Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.
Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar. Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis. Aya. Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya. Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel. Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya. "Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung. Seketika, pintu ruangannya diketuk. Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen. "Ini dokumen tender proyek Surabaya, Pak Elvano," ujarnya ramah. Elvano menerima dokumen itu, mengangguk ringan. "Terima kasih, Siska." Begitu pintu tertutup kembali, ruang kerja itu kembali sunyi. Elvano membuka lembaran demi lembaran, tapi tetap saja... konsentrasinya tak sepenuhnya kembali. Sementara itu, di tempat lain, Aya sedang sibuk di warung milik ibunya. Ia memakai kaos lusuh dan celana pendek longgar, rambut dikuncir asal-asalan, tanpa makeup atau bahkan bedak. Tapi tetap saja, ada aura khas dari dirinya yang mencolok. "Bu, telur tinggal tiga biji. Mau beli sekarang atau nanti?" teriak Aya dari balik warung. Ibunya menjawab dari dapur, dan Aya pun segera keluar menuju pasar kecil di ujung gang. Langkahnya cepat, tegas, dan tatapan matanya tajam seperti biasa. Namun, saat melewati satu gang sempit, langkahnya melambat. Itu gang tempat dia dan Elvano jalan beberapa hari lalu. Entah kenapa, saat melewatinya, ada rasa aneh di dada. Aya menoleh sekilas. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tapi kenangan itu... terasa sangat hidup. "Tch, ngapain mikirin orang kaya gak penting begitu..." gumam Aya, menggigit bibir bawahnya. Tapi semakin dia menyangkal, semakin pikirannya kembali ke senyuman Elvano waktu itu. Senyuman tulus. Hangat. Dan... mengganggu. Aya menghela napas panjang dan menatap ke langit. "Jangan-jangan gue... mulai gila?" Langit siang mulai tertutup awan kelabu ketika Aya kembali dari pasar dengan langkah cepat. Bungkusan telur di tangannya bergoyang ringan setiap kali ia melangkah. Tapi bukan telur itu yang ia pikirkan. Sejak beberapa menit lalu, ia terus terbayang-bayang kalimat Elvano saat mereka berpisah waktu itu: > “Kalau butuh bantuan lain, tinggal bilang aja.” Aya mencibir pelan. "Kenapa sih dia ngomong kayak gitu? Kayak pahlawan kesiangan," gumamnya, padahal hatinya terasa menghangat sendiri. Begitu sampai di rumah, ia langsung disambut suara ibunya dari dapur, "Telurnya ditaruh di meja ya, Na." Aya meletakkan bungkusan itu dengan sedikit lemparan, lalu menghempaskan diri ke kursi plastik warung yang mulai sepi. Ia menatap jalanan depan rumah. Tak banyak orang lewat. Tapi pikirannya justru semakin ramai. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aya merasa terganggu... oleh perhatian seseorang. Sementara itu, di lantai tertinggi gedung perusahaannya, Elvano masih terjebak dalam tumpukan laporan dan diskusi via telepon dengan klien luar negeri. Namun, bahkan di sela-sela rapat yang penuh tekanan, satu nama tak pernah benar-benar keluar dari pikirannya. "Aya..." bisiknya pelan setelah telepon dimatikan. Ia menatap ponselnya sesaat. Membuka aplikasi chat. Jari-jarinya sempat mengetik: > ‘Apa kabar?’ Tapi tak lama kemudian, ia menghapusnya. ‘Terlalu cepat,’ pikirnya. Elvano tahu, Aya bukan tipe perempuan yang bisa didekati dengan cara biasa. Ia keras, liar, dan penuh benteng. Tapi bukan berarti tak bisa disentuh. Mungkin bukan dengan gombalan... tapi dengan ketulusan. Sore itu, sebelum pulang, Elvano meminta sopirnya membelokkan mobil ke sebuah toko bunga kecil di pinggir kota. Ia memilih satu pot kecil tanaman kaktus mini dengan pita biru muda. "Kenapa pilih kaktus, Pak?" tanya pemilik toko, tersenyum ramah. Elvano hanya mengangguk kecil. "Soalnya... dia tipe orang yang berduri." Pemilik toko tertawa. "Lalu kenapa masih dikasih?" Elvano menatap kaktus itu lama sebelum menjawab, "Karena kaktus juga bisa mekar. Tapi butuh waktu. Dan kesabaran." Sore itu, hujan turun perlahan. Butirannya mengetuk-ngetuk atap warung rumah Aya, membuat suara khas yang bagi kebanyakan orang terasa menenangkan. Tapi bagi Aya, hari ini justru terasa aneh. Ia duduk sendirian di meja warung, menatap rintik hujan sambil memutar sendok di dalam gelas teh manis yang sudah mulai dingin. Biasanya, saat hujan seperti ini, ia akan bermain game atau tidur. Tapi kali ini... matanya kosong, pikirannya tak bisa diam. Elvano. Lagi-lagi muncul nama itu di kepalanya. Seolah pria itu sengaja menempati ruang kosong di otaknya. Aya menggigit bibirnya. “Gue harus berhenti mikirin dia…” Seolah menjawab pikirannya, suara motor berhenti di depan rumah. Aya langsung menoleh. Seorang pria turun dari motor, mengenakan mantel hujan. Bukan Elvano. Hanya tukang paket. Aya berjalan keluar, dan tukang paket itu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna coklat. Di atasnya tertulis rapi: > “Untuk: Aya Dari: Orang yang sabar.” Alis Aya langsung bertaut. “Orang yang sabar? Siapa lagi nih gaya-gayaan gak jelas begini…” Setelah menandatangani penerimaan paket, Aya buru-buru membuka kotaknya di dalam rumah. Di dalamnya, sebuah pot kecil berisi tanaman kaktus mini. Lucu, dengan pita biru muda melingkari potnya. Dan ada kartu kecil terselip: > “Kamu berduri, tapi aku nggak takut. Karena aku percaya, kaktus juga bisa berbunga, meski jarang. Pelan-pelan aja, ya. — V.” Aya terdiam. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia membuang napas keras dan menjatuhkan diri ke atas kasur. “Apa sih maunya cowok ini… nyebelin banget…” Tapi tangannya tak lepas dari pot kecil itu. Diam-diam... hatinya menghangat. Bahkan ia senyum kecil tanpa sadar. Sial. Esok paginya, Aya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm. Bukan juga karena ibunya memanggil. Tapi karena sesuatu yang aneh: ia tidur dengan senyuman. Dan itu... membuatnya kesal sendiri. Ia menoleh ke meja kecil di sudut kamar. Pot kaktus mini dari Elvano masih berdiri di sana, tenang, seolah menatap balik padanya. “Ngapain sih lo masih di situ...” gumam Aya, bangkit dari tempat tidur. Namun, saat ia hendak mengambilnya untuk disimpan di dalam laci—jauh dari pandangan—Aya justru mengurungkan niatnya. Tangannya berhenti di udara. Lalu ia hanya mendesah, memalingkan wajah. “Gila. Gue mulai lembek.” Sementara itu, Elvano sudah bersiap menuju kantor. Tapi pagi ini ia tidak tampak sesibuk biasanya. Ia duduk lebih lama di meja makan, menatap kosong ke secangkir kopi yang belum disentuh. Ibunya datang dari arah dapur. “Lagi mikirin apa, Van?” tanya sang ibu sambil membawa roti panggang. Elvano tersenyum kecil. “Mikirin cewek.” Sang ibu ikut duduk di seberangnya, mengangkat alis dengan tertarik. “Wah, akhirnya anak Ibu naksir juga.” Elvano hanya mengangguk pelan. “Iya... Tapi dia bukan cewek biasa, Bu. Dia beda