Home / Romansa / Suami Idaman / jarak yang tak pernah dekat

Share

jarak yang tak pernah dekat

Author: vano ilham
last update Last Updated: 2025-05-11 09:36:57

Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.

Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar.

Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis.

Aya.

Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya.

Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel.

Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya.

"Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung.

Seketika, pintu ruangannya diketuk.

Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen.

"Ini dokumen tender proyek Surabaya, Pak Elvano," ujarnya ramah.

Elvano menerima dokumen itu, mengangguk ringan.

"Terima kasih, Siska."

Begitu pintu tertutup kembali, ruang kerja itu kembali sunyi.

Elvano membuka lembaran demi lembaran, tapi tetap saja... konsentrasinya tak sepenuhnya kembali.

Sementara itu, di tempat lain, Aya sedang sibuk di warung milik ibunya.

Ia memakai kaos lusuh dan celana pendek longgar, rambut dikuncir asal-asalan, tanpa makeup atau bahkan bedak. Tapi tetap saja, ada aura khas dari dirinya yang mencolok.

"Bu, telur tinggal tiga biji. Mau beli sekarang atau nanti?" teriak Aya dari balik warung.

Ibunya menjawab dari dapur, dan Aya pun segera keluar menuju pasar kecil di ujung gang.

Langkahnya cepat, tegas, dan tatapan matanya tajam seperti biasa.

Namun, saat melewati satu gang sempit, langkahnya melambat.

Itu gang tempat dia dan Elvano jalan beberapa hari lalu.

Entah kenapa, saat melewatinya, ada rasa aneh di dada.

Aya menoleh sekilas. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tapi kenangan itu... terasa sangat hidup.

"Tch, ngapain mikirin orang kaya gak penting begitu..." gumam Aya, menggigit bibir bawahnya.

Tapi semakin dia menyangkal, semakin pikirannya kembali ke senyuman Elvano waktu itu.

Senyuman tulus. Hangat. Dan... mengganggu.

Aya menghela napas panjang dan menatap ke langit.

"Jangan-jangan gue... mulai gila?"

Langit siang mulai tertutup awan kelabu ketika Aya kembali dari pasar dengan langkah cepat.

Bungkusan telur di tangannya bergoyang ringan setiap kali ia melangkah. Tapi bukan telur itu yang ia pikirkan. Sejak beberapa menit lalu, ia terus terbayang-bayang kalimat Elvano saat mereka berpisah waktu itu:

> “Kalau butuh bantuan lain, tinggal bilang aja.”

Aya mencibir pelan.

"Kenapa sih dia ngomong kayak gitu? Kayak pahlawan kesiangan," gumamnya, padahal hatinya terasa menghangat sendiri.

Begitu sampai di rumah, ia langsung disambut suara ibunya dari dapur, "Telurnya ditaruh di meja ya, Na."

Aya meletakkan bungkusan itu dengan sedikit lemparan, lalu menghempaskan diri ke kursi plastik warung yang mulai sepi.

Ia menatap jalanan depan rumah.

Tak banyak orang lewat. Tapi pikirannya justru semakin ramai.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aya merasa terganggu... oleh perhatian seseorang.

Sementara itu, di lantai tertinggi gedung perusahaannya, Elvano masih terjebak dalam tumpukan laporan dan diskusi via telepon dengan klien luar negeri.

Namun, bahkan di sela-sela rapat yang penuh tekanan, satu nama tak pernah benar-benar keluar dari pikirannya.

"Aya..." bisiknya pelan setelah telepon dimatikan.

Ia menatap ponselnya sesaat. Membuka aplikasi chat.

Jari-jarinya sempat mengetik:

> ‘Apa kabar?’

Tapi tak lama kemudian, ia menghapusnya.

‘Terlalu cepat,’ pikirnya.

Elvano tahu, Aya bukan tipe perempuan yang bisa didekati dengan cara biasa. Ia keras, liar, dan penuh benteng.

