"Padahal sudah jelas, aku telpon kamu untuk minta bantuan agar kamu menolong Fara. Tapi, nyatanya kamu juga turut menyakitinya!" kesalku seraya memalingkan wajah.
"Ya aku terpaksa! Aku cuma gak mau kamu disentuh oleh Pak Seno. Memangnya, kamu mau apa?" ucap Arsen."Kamu kan laki-laki! Kenapa gak kamu aja yang nolong aku?!" ketusku."Justru karena aku laki-laki! Mana mau Pak Seno sama aku," celetuknya seraya mengulum senyum."Arsen gak lucu! Maksudku bukan kamu yang gantiin posisi aku! Memangnya kamu gak bisa apa lawan dia? Lagian dia udah tua juga, pasti gak akan sulit untuk mengalahkannya," cerocosku."Sudahlah Ze! Gak usah dibahas lagi, kamu gak akan mengerti!" tukasnya."Iya, aku gak akan ngerti! Soalnya kamu juga gak pernah jelasin apa-apa!" ketusku.Arsen tak menjawab lagi. Ia malah menyandarkan punggungnya pada pohon dan terlihat kembali bersantai.Sedangkan aku sendiri terus menimbang dalam hati. Kiranya"Loh, kenapa dia bisa ikut sama kamu?"Bu Hanum langsung menghadang kami begitu aku dan Arsen masuk ke dalam rumah."Ceritanya panjang, Bu. Aku lelah, ini sudah hampir pagi sedang aku sama sekali belum tidur," sahut Arsen seraya menguap."Arsen, jangan coba-coba buat masalah!" tekan Bu Hanum dengan tatapan tajam."Ibu tenang aja! Pak Seno sendiri yang memintanya agar Zea kembali kesini," jelas Arsen kemudian berlalu menuju kamarnya.Aku tersenyum seraya mengulurkan tanganku pada Bu Hanum. Namun, hingga sepersekian detik tak ada juga sambutan darinya.Akhirnya aku langsung meraih tangan Bu Hanum dan menciumnya dengan takjim."Ibu apa kabar? Aku senang bisa kembali ke keluarga ini," ucapku."Gak usah basa-basi! Udah sana masuk!" sahut Bu Hanum ketus.Aku hanya mengangguk kemudian menyusul Arsen ke kamar.Kulihat Arsen nampak sudah tertidur pulas.Jika diamati, tak ada sedikitpun raut jah
Setelah kekacauan yang terjadi saat masak memasak. Akhirnya kini menu sarapan kami hanya nasi goreng telur ceplok saja. Karena didalam kulkas hanya tinggal tersisa telur.Aku dan Arsen beberapa kali saling mencuri pandang ke arah Bu Hanum yang sepertinya masih kesal dengan kejadian tadi.Setelah saling memberi kode, akhirnya aku memulai pembicaraan."Ibu masih marah?" tanyaku pelan.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia kemudian menggeleng pelan."Kalau gitu, kenapa ibu diam aja?" tanyaku hati-hati."Gak papa! Cuma lagi bad mood aja!" sahutnya.Aku dan Arsen hanya saling melempar pandang, sedangkan Bu Hanum nampak tergesa menghabiskan sisa makanannya."Ibu udah selesai! Nanti piring kotornya kamu cuci, ya Ze!" ucap Bu Hanum."Iya Bu. Nanti biar aku yang beresin semuanya," sahutku kemudian tersenyum."Arsen, kira-kira ibu kenapa sih? Masa cuma gara-gara masakannya gosong dan sayuran yang terbuang dia
Aku menghela nafas cukup dalam. Mencoba untuk menerka maksud dari pembicaraan mereka tentang ayah Arsen."Apa mungkin Arsen membunuh ayahnya sendiri?" gumamku.Sedetik kemudian aku menggeleng dengan cepat.Tapi rasanya tidak mungkin!Sejahat apapun seorang ayah, mana mungkin ada anak yang tega membunuh ayah kandungnya sendiri.Tap! Tap! Tap!Suara langkah kaki diluar sana membuatku panik. Aku celingukan ke kanan dan kiri mencari tempat persembunyian yang aman. Namun, tak ada satupun tempat yang bisa menyembunyikan tubuhku. Hal itu membuatku semakin kalang kabut, apalagi saat kudengar suara langkah kaki itu makin mendekat.Kurasa, mungkin itu Bu Hanum yang akan masuk ke kamarnya.Ceklek!Pintu terbuka bersamaan dengan munculnya sosok Bu Hanum. Ia nampak terkejut saat melihatku, begitupun sebaliknya. Namun, aku tetap berusaha tenang dengan memberikan senyum termanis ku padanya."Kamu ngapain disi
"Ikut ibu!" seru Bu Hanum seraya menarik tangan Arsen.Jika dilihat dari mimik wajahnya, nampaknya Bu Hanum marah besar. Wajah merah padam dengan tangan yang nampak bergetar cukup untuk menandakan bahwa Bu Hanum sedang memendam kemarahan yang siap untuk meledak.Aku hanya bisa berdoa, berharap semoga tak terjadi perang antara ibu dan anak.****Dua hari berlalu.Setelah Bu Hanum memergoki percakapan antara aku dan Arsen pagi itu. Bu Hanum jadi jarang bicara. Sepertinya dia memang benar-benar marah pada Arsen. Imbasnya, Arsen juga jadi murung.Padahal, rasanya baru sebentar aku bisa melihat Arsen dengan sikapnya yang hangat dan bersahabat.Kini, aku harus kembali melihat Arsen yang dingin. Lebih dingin daripada saat ia berpura-pura idiot.Seperti hari ini.Arsen pulang lebih awal dari Bu Hanum, namun ia malah memilih untuk menyendiri di halaman belakang. Tak seperti biasanya yang sering memanfaatkan kead
