Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.
Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki."Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti."Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku.Sebelum menikah aku dan dia hanya PDKT ala kadarnya, kami baru beberapa kali berboncengan berdua. Tidak seperti anak muda pada umumnya yang menjalani siklus pacaran. Walaupun begitu kami juga tidak bisa dikatakan ta'aruf. Entahlah yang jelas kami sudah berjodoh.Kinanti melingkarkan tangan di pinggangku, lalu ditariknya kembali. Aku rasa ia malu, karena ada kedua anaknya di depan."Kenapa?" tanyaku sambil melihat pantulan wajahnya di sepion."Malu, Bang!" jawabnya singkat.Berarti dugaanku benar. Aku berpikir apa yang membuatnya malu, aku suami sahnya, cuma berpegangan saja tidak akan berdosa. Semalam tidur di lenganku sangat nyenyak, sekarang pegangan di pinggangku dibilangnya malu.Aku jadi ingin menggodanya, "Awas kalau nanti peluk Abang," sungutku dengan wajah cemberut. Sepertinya ia tidak peduli.Aku langsung memblayer motorku, Kinanti berteriak dan refleks memegang pundakku. Ia seperti berpegangan pada tukang ojek saja. "Ini menyebalkan," gerutuku yang dapat di dengar olehnya."Kenapa, Bang?" tanyanya, ia mungkin tidak mengira aku sengaja, karena kebetulan ada lubang yang aku hindari. Aku mencoba sekali lagi memblayer motorku, dengan sigap aku langsung menangkap dan mengarahkan tangannya agar berpegangan di pinggangku. Aku berhasil membuatnya memelukku.Kinanti akhirnya mengerti, ia tidak lagi melepaskan pelukan tangannya di pinggangku. Waktu dua jam terasa sangat cepat, sekarang kami sudah sampai di rumah peninggalan mantan suami Kinanti. Aku membayar sejumlah uang pada tukang ojek dan ia pun berlalu.Baru membuka gerbang, Mixi dan Yura berhenti di depan gerbang yang telah di buka Kinanti itu. "Kalian kenapa? Tidak mau masuk?" tanya Kinanti pada anak-anaknya."Bu, kami pengen ayam goreng!" Mixi menyampaikan keinginannya. Di bantu dengan anggukan Yura. Mereka begitu kompak.Aku juga merasa lapar, tapi jika masak ayam goreng dulu baru makan, sakit maghku bisa kambuh.Kinanti memandangku, mungkin ia ingin menyampaikan sesuatu. Tatapannya seperti minta tolong. Biar aku tebak pasti tidak ada ayam di rumah."Kita beli sarapan dulu ya! Makan siang nanti, baru makan ayam goreng!" saranku pada mereka.Aku senang Kinanti menatapku seperti itu, seperti ia membutuhkan aku. Apa pun akan aku lakukan untuk Kinantiku."Nah ... Ayah benar! Ibu belikan bubur ayam dulu ya buat kalian! Nanti siang ibu akan masak ayam goreng yang banyak," imbuh Kinanti menjanjikan menu ayam goreng pada mereka untuk makan siang nanti."Baik, Ibu! Siang nanti kami akan makan yang banyak!" Kedua anak itu terlihat bahagia sekali. Aku jadi berpikir apa Kinanti jarang membelikan mereka ayam, hingga di rumah ibu tadi mereka bahkan nekat mencuri ayam goreng saat ibu sedang lengah."Bang, aku ke sana sebentar ya!" pamitnya padaku.Apa ini? cobalah lihat. Padahal aku masih di atas motor, tapi ia memilih berjalan kaki. Sebegitu mandirinya ia selama ini, butuh waktu bagi Kinanti untuk merubah kebiasaan kecil seperti ini. Aku harus memberitahunya lagi, jika sekarang ia harus melibatkan aku."Kamu tidak lihat? Abang masih di atas motor?" sarkasku, "sudah Abang bilang, kau punya sandaran sekarang, libatkanlah Abang dalam setiap ke adaan.""Iya, maksudku. Abang bisa antar aku ke depan?" Ia meralat ucapannya tadi."Ayo, naik, Sayang!" ajakku dengan lembut. Aku tidak ingin ia takut padaku.Kinanti tersenyum dan bergegas