Home / Romansa / Suami Idaman / munculnya saingan baru

Share

munculnya saingan baru

Author: vano ilham
last update Last Updated: 2025-05-09 13:01:35

Sejak insiden 'sering ketemu kebetulan' itu, Aya mulai sedikit melunak.

Sedikit.

Tapi kehidupan tenangnya tidak bertahan lama.

Suatu pagi, saat Aya sedang beli nasi uduk di warung depan gang, datanglah seorang cowok baru yang... entah kenapa, terlalu sok akrab.

Cowok itu tampan.

Kulit sawo matang, rambut klimis, dan gaya pakaian trendy ala selebgram.

Namanya—ternyata—Reyhan.

"Eh, baru lihat kamu, ya? Anak sini juga?" sapa Reyhan sambil senyum manis.

Aya menatapnya dengan curiga.

"Iya. Kenapa?"

Reyhan terkekeh.

"Gila, cakep banget. Masak baru ketemu sekarang?"

Aya mendengus pelan.

Dalam pikirannya: Lelaki modus detected.

Tapi sayangnya, Reyhan nggak gampang menyerah.

Dia malah ngikutin Aya pulang, cari-cari alasan buat ngobrol.

"Aku baru pindah ke sini. Rumah di blok B. Boleh minta nomor WA?"

Aya menatap Reyhan seperti mau ngebanting panci nasi uduk ke kepalanya.

Belum sempat jawab, tiba-tiba motor besar berhenti di depan rumah Aya.

DAN YAKIN AJA.

Itu Elvano.

Dengan kacamata hitam dan jaket kulit, tampil gagah dan elegan.

Seperti adegan film action.

Elvano melepas helm perlahan, rambutnya berantakan keren.

Aya melotot.

Yaelah, muncul pas banget.

Elvano turun dari motor, menatap Reyhan dengan santai, lalu ke Aya.

"Siapa?" tanyanya pendek, suaranya dalam.

Reyhan menyeringai. "Temen baru. Masalah?"

Elvano tidak menjawab.

Dia hanya jalan pelan ke arah Aya, berdiri tepat di sampingnya.

Tingginya membuat Reyhan otomatis merasa terintimidasi.

"Aya, mau aku anter masuk?" tanya Elvano lembut.

Aya yang tadi galak ke Reyhan, kini malah bengong.

Kepalanya penuh suara 'ting ting ting' aneh.

"A-aku... bisa sendiri," jawabnya gugup.

Elvano mengangguk, lalu melirik Reyhan sekali lagi, dengan tatapan dingin penuh arti.

Tanpa kata-kata.

Tapi jelas: Jangan main-main dengan dia.

Reyhan, yang awalnya percaya diri, mulai merasa aneh.

Setelah Aya masuk ke dalam pagar rumah, Elvano baru berbalik dan pasang senyum sopan ke Reyhan.

"Senang kenalan. Tapi lain kali jangan terlalu agresif ke perempuan yang sudah punya calon."

Reyhan melongo.

Belum sempat protes, Elvano sudah naik motor dan pergi, meninggalkan suara knalpot yang keren.

Sementara itu di balik jendela, Aya mengintip sambil menutup mulutnya.

Bukan karena takut.

Bukan karena marah.

Tapi karena...

Jantungnya berdegup kencang.

Sangat kencang.

"Kenapa sih lo, Aya," bisiknya ke diri sendiri.

Di luar sana, Reyhan masih berdiri bengong, merasa dunia tiba-tiba berubah drastis.

Dan Aya tahu...

Masalah baru akan segera datang.

Karena ternyata, bukan cuma Elvano yang naksir dia.

Ada Reyhan juga.

Dan mungkin...

Masih banyak lagi yang akan muncul.

Gila. Hidup gue mulai kayak drama Korea, pikir Aya, ngelus dada.

Tapi entah kenapa, hidupnya yang tadinya datar kini jadi berwarna.

Dan pelan-pelan...

Dia mulai menikmati setiap kekacauan ini.

Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana di sekitar Aya makin… aneh.