Setelah kejadian kemarin, sikap Arsen kembali seperti semula. Mungkin dia juga sedikit lega karena sudah menceritakan tentang perasaannya.Masalahnya kini tinggal Bu Hanum saja. Tapi sayang, ia lebih jarang berada di rumah hingga aku tak punya banyak waktu untuk berbicara dengannya.Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana Arsen biasa menghabiskan waktu luang di rumah saja. Sejak Bu Hanum berangkat, Arsen langsungturun tangan dan membantuku melakukan pekerjaan rumah. Meski kebanyakan dia hanya merecoki saja.Seperti pada saat aku hendak mencuci pakaian. Arsen malah berulah."Ze, lihat deh! Cocok gak?" serunya seraya membeberkan B-H kotorku didadanya."Ish Arsen apa-apaan sih? Geli tau lihatnya! Apa gak sekalian aja kamu pakai tangtop dan rok mininya?" ucapku seraya tertawa melihat tingkah konyolnya."Sebenarnya aku cuma kangen aja sih, sama benda ini. Memangnya kenapa?" tanyanya sembari cengengesan."Apaan sih? Yaud
"Tapi ini sakit banget! Kamu tega sama aku? Kamu gak mikirin anak kita?" cercaku.Arsen tak menjawab, ia mengambil beberapa kain dari dalam lemari lalu dengan cekatan mengganti handuk yang kini sudah dipenuhi oleh darah."Ya ampun, Arsen! Zea kenapa?" tanya Bu Hanum yang baru saja datang."Zea jatuh, Bu! Ayo, bantu aku!" ucap Arsen seraya mengangkat tubuhku.Aku sudah tak mampu bicara lagi, tubuhku rasanya lemas seiring dengan rasa sakit yang semakin menjadi.Aku hanya bisa bertanya dalam hati saat Arsen malah membawaku ke kamar sebelah. Kamar sempit dengan pintu yang didobel oleh jeruji besi.Kupejamkan mataku setiap rasa sakit itu muncul. Aku tak habis pikir kenapa Arsen bisa setega ini padaku dan membiarkanku kesakitan tanpa mau membawaku ke rumah sakit."Arsen cepat! Jika terus begini, Zea bisa kehilangan banyak darah!"Samar kudengar suara Bu Hanum disusul dengan suara bising seperti sedang mencari sesuatu.
Hari telah berganti. Namun, aku masih belum bisa menerima kenyataan.Tak hanya menyalahkan diri sendiri. Entah mengapa aku juga jadi kesal pada Arsen. Sudah beberapa hari ini aku tidak banyak bicara padanya. Begitupun pada Bu Hanum.Rumah terasa sepi meskipun kami bertiga sedang berkumpul. Rasa kehilangan yang mendalam membuatku jadi tidak bisa berpikir dengan jernih, aku menyalahkan diri sendiri dan juga menyalahkan orang lain. Bahkan Bu Hanum yang tidak tau apa-apa pun terkena imbasnya.Meski begitu, sikap Arsen padaku tetaplah baik. Bahkan Bu Hanum juga mulai menunjukan rasa pedulinya padaku.Ditengah masa pemulihan ku, Bu Hanum dengan sabar dan telaten mengurus segala kebutuhanku. Bahkan hari ini, Bu Hanum tidak keluar rumah sama sekali. Sempat terdengar ia membatalkan janjinya pada beberapa orang via telepon.Harusnya aku bersyukur, karena harapanku pada sikap Bu Hanum perlahan sudah mulai terwujud. Namun entah mengapa aku merasa mas
Aku menghampiri mereka seraya berdehem, membuat mereka terlihat terkejut dengan kehadiranku. Namun, detik berikutnya Bu Hanum dan Arsen langsung menghampiriku."Kenapa kamu gak bilang kalau mau keluar kamar? Padahal aku bisa bantu kamu. Menaiki tangga sendiri dengan kondisi kamu yang masih seperti ini, itu bahaya," omel Arsen seraya membantuku duduk."Tapi nyatanya aku gak papa 'kan?" sahutku."Kamu lapar, Ze?" tanya Bu Hanum."Enggak, Bu. Aku hanya tidak bisa tidur saja," sahutku."Ya sudah, malam ini kita tidur di kamar biasa, ya!" ajak Arsen.Tok! Tok! Tok!Kami bertiga langsung saling melempar pandang saat terdengar seseorang yang mengetuk pintu di depan sana.Kiranya, siapa yang bertamu malam-malam seperti ini?Apalagi, ini ditengah hutan!Setauku baru Pak Seno saja yang pernah berkunjung kesini.Ah, apa mungkin itu juga Pak Seno?Aku mulai khawatir."Biar aku ya