Share

2# Fakta Kematian

“Sudah dibereskan?”

Ganesha memainkan mobil-mobilannya dengan riang. Di sebelah kirinya tergeletak ponsel yang tengah terhubung dengan seseorang.

“Sudah, Mas. Ada perintah lain lagi?”

“Tidak. Tugasmu sudah cukup. Kembalilah.”

“Baik, Mas.”

Dan kini, tangan Ganesha meraih mainan yang lain. Berpura-pura memainkannya di depan kamera CCTV yang terpasang. Istrinya itu orang yang terlalu waspada. Dia memasang beberapa kamera pengawas diberbagai sudut rumah. Ganesha sampai harus berakting sepanjang hari. Untung saja tak ada penyadap, hingga dia masih bisa leluasa untuk mengatur pekerjaan gelapnya.

“Istriku … kapan kamu kembali? Pasti sekarang tengah kebingungan ya? Maaf. Aku hanya menyingkirkan kecoak yang jorok.”

Dan kemudian berlarian sembari tertawa girang. Akting sempurna yang bahkan mampu mengelabuhi wanita berintuisi tajam. Ya, dialah Ganesha Nareswara Jenggala. Suami tercinta dari sang jaksa cantik jelita.

***

“Bagaimana bisa seorang tersangka overdosis di lapas seperti ini? Dia baru masuk sel, apa kalian tidak memeriksanya dengan teliti?”

Lira berteriak marah pada petugas yang berjaga. Ia tak habis pikir. Bagaimana obat itu bisa sampai ke tangan Gunawan? Padahal ia yakin, tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu menyembunyikan barang di tubuhnya.

Sial.

Sekarang ia harus bagaimana? Tak bisa menuntut terdakwa di pengadilan itu sebuah hal yang teramat memalukan baginya. Menuntut vonis bagi pendosa adalah hobinya. Dan ketika hobi itu dirampas tiba-tiba, tentu saja dia menjadi kesal.

“Maaf, Mbak. Kami kurang memeriksanya secara menyeluruh. Ternyata obat itu ada di sepatu yang dikenakan.”

Lira memijit pelan pangkal hidungnya. Keningnya berlipat kala mendengar penjelasan dari salah satu petugas. Sekarang ia mengerti, kenapa Gunawan bisa sampai overdosis, jika obat itu terinjak kakinya dan menjadi bubuk, tentu lelaki itu akan asal menenggak tanpa tahu kadar yang seharusnya. Sekalipun ia menjadi lebih jengkel setelah mendengar alasan dari petugas.

Hanya saja, sisi lain dalam hatinya menolak. Ada yang aneh. Jika benar obat itu disembunyikan pada sepatu, lelaki itu pasti berjalan dengan tidak normal untuk menjaga butiran-butiran pil. Namun, saat bertemu dengannya tadi, Gunawan berjalan biasa. Dia hanya digandeng oleh dua polisi itu pun hanya sebagai bentuk penjagaan. Bukan pertolongan kasar yang biasanya ia lihat.

Kecuali, jika Gunawan lupa bahwa dia membawa obat itu. Tapi itu lucu. Fakta bahwa ia menyembunyikan obat jelaslah mengatakan bahwa itu penting. Mana mungkin seseorang akan melupakan hal penting yang selalu dijaga?

Kenapa Lira merasa kematian Gunawan ini bukanlah hal wajar? Seperti seseorang tengah berusaha membungkamnya.

Lira menuju kembali ke kantornya. Sebelum itu ia menghubungi Bambang untuk meminta data lengkap tersangka. Lira belum sempat membaca karena kasus itu masih baru dan ia tengah disibukkan dengan perkara lain.

“Mana dokumen yang kuminta?” todongnya ketika sampai di ruangan kerja miliknya.

“Sudah ada di mejamu. Map berwarna coklat.” Bambang memberitahu.

Anyelira berdecak. “Semua map berwarna coklat, Bambang.”

“Oh iya, iya. Suka lupa. Kalau gitu yang tulisannya Penganiayaan anak, 10 November.”

Dan Bambang hanya terkekeh geli. Tertawa sendiri sampai terdiam sendiri. Hah, bekerja dengan terlalu serius itu nggak baik buat tubuh. Tapi sayang, sahabat sekaligus atasannya itu tak tahu dan tak mau tahu. Cih, punya sahabat yang workaholic ternyata begini menyusahkan.

Dia harus siap sedia lembur kapan saja. Padahal anaknya masih kecil. Sebagai papa muda, Bambang tentu saja ingin segera pulang dan berkumpul dengan keluarga kecilnya.

Anyelira mengambil map yang disebutkan. Terletak dibagian paling atas dengan nama terkait. Lira membuka dokumen itu. Melihat dan meneliti satu persatu. Dan … buntu. Tak ada apa-apa yang bisa membantunya. Data kesehatan tidak terlampir. Jadi … ia tak tahu. Apakah memang benar Gunawan itu suka meminum obat penenang atau itu hanya rekayasa seseorang.

“Kamu yakin bila kecelakaan itu hanya murni kecelakaan? Apa kamu sudah memeriksa mesin mobil?”

Ucapan itu kembali menghapiri ingatannya. Lira lantas melihat pekerjaan yang tertera.

Profesi : Pengusaha Bengkel.

