Pagi itu terasa berbeda.
Aya membuka matanya dengan malas, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tidak mendapati kekosongan di sebelahnya. Elvano masih tertidur di sampingnya. Wajah tenangnya begitu damai, seperti langit biru tanpa awan. Rasanya aneh melihat pria itu tidak sedang bicara, tidak sedang bekerja, tidak sedang membuatnya kesal.Hanya ada keheningan... dan ketenangan.Aya bangkit perlahan, menyibakkan selimut agar tidak membangunkannya. Ia turun dari ranjang, lalu berjalan menuju dapur. Ada hal yang menggelitik di dalam dadanya. Perasaan asing yang pelan-pelan mulai terasa nyaman. Mungkinkah ini... cinta?“Gila,” gumamnya sambil membuka kulkas. “Gue masak buat suami. Ini udah kayak mimpi buruk atau mimpi indah, sih?”Ia tertawa kecil sendiri.Namun saat ia mulai memasukkan telur ke dalam wajan, langkah kaki dari belakang membuatnya menoleh.“Elvano?” ucapnya pelan.Pria itu berdiri diPagi itu seperti biasa: Rafi bangun paling duluan, langsung lari-lari kecil ke kamar orang tuanya dengan mata masih setengah merem.Tapi kali ini, begitu dia membuka pintu kamar..."Ayah...?" gumamnya.Elvano masih terbaring, wajahnya pucat, dan napasnya berat.Aya yang baru selesai mengambil air wudhu di kamar mandi langsung panik melihat ekspresi anaknya."Rafi, ada apa?""Ayah diem aja, Bu... nggak bangun-bangun."Deg.Aya langsung berlari ke sisi tempat tidur. Ia duduk di pinggir kasur dan memegang dahi suaminya."Panas... Astaga, Mas!" serunya setengah berteriak.Elvano membuka mata perlahan, lalu menyunggingkan senyum tipis. “Maaf, aku bikin panik…”Aya tidak menjawab. Ia langsung berdiri dan sibuk mencari termometer, minyak kayu putih, dan handuk kecil. Rafi mengikuti ibunya seperti satelit mengelilingi planet."Ibu, Ayah kenapa? Ayah sakit? Nggak kerja hari ini? Aku bi
Malam itu, setelah Rafi tertidur dengan boneka paus barunya yang dia beri nama "Ubu", Aya dan Elvano duduk di teras depan. Angin malam menyentuh pelan daun-daun jambu, suara jangkrik menjadi latar yang tak henti.Aya menggenggam cangkir teh jahe hangatnya. Matanya tak lepas dari bulan yang belum sepenuhnya bundar. Sementara Elvano duduk menyamping, tangan kirinya menopang kepala, dan mata menatap istrinya yang diam.“Kenapa kamu kelihatan seperti lagi mikirin cara bayar utang padahal gak punya utang?” tanya Elvano, menyelipkan canda yang biasa.Aya menoleh pelan, lalu tersenyum singkat. “Aku cuma... takut.”“Takut?”Aya mengangguk. “Iya. Takut terlalu bahagia.”Elvano terdiam. Tidak tertawa. Tidak membalas dengan candaan seperti biasanya. Ia hanya menatap perempuan di sampingnya itu. Perempuan yang dulu mudah sekali menangis karena hal remeh, yang dulu sering marah hanya karena bantal kursi tidak simetris.“Gak ada yang
Pagi itu langit mendung. Bukan mendung yang berat, tapi cukup untuk membuat suasana terasa sendu. Di dalam rumah kecil itu, Elvano duduk di teras dengan secangkir teh panas, selimut di bahu, dan pandangan kosong ke arah jalanan depan rumah.Sudah dua hari ini Aya tak banyak bicara.Bukan karena mereka bertengkar. Bukan juga karena Aya marah. Tapi karena… dia sedang mencoba diam. Sebuah eksperimen yang katanya penting untuk keseimbangan emosi. Sesuatu yang dia baca dari buku psikologi yang baru saja dia beli di toko buku diskon."Aku pengin nyoba mindfulness," katanya waktu itu.Elvano mengangguk saja, meski dalam hati bingung. “Mindfulness” terdengar seperti nama sabun mandi.Dan sekarang, dua hari kemudian, Elvano merasa seperti tinggal bersama hantu. Aya tetap masak, tetap nyetrika, tetap senyum kalau Elvano pulang kerja… tapi semuanya dilakukan dalam keheningan yang bikin Elvano ngeri.Bahkan saat Elvano ngelawak semalaman pun
