Hari itu, matahari bersinar cukup terik di langit biru yang cerah.
Elvano baru saja keluar dari sebuah kafe kecil setelah menyelesaikan pertemuan bisnis singkat dengan calon klien baru. Setelan putih bersihnya tampak begitu mencolok di tengah jalanan kota yang ramai. Dengan santai, ia memasukkan tangan ke dalam saku celana, menikmati langkah-langkahnya yang tenang di trotoar. Wajah tampannya menarik perhatian banyak wanita yang berlalu-lalang. Beberapa bahkan tanpa malu-malu melirik, berharap mendapat balasan senyuman. Tapi Elvano? Seperti biasa, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sopan. Seolah tak pernah sadar betapa dirinya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di seberang jalan. Aya. Gadis itu tampak terburu-buru, berjalan dengan langkah lebar, sambil memeluk sebuah tas belanjaan besar di dadanya. Sesekali ia mengumpat kecil ketika harus menghindari orang-orang yang menghalangi jalannya. Elvano tersenyum kecil. Gadis itu masih sama saja. Berantakan, cuek, dan... entah kenapa, justru terlihat begitu hidup di matanya. Tanpa berpikir panjang, Elvano menyeberang jalan. Sementara itu, Aya yang fokus dengan jalannya, sama sekali tidak menyadari kehadiran Elvano. Saat pria itu semakin mendekat, Aya tiba-tiba berhenti mendadak. Sebuah tas kecil dari dalam belanjaannya terjatuh. Elvano dengan refleks cepat memungutnya. "Ini punyamu," katanya ringan. Aya, yang baru sadar ada seseorang yang menolongnya, mendongak—dan seketika tubuhnya menegang. Elvano. Pria itu berdiri di depannya, dengan wajah sejuk dan tatapan hangat yang membuat Aya, untuk pertama kalinya, kehabisan kata-kata. "Ka... kamu?" gumam Aya kaku. Elvano hanya tersenyum, menyerahkan tas kecil itu. "Aku nggak sengaja lihat kamu lewat," ujarnya santai. "Belanja banyak banget, ya?" Aya langsung memalingkan wajah, berusaha menutupi rona merah yang mulai menjalar di pipinya. "Ng... ngapain juga kamu peduli," sahutnya, kembali bersikap defensif. Namun Elvano sama sekali tidak tersinggung. Ia justru tertawa kecil, tawa ringan yang membuat dada Aya berdegup kencang tanpa alasan jelas. "Kalau kamu mau, aku bisa bantu bawa," tawar Elvano dengan tulus. Aya tertegun. Dibantu pria sekaya dan setampan ini? Di tengah jalan pula? Bahkan ia yakin, banyak mata yang memperhatikan mereka sekarang. Aya menggigit bibirnya, menimbang. Setiap logikanya berteriak, "Tolak, tolak!" Tapi entah mengapa, hatinya malah berkata, "Biarin aja..." Setelah beberapa detik hening, Aya mendengus. "Terserah kamu, deh." Dengan cepat, Elvano mengambil alih sebagian besar belanjaannya. Mereka pun berjalan berdampingan di trotoar yang sibuk itu, menarik perhatian lebih banyak orang. Aya berjalan cepat, seolah ingin segera berpisah. Tapi Elvano dengan santai menyesuaikan langkah, tidak tergesa-gesa. "Kenapa buru-buru? Mau kabur dari aku?" Elvano bertanya, setengah menggoda. Aya melirik sekilas, wajahnya cemberut. "Siapa juga yang kabur? Aku males aja diliatin orang." Elvano tertawa lagi. "Kalau kamu malu jalan sama aku, ya udah, nanti aku pakai masker, deh." Sikap santai Elvano, bukannya membuat Aya tenang, malah membuat hatinya makin tak karuan. Kenapa sih orang ini nggak pernah sadar kalau keberadaannya tuh... ngebuat ribut satu kota?! Aya mendengus keras, mempercepat langkahnya. Sementara di sisi lain, Elvano hanya menikmati momen itu. Diam-diam, di balik wajah santainya, ia merasa... bahagia. Sangat bahagia bisa berjalan beriringan dengan perempuan itu. Bahkan jika Aya terus mengomel, bahkan jika gadis itu sama sekali belum membuka sedikit pun hatinya—Elvano tidak keberatan. Karena untuknya, bisa berada di sisi Aya saja, sudah cukup untuk membuat harinya terasa lengkap. Aya berjalan lebih cepat dari biasanya. Rasanya, kalau bisa, dia ingin berubah jadi asap lalu menghilang begitu saja dari situ. Sialan. Kenapa juga harus ketemu Elvano hari ini? Dan kenapa pula pria itu begitu santai, seolah-olah jalan bareng dirinya adalah hal yang biasa? Aya mendecak kesal dalam hati. Namun di sisi lain, ia menyadari betapa semua mata memandang mereka. Bahkan ada beberapa perempuan yang sengaja memperlambat langkah, menatap Elvano dengan