah nunggu?

> “Dia kenapa?”

> “Apendis. Operasinya lancar, sekarang tinggal nunggu pulih.”

Aya mengetik, lalu menghapus. Mengetik lagi, lalu menghapus. Akhirnya hanya mengirim:

> “Jaga diri lu juga.”

Lalu, untuk pertama kalinya, Aya menutup warung lebih awal.

Bukan karena hujan. Bukan karena lelah.

Tapi karena dadanya... tiba-tiba sesak oleh sesuatu yang belum pernah ia kenal sebelumnya: rindu.

Malam itu, Aya berbaring di kamarnya. Lampu dipadamkan, hanya tersisa cahaya dari layar ponsel yang masih menampilkan chat terakhirnya dengan Elvano. Ia menatap layar itu lama, seolah mengharapkan balasan baru meski tahu Elvano mungkin sedang tertidur di bangku rumah sakit.

Aya menarik selimut, tapi tubuhnya tetap terasa dingin. Bukan karena cuaca.

Ada suara-suara dalam kepalanya yang selama ini ia acuhkan.

Kenapa kamu peduli?

Kenapa kamu kesel dia gak ngabarin?

Kenapa kamu nungguin tiap pagi?

Pertanyaan-pertanyaan itu datang satu per satu, menggedor ruang yang selama ini tertutup rapat di hatinya. Aya menggigit bibir. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tak pernah membiarkan dirinya larut dalam pikiran seperti ini—tapi kini, semuanya seperti menyerbu sekaligus.

Mungkin karena Elvano terlalu diam.

Dan dalam diam itulah, Aya mulai mendengar suara hatinya sendiri.

Keesokan harinya, Aya tak langsung membuka warung.

Ia bangun pagi-pagi, memasak sesuatu—ya, memasak, hal yang bahkan jarang ia lakukan kalau tidak benar-benar butuh. Ia membuat bubur ayam, membungkusnya rapi dalam termos kecil, dan memasukkannya ke dalam tas.

Lalu ia berdiri lama di depan cermin.

“Ngapain sih, Ay…” gumamnya, menatap pantulan wajahnya sendiri.

Tapi kakinya tetap melangkah ke luar.

Naik ojek, menuju rumah sakit yang Elvano sebutkan dalam chat.

Dan saat ia tiba di depan pintu kamar rawat inap bernomor 207, Aya mendadak gugup.

Ia menatap pintu itu lama, lalu… mengetuk pelan.

Tak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi. Kali ini sedikit lebih keras.

Lalu suara yang ia kenal menjawab dari dalam.

“Masuk aja… gak dikunci.”

Aya membuka pintu, dan ketika Elvano menoleh ke arahnya, senyumnya langsung merekah—walau wajahnya terlihat sedikit pucat karena kurang tidur.

“Aya…?”

Aya menatap pria itu dalam diam. Lalu mengangkat termos kecilnya.

“Gue gak biasa masak. Tapi lu makan aja. Lumayan buat isi perut.”

Elvano menatapnya, matanya seketika berkaca-kaca. Tapi ia tersenyum. “Kamu datang…”

Aya mendesah dan memalingkan wajah.

“Gue bukan datang karena kangen ya. Gue cuma... kasian.”

Tapi Elvano tahu, itu hanya alasan.

Dan untuk pertama kalinya, Aya datang sebelum dipanggil.

Datang karena ingin, bukan karena dipaksa.

Di kamar rumah sakit itu, hening menggantung seperti benang tipis yang siap putus sewaktu-waktu. Aya meletakkan termos bubur di meja kecil di samping tempat tidur, lalu duduk di kursi plastik dengan gaya yang masih terlihat... cuek dan ogah-ogahan.

Elvano membuka tutup termosnya pelan.

"Aroma jahe," gumamnya. "Kamu tahu aku suka?"

Aya memutar bola matanya. "Gak sengaja. Bahan di dapur cuma itu."

Elvano tertawa pelan. Suara tawanya tak sekencang biasanya, mungkin karena kelelahan atau mungkin karena dadanya terlalu penuh oleh emosi yang tak bisa ia ungkapkan.

"Aku senang kamu datang, Aya," ucapnya.

Aya tidak langsung membalas. Ia hanya memelototi tirai putih rumah sakit yang melambai pelan karena kipas angin kecil di sudut ruangan.

“Lu udah tidur belum?” tanyanya, masih tak mau menatap langsung.

“Belum. Adikku tadi baru bisa tidur jam dua. Aku jagain terus.”

Aya menoleh cepat. “Lu gila? Lu bisa ambruk sendiri kalau gak istirahat.”

“Aku tahu. Tapi… rasanya lebih tenang kalau aku tetap di sini.”

Aya mendesah. Ia berdiri, membuka laci meja, mengeluarkan sendok plastik, lalu mengambil termos dari tangan Elvano.

“Udah. Diam. Makan dulu.”

Elvano menurut tanpa protes.

Aya menyendokkan bubur ke mulutnya. Sesekali, ia meniupnya dulu, lalu menyodorkannya seperti merawat bocah.

Elvano menatap wajah Aya yang tampak kikuk.

“Lucu juga kamu kalau lagi perhatian,” celetuknya pelan.

Aya langsung berhenti menyuapi. “Ngomong sekali lagi, gue lempar sendok.”

Elvano tertawa meski mulutnya masih penuh bubur.

“Gue serius.”