naik ke boncengan motor. Anak-anak sudah masuk ke dalam rumah. Aku pun melajukan motor dengan pelan. Sampai di dekat penjual bubur ayam, kami langsung disambut ucapan selamat dari beberapa pembeli di situ. Aku memang sudah kenal dengan warga di sini, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengan mereka."Eihh .. ada pengantin baru. Selamat ya buat kalian! Maaf ya, FA, Nti, kami tidak bisa datang, kampungmu lumayan jauh!" ujar ibu penjual bubur ayam.Aku memakhlumi ketidak hadiran mereka, dari kampung sini hanya Mang Ardhan serta keluarganya yang datang. Itu tidak masalah, karena mereka juga tidak punya mobil. Naik motor pun berbahaya bagi ibu dan anak-anak."Tidak apa-apa kok, Bu!" sahut Kinanti. "Bubur ayamnya empat ya, Bu!"Ibu penjual bubur ayam langsung mengambilkan pesanan kami. Aku masih duduk di atas motor sambil menunggu. Tak lama seorang pria yang baru datang dari arah kiri mendekati Kinanti. Aku rasa Bang Panji tidak menyadari aku ada di sini."Eh ... ada Neng Kinan. Sendiri, Neng? Suami mudanya kemana? Nggak mau ikut ke sini ya? Ganti sama Abang aja!" selorohnya dengan tak tahu malu.Aku bergegas turun dari motor, enak saja bicara seperti itu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak sainganku mendapatkan hati Kinanti kemarin. Setelah aku dan Kinanti resmi menikah, mengapa dia masih berani? Aku segera turun dari motor."Apa, Bang? Coba ulangi!" tantangku begitu aku sampai di dekatnya. Aku memanggilnya dengan sebutan Abang karena ia lebih tua beberapa tahun dariku.Pria itu diam seribu bahasa, wajahnya seperti memendam amarah. Aku rasa ia juga enggan mencari keributan denganku di saat suasana sedang seperti ini. Pria itu memilih melangkah menjauh dan tidak jadi membeli sarapan. Beberapa pasang mata mengamati kami mungkin sedang menunggu adegan baku hantam."Sudah! Duduk dulu, Bang!" Kinanti menenangkanku. Aku masih melihat punggung pria itu sampai menghilang dari pandangan. Hampir saja aku memukul pria tak tahu malu itu, berani sekali menawarkan diri pada bunga yang sudah bertuan.Beberapa saat, pesanan Kinanti sudah selesai. Aku membayar uang dua puluh ribu pada ibu penjual.Kami menaiki motor kembali hendak pulang ke rumah. Aku diam dengan wajah jutekku."Abang, marah?" tegur Kinanti. Ia memeluk pinggangku seperti yang tadi aku ajarkan di jalan saat pulang dari rumah ibu.Aku masih diam beberapa saat."Bang!" tegurnya lagi, kali ini terdengar lebih keras."Kamu jangan pernah dekat lagi dengan Bang Panji. Kalau dia datang kamu harus langsung pergi!" geramku pada perangai Bang Panji, malah Kinanti yang jadi sasaran kecemburuanku.Kami sampai di rumah, Kinanti menyiapkan piring untuk kami sarapan. Setelah sarapan, aku pamit mau ke bengkel Mang Ardhan untuk mengambil pakaianku. Selama ini aku tinggal di bengkel, aku dan Mang Ardhan selalu bekerja bersama."Yang, Abang ambil baju di bengkel ya," teriakku. Kinanti sudah berada di dapur setelah membereskan piring kami tadi. Mungkin ia mau bersih-bersih rumah dulu setelah ini, biarlah aku pergi sendiri, jaraknya juga tidak terlalu jauh."I-iya, Bang!" sahutnya yang juga berteriak.Aku mengendarai motor dengan pelan, di perjalanan aku ingin membeli rokok. Aku pun mengarahkan motor ke sebuah warung di pinggir jalan. Aku tadi tidak tahu di situ ada Bang Panji, andai aku tahu tak akan aku mampir di sini. Bang Panji terlihat sedang ngobrol dengan teman-temannya. Begitu aku turun dari motor, aku merasa mereka semua melihat sinis padaku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.Aku tidak ingin peduli dengan tatapan mereka, mungkin itu hanya perasaan aku saja. Ya sudah, aku
