Sejak insiden 'sering ketemu kebetulan' itu, Aya mulai sedikit melunak.
Sedikit. Tapi kehidupan tenangnya tidak bertahan lama. Suatu pagi, saat Aya sedang beli nasi uduk di warung depan gang, datanglah seorang cowok baru yang... entah kenapa, terlalu sok akrab. Cowok itu tampan. Kulit sawo matang, rambut klimis, dan gaya pakaian trendy ala selebgram. Namanya—ternyata—Reyhan. "Eh, baru lihat kamu, ya? Anak sini juga?" sapa Reyhan sambil senyum manis. Aya menatapnya dengan curiga. "Iya. Kenapa?" Reyhan terkekeh. "Gila, cakep banget. Masak baru ketemu sekarang?" Aya mendengus pelan. Dalam pikirannya: Lelaki modus detected. Tapi sayangnya, Reyhan nggak gampang menyerah. Dia malah ngikutin Aya pulang, cari-cari alasan buat ngobrol. "Aku baru pindah ke sini. Rumah di blok B. Boleh minta nomor WA?" Aya menatap Reyhan seperti mau ngebanting panci nasi uduk ke kepalanya. Belum sempat jawab, tiba-tiba motor besar berhenti di depan rumah Aya. DAN YAKIN AJA. Itu Elvano. Dengan kacamata hitam dan jaket kulit, tampil gagah dan elegan. Seperti adegan film action. Elvano melepas helm perlahan, rambutnya berantakan keren. Aya melotot. Yaelah, muncul pas banget. Elvano turun dari motor, menatap Reyhan dengan santai, lalu ke Aya. "Siapa?" tanyanya pendek, suaranya dalam. Reyhan menyeringai. "Temen baru. Masalah?" Elvano tidak menjawab. Dia hanya jalan pelan ke arah Aya, berdiri tepat di sampingnya. Tingginya membuat Reyhan otomatis merasa terintimidasi. "Aya, mau aku anter masuk?" tanya Elvano lembut. Aya yang tadi galak ke Reyhan, kini malah bengong. Kepalanya penuh suara 'ting ting ting' aneh. "A-aku... bisa sendiri," jawabnya gugup. Elvano mengangguk, lalu melirik Reyhan sekali lagi, dengan tatapan dingin penuh arti. Tanpa kata-kata. Tapi jelas: Jangan main-main dengan dia. Reyhan, yang awalnya percaya diri, mulai merasa aneh. Setelah Aya masuk ke dalam pagar rumah, Elvano baru berbalik dan pasang senyum sopan ke Reyhan. "Senang kenalan. Tapi lain kali jangan terlalu agresif ke perempuan yang sudah punya calon." Reyhan melongo. Belum sempat protes, Elvano sudah naik motor dan pergi, meninggalkan suara knalpot yang keren. Sementara itu di balik jendela, Aya mengintip sambil menutup mulutnya. Bukan karena takut. Bukan karena marah. Tapi karena... Jantungnya berdegup kencang. Sangat kencang. "Kenapa sih lo, Aya," bisiknya ke diri sendiri. Di luar sana, Reyhan masih berdiri bengong, merasa dunia tiba-tiba berubah drastis. Dan Aya tahu... Masalah baru akan segera datang. Karena ternyata, bukan cuma Elvano yang naksir dia. Ada Reyhan juga. Dan mungkin... Masih banyak lagi yang akan muncul. Gila. Hidup gue mulai kayak drama Korea, pikir Aya, ngelus dada. Tapi entah kenapa, hidupnya yang tadinya datar kini jadi berwarna. Dan pelan-pelan... Dia mulai menikmati setiap kekacauan ini. Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana di sekitar Aya makin… aneh. Reyhan hampir setiap hari nongkrong di depan rumah Aya. Alasannya macam-macam. Kadang pura-pura lewat, kadang pura-pura beli cilok. Padahal semua orang satu gang sudah tahu: dia naksir Aya. Aya sendiri sudah setengah mati malas meladeni. Tapi Reyhan keras kepala. Suatu sore, saat Aya lagi nyapu halaman, Reyhan datang sambil bawa es teh jumbo. "Buat kamu," kata Reyhan dengan senyum sok manis. Aya berhenti nyapu, menatap gelas plastik besar itu. "Apaan?" "Es teh. Aku tau kamu suka minum manis-manis." Aya mendengus. "Lo pikir gue diabetes?" Reyhan ngakak. "Justru biar tambah manis