Share

BAB 8. PELUKAN DI PINGGANG

Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.

Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki.

"Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.

Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti.

"Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku.

Sebelum menikah aku dan dia hanya PDKT ala kadarnya, kami baru beberapa kali berboncengan berdua. Tidak seperti anak muda pada umumnya yang menjalani siklus pacaran. Walaupun begitu kami juga tidak bisa dikatakan ta'aruf. Entahlah yang jelas kami sudah berjodoh.

Kinanti melingkarkan tangan di pinggangku, lalu ditariknya kembali. Aku rasa ia malu, karena ada kedua anaknya di depan.

"Kenapa?" tanyaku sambil melihat pantulan wajahnya di sepion.

"Malu, Bang!" jawabnya singkat.

Berarti dugaanku benar. Aku berpikir apa yang membuatnya malu, aku suami sahnya, cuma berpegangan saja tidak akan berdosa. Semalam tidur di lenganku sangat nyenyak, sekarang pegangan di pinggangku dibilangnya malu.

Aku jadi ingin menggodanya, "Awas kalau nanti peluk Abang," sungutku dengan wajah cemberut. Sepertinya ia tidak peduli.

Aku langsung memblayer motorku, Kinanti berteriak dan refleks memegang pundakku. Ia seperti berpegangan pada tukang ojek saja. "Ini menyebalkan," gerutuku yang dapat di dengar olehnya.

"Kenapa, Bang?" tanyanya, ia mungkin tidak mengira aku sengaja, karena kebetulan ada lubang yang aku hindari. Aku mencoba sekali lagi memblayer motorku, dengan sigap aku langsung menangkap dan mengarahkan tangannya agar berpegangan di pinggangku. Aku berhasil membuatnya memelukku.

Kinanti akhirnya mengerti, ia tidak lagi melepaskan pelukan tangannya di pinggangku. Waktu dua jam terasa sangat cepat, sekarang kami sudah sampai di rumah peninggalan mantan suami Kinanti. Aku membayar sejumlah uang pada tukang ojek dan ia pun berlalu.

Baru membuka gerbang, Mixi dan Yura berhenti di depan gerbang yang telah di buka Kinanti itu. "Kalian kenapa? Tidak mau masuk?" tanya Kinanti pada anak-anaknya.

"Bu, kami pengen ayam goreng!" Mixi menyampaikan keinginannya. Di bantu dengan anggukan Yura. Mereka begitu kompak.

Aku juga merasa lapar, tapi jika masak ayam goreng dulu baru makan, sakit maghku bisa kambuh.

Kinanti memandangku, mungkin ia ingin menyampaikan sesuatu. Tatapannya seperti minta tolong. Biar aku tebak pasti tidak ada ayam di rumah.

"Kita beli sarapan dulu ya! Makan siang nanti, baru makan ayam goreng!" saranku pada mereka.

Aku senang Kinanti menatapku seperti itu, seperti ia membutuhkan aku. Apa pun akan aku lakukan untuk Kinantiku.

"Nah ... Ayah benar! Ibu belikan bubur ayam dulu ya buat kalian! Nanti siang ibu akan masak ayam goreng yang banyak," imbuh Kinanti menjanjikan menu ayam goreng pada mereka untuk makan siang nanti.

"Baik, Ibu! Siang nanti kami akan makan yang banyak!" Kedua anak itu terlihat bahagia sekali. Aku jadi berpikir apa Kinanti jarang membelikan mereka ayam, hingga di rumah ibu tadi mereka bahkan nekat mencuri ayam goreng saat ibu sedang lengah.

"Bang, aku ke sana sebentar ya!" pamitnya padaku.

Apa ini? cobalah lihat. Padahal aku masih di atas motor, tapi ia memilih berjalan kaki. Sebegitu mandirinya ia selama ini, butuh waktu bagi Kinanti untuk merubah kebiasaan kecil seperti ini. Aku harus memberitahunya lagi, jika sekarang ia harus melibatkan aku.