Pagi itu, matahari masih malu-malu menampakkan diri. Aroma sisa hujan malam sebelumnya masih melekat di udara. Aya berdiri di dapur dengan daster biru muda yang sudah mulai lusuh di bagian lengan. Rambutnya digulung asal, dan wajahnya belum tersentuh bedak sedikit pun.Ia sedang mencoba membuka tutup botol kecap manis.“Yaa ampun! Siapa sih yang nutup ini kayak mau nyegel nuklir!” gumamnya sambil mengerahkan seluruh tenaga, pipi menegang, tangan berotot, mata melotot.Tiba-tiba Elvano datang dari belakang, masih setengah sadar. Rambut acak-acakan, kaus tidur gombrong, dan langkah kakinya seperti zombie. Ia melihat istrinya yang sedang bertarung hidup-mati dengan botol kecap.“Pagi,” katanya sambil menguap.Aya tetap fokus. “Nggak bisa buka, nih! Tangan kamu mana, sini!”Dengan pasrah, Elvano mengambil botol itu, memutarnya pelan, dan klik… terbuka.Aya terdiam. “Itu tadi aku yang bikin longgar, makanya kamu bisa buka.”
“Ayaaa! Kamu lihat celana boxerku yang warna biru nggak?!”Teriakan Elvano menggema dari dalam kamar. Sementara di dapur, Aya yang tengah memotong tomat langsung berhenti dan mendesah keras. Ia menatap pisau di tangannya seolah sedang menahan diri agar tak melemparkannya ke arah suara tadi.“Masak juga sambil nyariin boxer. Dunia milik siapa sih, Mas?” gerutunya sambil berjalan cepat ke arah kamar.Begitu masuk, ia melihat Elvano sedang membuka lemari dengan ekspresi frustasi seperti anak hilang. Pakaian-pakaian sudah setengah berantakan. Beberapa bahkan sudah tergeletak di lantai.“MAS! Itu lho boxernya, di gantungan belakang pintu!” teriak Aya sambil menunjuk.Elvano berbalik cepat, lalu mengangkat celana dalam berwarna biru itu seperti menemukan harta karun. “YES! Ini dia!”Aya melipat tangan di dada. “Gimana ya… Kadang aku merasa kayak punya anak dua. Rafi sama suaminya.”Elvano cengengesan sambil memakai boxernya. “
Pagi datang tanpa suara. Sinar matahari mengendap-endap masuk lewat tirai tipis jendela kamar, memantul di dinding berwarna lembut yang baru dicat seminggu lalu. Aya membuka mata perlahan, bukan karena alarm, tapi karena aroma nasi goreng yang menari-nari di udara.Dia mengedip pelan. Biasanya, dia yang bangun lebih dulu dan membangunkan Elvano dengan omelan khasnya. Tapi pagi ini berbeda. Tempat tidur di sampingnya kosong, hanya menyisakan lipatan rapi dan sedikit aroma wangi tubuh suaminya.Aya bangkit, berjalan pelan ke dapur. Rambutnya masih berantakan, matanya masih berat. Tapi ketika dia sampai di ambang pintu dapur, dia terdiam.Elvano ada di sana. Memakai celemek bergambar ayam lucu yang dia belikan dulu hanya untuk iseng. Wajahnya serius, sedang membalik telur mata sapi, sementara wajan berisi nasi goreng mengepul pelan.Punggung itu... bahu itu... tangan yang terbiasa menggenggam tangannya dengan tenang—semuanya terasa begitu nyata. Begi