kayak kamu." Aya refleks mau lempar sapu ke mukanya. Tapi sebelum sapu itu benar-benar melayang, terdengar suara motor berhenti. Dan bener aja. Elvano datang lagi. Tapi kali ini dia pakai mobil mewah. Mobil yang... literally bisa buat pamer satu kelurahan. Dia turun dari mobil santai, pakai kemeja putih dan celana hitam. Rapi banget. Semua ibu-ibu yang lewat sampai nengok dua kali. Sementara Reyhan langsung ciut. Beda level. "Permisi," kata Elvano sambil jalan santai ke arah Aya. Tanpa banyak bicara, dia langsung mengambil sapu dari tangan Aya. "Aku bantuin," katanya. Aya bengong. Reyhan lebih bengong. Semua orang yang lewat makin banyak yang nonton. Seperti nonton sinetron live. Aya akhirnya balikin fokus. Dia tunjuk Reyhan dengan dagu. "Eh tuh, Reyhan mau kasih es teh." Elvano menoleh ke Reyhan, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, tapi Aya lebih suka teh panas. Apalagi diminum bareng keluarga." Aya nyaris jatuh dari sandal. Gila, itu ngena banget. Reyhan cengengesan. "A-aku... yaudah, lain kali deh," katanya gugup, lalu kabur bawa es teh jumbo-nya. Aya melotot ke Elvano. "Kenapa lo kayak bodyguard pribadi sih?!" semprotnya. Elvano hanya tersenyum kalem. "Karena kamu butuh perlindungan." Aya mengernyit. "Perlindungan dari siapa?" Elvano mendekat sedikit, menatap matanya dalam-dalam. "Perlindungan dari orang-orang yang nggak serius sama kamu." Aya terdiam. Gila. Kenapa kalimat gombal itu terdengar tulus banget?! Sadar dirinya hampir baper, Aya langsung balik badan, pura-pura sibuk ngelap jemuran. "Dasar gombal," gumamnya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergetar halus. Sesuatu yang belum mau dia akui. Dan Elvano... tahu itu. Karena pria itu bukan hanya tampan, kaya, dan romantis. Dia juga sabar menunggu. Bahkan jika butuh seribu tahun. Keesokan harinya, Aya resmi mendeklarasikan perang terhadap dirinya sendiri. "Aya, lo harus jaga jarak!" katanya sambil ngaca di kamar. Karena setiap kali Elvano muncul, jantungnya kayak main drum band. Gak sehat. Tapi sayangnya, semesta sepertinya tidak mendukung rencana itu. Pagi itu, saat Aya keluar rumah mau beli sayur, dia malah hampir jatuh gara-gara kesandung batu. Dan seperti skrip sinetron, Elvano muncul entah dari mana dan menangkapnya. "Ih apaan sih!" Aya buru-buru berdiri sendiri, menepis tangan Elvano. Elvano santai saja. "Kalau aku gak nangkep, kamu pasti sudah jatuh. Mau jadi kayak sinetron 'Terpeleset Lalu Jadian'?" godanya. Aya mendelik tajam. "Gak usah ngaco. Gue mau beli sayur." "Oke, aku anterin." "Enggak!" "Anterin," kata Elvano tegas sambil langsung jalan di sebelahnya. Aya mau protes, tapi... ah sudahlah. Mereka jalan berdampingan, jadi tontonan warga sekitar. Bu RT yang lagi nyapu sampai bisik-bisik sama suaminya. "Itu, si Aya jalan bareng cowok cakep lagi..." Suaminya cuma ngangguk, sambil nyedot kopi. Di tukang sayur, suasana makin panas. Semua ibu-ibu pada mandangin Elvano kayak lagi liat artis K-Pop. Ada yang ngedip-ngedip, ada yang bisik-bisik. Dan parahnya, Bu Tati—yang biasanya jual cabe kiloan—berani-beraninya godain Elvano. "Aduh dek, nyari sayur buat istri yaa? Manis banget sih nganterin." Aya langsung merah muka. "BU! Dia BUKAN suami gue!!" Elvano malah nyengir lebar. "Belum, Bu." Aya hampir kelepasan ngelempar kol ke kepala Elvano. Gila. Sumpah. Gila. Setelah beli sayur, di jalan pulang Aya mendelik sambil membawa dua kantong plastik. "Lo tuh bikin gue malu tau gak?" Elvano santai memegang satu plastik bawaan