Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.
Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.
Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.
“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”
Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”
Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Saat hendak ikut duduk, seseorang yang tak jauh dari hadapan Anin, tengah berdiri dengan tatapan sengit. Karena merasa risih, Anin urung duduk dan justru pamit ke belakang.
“Ma, aku ke toilet sebentar,” pamit Anin pada mama mertua.
Anin tak lagi peduli dengan lirikan itu, melainkan memilih acuh dan menjauh ke ruang belakang mencari toilet.
“Kamu memang hebat, Nak Bagas,” puji salah satu teman bisnis Hanggoro. Mereka duduk di satu meja yang sama.
“Terimakasih, Om,” sahut Jonan. “Semua karena bantuan papa.”
“Mulai besok, kamu langsung bisa memimpin perusahaan dan mulai bekerja dengan kami.” Seseorang yang duduk di samping Hanggoro ikut bicara.
Bagas tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja, Om. Aku akan bekerja dengan baik.”
“Anakmu memang hebat, Hanggoro,” puji mereka lagi.
Dalam situasi seperti ini, sosok Jonan yang tak lain juga putra dari pasangan Hanggoro dan Sasmita, ternyata tidak terlalu dibutuhkan. Semua orang sudah terkagum-kagum pada sosok Bagas dan pastinya sampai melupakan kehadiran Jonan.
“Dasar penjilat!” sembur Jonan yang berdiri di dekat meja prasmanan. Jonan kemudian meneguk segelas anggur, lalu beranjak pergi menyusul Anin.
Berada dalam ruangan yang bukan tempatnya, memang sama sekali tidak nyaman. Itu yang sedang Jonan rasakan. Dirinya tidaklah terlalu dibutuhkan di acara ini.
“Kamu cantik, Anin,” kejut Jonan saat Anin sedang membungkuk sambil menepuk-nepuk roknya yang kena air.
“Jonan?” pekik Anin kemudian. “Ngapain kamu di sini?” Anin celingukan sendiri.
Anin saat ini berada di toilet wanita, melihat ada Jonan tentunya Anin mendadak gugup dan sedikit bingung. Takut-takut ada yang melihat bisa salah paham.
“Ayo keluar!” Anin mendorong Jonan supaya keluar. “Ngapain kesini sih!” sungut Anin.
Jonan berbalik saat sudah berada di luar toilet. “Aku nyari kamu.”
Anin melengos. “Kamu jangan bikin ulah. Sudah kesana, cepat!” perintah Anin.
Bukannya bergegas pergi, Jonan justru mendesah lalu bersandar pada dinding. “Nggak ada yang memerlukan aku di sana. Jadi ... untuk apa aku ikut bergabung?”
Anin ikut mendesah kemudian juga ikut bersandar. “Kamu benar. Aku juga sepertinya nggak dibutuhin di sana. Di sana hanya ada orang-orang berlevel tinggi.” Satu kaki Anin bergoyang-goyang menendangi lantai.
“Sedang apa mereka berdua di sini?” gumam Ela yang tak sengaja melihat mereka saat hendak ke toilet. Ela lantas melangkah mundur dan menepi di balik dinding.
“Kenapa kamu diam saja, Anin?” tanya Jonan tiba-tiba. “Kamu nggak mau melawan?”
“Untuk apa?” Anin balik tanya. “Aku terserah sekarang. Aku nggak peduli dengan pernikahanku saat ini. Toh sebentar lagi hubungan aku dan Bagas akan usai.”
Jonan diam tak menjawab. Jonan mungkin ingin membantu, tapi tidak bisa secara terang-terangan. Jonan harus memikirkan resikonya jika memilih ikut campur. Bagas orang yang keras kepala. Jonan tidak mau sampai ada salah paham.
“Anin,” lirih Jonan sambil mendekat.