Tapi bukan berarti tak bisa disentuh.

Mungkin bukan dengan gombalan... tapi dengan ketulusan.

Sore itu, sebelum pulang, Elvano meminta sopirnya membelokkan mobil ke sebuah toko bunga kecil di pinggir kota.

Ia memilih satu pot kecil tanaman kaktus mini dengan pita biru muda.

"Kenapa pilih kaktus, Pak?" tanya pemilik toko, tersenyum ramah.

Elvano hanya mengangguk kecil.

"Soalnya... dia tipe orang yang berduri."

Pemilik toko tertawa.

"Lalu kenapa masih dikasih?"

Elvano menatap kaktus itu lama sebelum menjawab, "Karena kaktus juga bisa mekar. Tapi butuh waktu. Dan kesabaran."

Sore itu, hujan turun perlahan.

Butirannya mengetuk-ngetuk atap warung rumah Aya, membuat suara khas yang bagi kebanyakan orang terasa menenangkan. Tapi bagi Aya, hari ini justru terasa aneh.

Ia duduk sendirian di meja warung, menatap rintik hujan sambil memutar sendok di dalam gelas teh manis yang sudah mulai dingin.

Biasanya, saat hujan seperti ini, ia akan bermain game atau tidur. Tapi kali ini... matanya kosong, pikirannya tak bisa diam.

Elvano.

Lagi-lagi muncul nama itu di kepalanya. Seolah pria itu sengaja menempati ruang kosong di otaknya.

Aya menggigit bibirnya. “Gue harus berhenti mikirin dia…”

Seolah menjawab pikirannya, suara motor berhenti di depan rumah. Aya langsung menoleh.

Seorang pria turun dari motor, mengenakan mantel hujan.

Bukan Elvano. Hanya tukang paket.

Aya berjalan keluar, dan tukang paket itu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna coklat. Di atasnya tertulis rapi:

> “Untuk: Aya

Dari: Orang yang sabar.”

Alis Aya langsung bertaut. “Orang yang sabar? Siapa lagi nih gaya-gayaan gak jelas begini…”

Setelah menandatangani penerimaan paket, Aya buru-buru membuka kotaknya di dalam rumah.

Di dalamnya, sebuah pot kecil berisi tanaman kaktus mini.

Lucu, dengan pita biru muda melingkari potnya. Dan ada kartu kecil terselip:

> “Kamu berduri, tapi aku nggak takut. Karena aku percaya, kaktus juga bisa berbunga, meski jarang.

Pelan-pelan aja, ya.

— V.”

Aya terdiam.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia membuang napas keras dan menjatuhkan diri ke atas kasur.

“Apa sih maunya cowok ini… nyebelin banget…”

Tapi tangannya tak lepas dari pot kecil itu.

Diam-diam... hatinya menghangat.

Bahkan ia senyum kecil tanpa sadar.

Sial.

Esok paginya, Aya terbangun lebih awal dari biasanya.

Bukan karena alarm. Bukan juga karena ibunya memanggil. Tapi karena sesuatu yang aneh: ia tidur dengan senyuman. Dan itu... membuatnya kesal sendiri.

Ia menoleh ke meja kecil di sudut kamar. Pot kaktus mini dari Elvano masih berdiri di sana, tenang, seolah menatap balik padanya.

“Ngapain sih lo masih di situ...” gumam Aya, bangkit dari tempat tidur.

Namun, saat ia hendak mengambilnya untuk disimpan di dalam laci—jauh dari pandangan—Aya justru mengurungkan niatnya. Tangannya berhenti di udara.

Lalu ia hanya mendesah, memalingkan wajah.

“Gila. Gue mulai lembek.”

Sementara itu, Elvano sudah bersiap menuju kantor. Tapi pagi ini ia tidak tampak sesibuk biasanya. Ia duduk lebih lama di meja makan, menatap kosong ke secangkir kopi yang belum disentuh.

Ibunya datang dari arah dapur.

