Share

3# Sebuah Perintah

“Terimakasih, Pak Seto. Nanti Ganesha jemput lagi, ya?” Ganesha melambaikan tangannya dengan riang. Tersenyum gembira sampai matanya tertutup sempurna.

“Baik, Den. Kalau gitu, bapak pulang dulu, ya?”

Pak Seto berajalan menjauhi suami majikannya. Hingga beberapa saat, lelaki paruh baya itu masih mengamati pria berperawakan jauh lebih muda darinya bertingkah konyol.

“Kau datang lebih cepat hari ini.”

Seorang pria gondrong berkacamta menghampiri Ganesha. Lelaki itu membawa secangkir kopi di tangan. Lantas memberikannya pada Ganesha.

“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah menerima laporan. Katanya Diki sudah selesai menjalankan tugasnya.”

Ganesha meneguk kopi itu. Pahit. Namun ia menyukainya. Ia berjalan menuju ke dalam rumah yang berkedok menjadi tempat pembelajaran bagi orang-orang dengan keterbelakangan mental.

“Begitulah. Hanya tugas seperti itu, dia pasti cepat menyelesaikan.”

“Bagus, bagus.”

Ganesha bertepuk tangan heboh. Sebagai bentuk pujian pada teman sekaligus bawahan. Lelaki itu hanya tersenyum lebar dan menunduk. Kelemahannya adalah pujian. Sayangya Ganesha tahu akan itu.

“Obat apa yang kamu berikan padanya, Rik?”

“Hanya obat penenang dengan takaran lebih tinggi.”

“Obat penenag?”

“Benar. Gunawan sudah menggunakan obat penenang sejak dua tahun lalu. Makanya kematiannya mungkin hanya akan di cap sebagai kelalaian diri.”

Seorang wanita datang membawa dua cangkir. Satu teh dan yang lainnya kopi. Dia menyerahkan kopi kepada kekasihnya. Si gondrong itu.

“Tapi si hama itu, sudah terlanjur berbicara pada istriku. Anyelira pasti akan menyelidikinya.” Ganesha menggeram marah. Tatapannya menjurus penuh kobaran. Seakan jika Gunawan ada di hadapannya, maka ia akan siap menerkamnya bulat-bulat.

Riki dan Risa menenggak ludah gugup. Aura amukan itu benar-benar menguar. Meski bukan mereka yang menjadi sasaran. Tetap saja, mereka merasakan.

“Tapi, kenapa kamu memerintahkan untuk membunuhnya jika tahu istrimu akan curiga?” tanya Risa was-was. Dia sebenarnya tetap ingin diam dan menyingkir hati-hati dari pandangan lelaki itu. Hanya saja rasa penasaran masih mengganjalnya.

Ganesha tersenyum miring. Dan itu membuatnya kian nampak menyeramkan. “Jika aku tidak membunuhnya, pasti mulut bocor itu akan terus membeberkan fakta tragedi 15 tahun lalu. Di mana orang tua dari Lira terbunuh mengenaskan.”

***

“Rupanya memang benar jika Gunawan mengonsumsi obat penenang itu. Dan menurut dari pemeriksaan otopsi, dosis yang ditenggak hari ini sangat tinggi.”

“Sangat tinggi?” tanya Lira bingung.

“Benar. Mereka juga mengatakan bahwa itu bisa saja terjadi. Mengingat selama beberapa hari ini, Gunawan juga terus saja menambah dosis ditiap ia minum obat. Dan kemungkinan besar, karena stress dia jadi menenggak tanpa aturan.”

Anyelira mengusap wajanya kasar. Menurut data dan penjelasan yang diberikan oleh Bambang, jelas bahwa kematian Gunawan merupakan culpa. Akibat dari kelalaian diri sendiri, dia meregang nyawa.

Tak ada yang bisa disalahkan dan tak perlu melakukan penyidikan lebih lanjut. Dia hanya perlu mengugurkan tuntutan yang bahkan belum dibuat. Tapi … kenapa hatinya masih gusar?

“Siapa yang menemukannya pertama kali?”

“Polisi yang berjaga. Dia ditemukan sudah dalam kondisi meninggal dengan tangan memegang bungkus dari obat. Bukannya kau sudah melihat datanya?”

“Aku hanya ingin memastikan kamu menghapalnya.”

Bambang menahan makian yang ingin sekali keluar. Di saat seperti ini, Lira masih saja suka mengejeknya.

Ck, dasar perfeksionis!

***

“Saya sudah kembali, Mas.”

Diki menunduk hormat pada Ganesha yang tengah memainkan game konsol. Ganesha hanya berdeham tanpa menoleh. Ia terlalu fokus pada permainannya.

Diki masih berdiri di samping orang yang dianggapnya sebagai atasan. Lelaki yang dihormatinya dan telah menyelamatkan dia dan saudara kembarnya dari kejaran maut.