"Eh ... kalian sudah pulang? Ibu baru mau ke pasar beli ayam buat kalian!" sambut Kinanti dengan lembut. Sangat lembut ia bicara pada anak-anak, jiwa keibuannya begitu kental terlihat.Ia melirik ke arahku, aku mengalihkan pandangan. Kepalaku terasa berat saat sudah di ujung begini. Arghh ... ini bocah berdua menggangguku saja."Kalian tunggu di luar ya, Ibu membereskan ini dulu," sambung Kinanti sambil menunjuk kantong kresek yang tadi aku bawa. Ia meminta anaknya ke luar."Baik, Bu!" Mereka keluar begitu saja tanpa menyapaku, mungkin mereka dapat melihat wajahku yang sedang kesal."Jangan ganggu Ibu dulu ya!" teriaknya setelah Mixi dan Yura berlalu dari kamar.Kinanti melihatku kembali lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf ya, Bang! Biar aku kunci dulu pintunya."Ia pasti tahu hukumnya melayani suami. Hanya saja hasratku sudah hilang untuk saat ini. Aku menetralkan perasaanku, rasanya aku ingin marah pada dua bocah ajaib yang tiba-tiba datang mengganggu. Aku mulai kesal, tapi tetap aka
Lidahku kelu, aku tak kunjung menjawab. Pelayan muda itu kembali bicara padaku, "Silahkan lihat-lihat dulu, Mas!"Ada beberapa ibu-ibu, semua melihat ke arahku. Rasanya aku ingin mundur saja, tapi barang yang aku cari tersusun indah di patung bagian atas. Sedikit lagi aku akan mendapatkannya. Aku putuskan untuk menegakkan kepala berjalan santai mendekati patung, tidak aku hiraukan lagi tatapan aneh mereka."Mbak! Aku mau yang ungu sama merah!" putusku.Gadis itu pun langsung menurunkan patung dan melepasnya di depanku. Aku segera berbalik badan, seketika aku teringat dengan warna ungu. Entah mengapa warna ungu identik dengan status janda. Rasanya tidak pantas aku membelikan Kinanti warna ungu, nanti ia berpikiran lain."Mbak, yang ungu ganti warna lain aja," ucapku sambil terus berjalan ke kasir tanpa memastikan barang yang ia ganti.Aku menunggu beberapa saat pesanan ku selesai dibungkus."Berapa, Mbak?" Aku menerima kantong kresek dan mengeluarkan dompetku."Seratus enam puluh ribu,
Aku melotot, melihat Kinanti masih memakai pakaian yang tadi, sedangkan ia juga melotot dan langsung menyalakku, "Maksud Abang apa? Kenapa belinya warna ungu?"Aku spontan melihat ke tangannya, ia memegang dua buah pakaian dinas dengan warna ungu. Aku menepuk dahiku, merutuki kebodohan gadis yang membantuku di toko tadi. Tapi sudah terjadi, Kinanti sudah terlanjur melihatnya, aku harus membujuk wanitaku, jangan sampai malam ini gagal lagi.Aku segera berjalan ke arahnya. Kugenggam kedua tangan isteriku sambil duduk di lantai sedangkan ia duduk di atas ranjang. Aku pun coba meyakinnya, "Maaf, Sayang! Ini sebuah kesalahan! Tadi Abang pilih merah dan hitam."Ia masih melotot ke arahku, mungkin ia merasa aku sengaja membelikannya warna ungu, karena statusnya yang seorang janda. Padahal tadi aku sudah minta ganti sama penjualnya, eh ... malah di ganti jadi ungu semua. "Masih muda sudah budek," gerutuku dalam hati untuk gadis tadi."Yang merah dan hitam itu kreseknya, Bang! Nih lihat!" Ia m
