Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.
“Ada apa?” tanya Anin.
Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.
“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.
“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.
“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”
Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”
Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.
Jonan mengangguk. “Aku nggak sengaja melihatnya. Kupikir ini akan cocok kalau dipakai kamu.”
Anin memandangi dress tersebut dalam diam. Anin hanya kembali sedang merasa dikasihani. Malam nanti adalah acara dirinya dan sang suami, tapi di mana Bagas? Membelikan gaun saja tidak dia lakukan.
Anin ingin menangis, tapi di hadapannya sedang ada Jonan. “Terimakasih.” Satu kata sebelum Anin kemudian buru-buru keluar dari dalam mobil.
“Apa dia marah?” gumam Jonan. Jonan kemudian ikut turun dari mobil.
Saat Jonan sudah menapakkan kaki di atas teras, dua mobil terlihat datang memasuki pekarangan rumah. Mobil paling depan milik Bagas, sementara di belakangnya mobil Hanggoro dan Sasmita.
Jonan tak mau berlama-lama melihat mereka. Sedangkan Anin yang ternyata masih berdiri di ambang pintu, buru-buru menghampiri Bagas.
“Cih! Mau sampai kapan kamu pura-pura, Anin?” Jonan lantas melengos dan masuk ke dalam rumah.
“Sini aku bantu.” Anin meraih tas kerja dan dua paper bag yang dibawa Bagas.
Bagas ingin acuh, tapi berhubung di belakangnya ada Papa dan Mama, Bagas terpaksa bersikap lebih lembut pada Anin.
“Terimakasih,” kata Bagas.
Anin tahu kalau kata singkat itu diucapkan secara terpaksa. Namun, Anin mencoba bersikap biasa saja. Apalagi saat ini kedua mertuanya tengah memandang dengan seutas senyum.
“Kalian bersiap-siaplah,” kata mama. Ia menepuk pelan pundan Anin sebelum masuk ke dalam rumah bersama sang suami.
Masih bersikap acuh, Bagas kemudian juga masuk ke dalam rumah mendahului Anin. Sudah biasa seperti ini. Anin hanya bisa mendesah sambil mengusap dada supaya bisa lebih kuat.
“Pa, kok Bagas nggak pergi bareng sama Anin ya?” tanya Sasmita begitu sampai di dalam kamar.
Sasmita duduk termenung usai meletakkan barang belanjaannya. Matanya terlihat sendu seolah sedang memikirkan sesuatu yang janggal. Dan perkataan Jonan waktu itu, apa memang harus di selidiki?
“Jangan berpikir macam-macam. Sebaiknya kita bersiap-siap,” sahut Hanggoro.
Sasmita menghela napas kemudian berdecak. “Sebaiknya memang nggak ada apa-apa.”
Anin meletakkan barang-barang yang ia bawa di atas ranjang sesampainya di dalam kamar. Menoleh ke arah sang suami, Anin lantas mendekat.
“Mau aku bantu?” tawar Anin selembut mungkin.
Bagas mendengkus. “Tidak usah. Jangan sok peduli sama Aku.”
Mendengar jawaban tak mengenakkan, Anin perlahan mundur. Anin membiarkan Bagas berganti pakaian di dalam kamar, sementara Anin memilih beranjak keluar. Paper bag berisi barang belanjaannya, dan juga dompet berisi ponsel dan lain-lain. Anin bawa kemudian bergegas keluar.
Bagas tetap acuh dan justru menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
“Aku ingin melawan kamu, Mas. Tapi … aku masih istrimu yang harus siap melayani dan nggak boleh membantah.” Anin bergumam sendirian saat menuruni tangga.
Tak jauh dari posisinya, sosok Jonan ternyata sudah berdiri di belakangnya. Karena pikirannya yang sedang melayang-layang, Anin sampai tidak sadar kalau dirinya sedang di buntuti.
Jonan berhenti melangkah ketika kemudian Anin masuk ke dalam kamar tamu.
“Ngapain ke kamar tamu?” batin Jonan. “Apa Bagas memarahinya lagi.”
Jonan ingin masuk menyusul ke dalam, tapi urung karena bisa saja menimbulkan masalah. Pada akhirnya Jonan memilih menunggu di ruang tengah yang berada tak jauh dari pintu menuju kamar tamu tersebut.
“Den Jonan sudah siap?” tanya Bibi Niah. Bibi Niah hanya melintas sekilas karena usai Jonan mengangguk, beliau langsung kembali ke belakang lagi.
Tak selang beberapa lama, terdengar seseorang membuka pintu. Jonan yang sedang duduk, sontak berbalik dan berdiri. Di sana, tepatnya di depan pintu yang baru saja tertutup kembali, ada seseorang yang sedang berdiri sambil mengibas dan mengusap rok gaun yang ia kenakan. Anin tengah berdiri menunduk, mengamati tampilannya sendiri.
“Cantik.”
“Eh!” Anin terlonkak kaget kala suara singkat itu mencuat. Anin mengedarkan pandangannya sesaat sebelum berhenti tepat menghadap ke arah Jonan.
“Kamu memang cantik.” Pujian itu kini terdengar lebih memanjang.
Jonan yang melongo karena terpesona akan kecantikan Anin, membuat Anin sedikit merasa gugup. “Aku pikir, baju ini bagus. Jadi aku pakai,” kata Anin.
Jonan masih terpaku diam, tapi setiap ujumg bibirnya nampak tertarik membentuk senyuman. “Sangat cocok.”
“Terimakasih.”
Jonan kemudian bergidik cepat. “Maaf, aku ngelamun.” Jonan meraup wajahnya yang nampak seperti orang bodoh.