YOU LOSE!

Tulisan besar ini terpampang pada layar. Ganesha melemparkan konsol itu sembarangan. Ia mendengkus kesal. Belum terima kalau gagal naik level.

Ia mengambil air putih yang tersedia. Meneguknya hingga tandas. Lelah juga usai bermain game seperti itu.

“Perjalananmu lancar?”

“Lancar, Mas.”

“Apa kamu bertemu dengan istriku?”

“Tidak, saya telah naik mobil ketika beliau datang.”

“Baguslah.” Ganesha mengambil jeruk. Mengupasnya untuk akhirnya dimakan. Diki masih tetap saja diam.

Ganesha berdecak kesal. Memandang lelaki itu jengah. “Ayolah, jangan menghormatiku seperti itu. bukankah sudah kubilang hentikan?”

Diki menunduk penuh sesal. “Maaf. Saya lupa.”

“Ya, aku sudah menduga itu.” Ganesha manggut-manggut. Ia terima saja alasan yang terus diulangi belasan kali. Diki terlampau menghormatinya. Mungkin saja lelaki itu menganggapnya dewa. Membuat Ganesha kerap merasa tak nyaman. Huh … sudahlah, yang terpenting, mari kita bahas masalah yang mendesak.

“Panggilkan Riki dan Risa. Mereka kini pasti sedang di kamar.”

Ganesha malas jika pasangan kekasih itu sudah berdua-duaan di kamar. Ia tak mau dipandang sebagai pengganggu.

“Baik, Mas.”

Diki berlalu tuk segera melaksanakan perintah. Tak berselang lama dia kembali membawa pasangan kekasih yang … ah, sudahlah. Tak perlu dijelaskan bagaimana penampilan mereka.

Ganesha sudah terbiasa. Terlebih ia pun sering melakukannya bersama sang istri. Mengingat itu membuatnya rindu akan Anyelira. Apa yang tengah dilakukan si cantik itu di kantornya? Apa masih marah-marah karena kematian terdakwa? Bisa jadi. Karena Anyelira itu bagai buaya. Dia tak akan melepas mangsa yang telah digigit. Apabila mangsa itu diambil orang lain, jangan salahkan jika orang itu juga akan terkena gigitannya.

Yeah, kira-kira sebuas itulah istrinya. Namun ia menyukainya. Teramat sangat.

“Ada apa Mas manggil kami?”

Risa nampak sudah lebih baik. Perempuan itu pasti memperbaiki penampilannya sembari ia melamun.

“Duduklah. Aku mendapat tugas baru untuk kalian?”

“Apa ada klien? Tapi bukannya slot untuk bulan ini sudah habis? Uang di rekening juga masih penuh.” Riki menyergah tak setuju. Lantas dihadiahi jitakan keras di kepalanya oleh saudara kembarnya.

Cih, si hamba sudah kembali.

“Ini … dari Danurdara Nareswara. Ini adalah sebuah perintah. Bukan permintaan.”

Hening.

Semua terdiam dengan pikiran masing-masing.

Riki yang sebelumnya enggan, kini menggeram penuh amarah. Tangannya mengepal kuat. Buku-buku jarinya memutih. Menahan segala gejolak amukan yang mulai memercik pada dirinya.

Sementara Diki menatap kosong. Lantas tersenyum miring penuh permusuhan. Lama kelamaan tangannya juga turut mengepal. Sama seperti yang dilakukan oleh kembarannya.

Risa merosot jatuh. Bulu kuduknya meremang. Bergidik. Takut. Perlahan air matanya mulai berjatuhan.

Riki menghampirinya. Membawa perempuan itu pada pelukan. Mencoba memberi ketenangan padahal dirinya sendiripun diliputi kemarahan. Diki turut meremas bahu adik kembarnya. Menyalurkan sisa-sia kewarasan yang masih ia punya.

Ganesha mengembuskan napas. Ada rasa bersalah yang menggerogoti. Dibanding marah, ia lebih membeci dirinya sendiri. Dirinya yang lemah. Yang bahkan tak mampu menolak perintah lelaki itu. 

Beberapa jam lalu Danurdara mengirimi perintah. Padahal sudah terlalu lama lelaki itu menghilang dari kehidupannya. Ia kira, hidupnya kini telah bebas hingga sempat berpikir tuk berhenti dari profesinya. Namun pesan itu menghalangi niatnya.

Sigh!

PYAR! Ganesha melemparkan gelas. Lantas berdiri menyusul pecahan beling itu. Ia menginjak keras pecahan itu.

“Dia meminta kita untuk melenyapkan si tua bangka dari kantor kejaksaan kota.”

Semua orang semakin terdiam. Bukankah itu kantor tempat istri Ganesha bekerja? 

Anyelira Arsyana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status