Reyhan hampir setiap hari nongkrong di depan rumah Aya.

Alasannya macam-macam. Kadang pura-pura lewat, kadang pura-pura beli cilok.

Padahal semua orang satu gang sudah tahu: dia naksir Aya.

Aya sendiri sudah setengah mati malas meladeni.

Tapi Reyhan keras kepala.

Suatu sore, saat Aya lagi nyapu halaman, Reyhan datang sambil bawa es teh jumbo.

"Buat kamu," kata Reyhan dengan senyum sok manis.

Aya berhenti nyapu, menatap gelas plastik besar itu.

"Apaan?"

"Es teh. Aku tau kamu suka minum manis-manis."

Aya mendengus.

"Lo pikir gue diabetes?"

Reyhan ngakak.

"Justru biar tambah manis kayak kamu."

Aya refleks mau lempar sapu ke mukanya.

Tapi sebelum sapu itu benar-benar melayang, terdengar suara motor berhenti.

Dan bener aja.

Elvano datang lagi.

Tapi kali ini dia pakai mobil mewah.

Mobil yang... literally bisa buat pamer satu kelurahan.

Dia turun dari mobil santai, pakai kemeja putih dan celana hitam.

Rapi banget.

Semua ibu-ibu yang lewat sampai nengok dua kali.

Sementara Reyhan langsung ciut.

Beda level.

"Permisi," kata Elvano sambil jalan santai ke arah Aya.

Tanpa banyak bicara, dia langsung mengambil sapu dari tangan Aya.

"Aku bantuin," katanya.

Aya bengong.

Reyhan lebih bengong.

Semua orang yang lewat makin banyak yang nonton.

Seperti nonton sinetron live.

Aya akhirnya balikin fokus.

Dia tunjuk Reyhan dengan dagu.

"Eh tuh, Reyhan mau kasih es teh."

Elvano menoleh ke Reyhan, lalu tersenyum kecil.

"Terima kasih, tapi Aya lebih suka teh panas. Apalagi diminum bareng keluarga."

Aya nyaris jatuh dari sandal.

Gila, itu ngena banget.

Reyhan cengengesan.

"A-aku... yaudah, lain kali deh," katanya gugup, lalu kabur bawa es teh jumbo-nya.

Aya melotot ke Elvano.

"Kenapa lo kayak bodyguard pribadi sih?!" semprotnya.

Elvano hanya tersenyum kalem.

"Karena kamu butuh perlindungan."

Aya mengernyit.

"Perlindungan dari siapa?"

Elvano mendekat sedikit, menatap matanya dalam-dalam.

"Perlindungan dari orang-orang yang nggak serius sama kamu."

Aya terdiam.

Gila.

Kenapa kalimat gombal itu terdengar tulus banget?!

Sadar dirinya hampir baper, Aya langsung balik badan, pura-pura sibuk ngelap jemuran.

"Dasar gombal," gumamnya.

Tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergetar halus.

Sesuatu yang belum mau dia akui.

Dan Elvano... tahu itu.

Karena pria itu bukan hanya tampan, kaya, dan romantis.

Dia juga sabar menunggu.

Bahkan jika butuh seribu tahun.

Keesokan harinya, Aya resmi mendeklarasikan perang terhadap dirinya sendiri.

"Aya, lo harus jaga jarak!" katanya sambil ngaca di kamar.

Karena setiap kali Elvano muncul, jantungnya kayak main drum band.

Gak sehat.

Tapi sayangnya, semesta sepertinya tidak mendukung rencana itu.

Pagi itu, saat Aya keluar rumah mau beli sayur, dia malah hampir jatuh gara-gara kesandung batu.

Dan seperti skrip sinetron, Elvano muncul entah dari mana dan menangkapnya.

"Ih apaan sih!" Aya buru-buru berdiri sendiri, menepis tangan Elvano.

Elvano santai saja.

"Kalau aku gak nangkep, kamu pasti sudah jatuh. Mau jadi kayak sinetron 'Terpeleset Lalu Jadian'?" godanya.

Aya mendelik tajam.