Aya. "Kenapa malu? Aku bangga bisa bareng kamu." Aya hampir jatuh lagi, kali ini karena pusing sendiri. "Aku serius, Van! Gue bukan siapa-siapa lo!" Elvano berhenti, lalu menatap Aya penuh arti. "Buat sekarang... mungkin." Aya mematung. "Eh?" Elvano tersenyum kecil, lalu berjalan lagi sambil bawa plastik belanjaan. Meninggalkan Aya yang berdiri bengong di tengah jalan kayak patung taman. Dalam hati kecilnya, Aya teriak-teriak: "GIMANA CARA JAGA JARAK KALO BEGINI CARANYA?!" Sore itu, hujan turun deras. Aya, yang keras kepala, tetap keluar buat belanja tambahan karena lupa beli bawang. Padahal dari tadi ibunya sudah ngomel-ngomel: "Udah hujan, jangan keluar! Ntar masuk angin!" Tapi dasar Aya, kepala batu. Akhirnya dia pulang dalam keadaan kuyup kayak kucing kehujanan. Dan keesokan paginya... Boom. Aya tumbang. Demam. Badan pegal. Hidung mampet. Suara serak kayak penyanyi rock. Ibunya langsung panik. "Makanya dibilangin, ngeyel aja, ngeyel!" Aya cuma bisa meringkuk di kasur, menggigil sambil narik selimut. Dan di saat suasana rumah lagi heboh... Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Elvano datang. Bawa satu tas gede. Isinya? Obat, vitamin, bubur instan, sampai bantal leher. Ibunya Aya langsung sumringah begitu lihat Elvano. "Haduh, kamu perhatian banget sih, Van! Masuk, masuk!" Aya yang lagi setengah sadar cuma bisa mendengar langkah kaki masuk ke kamarnya. Saat dia membuka mata, yang pertama kali dia lihat adalah wajah Elvano yang lagi duduk di sebelah ranjang, menatapnya penuh khawatir. "Hai," sapa Elvano pelan. Aya kaget, lalu buru-buru tarik selimut nutupin muka. "Apaan sih lo masuk-masuk kamar cewek?!" Elvano tertawa kecil. "Ibumu yang suruh. Dia juga yang kasih aku kunci cadangan buat rumah ini." Aya mendelik dari balik selimut. "Sumpah... gua malu." Elvano mengambil handuk kecil, mencelupkannya ke baskom air hangat, lalu perlahan mengompres dahi Aya. Tangannya lembut banget. "Udah, diem aja. Fokus sembuh dulu." Aya diam. Tapi dalam hatinya? Gaduh. KENAPA DIA SE-PRINCE CHARMING INI?!! Sesekali, Elvano membetulkan selimut, membereskan bantal, bahkan ngebawain teh anget. Semua dilakukan dengan sabar dan penuh perhatian. Ibu Aya yang sesekali intip dari pintu cuma bisa senyum-senyum penuh harapan. Sementara Aya di ranjang, bawaannya mau nangis sendiri. Bukan karena sakit. Tapi karena dia merasa... untuk pertama kalinya, ada orang yang benar-benar peduli tanpa minta balasan. Diam-diam, pipinya merah. Tapi ya, dasar Aya, bukannya bilang makasih, malah ngomel: "Lo jangan terlalu baik ke gua." Elvano tersenyum hangat. "Kenapa?" Aya membuang muka. "Ntar... gua baper." Elvano tertawa kecil. Lalu, tanpa banyak kata, dia hanya berkata satu kalimat: "Baperin aja, gak apa-apa. Aku siap tanggung jawab." Aya langsung ngebenamkan mukanya ke bantal, pura-pura tidur. Padahal hatinya udah kayak kembang api: MELETUP-LETUP. Beberapa hari berlalu. Aya mulai sembuh. Suhu tubuhnya normal, nafsu makannya balik, dan yang pasti... semangat bar-bar-nya juga udah recharge penuh. Tapi ada satu hal yang beda. Setiap ketemu Elvano, Aya gak bisa sebar-bar biasanya. Entah kenapa, ada rasa aneh yang nempel kayak lem. Mau marah, malah salah tingkah. Mau ngomel, malah gagap. Seperti pagi itu. Aya lagi nyapu halaman sambil dengerin musik lewat headset. Tiba-tiba, dari arah pagar, Elvano muncul dengan bawa setangkai bunga matahari. Bukan mawar. Bukan melati. Bunga matahari. "Gue bawa ini buat lo," katanya santai. Aya bengong. "...buat