pandangan kagum, seolah tak percaya pria tampan itu sedang berjalan berdua dengan seorang gadis biasa seperti dirinya. Aya menggertakkan gigi. "Bisa jalan lebih cepet nggak sih?" semprotnya tanpa menoleh. Elvano tertawa pelan, tanpa sedikit pun mempercepat langkahnya. "Kalau aku jalan cepet, nanti kamu kesandung. Berat lho bawaannya," katanya sambil mengangkat kantong belanjaan di tangannya. Aya menggertakkan gigi sekali lagi. Sial. Kenapa jawaban pria ini selalu terdengar masuk akal? Tak mau memperpanjang percakapan, Aya memilih diam. Sementara itu, Elvano melirik ke arah gadis di sampingnya. Meski wajah Aya datar—cenderung cemberut—Elvano bisa melihat pipi gadis itu yang bersemu merah muda. Dia tersenyum kecil. Pelan-pelan, langkah-langkah mereka menyatu. Tak lagi ada jarak yang kikuk. Tak lagi ada ketegangan berlebihan. Hanya dua orang yang berjalan berdampingan, dengan dunia mereka sendiri di tengah keramaian kota. Sesekali, angin bertiup lembut, membuat rambut Aya yang panjang sedikit beterbangan. Tanpa sadar, Elvano mengulurkan tangan, merapikan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu. Refleks, Aya menoleh dengan mata membelalak. "Ap—apa-apaan sih!" sentaknya, langsung mundur selangkah. Elvano tertawa pelan, sama sekali tak merasa bersalah. "Aku cuma bantu. Rambutmu nutupin mata, nanti kamu nabrak tiang listrik," jawabnya santai. Aya ingin membalas, ingin mengomel sejadi-jadinya, tapi bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Karena... ya ampun, sentuhan itu tadi... Hangat. Membuat jantungnya berdetak tak karuan. Aya buru-buru memalingkan wajah, menggigit bibirnya sendiri. Sementara Elvano, seperti biasa, melanjutkan langkahnya seolah tak ada yang terjadi. Di dalam hati, ia tahu... mungkin butuh waktu lama untuk Aya membuka hatinya. Tapi Elvano bukan tipe pria yang menyerah. Apalagi jika itu soal seseorang yang begitu ingin ia jaga selamanya. Setelah berjalan beberapa meter dalam keheningan canggung, Aya menunjuk sebuah gang kecil di sebelah kanan jalan. "Masuk situ," katanya pendek. Elvano mengangguk, mengikuti tanpa banyak bicara. Jalanan itu lebih sepi, dikelilingi deretan rumah-rumah sederhana dan beberapa warung kecil. Aya memperlambat langkahnya. Sebenarnya ia merasa sedikit bersalah. Elvano... pria sekaya itu, pria yang bisa saja menghabiskan sore di kafe mewah atau lounge eksklusif, malah berkeliaran di gang sempit sambil membawa kantong belanjaan berat. "Gila... kenapa sih orang ini mau-maunya kayak gini..." gumam Aya dalam hati, melirik pria itu sekilas. Tapi Elvano sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan. Ia tetap santai, bahkan sempat menyapa ramah seorang ibu tua yang lewat sambil membawa keranjang sayur. Aya mendengus. "Sok ramah," gumamnya pelan. Sayangnya, gumaman itu cukup keras untuk didengar Elvano. Pria itu tertawa kecil. "Bukan sok," jawabnya enteng. "Memang harus ramah sama siapa pun. Kan kita hidup bareng-bareng di dunia ini." Aya melirik, mulutnya terbuka seolah ingin membalas, tapi entah kenapa, ia memilih diam. Ada sesuatu dari kata-kata Elvano yang terasa... benar. Mereka kembali berjalan dalam diam. Sesekali terdengar suara ayam berkokok dari halaman rumah orang. Anak-anak kecil berlarian, tertawa riang. Di tengah kesunyian itu, Elvano tiba-tiba bertanya. "Rumahmu jauh lagi?" Aya mengangguk pelan. "Dikit lagi," jawabnya malas. Elvano tersenyum lega. "Bagus. Kalau jauh banget, aku takut kamu capek," katanya, setengah bergurau. Aya hampir tersedak mendengar itu. "Y-yaelah... aku biasa bawa beginian sendiri!" sergahnya, berusaha menghindari rasa kikuk yang tiba-tiba menyerangnya. Elvano tertawa, tidak membantah. Dalam hatinya, ia tahu, Aya mungkin terlihat kasar di luar—barbar, keras kepala, cepat marah. Tapi di balik semua itu... ada sisi lembut yang berusaha disembunyikan gadis itu dari dunia. Dan Elvano? Ia tidak pernah takut pada sisi mana pun dari Aya. Justru karena semua itu, gadis itu terasa... nyata. Tidak dibuat-buat. Tidak palsu. Mungkin, itulah alasan kenapa dari sekian banyak wanita yang mengejarnya, hati Elvano hanya terpaut pada satu: Aya. Tak lama kemudian, Aya berhenti di