"Gak usah ngaco. Gue mau beli sayur."

"Oke, aku anterin."

"Enggak!"

"Anterin," kata Elvano tegas sambil langsung jalan di sebelahnya.

Aya mau protes, tapi... ah sudahlah.

Mereka jalan berdampingan, jadi tontonan warga sekitar.

Bu RT yang lagi nyapu sampai bisik-bisik sama suaminya.

"Itu, si Aya jalan bareng cowok cakep lagi..."

Suaminya cuma ngangguk, sambil nyedot kopi.

Di tukang sayur, suasana makin panas.

Semua ibu-ibu pada mandangin Elvano kayak lagi liat artis K-Pop.

Ada yang ngedip-ngedip, ada yang bisik-bisik.

Dan parahnya, Bu Tati—yang biasanya jual cabe kiloan—berani-beraninya godain Elvano.

"Aduh dek, nyari sayur buat istri yaa? Manis banget sih nganterin."

Aya langsung merah muka.

"BU! Dia BUKAN suami gue!!"

Elvano malah nyengir lebar.

"Belum, Bu."

Aya hampir kelepasan ngelempar kol ke kepala Elvano.

Gila.

Sumpah.

Gila.

Setelah beli sayur, di jalan pulang Aya mendelik sambil membawa dua kantong plastik.

"Lo tuh bikin gue malu tau gak?"

Elvano santai memegang satu plastik bawaan Aya.

"Kenapa malu? Aku bangga bisa bareng kamu."

Aya hampir jatuh lagi, kali ini karena pusing sendiri.

"Aku serius, Van! Gue bukan siapa-siapa lo!"

Elvano berhenti, lalu menatap Aya penuh arti.

"Buat sekarang... mungkin."

Aya mematung.

"Eh?"

Elvano tersenyum kecil, lalu berjalan lagi sambil bawa plastik belanjaan.

Meninggalkan Aya yang berdiri bengong di tengah jalan kayak patung taman.

Dalam hati kecilnya, Aya teriak-teriak:

"GIMANA CARA JAGA JARAK KALO BEGINI CARANYA?!"

Sore itu, hujan turun deras.

Aya, yang keras kepala, tetap keluar buat belanja tambahan karena lupa beli bawang.

Padahal dari tadi ibunya sudah ngomel-ngomel:

"Udah hujan, jangan keluar! Ntar masuk angin!"

Tapi dasar Aya, kepala batu.

Akhirnya dia pulang dalam keadaan kuyup kayak kucing kehujanan.

Dan keesokan paginya...

Boom.

Aya tumbang.

Demam.

Badan pegal.

Hidung mampet.

Suara serak kayak penyanyi rock.

Ibunya langsung panik.

"Makanya dibilangin, ngeyel aja, ngeyel!"

Aya cuma bisa meringkuk di kasur, menggigil sambil narik selimut.

Dan di saat suasana rumah lagi heboh...

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.

Elvano datang.

Bawa satu tas gede.

Isinya?

Obat, vitamin, bubur instan, sampai bantal leher.

Ibunya Aya langsung sumringah begitu lihat Elvano.

"Haduh, kamu perhatian banget sih, Van! Masuk, masuk!"

Aya yang lagi setengah sadar cuma bisa mendengar langkah kaki masuk ke kamarnya.

Saat dia membuka mata, yang pertama kali dia lihat adalah wajah Elvano yang lagi duduk di sebelah ranjang, menatapnya penuh khawatir.

"Hai," sapa Elvano pelan.

Aya kaget, lalu buru-buru tarik selimut nutupin muka.

"Apaan sih lo masuk-masuk kamar cewek?!"

Elvano tertawa kecil.

"Ibumu yang suruh. Dia juga yang kasih aku kunci cadangan buat rumah ini."

Aya mendelik dari balik selimut.

"Sumpah... gua malu."

Elvano mengambil handuk kecil, mencelupkannya ke baskom air hangat, lalu perlahan mengompres dahi Aya.

Tangannya lembut banget.

"Udah, diem aja. Fokus sembuh dulu."