apa?" "Karena kamu secerah matahari buat aku." Aya hampir pingsan berdiri. ASTAGA. "Lo... lo becanda ya?" Elvano ketawa kecil. "Serius." Aya mematung dengan gagang sapu di tangan. Sementara tetangga-tetangga mulai ngintip dari balik tirai, bisik-bisik. "Gila, cowok sekeren itu nembak Aya?" "Sumpah, iri banget gua." Aya ngerasa kayak mau digoreng di wajan raksasa. Panas! Dia buru-buru berbalik badan, pura-pura nyapu lagi. "Lo tuh... jangan baik-baik ke gue. Gue gak suka." Elvano maju selangkah, suaranya lembut. "Bukan karena kamu suka, Aya. Aku baik karena aku tulus." Aya menggigit bibirnya sendiri. Sial. Sial banget. Kenapa Elvano setega ini bikin hatinya kayak es krim di bawah matahari? Aya berusaha mengusir pikiran itu. Dia kembali fokus nyapu. Tapi Elvano masih berdiri di situ, sabar, sambil memegang bunga matahari. Sampai akhirnya, Aya mendengus, merebut bunga itu dari tangan Elvano dengan kasar. "YA UDAH! Gue terima! Tapi jangan GR duluan! Ini cuma... ya, karena lo kasianan. Gitu!" Elvano ketawa lagi. Bukan ketawa ngejek, tapi ketawa yang penuh kasih. "Kalau aku GR, gimana?" Aya melempar pandangan tajam. "Lo tidur di got depan sana." Tapi Elvano malah dengan santainya duduk di pagar rumah Aya, sambil mainin batang bunga. "Gak apa-apa. Yang penting deket sama kamu." Aya hampir meledak lagi. Sambil masuk ke dalam rumah, dia bergumam keras: "Dasar cowok gila." Tapi tanpa sadar, dia menatap bunga matahari di tangannya... ...dan, senyum kecil perlahan muncul di bibirnya. "Dasar... gila, tapi... bikin deg-degan."Pagi itu, Desa Suka Maju kembali sibuk seperti biasa. Di warung Bu Mimin, aroma kopi hitam bercampur bau gorengan hangat membuat beberapa bapak-bapak betah duduk berlama-lama.Elvano sedang duduk di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos lusuh, mencoba menyiram bunga sambil sesekali menguap. Aya sedang di dapur, bergulat dengan minyak panas dan suara Rafi yang nyanyi lagu TikTok.Damai. Sederhana. Nyaman.Sampai terdengar suara motor berhenti tepat di depan pagar.Brmm. Cekik. Berhenti mendadak.Aya melongok dari balik jendela. Elvano ikut menoleh ke arah suara itu.Tampak seorang perempuan dengan blazer krem, celana panjang, dan sepatu heels turun dari motor… bukan motor biasa, tapi matic elegan berwarna merah marun. Di boncengannya, ada anak perempuan kecil berambut sebahu, sekitar 5 tahunan, mengenakan dress kuning dan topi lebar.Elvano membeku. Matanya berkedip dua kali.Aya keluar, masih dengan celemek bertuliskan “Chef Is Bar-Bar”, melipat tangan di dada.“Siapa?” tanya Aya ce
Hari Senin pagi, gang Cempaka mendadak heboh. Bukan karena ribut tetangga atau bocor got, tapi karena kabar mengejutkan: Aya mencalonkan diri jadi Ketua PKK!Elvano yang sedang sarapan roti isi sarden langsung tersedak begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara masjid.> “Diberitahukan kepada seluruh warga… bahwa calon Ketua PKK terbaru, Ibu Aya—istri dari Ketua RW kita—akan menyampaikan visi dan misinya sore ini di pos ronda.”Elvano menoleh cepat. “Ay… kamu serius nyalon?”Aya sedang memotong cabai di dapur. Tanpa menoleh, dia menjawab santai, “Lah, kenapa enggak? Masa ketua RW-nya kamu, Ketua PKK-nya Bu Tati terus. Gak balance.”“Tapi Ay… kamu kan… galak,” ucap Elvano hati-hati.Aya menoleh tajam, pisau di tangan kanan, cabai di tangan kiri.“Justru karena aku galak. PKK butuh yang galak. Biar ibu-ibu itu gak saling rebutan mic pas arisan. Gak saling intip panci tetangga. Gak saling sok tahu soal bumbu rendang.”
