Astaga!Lututku seketika gemetar mendengar rencana mereka. Ternyata selama ini aku benar-benar telah salah menilai Bu Hanum dan juga Arsen. Gegas aku melangkah menuju kamar ku, mengambil tas yang tadi sempat kusembunyikan lalu segera mengendap menuju pintu keluar. Sepertinya aku tidak boleh mengundur waktu lagi, apa yang barusan Arsen bilang sungguh terdengar mengerikan.Jangan sampai aku celaka untuk yang kedua kalinya!Dengan sangat perlahan aku memutar gagang pintu agar tidak menimbulkan bunyi lalu segera berlari setelah berhasil keluar."Hei, Zea?!" sayup kudengar seseorang memanggilku, namun aku tetap berlari."Hei, kamu beneran Zea, kan? Tunggu, hei!""Sial! Pake ngejar segala, lagi!" umpatku dalam hati saat kusadari seseorang mengejarku dibelakang."Zeaaa?!!"Teriakannya yang melengking memekakkan telinga akhirnya membuatku berhenti berlari.Dengan panik aku berjalan cepat menghampirinya seraya menaruh telunjuk dimulutku berharap dia mau berhenti berteriak."Sstt! Tolong, bu.
Hari sudah semakin sore, namun aku lega karena di depan sana akhirnya aku melihat jalanan besar seperti apa yang pertama kali kulihat saat menginjakkan kaki di kota ini.Pikirku, langkah selanjutnya mungkin aku hanya tinggal mencari terminal, pergi ke sana untuk pulang ke kampung halaman.Ya, walau sepertinya aku tidak akan mendapat sambutan baik dari keluargaku, tapi ... tak apalah, setidaknya aku jangan sampai bernasib lebih malang di perantauan ini.Kuperbaiki letak tas yang kini terasa semakin berat lalu kembali melangkah sebelum akhirnya aku jatuh tersungkur saat seseorang yang mengendarai motor menarik paksa tasku."Tolong ...! Jambret! Tolong ... ada jambret!" teriakku seraya menatap nanar pada dua orang pengendara motor yang telah berhasil membawa paksa tas ku.Arggh!Aku memukul diudara untuk melampiaskan kekesalan ku. Uang jajan yang selama ini Bu Hanum berikan padaku ada di dalam tas tersebut. Lalu, bagaimana aku bisa pulang jika saat ini aku tidak punya uang untuk ongkos?
"Ze, kamu lagi ngapain?" tanya Bu Hanum membuatku sedikit terkejut hingga tak sengaja tespack yang aku pegang kini terjatuh.Dengan perlahan Bu Hanum mengambil tespack tersebut, ia menatapnya agak lama kemudian beralih menatapku dengan penuh tanya."Apa ini penyebabnya, Ze?" tanyanya pelan, sedang aku hanya diam karena bingung harus berkata apa."Iya, Bu. Tolong jelaskan maksud dari semua ini!" pintaku akhirnya dengan menekan rasa takut dalam hati.Pikirku, aku tidak boleh terus mengulur waktu, jika memang mereka orang jahat, maka aku harus segera bisa melepaskan diri dari mereka."Kamu ingin punya anak? Apa selama ini Arsen memperlakukan mu seperti istri yang sesungguhnya?" Bu Hanum malah balik bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya."Apa kamu sedang berharap ada dua garis merah dalam benda tersebut?" lagi Bu Hanum membuat pikiranku untuk berterus terang kalau aku tau semuanya mulai goyah."Cukup, Bu! Siang tadi tespack ini memang menunjukan hasil positif. Harusnya aku yang berta
Aku mengerjapkan mataku berulang saat kudengar suara serine di luar sana.Rupanya, hari telah berganti malam, entah berapa lama aku ketiduran, bahkan keadaan kamar kini begitu gelap.Gegas aku turun dari ranjang dan meraba-raba saklar lampu, setelah ketemu segera kutekan hingga ruangan kini berubah terang.Otakku terus menebak-nebak kiranya siapa yang sedang berurusan dengan polisi di luar sana.Namun, refleks aku hampir saja menjerit saat kusadar bahwa kini aku tak memakai pakaian barang sehelaipun.Suara tawa tiba-tiba saja terdengar dari arah kamar mandi, gegas aku berlari menuju tempat tidur dan meraih selimut untuk menutupi tubuh.Arsen muncul dari balik pintu dengan seringai yang menakutkan, sebuah ponsel yang tak lain adalah milikku sedang ia mainkan dengan sebelah tangannya."Tetap disini dan jadilah wanita penurut, jika kamu tak mau mempermalukan dirimu sendiri!" ucapnya seraya mendekat.Kutepis tangannya yang tiba-tiba saja memegang daguku, sebuah senyum sinis ia sunggingkan