depan sebuah rumah kecil bercat putih dengan pagar besi sederhana. Ia membuka pintu pagar sambil menoleh sekilas ke arah Elvano. "Udah sampai. Taruh aja di situ," katanya, menunjuk ke depan pintu. Elvano mengangguk. Ia menurunkan kantong-kantong belanjaan dengan hati-hati, seolah-olah yang ia bawa adalah barang-barang paling berharga di dunia. Aya mengernyit. Kenapa sih, dia kayak lagi nanganin emas batangan? "Makasih," gumam Aya setengah hati. Elvano hanya tersenyum lebar. "Sama-sama," balasnya ringan. "Kalau butuh bantuan lain, tinggal bilang aja." Aya mengangkat alis, lalu tertawa pendek dengan nada mengejek. "Hah? Ngimpi. Gak bakal aku repotin lagi," katanya sinis. Elvano tak tersinggung. Ia malah menyandarkan tubuhnya santai di pagar sambil memandang Aya dengan mata teduh. "Bilang aja belum butuh sekarang," ucapnya pelan. Aya mendelik. "Ngapain juga aku butuh bantuan kamu?" Elvano tersenyum semakin lebar. "Entahlah. Mungkin... suatu hari nanti?" Aya ingin membalas, ingin menyerang dengan kata-kata pedas seperti biasanya. Tapi anehnya, lidahnya kelu. Ada sesuatu di sorot mata Elvano yang membuat hatinya berdebar tidak karuan. Cepat-cepat Aya membuang muka. "Halah. Aku mau masuk. Sana pulang!" sergahnya, berusaha keras menjaga nada kasarnya. Elvano hanya terkekeh. Ia melangkah mundur perlahan. "Oke, Aya. Sampai ketemu lagi," katanya, dengan suara yang entah kenapa terasa... hangat sekali di telinga Aya. Setelah itu, pria itu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Aya yang berdiri kaku di depan pintu rumah. Aya menatap punggung Elvano yang menjauh. Dadanya terasa aneh. Ada rasa hangat yang menjalar diam-diam, meski mulutnya masih ingin mengumpat. "Bodoh," gumam Aya, entah kepada siapa. Mungkin kepada dirinya sendiri. Mungkin kepada Elvano yang anehnya selalu berhasil mengacaukan hatinya. Aya masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan keras. Tapi bahkan saat ia berusaha keras mengalihkan pikiran, wajah Elvano tetap muncul di benaknya... tersenyum lembut, seolah menolak untuk dilupakan. Malam itu, Aya duduk di kamarnya, menatap layar ponsel kosong tanpa tujuan. Biasanya, setelah belanja dan beres-beres, ia langsung tidur atau main game untuk melupakan lelah. Tapi kali ini... pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Wajah Elvano—senyumnya, suaranya, tatapan matanya—terus terbayang. "Apa sih maunya orang itu..." gerutu Aya sambil menjatuhkan diri ke atas kasur. Ia berguling ke kiri, lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi. Semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu muncul. Aya mendesah keras, menarik bantal dan menutupi wajahnya. "Bodoh... bodoh... bodoh..." gerutunya berulang-ulang. Sementara itu, di sisi lain kota, Elvano duduk di balkon apartemennya yang mewah, memandangi langit malam bertabur bintang. Di tangannya, secangkir kopi hangat mengepul. Ia tersenyum kecil sambil mengingat kejadian tadi sore. Aya... Gadis itu keras kepala, kasar, sering kali mengucapkan kata-kata pedas tanpa mikir. Tapi justru karena itulah Elvano tertarik. Di dunia yang penuh kepalsuan, Aya terasa seperti satu-satunya sosok yang nyata. "Pelan-pelan saja," gumam Elvano pada dirinya sendiri. Ia tahu, Aya belum mencintainya. Bahkan mungkin tidak akan pernah, jika ia tidak bersabar. Tapi Elvano tidak terburu-buru. Cinta yang tumbuh perlahan... akan lebih kuat daripada cinta yang meledak sesaat. Di balik semua ketegaran Aya, Elvano yakin ada hati yang sebenarnya ingin disayangi. Dan ia bertekad—dengan segala kesabaran dan ketulusannya—untuk menjadi orang pertama yang benar-benar diterima gadis itu. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma kopi dan harapan baru. Malam itu, dua hati yang sama-sama keras kepala mulai terhubung perlahan... tanpa mereka sadari. Dan itu... baru permulaan.Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce
Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”
Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi
“Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”
Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m
Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d