“Jonan, kau mau apa?” pekik Anin yang mulai terpojokkan. “Jangan dekat-dekat.” Anin terus mundur hingga benar-benar mepet pada dinding. Dua matanya mendadak terpejam saat Jonan mensejajarkan wajah.
“Kamu sangat cantik, Anin,” bisik Jonan. “Kamu selalu buat Aku merasa tidak nyaman. Aku mau kamu, Anin.”
“Jonan!” tepis Anin mencoba mendorong tubuh Jonan yang semakin menghimpit.
Adegan tersebut harusnya tidak dilakukan di tempat seperti ini. Siapapun bisa saja melihat jika hendak pergi ke toilet. Dan sosok wanita yang masih berdiri di balik dinding contohnya. Ela, ya ... Ela sedari tadi masih mengamati mereka berdua. Meskipun tak jelas apa yang sedang mereka bicarakan, tapi Ela berhasil mengambil gambar yang bisa membuat seseorang salah paham.
Menyeringai puas, Ela kemudian memasukkan ponsel ke dalam dompetnya lalu pergi.
“Jonan, jangan begitu.” Anin masih mencoba menghindar. “Kalau ada yang lihat bagaimana?”
Tenaga Anin tak cukup untuk mendorong tubuh Jonan yang masih menangkup tubuh Anin di antara kedua tangan yang menekan dinding.
“Aku nggak tahan lihat kamu terus, Anin,” Jonan masih terus meracau dan hampir berhasil meraih wajah Anin.
“JONAN!” hardik Anin kemudian. “Jangan begitu! Kalau begini, kamu hanya akan membuat masalah untukku. Berhentilah menggangguku!”
Anin meraup wajahnya dengan kasar hingga tak peduli dengan riasannya yang mungkin akan terlihat berantakan. Setelah menarik napas dan merapikan tampilan pakaiannya, Anin pergi meninggalkan Jonan.
“Anin, kenapa lama sekali?” tanya Mama. “Para tamu sudah pada pulang.”
“Maaf, Ma. Perut aku tadi mendadak mules,” bohong Anin. “Aku terpaksa bolak-balik ke toilet.”
“Apa masih sakit?” tanya mama khawatir.
“E ... nggak, Ma. Sudah mendingan kok.” Anin terus mengelak. Anin sempat menoleh ke arah belakang. Ketika tak menjumpai sosok Jonan, Anin kembali menoleh ke arah mama sambil tersenyum.
“Bagas, kamu antar Anin ke kamar dulu,” perintah mama. “Sepertinya Anin nggak enak badan.”
Bagas terpaksa tersenyum. “Iya, Ma.” Bagas kemudian meraih tangan Anin dan menuntunnya menuju kamarnya di lantai tiga.
Sebagai penggelar acara, semua keluarga Hanggoro memutuskan bermalam di hotel saja untuk satu malam.
“Merepotkan saja!” dengus Bagas saat memasuki lift.
Anin memilih diam hingga sampai di kamar.
“Kamu istirahat saja. Aku mau tidur di kamar lain. Ingat, jangan bagi tahu sama siapa-siapa.” Bagas memberi peringatan sambil kemudian menutup pintu dengan keras.
Anin terlonjak kaget sampai-sampai menekan dada dengan satu tangan. “Kenapa dia semakin galak sama aku?” keluh Anin.
Anin kemudian melepas baju dan menyisakan celana dalamnya saja yang masih menempel menutupi bagian sensitifnya.
“Ada yang lu ...pa ...” Bagas tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.
Anin yang sangat kaget sontak sebisa mungkin menutupi badan dengan bajunya. Namun sayang, mata Bagas yang sudah terlanjur melihat membuat Anin merasa gugup luar biasa. Bagian dada memang berhasil Anin tutup, tapi untuk bagian paha ke bawah sepertinya tidak.
“Aku ambil ponselku.” Bagas juga terlihat gugup, tapi secepat mungkin langsung menangkis akan kekaguman pada tubuh indah milik Anin.