"Arggh! Ibu ini kenapa sih?" protes Arsen seraya melonggarkan kungkungannya."Kita harus segera pergi dari sini sebelum lebih banyak lagi orang yang ikut campur. Ingat itu!" sentak Bu Hanum dengan raut kesal di wajahnya."Iya, iya, iya!" Arsen bangkit dan menghampiri Bu Hanum, sedangkan wanita itu sendiri malah memalingkan wajahnya dan terlihat geli pada Arsen yang melenggang dengan santai tanpa sehelai benang."Tunggu setengah jam saja!" bisik Arsen seraya tersenyum kemudian menutup pintu dan menguncinya."Dasar keras kepala!" umpat Bu Hanum disusul langkahnya yang terdengar kian menjauh."Apa kamu mau merasakan surga dunia, Ze?" tanya Arsen seraya kembali mengunci pintu.Aku menggeleng cepat seraya mempererat pelukan tanganku pada kedua lutut. Saat ini duduk seraya memeluk lutut adalah satu satunya hal yang bisa kulakukan untuk menutupi diri ini.Malu, marah, sedih dan kesal juga takut kini bercampur dalam hatiku. Aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi
Perjalanan yang kami lalu terasa amat membosankan karena tak ada satupun yang bersuara diantara kami bertiga.Malam pun semakin larut hingga aku tak lagi mampu menahan kantuk.Entah berapa lama aku terlelap, hingga kurasakan sebuah tepukan pelan dipipiku, akupun mengerjapkan mata dan menguap beberapa kali karena rasa kantuk yang belum terobati. Rasanya baru saja mata ini terpejam namun aku sudah dibangunkan. Apa mungkin ini sudah sampai? Apa mungkin malam ini juga aku akan dijual? Batinku terus bertanya."Ayo cepat turun!" sentak Arsen seraya menarik tanganku."Arsen, kumohon ... jangan jual aku. Apapun syaratnya aku bersedia lakukan asal kamu mau melepaskan ku," ucapku mengiba."Cih! Kamu pikir aku sudi mempertahankan wanita kampung kaya kamu? Kalau laku, ya lebih baik kujual 'kan?" decihnya kemudian tersenyum miring."Arsen, apapun alasannya, apapun tujuannya, intinya kamu sudah menikahiku secara sah meski kita hanya menikah siri. Tapi, itu tandanya kamu sudah berjanji dihadapan
Malam begitu cepat berlalu.Dengan susah payah aku bangun dan bergegas untuk membersihkan diri. Seluruh tubuhku rasanya sakit semua."Apa ini karena ulah Arsen tadi malam?""Tapi, jika itu penyebabnya, mengapa sebelumnya aku tak pernah merasakan hal yang sama? Bukankah tadi malam itu bukan yang pertama?"Tak hentinya aku bertanya meski kutau jawabannya harus kupikirkan sendiri hingga membuat kepalaku berdenyut nyeri.Tak hanya itu saja, sensasi mual seperti tempo hari kini kembali terasa.Aku segera menyudahi aktifitas ku saat rasa mual itu semakin menjadi.Pikirku, mungkin aku masuk angin karena kemarin terlalu lama tanpa busana dan setelahnya langsung melakukan perjalanan yang kurasa cukup jauh.Setelah selesai berpakaian, aku bergegas menuju dapur. Mungkin segelas air hangat bisa membuat rasa mualku sedikit berkurang."Apa?! Vitamin dan obat pereda nyeri?"Ku hentikan langkahku saat kudengar suara Bu Hanum yang tengah berdiri beberapa langkah di depanku. Sepertinya ia sedang berbic
Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggilku, seiring dengan terciumnya aroma minyak kayu putih.Perlahan aku membuka mata, samar kulihat seorang pria sedang duduk di sampingku."Arsen?" gumamku saat semuanya sudah terlihat jelas."Nah, sadar juga akhirnya! Ibu pikir kamu akan bernasib sama kaya bangkai tadi," celetuk Bu Hanum yang ternyata juga ada di ruangan ini."Kamu itu ternyata keras kepala, ya! Gak bisa diperingatkan dengan cara halus!" ketus Bu Hanum dengan tatapan marah."Pokoknya, mulai malam ini kamu akan dikurung di kamar ini!" sambungnya kemudian berlalu.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, ternyata ini memang bukanlah kamar yang tadi. Sontak aku membulatkan mata saat aku sadar ternyata aku ada di ruangan dengan pintu dobel itu."Arsen, aku cuma ingin cari udara segar dan tak ada niatan kabur sama sekali. Jadi tolong, jangan kurung aku disini," ucapku seraya memegang pergelangan tangannya."Kamu harap aku percaya?" tanyanya seraya mengangkat sebelah alisnya.Aku