“Serius gak selalu perlu diumbar, El,” gumam Aya. Lalu ia menunduk. “Kadang cukup ditunjukin... kayak sekarang.”

Elvano terdiam.

Keduanya terdiam.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah karena perjodohan konyol itu... ada kehangatan yang tumbuh bukan karena kebiasaan, bukan karena keharusan, tapi karena keikhlasan yang perlahan muncul tanpa paksaan.

Hening yang dulu mengganggu… kini mulai terasa menenangkan.

Sore menjelang saat Aya keluar dari kamar rumah sakit. Ia butuh udara, katanya—padahal sebenarnya hatinya penuh sesak. Duduk di bangku panjang lorong, ia menunduk, memainkan ujung jaketnya sambil berpikir: kenapa tiba-tiba hatinya jadi begini?

Selama ini, Elvano selalu datang ke arahnya. Selalu sabar, selalu manis, selalu rela jadi tameng dari semua kemarahan dan sikap bar-bar-nya. Tapi kali ini… giliran Aya yang datang lebih dulu. Dan itu membuat segalanya terasa… berbeda.

“Aya?”

Aya menoleh cepat.

Seorang perempuan muda—anggun, dengan rambut tergerai indah dan tas mahal menggantung di lengan—berdiri di dekatnya. Wajahnya cantik, senyumnya sopan.

“Maaf… kamu istrinya Mas Elvano, ya?”

Aya mengernyit. “Iya. Emang kenapa?”

Perempuan itu tersenyum makin lebar. “Saya Retha. Teman kuliah Mas Elvano dulu. Sekarang kerja di rumah sakit ini, bagian administrasi.”

“Oh…” Aya menanggapi singkat.

“Saya cuma kaget aja. Mas Elvano jarang cerita soal keluarga. Ternyata istrinya… cantik, ya.”

Aya merasa ada yang janggal dari kalimat itu. Pujiannya terasa seperti... selipan dari racun halus.

“Lu suka dia ya?” tanya Aya tanpa basa-basi, menatap tajam seperti biasa.

Retha tersenyum, tidak terkejut. “Dulu pernah. Tapi dia gak pernah ngelirik balik. Sekarang, saya cuma pengagum aja. Dan saya rasa... saya bukan satu-satunya.”

Aya diam. Genggaman tangannya mengepal di pangkuan.

Retha melirik jam tangan. “Saya kerja lagi, ya. Senang ketemu kamu, Aya.”

Aya hanya mengangguk.

Setelah Retha pergi, Aya menatap langit-langit lorong rumah sakit. Dingin. Putih. Sepi.

Tapi di dadanya, mulai tumbuh gelisah.

Dia jadi rebutan semua perempuan. Tapi cuma gue yang dia nikahin. Dan gue…? Gue bahkan belum pernah benar-benar bilang kalau gue peduli.

Aya memejamkan mata.

Kali ini, mungkin dia perlu berhenti menunggu disadarkan oleh rasa sakit. Mungkin… dia harus mulai belajar menyadari apa yang ia miliki, sebelum perempuan lain mengambilnya dengan mudah.

Saat Aya kembali masuk ke kamar, Elvano sudah tertidur. Nafasnya teratur, wajahnya tenang meski tubuhnya tampak lelah. Aya berdiri di ambang pintu beberapa saat, hanya memandangi lelaki itu—lelaki yang dulu ia anggap menyebalkan karena terlalu sempurna, terlalu tenang, terlalu... baik.

Perlahan, ia duduk di sisi ranjang. Tangannya mengusap rambut Elvano pelan, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Lu tuh bego, Van..." bisiknya lirih. "Kenapa sih suka sama orang kayak gue? Bar-bar, pemarah, keras kepala. Padahal yang ngantri buat dapetin lo tuh panjang. Cantik-cantik. Lemah lembut. Kayak Retha tadi, tuh."

Tak ada jawaban, tentu saja. Tapi Elvano bergumam pelan dalam tidurnya, seperti merespons.

Aya menghela napas panjang.

"Apa mungkin... lo emang tulus ya?"

Kata-kata itu keluar begitu saja. Dan untuk pertama kalinya, hatinya merasa berdebar karena mengucapkannya sendiri.

Ia lalu mengambil ponselnya, membuka aplikasi catatan, dan mulai menulis sesuatu yang membuat hatinya panas sendiri.

> Kalau suatu saat nanti lo ninggalin gue karena capek dikejar cinta yang gak pernah lo dapet dari gue, itu wajar. Tapi kalau suatu saat lo tetep bertahan meski semua orang terus rebutin lo, gue bakal jadi orang pertama yang narik lo pulang. Karena ternyata... pelan-pelan gue mulai ngerti, kenapa lo layak diperjuangin.

Tangannya gemetar saat mengetik, tapi ia tak menghapusnya.

Aya menatap Elvano lagi. Kali ini lebih lama. Lebih dalam. Mungkin bukan cinta yang tumbuh… tapi benihnya, sudah mulai ada.

Dan ketika malam turun, dan seluruh rumah sakit sunyi, hanya ada satu suara dalam hati Aya yang berbisik pelan:

Jangan sampai gue kehilangan dia sebelum gue benar-benar jatuh cinta.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suami Idaman   bab 75

    Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce

  • Suami Idaman   bab 74

    Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”

  • Suami Idaman   bab 73

    Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi

  • Suami Idaman   bab 72

    “Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”

  • Suami Idaman   bab 71

    Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m

  • Suami Idaman   bab 70

    Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status