Satu tahun menikah, memang tak ada satu pun di antara keduanya yang pernah melihat barang pribadi satu lain. Mungkin ini untuk yang pertama kali bagi Anin kepergok Bagas sedang setengah telanjang.
“Kenapa tubuh dia bagus sekali,” gumam Bagas saat sudah berada di luar kamar. “Tubuh Anin bahkan lebih indah dari Ela.”
“Oh astaga!” pekik Bagas sambil menjitak kening. “Untuk apa aku tergiur dengan badan Anin. Jelas-jelas tubuh itu sudah bekas banyak orang. Najis!”
Bagas bergidik ngeri lalu berlenggak melangkah menjauh dari depan kamar Anin.
***
Jonan tak peduli bagaimana dengan keadaan Bagas saat ini. Apapun yang menyangkut Anin, maka Jonan tidak akan tinggal diam. Apalagi menyangkut sesuatu hal yang sangat membahayakan Anin. Setelah penjaga rumah menelpon papa dan mama, Bagas tentunya langsung dilarikan ke rumah sakit.Papa dan mama sempat menyalahkan Jonan saat baru menjumpai bagaimana keadaan Bagas yang sudah babak belur. Mereka menyalahkan Jonan karena dianggap tidak punya perasaan dan terlalu hanyut dalam emosi. Mama bahkan sempat meneriaki Jonan beberapa kali hingga memukulinya sambil menangis.Mama tak henti-hentinya menyalah Jonan sampa mengatakan kalau Jonan sangatlah jahat. Namun, setelah Jonan jelaskan dengan lantang, mereka akhirnya diam tak berani bicara.“Aku nggak akan berbuat begitu sama Bagas, kalau dia nggak keterlaluan,” kata Jonan sambil memeluk Anin.Papa Berdiri tak jauh di samping Jonan sementara mama duduk di kursi besi panjang. Di belakang mereka saat ini mengobrol, ada satu
Ini bukan kemauan Jonan jika harus berangkat ke pabrik sepagi ini. Baru semalam Jonan menikmati kehangatan bersama sang istri, pagi harinya Jonan harus pergi meninggalkan Anin. Memang tidak lama, paling hanya beberapa jam saja, akan tetapi rasanya sangat berat.“Kamu nggak pa-pa aku tinggal ke pabrik kan?” Jonan bertanya sambil mengusap wajah Anin yang saat ini masih berbalut selimut.Jonan tahu, di dalam sana—di balik selimut itu—ada seonggok daging putih mulus yang semalam baru saja Jonan nikmati. Huh! Kalau terus mengingat-ingat, yang ada Jonan semakin berat untuk meninggalkan Anin.“Kamu nggak lama-lama kan?” Anin balik bertanya.“Enggak,” sahut Jonan. “Paling cuma dua jam doang, setelah itu semua kembali diurus sama Tirta.”Anin mencebikkan bibir sambil mencengkeram tepian selimut yang menutupi bagian leher. “Ya sudah, hati-hati. Maaf aku malah masih tiduran.”“Iya ...” Jonan mengusap pucuk kepala Anin kemudian memberi satu kecupan di bibir s
3 bulan berlalu …Seharian meninggalkan pernikahan Jonan dan Anin, Bagas terlihat uring-uringan di dalam kamar. Rasa sakit dikhianati Ela masih membekas, ditambah lagi dengan rasa sakit karena harus melihat pernikahan Jonan dan mantan istrinya.Di bawah sana—di lantai satu—para tamu undangan mulai berangsur-angsur meninggalkan acara. Acara pernikahan tidak digelar dengan mewah seperti pernikahan Anin dan Bagas dulu. Pernikahan Jonan dan Anin justru berlangsung sangat sederhana dengan hanya mengumpulkan para keluarga saja.Meski sederhana, setidaknya Anin menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan paling sempurna. Menikah dengan pria yang selalu ada untuknya, menikah dengan pria yang menunggunya sampai benar-benar terlepas dari mantan suaminya.Hanggoro dan Sasmita selaku orang tua mereka, tentu ikut merasakan bahagia. Meskipun sebenarnya mereka sedikit khawatir dengan keadaan Bagas. Bagas sendiri sama sekali tidak muncul mulai dari awal acara hingga semuany