Anyelira tersenyum sinis. Menyugar rambutnya dengan kalut. Ia menggeleng yakin. Menggigit bibir bawah dengan keras. Kenapa rasanya ini begitu aneh?

Tidak. Ia adalah jaksa yang rasional dan hanya percaya pada bukti yang benar adanya. Gunawan hanya berkoar-koar tanpa bukti.

Namun … kematiannya bukankah sebuah bukti?

Shit!

Lira benar-benar jengkel. Ia belum pernah seperti ini. Apa hanya karena lelaki itu menyinggung kasus orang tuanya hingga ia mulai percaya. Gila. Ini tidak seperti dirinya saja.

Lira belum pernah seperti ini? Dan ia juga tak tahu mengapa seperti ini hanya karena mendengar sepatah kata dari pria bermulut besar. Hm, seharusnya tadi Lira sobek saja bibir tak berguna itu.

Drrt! Drrt!

Ponselnya bergetar. Nama Ganesha muncul di layar. Lira menaruh kembali dokumen itu. Lalu berjalan menuju jendela. Memandangi jalanan kota Jakarta yang padat. Wanita itu mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia harus meredakan amarahnya ketika hendak berbicara pada suami abnormalnya.

“Istriku! Aku kangen,” rengekan terdengar ketika panggilan diterima.

Lira tersenyum cerah. Rupanya mendengar suara nyaring itu bisa sedikit mengurangi stress-nya.

“Aku tahu. Apa kamu sudah sarapan? Mbok Nah pasti sudah datang, kan?”

“Aku sudah sarapan. Sama sereal. Tadi dibuatin sama Mbok Nah.”

“Begitu?”

“Iya.” Lira bisa membayangkan Ganesha yang mengangguk-angguk dengan semangat. Gemas sekali. “Lira, Istriku. Aku bosan di rumah. Aku berangkat ke sekolah lebih awal ya?”

“Kamu ingin berangkat lebih awal?”

“Iya. Karena tidak ada istriku, aku jadi bosan.”

“Baiklah. Aku akan menelpon Pak Seto untuk segera menjemputmu. Kamu segera bersiap gih.”

“Siap, istriku!”

Dan bunyi benda terbanting terdengar. Lira memejamkan mata dan menjauhkan handphone dari jangkauan telinga karena kaget. Pasti ponsel itu dilemparkan begitu saja oleh suaminya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Ganesha melemparkan barang yang dianggapnya tak penting lagi. Hingga kerap kali ia merasa rugi. Ia ingin memberikan lelaki itu wejangan panjang untuk menjaga barang-barangnya. Tapi ia tahu. Itu sia-sia. Jadi tak pernah melakukannya. Hanya nasehat-nasehat pendek yang kadang diingat, kadang tidak.

“Dari rumah?” Lira memilih tak menjawab. Karena tahu, pertanyaan itu hanyalah sebuah kalimat basa-basi. Bambang pasti tahu kalau barusan adalah suaminya yang menelpon.

Bambang menyodorkan dua bungkus roti selai coklat kepadanya. Lira menerima dengan semangat. Makanan favorit di kala sibuk seperti ini.

“Lira, kau benar-benar tak berpikir untuk berselingkuh?”

"Uhuk! Uhuk!” Lira tersedak karena pertanyaan sahabatnya barusahan. Orang itu sudah gila, ya? Bambang hanya menerbitkan senyum kemudian memberikan satu botol air mineral. Rupanya lelaki itu telah memperkirakan.

“Kalau kau ingin selingkuh, aku mempunyai beberapa kandidat yang sempurna.”

Lira tak menanggapi. Dan memilih mengutak-atik ponselnya. Ia menghubungi seseorang.

“Astrid, Bambang bilang dia ingin selingkuh.”

“Hei, jangan fitnah!”

Lira tak menanggapi. Ia hanya melengos acuh menuju meja kerjanya. Meja yang selalu dipenuhi dengan kertas-kertas kasus. Eva mengembuskan napas jengah. Sebenarnya, kapan dokumen-dokumen bodoh itu akan hilang dari mejanya?

“Tidak, Sayang. Lira hanya bercanda. Kau kan tahu bagaimana karakternya?”

“….”

“Maksudku dia sedang berusaha bercanda—“

Bambang memandang ponselnya pedih. Panggilan yang diputus sepihak. Shh … ini semua berkat sahabatnya yang tidak punya hati. Lantas bagaimana kalau nanti malam jatahnya dikurangi?

Awas saja. Lira akan menerima imbalannya.

 “Berikan aku catatan medis dan hasil otopsi terdakwa Gunawan. Tolong.”

Bambang mengacuhkan. Kembali pada mejanya untuk kemudian berkutat dengan komputer. Lira mengambil napas. Inilah penyebab kenapa ia bisa krasan menikah dengan lelaki tak normal seperti Ganesha. Ya karena sahabatnya sendiri kadang waras, kadang tidak. Dan mirisnya orang itu sama sekali tak menyadari akan dirinya sendiri.

Benar kata peribahasa. Serigala tak akan menyadari bahwa dirinya mengerikan. Dan itu berlaku juga pada sahabatnya.

Pesan spark pada layar komputer berkedip. Rupanya Bambang mengirim pesan.

Jelaskan pada Astrid, atau aku tidak akan membantumu!

Cih, sebenarnya di sini yang atasan itu siapa sih?!

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status