Pergi liburan dengan penuh tawa sedangkan pulang dengan menekuk muka.Ya, entah kenapa perasaanku jadi sangat sensitif. Masalah Arsen yang kemarin mengintip akun sosial medianya Keyla masih membuatku kesal dan enggan bicara padanya.Beberapa kali Arsen terus menjelaskan, beberapa kali juga ia meminta maaf dan mencoba untuk meluluhkan rasa marahku, namun ... aku tetap saja marah padanya."Sayang, jangan diem gini terus, dong! Malu sama ibu, masa pulang honeymoon malah diem-dieman gini!" ucap Arsen begitu kami tiba di bandara."Tau, ah! Aku lagi bad mood!" sahutku singkat."Eh, eh, itu, awaaas!"Brukk!Aku meringis saat jatuh tersungkur karena ulah Arsen. Entah apa yang membuatnya begitu terlihat panik dan berlari sampai-sampai ia menyenggolku.Kekesalanku padanya kini semakin bertambah. Apalagi saat Arsen mengabaikan ku dan membiarkan aku bangun sendiri."Arseen?!" teriakku geram.Kususul langkahnya yang begitu cepat dan ternyata ... Hap!Arsen menyelamatkan seorang wanita yang hampir
"Alhamdulillah, kalian sudah pulang!" seru Bu Hanum menyambut kedatangan kami.Aku langsung memeluk beliau untuk menumpahkan rasa rindu. Sedangkan Arsen juga ikut nimbrung seraya bercanda. Aku yang memang masih kesal padanya langsung menepisnya dengan kasar lalu menggandeng tangan Bu Hanum menuju dapur. Membiarkan Arsen melongo sendiri di ambang pintu."Kamu, kok?"Bu Hanum nampak bingung dengan sikapku pada Arsen. Namun, aku enggan untuk menjelaskan dan malah mengalihkan pembicaraan dengan memuji aneka makanan yang tersaji."Iya, iya! Gak usah berlebihan gitu, ah! Gimana liburannya? Seru gak?" Bu Hanum malah kembali mengalihkan pembicaraan."Seru dong, Bu! Padahal kami masih betah, sebenarnya ingin menambah waktu barang dua atau tiga hari lagi. Cuma, gara-gara Bang Gavin yang katanya mau nikah, kita jadi pulang deh!" timpal Arsen.Aku hanya meliriknya dengan sinis saat Arsen berbicara seraya menggodaku."Oh, gitu ...," gumam Bu Hanum pelan. Sesekali ia menatapku dan Arsen secara ber
"Astaga, Arsen?!" pekikku begitu aku masuk kamar.Kepalaku seketika terasa panas saat melihat kondisi kamar yang berantakan.Handuk basah tergeletak di atas kasur, baju dan celana kotor berceceran di lantai, sedangkan Arsen sendiri nampak sedang membongkar koper tanpa langsung memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Sepertinya ia memang sedang mencari sesuatu."Iya sayang ... kenapa?" tanyanya seraya tersenyum manja."Kamu ngapain sih, berantakin kamar? Kayak anak kecil aja tau gak sih?!" omelku seraya memungut satu persatu baju kotor yang ia biarkan begitu saja."Maaf, Ze! Aku lagi cari celana dalam. Kemarin kamu taro dimana sih?" ucapnya tanpa menoleh padaku. Kali ini Arsen nampak fokus mengacak-acak isi kopernya.Entah kenapa, melihat hal itu emosiku begitu memuncak. Sebagai seorang istri aku merasa tak dihargai. Aku membereskan pakaiannya ke dalam koper dengan sangat rapih, tapi dia malah mengacak-acak nya begitu saja. Apalagi saat ini aku juga sedang mencoba untuk membereskan kama
"Sejak kapan Zea berubah?"Samar kudengar suara Bu Hanum bertanya. Suaranya sangat pelan bahkan terkesan seperti berbisik."Kalau gak salah, antara dua atau tiga hari kebelakang, deh Bu," sahut Arsen singkat.Aku yang merasa tak cukup hanya dengan menguping pembicaraan merekapun langsung mengintip. Kebetulan, posisi Arsen dan Bu Hanum yang sedang duduk di sofa itu membelakangiku. Jadi, aku bisa lebih leluasa melihat mereka berdua."Tadi, Zea juga mengomentari pekerjaan ibu. Ia protes soal piring yang dia anggap masih berdebu, katanya ... harusnya ibu lap itu piring meskipun gak dipakai," tutur Bu Hanum.Aku merengut mendengar hal itu. Kupikir, seharusnya Bu Hanum tak usah mengadukannya pada Arsen. Atau, apa mungkin Bu Hanum tersinggung dengan ucapanku?Padahal, selama ini aku juga gak pernah mengkritik apapun padanya. Semuanya selalu kulakukan sendiri jika ada sesuatu yang menurutku kurang. Hanya saja, untuk saat ini aku memang sedang lelah, apa salah jika aku berkomentar?"Apa? Zea