“Lagi mikirin apa, Van?” tanya sang ibu sambil membawa roti panggang.

Elvano tersenyum kecil. “Mikirin cewek.”

Sang ibu ikut duduk di seberangnya, mengangkat alis dengan tertarik. “Wah, akhirnya anak Ibu naksir juga.”

Elvano hanya mengangguk pelan.

“Iya... Tapi dia bukan cewek biasa, Bu. Dia beda banget. Bar-bar, suka marah, kadang kasar. Tapi... dia jujur. Dan kuat.”

Sang ibu mengangguk bijak, sambil menatap anaknya penuh kasih.

“Elvano... kamu tahu kan, cinta itu bukan soal menemukan yang paling sempurna. Tapi tentang siapa yang mau kamu perjuangkan, meski dia paling sulit dicintai.”

Elvano menatap ibunya lama. Kata-kata itu menggema di dadanya.

“Iya, Bu. Aku tahu. Makanya aku nggak nyerah.”

Di tempat lain, Aya kembali ke warung. Ia mencoba menyibukkan diri—mengelap meja, menyusun kerupuk, menyapu lantai.

Tapi entah kenapa, ia jadi lebih... pelan hari ini. Lebih lembut. Lebih tenang.

Beberapa pelanggan bahkan sempat heran.

“Na, kamu gak marah-marah hari ini. Ajaib,” canda salah satu ibu-ibu langganan.

Aya hanya nyengir kaku, lalu mengangkat bahu. “Lagi capek aja, Bu.”

Tapi dalam hati, ia tahu, ada yang berubah.

Ada sesuatu yang perlahan mengetuk pintu hatinya—dan kali ini, ia tak langsung mengusirnya.

Malam datang dengan tenang.

Langit desa mulai dipenuhi bintang-bintang kecil, dan udara dingin merayap pelan ke sela-sela dinding rumah. Aya duduk di depan warung, lututnya dirangkul, dagu bersandar di lutut.

Ia tak tahu kenapa, tapi malam ini terasa... kosong.

Biasanya ia akan memutar lagu rock keras-keras atau bermain game online sambil teriak-teriak. Tapi sekarang, ia hanya diam. Mendengarkan suara jangkrik dan kadang dengung motor lewat.

Lalu ponselnya bergetar pelan. Satu notifikasi pesan masuk.

Elvano:

> “Kalau kamu lagi duduk sendiri dan ngerasa aneh, mungkin itu karena kita terbiasa kerasin hati.

Padahal sesekali, hati juga pengin diam aja. Biar dia ngerasa. Dan kamu... pelan-pelan mulai ngerti.”

Aya membaca pesan itu berulang-ulang.

Ia tidak membalas. Tapi tangannya tetap menggenggam ponsel itu lama sekali.

Matanya perlahan menatap pot kaktus yang ia bawa keluar sore tadi. Ia letakkan di meja warung, dekat gelas tehnya.

“Lo kenapa sih, Na... mulai kayak cewek-cewek di sinetron...” gumamnya sambil menutup muka dengan kedua tangan.

Namun, ia tidak menangis. Ia justru... tertawa kecil.

Di balik segala kerasnya, Aya mulai merasa aneh. Tapi aneh yang membuatnya tenang. Dan untuk pertama kalinya, ia tak mencoba melawan perasaan itu.

---

Sementara itu, di sisi lain kota, Elvano menatap langit-langit kamar apartemennya. Sendirian. Tapi tidak merasa sendiri.

Ia tahu betul... jalan ke hati Aya tidak akan mudah.

Tapi malam ini, ia merasa sudah melangkah satu langkah lebih dekat.

Dan ia akan terus berjalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Idaman   bab 75

    Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce

  • Suami Idaman   bab 74

    Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”

  • Suami Idaman   bab 73

    Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi

  • Suami Idaman   bab 72

    “Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”

  • Suami Idaman   bab 71

    Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m

  • Suami Idaman   bab 70

    Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status