"Kamu tidak lihat? Abang masih di atas motor?" sarkasku, "sudah Abang bilang, kau punya sandaran sekarang, libatkanlah Abang dalam setiap ke adaan."

"Iya, maksudku. Abang bisa antar aku ke depan?" Ia meralat ucapannya tadi.

"Ayo, naik, Sayang!" ajakku dengan lembut. Aku tidak ingin ia takut padaku.

Kinanti tersenyum dan bergegas naik ke boncengan motor. Anak-anak sudah masuk ke dalam rumah. Aku pun melajukan motor dengan pelan. Sampai di dekat penjual bubur ayam, kami langsung disambut ucapan selamat dari beberapa pembeli di situ. Aku memang sudah kenal dengan warga di sini, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengan mereka.

"Eihh .. ada pengantin baru. Selamat ya buat kalian! Maaf ya, FA, Nti, kami tidak bisa datang, kampungmu lumayan jauh!" ujar ibu penjual bubur ayam.

Aku memakhlumi ketidak hadiran mereka, dari kampung sini hanya Mang Ardhan serta keluarganya yang datang. Itu tidak masalah, karena mereka juga tidak punya mobil. Naik motor pun berbahaya bagi ibu dan anak-anak.

"Tidak apa-apa kok, Bu!" sahut Kinanti. "Bubur ayamnya empat ya, Bu!"

Ibu penjual bubur ayam langsung mengambilkan pesanan kami. Aku masih duduk di atas motor sambil menunggu. Tak lama seorang pria yang baru datang dari arah kiri mendekati Kinanti. Aku rasa Bang Panji tidak menyadari aku ada di sini.

"Eh ... ada Neng Kinan. Sendiri, Neng? Suami mudanya kemana? Nggak mau ikut ke sini ya? Ganti sama Abang aja!" selorohnya dengan tak tahu malu.

Aku bergegas turun dari motor, enak saja bicara seperti itu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak sainganku mendapatkan hati Kinanti kemarin. Setelah aku dan Kinanti resmi menikah, mengapa dia masih berani? Aku segera turun dari motor.

"Apa, Bang? Coba ulangi!" tantangku begitu aku sampai di dekatnya. Aku memanggilnya dengan sebutan Abang karena ia lebih tua beberapa tahun dariku.

Pria itu diam seribu bahasa, wajahnya seperti memendam amarah. Aku rasa ia juga enggan mencari keributan denganku di saat suasana sedang seperti ini. Pria itu memilih melangkah menjauh dan tidak jadi membeli sarapan. Beberapa pasang mata mengamati kami mungkin sedang menunggu adegan baku hantam.

"Sudah! Duduk dulu, Bang!" Kinanti menenangkanku. Aku masih melihat punggung pria itu sampai menghilang dari pandangan. Hampir saja aku memukul pria tak tahu malu itu, berani sekali menawarkan diri pada bunga yang sudah bertuan.

Beberapa saat, pesanan Kinanti sudah selesai. Aku membayar uang dua puluh ribu pada ibu penjual.

Kami menaiki motor kembali hendak pulang ke rumah. Aku diam dengan wajah jutekku.

"Abang, marah?" tegur Kinanti. Ia memeluk pinggangku seperti yang tadi aku ajarkan di jalan saat pulang dari rumah ibu.

Aku masih diam beberapa saat.

"Bang!" tegurnya lagi, kali ini terdengar lebih keras.

"Kamu jangan pernah dekat lagi dengan Bang Panji. Kalau dia datang kamu harus langsung pergi!" geramku pada perangai Bang Panji, malah Kinanti yang jadi sasaran kecemburuanku.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
aku cemburu ...
goodnovel comment avatar
Roro Halus
aduhhh aku yang melting ini lo, hihihi bunga yang sudah bertuan, tuannya marah...
goodnovel comment avatar
Saraswati_5
cemburu banget ya si alfa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status