Beranda / Rumah Tangga / Suami Janda Paling Setia / BAB 8. PELUKAN DI PINGGANG

Share

BAB 8. PELUKAN DI PINGGANG

Penulis: Viala La
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-03 11:52:45

Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.

Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki.

"Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.

Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti.

"Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku.

Sebelum menikah aku dan dia hanya PDKT ala kadarnya, kami baru beberapa kali berboncengan berdua. Tidak seperti anak muda pada umumnya yang menjalani siklus pacaran. Walaupun begitu kami juga tidak bisa dikatakan ta'aruf. Entahlah yang jelas kami sudah berjodoh.

Kinanti melingkarkan tangan di pinggangku, lalu ditariknya kembali. Aku rasa ia malu, karena ada kedua anaknya di depan.

"Kenapa?" tanyaku sambil melihat pantulan wajahnya di sepion.

"Malu, Bang!" jawabnya singkat.

Berarti dugaanku benar. Aku berpikir apa yang membuatnya malu, aku suami sahnya, cuma berpegangan saja tidak akan berdosa. Semalam tidur di lenganku sangat nyenyak, sekarang pegangan di pinggangku dibilangnya malu.

Aku jadi ingin menggodanya, "Awas kalau nanti peluk Abang," sungutku dengan wajah cemberut. Sepertinya ia tidak peduli.

Aku langsung memblayer motorku, Kinanti berteriak dan refleks memegang pundakku. Ia seperti berpegangan pada tukang ojek saja. "Ini menyebalkan," gerutuku yang dapat di dengar olehnya.

"Kenapa, Bang?" tanyanya, ia mungkin tidak mengira aku sengaja, karena kebetulan ada lubang yang aku hindari. Aku mencoba sekali lagi memblayer motorku, dengan sigap aku langsung menangkap dan mengarahkan tangannya agar berpegangan di pinggangku. Aku berhasil membuatnya memelukku.

Kinanti akhirnya mengerti, ia tidak lagi melepaskan pelukan tangannya di pinggangku. Waktu dua jam terasa sangat cepat, sekarang kami sudah sampai di rumah peninggalan mantan suami Kinanti. Aku membayar sejumlah uang pada tukang ojek dan ia pun berlalu.

Baru membuka gerbang, Mixi dan Yura berhenti di depan gerbang yang telah di buka Kinanti itu. "Kalian kenapa? Tidak mau masuk?" tanya Kinanti pada anak-anaknya.

"Bu, kami pengen ayam goreng!" Mixi menyampaikan keinginannya. Di bantu dengan anggukan Yura. Mereka begitu kompak.

Aku juga merasa lapar, tapi jika masak ayam goreng dulu baru makan, sakit maghku bisa kambuh.

Kinanti memandangku, mungkin ia ingin menyampaikan sesuatu. Tatapannya seperti minta tolong. Biar aku tebak pasti tidak ada ayam di rumah.

"Kita beli sarapan dulu ya! Makan siang nanti, baru makan ayam goreng!" saranku pada mereka.

Aku senang Kinanti menatapku seperti itu, seperti ia membutuhkan aku. Apa pun akan aku lakukan untuk Kinantiku.

"Nah ... Ayah benar! Ibu belikan bubur ayam dulu ya buat kalian! Nanti siang ibu akan masak ayam goreng yang banyak," imbuh Kinanti menjanjikan menu ayam goreng pada mereka untuk makan siang nanti.

"Baik, Ibu! Siang nanti kami akan makan yang banyak!" Kedua anak itu terlihat bahagia sekali. Aku jadi berpikir apa Kinanti jarang membelikan mereka ayam, hingga di rumah ibu tadi mereka bahkan nekat mencuri ayam goreng saat ibu sedang lengah.

"Bang, aku ke sana sebentar ya!" pamitnya padaku.

Apa ini? cobalah lihat. Padahal aku masih di atas motor, tapi ia memilih berjalan kaki. Sebegitu mandirinya ia selama ini, butuh waktu bagi Kinanti untuk merubah kebiasaan kecil seperti ini. Aku harus memberitahunya lagi, jika sekarang ia harus melibatkan aku.

"Kamu tidak lihat? Abang masih di atas motor?" sarkasku, "sudah Abang bilang, kau punya sandaran sekarang, libatkanlah Abang dalam setiap ke adaan."