Aya diam.

Tapi dalam hatinya?

Gaduh.

KENAPA DIA SE-PRINCE CHARMING INI?!!

Sesekali, Elvano membetulkan selimut, membereskan bantal, bahkan ngebawain teh anget.

Semua dilakukan dengan sabar dan penuh perhatian.

Ibu Aya yang sesekali intip dari pintu cuma bisa senyum-senyum penuh harapan.

Sementara Aya di ranjang, bawaannya mau nangis sendiri.

Bukan karena sakit.

Tapi karena dia merasa... untuk pertama kalinya, ada orang yang benar-benar peduli tanpa minta balasan.

Diam-diam, pipinya merah.

Tapi ya, dasar Aya, bukannya bilang makasih, malah ngomel:

"Lo jangan terlalu baik ke gua."

Elvano tersenyum hangat.

"Kenapa?"

Aya membuang muka.

"Ntar... gua baper."

Elvano tertawa kecil.

Lalu, tanpa banyak kata, dia hanya berkata satu kalimat:

"Baperin aja, gak apa-apa. Aku siap tanggung jawab."

Aya langsung ngebenamkan mukanya ke bantal, pura-pura tidur.

Padahal hatinya udah kayak kembang api:

MELETUP-LETUP.

Beberapa hari berlalu.

Aya mulai sembuh.

Suhu tubuhnya normal, nafsu makannya balik, dan yang pasti... semangat bar-bar-nya juga udah recharge penuh.

Tapi ada satu hal yang beda.

Setiap ketemu Elvano, Aya gak bisa sebar-bar biasanya.

Entah kenapa, ada rasa aneh yang nempel kayak lem.

Mau marah, malah salah tingkah.

Mau ngomel, malah gagap.

Seperti pagi itu.

Aya lagi nyapu halaman sambil dengerin musik lewat headset.

Tiba-tiba, dari arah pagar, Elvano muncul dengan bawa setangkai bunga matahari.

Bukan mawar.

Bukan melati.

Bunga matahari.

"Gue bawa ini buat lo," katanya santai.

Aya bengong.

"...buat apa?"

"Karena kamu secerah matahari buat aku."

Aya hampir pingsan berdiri.

ASTAGA.

"Lo... lo becanda ya?"

Elvano ketawa kecil.

"Serius."

Aya mematung dengan gagang sapu di tangan.

Sementara tetangga-tetangga mulai ngintip dari balik tirai, bisik-bisik.

"Gila, cowok sekeren itu nembak Aya?"

"Sumpah, iri banget gua."

Aya ngerasa kayak mau digoreng di wajan raksasa. Panas!

Dia buru-buru berbalik badan, pura-pura nyapu lagi.

"Lo tuh... jangan baik-baik ke gue. Gue gak suka."

Elvano maju selangkah, suaranya lembut.

"Bukan karena kamu suka, Aya. Aku baik karena aku tulus."

Aya menggigit bibirnya sendiri.

Sial.

Sial banget.

Kenapa Elvano setega ini bikin hatinya kayak es krim di bawah matahari?

Aya berusaha mengusir pikiran itu.

Dia kembali fokus nyapu.

Tapi Elvano masih berdiri di situ, sabar, sambil memegang bunga matahari.

Sampai akhirnya, Aya mendengus, merebut bunga itu dari tangan Elvano dengan kasar.

"YA UDAH! Gue terima! Tapi jangan GR duluan! Ini cuma... ya, karena lo kasianan. Gitu!"

Elvano ketawa lagi.

Bukan ketawa ngejek, tapi ketawa yang penuh kasih.

"Kalau aku GR, gimana?"

Aya melempar pandangan tajam.

"Lo tidur di got depan sana."

Tapi Elvano malah dengan santainya duduk di pagar rumah Aya, sambil mainin batang bunga.

"Gak apa-apa. Yang penting deket sama kamu."

Aya hampir meledak lagi.

Sambil masuk ke dalam rumah, dia bergumam keras:

"Dasar cowok gila."

Tapi tanpa sadar, dia menatap bunga matahari di tangannya...