banget. Bar-bar, suka marah, kadang kasar. Tapi... dia jujur. Dan kuat.” Sang ibu mengangguk bijak, sambil menatap anaknya penuh kasih. “Elvano... kamu tahu kan, cinta itu bukan soal menemukan yang paling sempurna. Tapi tentang siapa yang mau kamu perjuangkan, meski dia paling sulit dicintai.” Elvano menatap ibunya lama. Kata-kata itu menggema di dadanya. “Iya, Bu. Aku tahu. Makanya aku nggak nyerah.” Di tempat lain, Aya kembali ke warung. Ia mencoba menyibukkan diri—mengelap meja, menyusun kerupuk, menyapu lantai. Tapi entah kenapa, ia jadi lebih... pelan hari ini. Lebih lembut. Lebih tenang. Beberapa pelanggan bahkan sempat heran. “Na, kamu gak marah-marah hari ini. Ajaib,” canda salah satu ibu-ibu langganan. Aya hanya nyengir kaku, lalu mengangkat bahu. “Lagi capek aja, Bu.” Tapi dalam hati, ia tahu, ada yang berubah. Ada sesuatu yang perlahan mengetuk pintu hatinya—dan kali ini, ia tak langsung mengusirnya. Malam datang dengan tenang. Langit desa mulai dipenuhi bintang-bintang kecil, dan udara dingin merayap pelan ke sela-sela dinding rumah. Aya duduk di depan warung, lututnya dirangkul, dagu bersandar di lutut. Ia tak tahu kenapa, tapi malam ini terasa... kosong. Biasanya ia akan memutar lagu rock keras-keras atau bermain game online sambil teriak-teriak. Tapi sekarang, ia hanya diam. Mendengarkan suara jangkrik dan kadang dengung motor lewat. Lalu ponselnya bergetar pelan. Satu notifikasi pesan masuk. Elvano: > “Kalau kamu lagi duduk sendiri dan ngerasa aneh, mungkin itu karena kita terbiasa kerasin hati. Padahal sesekali, hati juga pengin diam aja. Biar dia ngerasa. Dan kamu... pelan-pelan mulai ngerti.” Aya membaca pesan itu berulang-ulang. Ia tidak membalas. Tapi tangannya tetap menggenggam ponsel itu lama sekali. Matanya perlahan menatap pot kaktus yang ia bawa keluar sore tadi. Ia letakkan di meja warung, dekat gelas tehnya. “Lo kenapa sih, Na... mulai kayak cewek-cewek di sinetron...” gumamnya sambil menutup muka dengan kedua tangan. Namun, ia tidak menangis. Ia justru... tertawa kecil. Di balik segala kerasnya, Aya mulai merasa aneh. Tapi aneh yang membuatnya tenang. Dan untuk pertama kalinya, ia tak mencoba melawan perasaan itu. --- Sementara itu, di sisi lain kota, Elvano menatap langit-langit kamar apartemennya. Sendirian. Tapi tidak merasa sendiri. Ia tahu betul... jalan ke hati Aya tidak akan mudah. Tapi malam ini, ia merasa sudah melangkah satu langkah lebih dekat. Dan ia akan terus berjalan.Hujan turun sejak pagi. Bukan gerimis romantis yang biasa diputar di adegan drama, tapi hujan deras, penuh petir, yang membenamkan suara kota dalam gemuruh yang panjang. Aya berdiri di balik jendela kaca apartemen, memegang cangkir kopi yang belum ia teguk sejak sepuluh menit lalu.Biasanya, Elvano sudah berangkat sejak pagi. Tapi hari ini, jam sudah hampir pukul sembilan dan laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat tidur."Lo sakit?" tanya Aya pelan, setengah ragu untuk mendekat.Elvano hanya mengangguk. Matanya setengah terbuka, napasnya agak berat.Aya mendekat, menyentuh dahi suaminya dengan punggung tangan. "Anget… lo demam, El.""Sepertinya masuk angin," sahut Elvano pelan. "Kemarin kena hujan waktu pulang kantor."Aya bergumam kesal. "Gue udah bilang, jangan maksa pulang jalan kaki kalau lagi hujan. Nyari sopir pengganti susah ya? Mobil segede gaban tapi lo malah pengen jadi manusia romantis di tengah hujan."
Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”
Elvano berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit miring. Ia mencoba merapikannya sambil mendengus pelan. Biasanya ada asistennya di kantor yang bisa membantu—tapi pagi ini, ia sengaja tidak ke kantor lebih dulu.Hari ini ia akan menemani Aya ke rumah orang tuanya. Bukan acara resmi. Tapi tetap saja, cukup membuatnya gugup.“Lu gak perlu dandan segitunya, Van,” kata Aya dari belakangnya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan wajah tanpa makeup.Elvano tersenyum menatap bayangannya di kaca. “Gue pengen bikin kesan yang baik.”Aya duduk di ujung ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kayak lu belum cukup bikin orang kesengsem aja.”Elvano berbalik. “Termasuk lu?”Aya langsung melempar handuk ke arahnya. “Jangan geer!”Tapi senyum di bibirnya tipis. Tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke rumah orang tua Aya tidak jauh, tapi suasananya seperti perjala
Hujan turun sejak subuh. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih sejuk dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jendela kamar, dan aroma tanah basah perlahan masuk lewat celah ventilasi.Aya duduk di tepi ranjang dengan rambut yang belum disisir, hoodie kebesaran yang menggantung di bahunya, dan wajah yang masih setengah kantuk. Ia menatap keluar jendela sambil sesekali mengusap embun yang menempel di kaca.Dari dapur, terdengar suara gelas beradu dan suara air mengalir. Elvano, seperti biasa, bangun lebih dulu. Tapi pagi ini tidak terdengar suara musik jazz lembut dari speaker dapur, tidak juga siulan santainya. Pagi ini… lebih sunyi.Aya bangkit dan berjalan pelan menuju dapur.Elvano berdiri membelakanginya, tengah menyeduh kopi dengan mata yang tampak berat. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan daster masak yang biasa ia pakai terlihat lebih longgar di tubuhnya hari ini.Aya berdiri diam sejenak di ambang pintu, memp
Sudah dua hari sejak Elvano diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aya menyetir mobil dengan ekspresi datar, tapi sesekali melirik ke kaca spion tengah, memastikan Elvano yang duduk di belakang bersama adik perempuannya, Ellin, tak tertidur dalam posisi yang salah.Ellin masih pucat, tapi jauh lebih segar dari saat pertama mereka dilarikan ke rumah sakit. Kini ia hanya mengandalkan selang infus portabel dan duduk bersandar di kursi mobil, tertidur tenang.“Lu yakin gak mau duduk di depan, Van?” tanya Aya tanpa menoleh.“Gak apa-apa,” jawab Elvano dari belakang. Suaranya rendah, tapi hangat. “Biar lebih gampang jagain Ellin kalau dia tiba-tiba butuh sesuatu.”Aya mengangguk pelan. Tak ada percakapan panjang sepanjang jalan pulang, hanya denting pelan lagu dari radio yang mengalun seperti latar adegan film yang... terlalu sepi.Sesampainya di rumah, Aya membantu membawa koper kecil dan tas obat Ellin ke kamar tamu. Elvano menyusul setelah m
Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.Bukan Elvano.Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemeta
Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari.Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak.“Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil.Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa.Aya sedang tertawa.Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap.Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap.Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya.Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi.“Elvano?” tanya
Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar.Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis.Aya.Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya.Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel.Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya."Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung.Seketika, pintu ruangannya diketuk.Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen."Ini
Hari itu, matahari bersinar cukup terik di langit biru yang cerah.Elvano baru saja keluar dari sebuah kafe kecil setelah menyelesaikan pertemuan bisnis singkat dengan calon klien baru. Setelan putih bersihnya tampak begitu mencolok di tengah jalanan kota yang ramai. Dengan santai, ia memasukkan tangan ke dalam saku celana, menikmati langkah-langkahnya yang tenang di trotoar.Wajah tampannya menarik perhatian banyak wanita yang berlalu-lalang. Beberapa bahkan tanpa malu-malu melirik, berharap mendapat balasan senyuman.Tapi Elvano? Seperti biasa, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sopan.Seolah tak pernah sadar betapa dirinya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di seberang jalan.Aya.Gadis itu tampak terburu-buru, berjalan dengan langkah lebar, sambil memeluk sebuah tas belanjaan besar di dadanya. Sesekali ia mengumpat kecil ketika harus menghind