"Sudah! Cepat kalian berwudhu, ini handuknya." Kinanti datang memotong pertanyaan Yura dengan membawakan mereka handuk.Aku pergi ke kamar terlebih dahulu, ini lebih baik dari pada anak-anak itu bertanya lagi. Sampai di kamar aku menunggu isteriku untuk sholat berjamaah. Sekitar lima belas menit ia datang sudah lengkap dengan mukena."Ibu, kok subuh sudah mandi? Apa nggak dingin?" godaku menirukan suara Yura."Iya, Bang! Dingin banget! Makanya aku langsung pakai mukena, supaya anak-anak tidak bertanya," ia mengaku.Kami pun sholat berjamaah, setelah selesai aku teringat dengan perkataan Mang Ardhan kemaren tentang gajiku. Aku harus mendiskusikannya dengan Kinanti.Aku menariknya agar bersandar di bahuku, lalu ku genggam tangannya yang masih dalam mukena."Yang! Gimana, ya, pekerjaan Abang di bengkel? Gaji segitu ... cukup nggak buat kebutuhan kita? Atau Abang cari pekerjaan lain aja?" Aku serius meminta pendapatnya."Cukup, Bang! Kalau kita pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan
Enam bulan berlalu, sekarang usaha laundry kami semakin berkembang."Alhamdulillah, ya, Sayang! Ibu-ibu sudah semakin malas nyeterika baju." Aku terkekeh sambil menyelipkan sejumlah uang untuk ditabung ke bank besok hari."Sudah berapa sih tabungan kita, Bang?" Ia menarik lembut buku tabung yang ada di tanganku untuk melihat nominalnya."Alhamdulillah sudah banyak," jawabku. Jujur saja tabungan kami sudah cukup untuk membeli lima ekor sapi bujang.Semenjak kami membuka usaha laundry, Kinanti tidak pernah lagi berjualan. Ia di rumah mengurus usaha laundry bersama seorang karyawan yang bernama Kak Emi. Mereka yang mengerjakan semuanya, aku yang bertugas antar jemput orderan.Biasanya orderan cukup aku bawa dengan motor matic biasa, sekarang aku sudah merubah motorku menjadi becak motor karena orderan sudah semakin banyak.Uang hasil usaha laundry kami tabung seutuhnya, sedangkan kebutuhan dapur aku penuhi dengan bekerja di bengkel, rasanya masih enggan meninggalkan Mang Ardhan. Seperti
Aku langsung menyambutnya, beruntung aku masih muda dan gerak refleksku berfungsi dengan baik. Sedetik saja aku terlambat isteriku akan mendarat di lantai. Seandainya itu terjadi aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan calon anakku.Ini pengalaman pertamaku menjaga ibu hamil, aku harus siap siaga. Aku sering baca di artikel dan juga lihat di YouTube tentang kehamilan. Ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil, aku tidak mau kehamilan isteriku bermasalah."Hati-hati, Sayang! Berarti benar kita harus nambah karyawan," putusku. Kali ini tidak ada protes lagi dari isteriku."Ya sudah, nanti ku tanya Kak Emi, mungkin dia punya teman yang mau bekerja di laundry kita." Kinanti tidak jadi pergi membuatkan aku teh, dia duduk kembali di atas ranjang.Kak Emi adalah satu-satunya karyawan kami saat ini. Dia lebih tua dari Kinanti, makanya kami memanggilnya dengan kak.Keesokan harinya aku bekerja seperti biasa, saat baru sampai di bengkel pesan singkat dari Kinanti masuk. [Bang, kita
"Halahh ... mentang-mentang sudah kaya, seenaknya kau siksa Siska!" Salah seorang tetangga bicara dengan keras. Dari nada suaranya saja aku tahu mereka benar-benar emosi. Masih banyak suara memojokkan lainnya yang dapat aku dengar. Aku mencoba menenangkan mereka bertiga sekarang."Tenang ya! Ada ayah," ucapku sambil terus memeluk mereka.Sore yang aku harapkan menjadi sore yang indah seperti biasa, berubah menjadi sore yang sungguh mencekam. Hati kepala keluarga mana yang tidak sakit melihat keluarganya dipojokkan di depan mata."Bang, Siska fitnah aku!" adunya padaku, Kinanti Terus mengusap air matanya.Siska mendekati kami, lalu bicara dengan lantang, "Mbak Kinanti cemburu padaku, ia berpikir aku akan merebut Mas Al! Tadi sore ia marah dan merendam tanganku ke air setrika uap. Ini buktinya."Gadis itu mengangkat tangannya yang sudah memerah. Pengakuannya terlihat sangat meyakinkan. Jika aku tidak mengenal isteriku, aku juga pasti percaya pada Siska. Begitu pun semua tetangga di sek