Pagi harinya, secara tidak sengaja Anin dan Bagas bersamaan hendak turun ke lantai dasar. Anin yang tidak mau berpikir macam-macam memilih acuh dan lebih dulu turun meninggalkan Bagas yang berjalan di belakangnya.Tanpa sepengetahuan Anin, diam-diam mata Bagas sedang curi-curi pandang dengan lekuk tubuh Anin bagian belakang. Meski Anin memakai piama tertutup, Bagas tidak bisa mengelak kalau tubuh itu terlihat begitu menarik.Hal ini jauh berbeda dari saat Anin mengenakan piama tipis ketika masih tidur bersama. Bagas bahkan tidak ada rasa ketertarikan sedikitpun pada Anin. Ya, semua nampak sudah berbeda.Sesuai kata pepatah, “Apa yang sudah dilepas, terkadang lebih menarik untuk dipandang.”“Hei Anin,” panggil Bagas saat Anin sampai di dapur.Orang yang bagas panggil sepertinya memilih tidak menggubris. Anin pura-pura tidak mendengar.“Anin.” Sekali lagi Bagas memanggil.“Ada perlu apa?” sahut Anin malas. Anin duduk sembari meneguk air putih.
“Ternyata wanita si perusak!” cemooh Ela begitu Anin keluar dari mobil.“Apa maksud kamu?” balas Anin. “Berbicaralah dengan sopan.”Ela mendecih lalu membuang muka sesaat. “Sudah bersalah, masih berani ngelawan.”“Kamu yang salah!” salak Anin. “Mobilku melaju di jalan yang benar. Kamu yang nggak hati-hati.”“Berani kamu ya!” Ela maju lalu dan hendak mencengkeram baju Anin, tapi dengan cepat Anin menangkis.“Kenapa aku harus takut? Harusnya kamu ngaca, yang perusak itu siapa? Jelas-jelas kamu!”Plak!Satu tamparan mendarat di pipi Anin. Anin yang merasa kesakitan memejamkan dua matanya untuk sesaat sebelum kembali menatap Ela.“Berani sekali kamu nampar aku!” Spontan Anin mendorong tubuh Ela hingga terjatuh di atas aspal.“Ela!” teriak seseorang dari seberang jalan. “Kamu nggak pa-pa?” Sampai di hadapan mereka, Bagas membantu Ela berdiri.“ Mas Bagas,” gumam Anin.“Sakit,” rengek Ela. Wanita ini memang sen
Tidak semudah itu merencanakan pernikahan dengan Anin. Selain karena Anin baru berpisah, mendadak saja Jonan harus disibukkan dengan pekerjaan pabrik. Keesokan paginya, Jonan sudah mendapat panggilan dari karyawannya untuk terbang ke lombok menemui klien.Dua hari kemudian di siang harinya, Jonan harus berangkat dan belum tahu bagaimana cara berpamitan dengan Anin. Jonan takut kalau Anin akan marah. Jonan juga teringat bagaimana perlakuan Bagas terakhir kali pada Anin.“Aku harus bagaimana?” gumam Jonan usai panggilan terputus. “Anin pasti marah sama aku. Aku takutnya dia kecewa, tapi aku nggak mungkin membatalkan semua ini.”Jonan menggenggam kuat ponselnya sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dan lagi, apa Anin akan aman ditinggal di rumah ini? Jonan jadi merasa khawatir.“Jo, kamu lagi ngapain?” tanya mama saat melihat Jonan tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Anin.Jonan yang terkejut hanya bisa mengusap dada. “Kenapa mama ngagetin ak