Pagi pertama sebagai Ketua RW, Elvano bangun lebih awal. Ia menyeduh kopi, mencatat daftar rencana kerja di buku kulit coklat, dan sesekali melirik ke arah Aya yang masih tertidur, mulut sedikit menganga, rambut acak-acakan, dan selimut setengah lepas.Elvano tersenyum.“Ini pemilik hatiku dan sekaligus ketua tim orasi paling barbar sedunia.”Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah dapur terdengar…“PRUKK!!”Aya tergagap bangun. “ADA BOM?!”Ternyata ember bocor yang biasa dipakai menampung air di dapur, jatuh karena penuh dan licin. Air membasahi hampir seluruh lantai.“ELVANO! INI GIMANA?! LANTAI KAYAK KOLAM RENANG MINI!”Elvano segera menghampiri sambil membawa pel. “Maaf, tadi malam aku lupa mindahin air hujan.”Aya melipat tangan di dada. “Ketua RW kok gak bisa ngurus ember bocor? Nanti warga tahu, bisa jadi headline: ‘RW Baru Gagal Atasi Banjir Skala Ember.’”---Tapi
“Van, kamu tahu gak... aku mulai curiga sama cara pandang Ibu RT ke kamu belakangan ini,” ucap Aya sambil menyuapi Raka, anak tetangga yang sedang titip sementara karena ibunya ikut lomba senam.Elvano yang baru pulang kerja membuka jasnya, menaruh tas di sofa, dan menjawab tenang, “Lho? Kenapa emangnya?”Aya menyipitkan mata. “Tiap kamu lewat, dia senyum-senyum sambil nyari alasan nyiram tanaman. Padahal tanamannya itu... kaktus. Nyiram tiap sore bisa jadi tenggelam tuh tanaman.”Elvano tertawa kecil. “Mungkin dia cuma ramah aja.”Aya meletakkan sendok dan menatap Elvano lurus. “Ramah itu beda tipis sama modus.”Elvano mengangkat tangan menyerah. “Oke, oke. Tapi serius nih, kamu tahu gak? Ada kabar, katanya Ketua RW sekarang mau pensiun, dan ibu-ibu RT malah mau... nyalonin aku jadi Ketua RW.”Aya refleks bangkit. “APA?! Jadi Ketua RW? Van! Kamu belum siap mental buat dunia gelap itu!”Elvano bingung. “Gelap?”
Hari itu dimulai seperti biasa. Aya terbangun dengan wajah masih bantal, rambut acak-acakan seperti singa kelaparan, dan suasana hati... lumayan. Elvano baru saja menyeduh kopi ketika Aya keluar dari kamar sambil nyeret selimut.“Aku mimpi kamu nikah lagi,” gerutu Aya.Elvano menoleh dengan wajah polos. “Waduh... aku selamat nggak di mimpi itu?”“Nggak. Aku tonjok kamu sampai masuk got.”Elvano cuma tersenyum dan menyerahkan segelas susu hangat. “Makanya jangan nonton sinetron sebelum tidur.”Aya mendesis pelan.Namun ketenangan pagi itu pecah saat suara notifikasi HP terdengar bertubi-tubi.Aya membuka grup WA RT bernama “Ibu-Ibu RT 07 Jaya Selalu”. Notifikasi mencapai 137 pesan belum dibaca.Dan semuanya... tentang dirinya.> “Katanya si Aya itu udah ambil uang arisan tapi nggak nyetor lagi.”“Iya bener, Bu Yuyun cerita. Katanya buat beli masker Korea sama lip tint.”“Tapi uangnya bukan cuma 100 ribu, Bu. Katanya dua juta!”“Waduh... suaminya kaya, kok istrinya kayak gitu ya?”Aya m
Pagi itu, udara di rumah mereka terasa lebih segar dari biasanya. Aya bangun lebih dulu dari Elvano—hal yang sangat jarang terjadi. Ia berjalan pelan-pelan ke dapur, menyapu rambutnya ke belakang dengan jepitan bebek warna-warni, lalu mulai memasak sarapan sambil bersenandung pelan.“Iya, Riko,” gumamnya pada boneka yang duduk di pojokan kulkas, “hari ini aku masakin yang spesial buat Papa Elvano. Kan kemarin aku udah bilang sayang, tuh. Jadi harus kasih bukti lewat perutnya.”Tangannya sibuk memecah telur, mengaduk, menumis, dan sekali-sekali mencicipi rasa dengan gaya chef profesional—meskipun bumbu garam dan micin tetap dilempar pakai gayung kecil.Saat Elvano turun dari tangga dengan rambut masih berantakan dan mata sipit mengantuk, ia terhenti di anak tangga terakhir, memandangi pemandangan langka itu: Aya memasak tanpa ngedumel.“Kamu sakit?” tanyanya spontan.Aya menoleh cepat sambil menunjuk sendok penggorengan. “Jangan mulai pagi-pagi udah cari masalah, Van!”Elvano tertawa d