...dan, senyum kecil perlahan muncul di bibirnya.

"Dasar... gila, tapi... bikin deg-degan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Idaman   badai dibalik senyuman

    Hujan turun sejak pagi. Bukan gerimis romantis yang biasa diputar di adegan drama, tapi hujan deras, penuh petir, yang membenamkan suara kota dalam gemuruh yang panjang. Aya berdiri di balik jendela kaca apartemen, memegang cangkir kopi yang belum ia teguk sejak sepuluh menit lalu.Biasanya, Elvano sudah berangkat sejak pagi. Tapi hari ini, jam sudah hampir pukul sembilan dan laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat tidur."Lo sakit?" tanya Aya pelan, setengah ragu untuk mendekat.Elvano hanya mengangguk. Matanya setengah terbuka, napasnya agak berat.Aya mendekat, menyentuh dahi suaminya dengan punggung tangan. "Anget… lo demam, El.""Sepertinya masuk angin," sahut Elvano pelan. "Kemarin kena hujan waktu pulang kantor."Aya bergumam kesal. "Gue udah bilang, jangan maksa pulang jalan kaki kalau lagi hujan. Nyari sopir pengganti susah ya? Mobil segede gaban tapi lo malah pengen jadi manusia romantis di tengah hujan."

  • Suami Idaman   gengsi yang retak

    Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”

  • Suami Idaman   pelan-pelan menuju rasa

    Elvano berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit miring. Ia mencoba merapikannya sambil mendengus pelan. Biasanya ada asistennya di kantor yang bisa membantu—tapi pagi ini, ia sengaja tidak ke kantor lebih dulu.Hari ini ia akan menemani Aya ke rumah orang tuanya. Bukan acara resmi. Tapi tetap saja, cukup membuatnya gugup.“Lu gak perlu dandan segitunya, Van,” kata Aya dari belakangnya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan wajah tanpa makeup.Elvano tersenyum menatap bayangannya di kaca. “Gue pengen bikin kesan yang baik.”Aya duduk di ujung ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kayak lu belum cukup bikin orang kesengsem aja.”Elvano berbalik. “Termasuk lu?”Aya langsung melempar handuk ke arahnya. “Jangan geer!”Tapi senyum di bibirnya tipis. Tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke rumah orang tua Aya tidak jauh, tapi suasananya seperti perjala

  • Suami Idaman   titik awal yang baru

    Hujan turun sejak subuh. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih sejuk dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jendela kamar, dan aroma tanah basah perlahan masuk lewat celah ventilasi.Aya duduk di tepi ranjang dengan rambut yang belum disisir, hoodie kebesaran yang menggantung di bahunya, dan wajah yang masih setengah kantuk. Ia menatap keluar jendela sambil sesekali mengusap embun yang menempel di kaca.Dari dapur, terdengar suara gelas beradu dan suara air mengalir. Elvano, seperti biasa, bangun lebih dulu. Tapi pagi ini tidak terdengar suara musik jazz lembut dari speaker dapur, tidak juga siulan santainya. Pagi ini… lebih sunyi.Aya bangkit dan berjalan pelan menuju dapur.Elvano berdiri membelakanginya, tengah menyeduh kopi dengan mata yang tampak berat. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan daster masak yang biasa ia pakai terlihat lebih longgar di tubuhnya hari ini.Aya berdiri diam sejenak di ambang pintu, memp

  • Suami Idaman   saat hati belajar bicara

    Sudah dua hari sejak Elvano diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aya menyetir mobil dengan ekspresi datar, tapi sesekali melirik ke kaca spion tengah, memastikan Elvano yang duduk di belakang bersama adik perempuannya, Ellin, tak tertidur dalam posisi yang salah.Ellin masih pucat, tapi jauh lebih segar dari saat pertama mereka dilarikan ke rumah sakit. Kini ia hanya mengandalkan selang infus portabel dan duduk bersandar di kursi mobil, tertidur tenang.“Lu yakin gak mau duduk di depan, Van?” tanya Aya tanpa menoleh.“Gak apa-apa,” jawab Elvano dari belakang. Suaranya rendah, tapi hangat. “Biar lebih gampang jagain Ellin kalau dia tiba-tiba butuh sesuatu.”Aya mengangguk pelan. Tak ada percakapan panjang sepanjang jalan pulang, hanya denting pelan lagu dari radio yang mengalun seperti latar adegan film yang... terlalu sepi.Sesampainya di rumah, Aya membantu membawa koper kecil dan tas obat Ellin ke kamar tamu. Elvano menyusul setelah m