Klek!Kuputar anak kunci dan membuka pintu secara perlahan. Senyum Arsen menjadi hal pertama yang kulihat begitu pintu terbuka."Udah ya, jangan ngambek lagi! Yuk, kita bobo!" ucap Arsen seraya meraih tanganku. Sepertinya kali ini ia sudah tidak marah lagi.Tok! Tok! Tok!"Pakeet!"Aku kembali menarik tangan dari genggamannya dan segera berhambur ke pintu utama saat mendengar suara diluar sana."Dengan Mbak Alifa Zea Amanda?" tanya kurir tersebut begitu aku membuka pintu."Iya, benar mas!" sahutku cepat. Aku segera mengambil paketnya dan langsung membayarnya secara cash. Rasanya aku begitu tak sabar untuk segera mencoba alat tersebut."Ze, kamu pesen apa malam-malam gini?" tanya Arsen yang baru saja menyusulku keluar."Ada, lah pokoknya!" sahutku singkat kemudian bergegas kembali kedalam.Aku menoleh saat ternyata Arsen membuntuti aku dari belakang. Saat hendak masuk ke kamar mandi, Arsen bahkan juga terlihat ingin ikut."Kamu mau ikut ke kamar mandi juga?" ketusku seraya memberinya
"Hai! Akhirnya kalian pulang juga!" seru Bang Gavin begitu kami membuka pintu.Pagi-pagi buta, aku, Arsen dan juga Bu Hanum sudah terbangun gara-gara bel yang terus berbunyi. Nyatanya, Bang Gavin sudah bertamu sepagi ini."Arggh ... loe ngapain sih, bertamu pagi-pagi buta gini? Ganggu orang aja! Masih ngantuk, tau!" celetuk Arsen membuatnya langsung mendapat cubitan dari Bu Hanum."Eh, berisik, loe! Gue mau ketemu Zea! Ada yang mau gue omongin!" ketus Bang Gavin seraya nyelonong masuk."Apa? Gak boleh! Ini masih terlalu pagi! Jangan bahas hal-hal berat dulu!" ucap Arsen."Apaan sih? Gak usah aneh-aneh deh, orang Bang Gavin mau ngomong, kok gak boleh?!" kesalku seraya menatap sinis padanya."Tuh, denger! Zea aja mau!" ledek Bang Gavin.Sedangkan, di samping itu, Bu Hanum malah pergi meninggalkan kami. Mungkin dia enggan melihat kami yang terus adu mulut setiap kali bertemu."Enggak boleh! Masalahnya, Zea lagi hamil muda. Dia gak boleh terlalu capek atau stres dulu!" ucap Arsen membuat
"Saya terima nikahnya Alifa Zea Amanda bin Syaron Wardana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Deg!"Kenapa pria ini mampu mengucapkan kalimat tersebut dengan lancar?" batinku tak percaya kala mendengar ikrar suci tersebut. Dadaku tiba-tiba saja terasa sesak dan penuh dengan rasa kekesalan dan kekecewaan.Biar bagaimanapun, aku telah lama menantikan momen sakral ini. Namun sayangnya, bukan dengan pria yang kini duduk di sampingku."Horee ...! Arsen akhirnya punya istri!"Tiba-tiba saja, ia bersorak seraya bangkit dari duduknya. Melompat-lompat bak anak kecil yang senang karena dapat permen. Kontan saja hal itu menambah rasa ilfill-ku padanya. Untungnya, Bu Hanum yang kini telah menjadi mertuaku itu, langsung menghampiri anak semata wayangnya dan membujuk Arsen untuk kembali duduk dan mengaminkan doa yang belum selesai dibacakan."Arsen duduk dulu, ya! Aminkan doanya, supaya pernikahan kalian diberkahi oleh Allah," bisiknya.Pria yang memiliki nama lengkap Arsenio Cleosa Raymo
Aku mengerjapkan mata, lalu berjalan menghampiri Arsen."Apa kamu bilang? Pakein?" tanyaku memastikan."Iya, biasanya ibu yang melakukannya. Tapi, ibu bilang sekarang tugasnya digantiin sama kamu," sahutnya."Em, ta-tapi–""Oh, iya. Aku juga belum mandi, biasanya ibu yang mandiin," ucapnya menghentikan kalimatku, “jadi, kamu bisa bantu aku, kan?”"A-apa?" Lagi-lagi aku dibuat kaget dengan ucapannya. "Seberat inikah tugas seorang istri di malam pertama?" batinku lirih."Aku belum mandi dan udah gerah sekali. Biasanya, ibu yang mandiin." "Iya, aku udah denger," sahutku mulai frustasi."Loh, kan tadi kan kamu nanya, makanya aku jawab," tuturnya seraya mengadu-adukan kedua jari telunjuknya.Aku menghela nafas, lalu mencoba untuk tersenyum padanya."Arsen, emang kamu gak bisa mandi sendiri?" tanyaku seraya menatapnya dari atas hingga bawah. Namun, pria itu hanya menggeleng dengan tampang polosnya. Sontak, aku mengusap wajahku perlahan. Ucapan dan tingkah Arsen memang seperti anak keci