"Iya, maksudku. Abang bisa antar aku ke depan?" Ia meralat ucapannya tadi.

"Ayo, naik, Sayang!" ajakku dengan lembut. Aku tidak ingin ia takut padaku.

Kinanti tersenyum dan bergegas naik ke boncengan motor. Anak-anak sudah masuk ke dalam rumah. Aku pun melajukan motor dengan pelan. Sampai di dekat penjual bubur ayam, kami langsung disambut ucapan selamat dari beberapa pembeli di situ. Aku memang sudah kenal dengan warga di sini, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengan mereka.

"Eihh .. ada pengantin baru. Selamat ya buat kalian! Maaf ya, FA, Nti, kami tidak bisa datang, kampungmu lumayan jauh!" ujar ibu penjual bubur ayam.

Aku memakhlumi ketidak hadiran mereka, dari kampung sini hanya Mang Ardhan serta keluarganya yang datang. Itu tidak masalah, karena mereka juga tidak punya mobil. Naik motor pun berbahaya bagi ibu dan anak-anak.

"Tidak apa-apa kok, Bu!" sahut Kinanti. "Bubur ayamnya empat ya, Bu!"

Ibu penjual bubur ayam langsung mengambilkan pesanan kami. Aku masih duduk di atas motor sambil menunggu. Tak lama seorang pria yang baru datang dari arah kiri mendekati Kinanti. Aku rasa Bang Panji tidak menyadari aku ada di sini.

"Eh ... ada Neng Kinan. Sendiri, Neng? Suami mudanya kemana? Nggak mau ikut ke sini ya? Ganti sama Abang aja!" selorohnya dengan tak tahu malu.

Aku bergegas turun dari motor, enak saja bicara seperti itu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak sainganku mendapatkan hati Kinanti kemarin. Setelah aku dan Kinanti resmi menikah, mengapa dia masih berani? Aku segera turun dari motor.

"Apa, Bang? Coba ulangi!" tantangku begitu aku sampai di dekatnya. Aku memanggilnya dengan sebutan Abang karena ia lebih tua beberapa tahun dariku.

Pria itu diam seribu bahasa, wajahnya seperti memendam amarah. Aku rasa ia juga enggan mencari keributan denganku di saat suasana sedang seperti ini. Pria itu memilih melangkah menjauh dan tidak jadi membeli sarapan. Beberapa pasang mata mengamati kami mungkin sedang menunggu adegan baku hantam.

"Sudah! Duduk dulu, Bang!" Kinanti menenangkanku. Aku masih melihat punggung pria itu sampai menghilang dari pandangan. Hampir saja aku memukul pria tak tahu malu itu, berani sekali menawarkan diri pada bunga yang sudah bertuan.

Beberapa saat, pesanan Kinanti sudah selesai. Aku membayar uang dua puluh ribu pada ibu penjual.

Kami menaiki motor kembali hendak pulang ke rumah. Aku diam dengan wajah jutekku.

"Abang, marah?" tegur Kinanti. Ia memeluk pinggangku seperti yang tadi aku ajarkan di jalan saat pulang dari rumah ibu.

Aku masih diam beberapa saat.

"Bang!" tegurnya lagi, kali ini terdengar lebih keras.

"Kamu jangan pernah dekat lagi dengan Bang Panji. Kalau dia datang kamu harus langsung pergi!" geramku pada perangai Bang Panji, malah Kinanti yang jadi sasaran kecemburuanku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
aku cemburu ...
goodnovel comment avatar
Roro Halus
aduhhh aku yang melting ini lo, hihihi bunga yang sudah bertuan, tuannya marah...
goodnovel comment avatar
Saraswati_5
cemburu banget ya si alfa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 106. TAMAT

    Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 105. SEBUAH KEBENARAN

    Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 104. PERNIKAHAN MIXI

    "Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 103. TERTANGKAP BASAH

    Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 102. KARET PENGAMAN

    Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 101. LIMA TAHUN BERLALU

    Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 100. RUMAH KARDUS

    "Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 99. PERTEMUAN HARU

    Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa

  • Suami Janda Paling Setia   BAB 98. KEHEBOHAN DI SORE HARI

    "Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status