  • Suami Idaman   saat hening mulai berbicara

    Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.Bukan Elvano.Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemeta

  • Suami Idaman   hati yang tak pernah dijemput

    Hidup kadang berjalan seperti langkah kaki di jalan becek: tak bisa cepat, tapi selalu meninggalkan jejak.Dan pagi ini, langkah-langkah Elvano menuju warung Aya justru semakin pelan dari biasanya. Entah karena hujan semalam membuat tanah licin, atau karena perasaannya yang mulai berat tanpa ia sadari.Ia membawa tas kain kecil berisi buku. Buku sederhana berisi kumpulan puisi yang ia temukan semalam saat merapikan rak.“Katanya suka baca, ya kita coba aja,” gumamnya kecil.Sesampainya di depan warung, Elvano melihat pemandangan yang tidak biasa.Aya sedang tertawa.Tertawa lepas, bukan karena marah atau ngejek. Tapi karena seorang anak kecil yang mengoceh lucu tentang kucing peliharaannya yang kabur ke atap.Elvano berdiri beberapa meter, hanya diam menatap.Wajah Aya yang biasanya keras dan tegas kini tampak hangat. Senyum itu... bukan untuknya, tapi Elvano tetap merasa hangat melihatnya.Namun saat Aya menyadari kehadirannya, wajahnya berubah. Tegar lagi. Kaku lagi.“Elvano?” tanya

  • Suami Idaman   jarak yang tak pernah dekat

    Pagi itu, Elvano duduk di balik meja kerjanya di kantor pusat milik keluarganya, sebuah perusahaan konstruksi besar yang kini ia pimpin sejak ayahnya pensiun dini.Dengan jas rapi berwarna abu muda, rambut tersisir sempurna, dan aura tenang nan elegan, Elvano terlihat seperti pria yang sudah terbiasa dengan tanggung jawab besar.Tapi di balik semua itu, pikirannya justru melayang ke sesuatu—orang—yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bisnis.Aya.Ia baru saja membuka file laporan keuangan di laptopnya, ketika bayangan gadis itu muncul di benaknya.Sorot mata tajamnya. Cara dia melipat tangan di dada sambil ngomel.Bahkan suara gerutunya yang setengah marah setengah lucu... semuanya berputar begitu saja di kepalanya."Kenapa jadi mikirin dia terus, sih..." gumam Elvano sambil menyandarkan punggung.Seketika, pintu ruangannya diketuk.Seorang sekretaris masuk, membawa setumpuk dokumen."Ini

  • Suami Idaman   pertemuan yang tak disengaja

    Hari itu, matahari bersinar cukup terik di langit biru yang cerah.Elvano baru saja keluar dari sebuah kafe kecil setelah menyelesaikan pertemuan bisnis singkat dengan calon klien baru. Setelan putih bersihnya tampak begitu mencolok di tengah jalanan kota yang ramai. Dengan santai, ia memasukkan tangan ke dalam saku celana, menikmati langkah-langkahnya yang tenang di trotoar.Wajah tampannya menarik perhatian banyak wanita yang berlalu-lalang. Beberapa bahkan tanpa malu-malu melirik, berharap mendapat balasan senyuman.Tapi Elvano? Seperti biasa, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sopan.Seolah tak pernah sadar betapa dirinya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di seberang jalan.Aya.Gadis itu tampak terburu-buru, berjalan dengan langkah lebar, sambil memeluk sebuah tas belanjaan besar di dadanya. Sesekali ia mengumpat kecil ketika harus menghind

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status