Anin sempat mengulum senyum sebelum akhirnya melangkah ke luar. “Aku duluan. Aku nggak mau ada orang lain melihat kita berdua di sini.”
Jonan mengangguk dan membiarkan Anin berjalan lebih dulu menunu ruang tamu.
“Lho, kamu sudah di sini, Anin?” tany Sasmita.
Anin mengangguk. “Iya, Ma. Mas Bagas menyuruhku menunggu di sini.”
“Cih! Pembohong!” batin Jonan yang juga sudah berada di ruang tamu. Ia berdiri di samping papanya.
Tak lama kemudian, Bagas pun muncul. Anin yang sempat tersenyum melihat kegagahan Bagas, mendadak sirna tatkal tiba-tiba Bagas berkata yang terasa menyinggung.
“Ma, aku titip Anin ya,” kata Bagas.
Sasmita dan Hanggoro terkejut. Pun dengan Anin. “Lho, kenapa? Kita kan searah.”
“Memangnya kamu mau pergi kemana?” sambung papa.
“Ada hal penting yang nggak bisa aku tinggalin. Kalau Anin ikut aku, aku takutnya akan terlambat. Jadi, sebaiknya Anin ikut kaliam dulu.”
Tak menaruh rasa curiga sedikitpun, papa dan mama mengiyakan. Itupun setela mendapat anggukan dan senyum tulus dari Anin.
“Mungkin Mas Bagas mau mengambil sesuatu di kantor,” kata Anin usai Bagas sudah masuk ke dalam mobil.
“Ya sudah, kamu berangkat sama pama dan mama.” Mama tersenyum lalu mengusap pundak Anin.
“Dasar bodoh!” sembur Jonan tiba-tiba. Jonan kemudian menyerobot dan bergegas masuk ke dalam mobilnya sendiri.
Anin, Mama dan papa yang terkejut, hanya diam dan menatap sosok Jonan yang kini sudah duduk di kursi kendali.
Anin tahu maksud Jonan, tapi bukan saatnya untuk membahas ataupun merenungi hal tersebut
“Ayo, Ma, Pa,” ajak Anin kemudian.
“Eh, iya.” Mama segera masuk ke dalam mobil bagian depan. Sedangkan Anin duduk di jok belakang.
Anin masih terdiam sambil memandangi mobil Jonan yang hendak keluar dari pekarangan rumah. Anin memang bodoh. Sudah sepatutnya Jonan berkata demikian.
***Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Sa
Meninggalkan area hotel, Jonan berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya
Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.“E, Anin. Aku … e …”“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.Anin menegakka
Pagi harinya, Anin sudah dikejutkan dengan sosok Bagas yang ternyata sudah tidur di sampingnya. Bagas tidur dalam posisi miring ke arah tembok. Meskipun tidur seranjang, toh bagi Anin tetap merasa sedang tidur sendirian.“Sejak kapan Mas Bagas balik ke hotel?” Anin bertanya-tanya.Sebelum Bagas terbangun, Anin lebih dulu beranjak dari tempat tidur. Duduk di tepi ranjang, Anin menggulung rambut panjannya ke atas. Setelah itu Anin mengambil handuk di atas gantungan dan pergi mandi.Acara semalam memang lumayan meriah karena ada riuh tepuk tangan dan berbagai ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, bagi Anin, acara semalam adalah satu acara yang begitu membosankan.Berpindah dari Anin yang sedang mandi, Hanggoro dan Sasmita juga sudah terbangun dan sedang berbenah untuk kembali pulang ke rumah. Sementara Hanggoro sedang melipat lengan bajunya, Sasmita nampak sedang bercermin sambil menyisir rambut. Tidak jauh dari posisi mereka, ada sebuah koper beruk
Anin sudah dipindahkan ke dalam kamar. Ia saat ini tengah duduk bersandar pada dinding ranjang dengan kedua kali lurus saling menyilang. Di atas pangkuan, Anin meletakkan satu bantal guling sementara dua tangannya saling menggenggam.Tak jauh dari posisinya, nampak Bagas sedang membawakan makanan untuk Anin. Ya … Anin memang pingsan karena kelaparan. Sudah dari semalam Anin tidak makan.Anin tak mau mengingat kejadian semalam. Bukan pertama kali Jonan menggoda Anin hingga terlewat batas. Namun anehnya, Anin tak pernah bisa marah. Mungkinkah karena Anin rindu belaian?"Terimakasih sudah perhatian sama aku," kata Anin saat Bagas sudah meletakkan nampan berisi nasi dan lauk pauk-pauk.Bagas melengos. “Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama dan papa curiga.”Anin ingin mengutuki dirinya yang sangat bodoh. Harusnya Anin sadar kalau Jonan tidak mungkin benar-benar peduli apalagi sampai perhatian. Semua hanya sandiwara belaka.“A
Tidak bisa dipungkiri dengan mudah, mungkin Bagas masih menyimpan rasa pada Anin. Bagas mungkin bisa mengelak dengan cara acuh dan berkata kasar. Namun, melihat bagaimana Anin pingsan tadi, sangat bohong jika Bagas tidak merasa khawatir.Bukankah dulu Bagas menikahi Anin karena dasar cinta? Betapa buruknya Anin, Bagas belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tertariknya.Lalu, bagaimana dengan Ela? Bagas mencintai Ela karena rasa lama. Ela datang saat puncak masalah pernikahan malam pertama datang. Keesokan harinya setelah petaka malam hari bersama Anin, secara tiba-tiba takdir mempertemukan Bagas dengan Ela. Sekedar kebetulan atau bukan, Bagas tak pernah memikirkan akan hal itu.“Andai saja kamu tidak bohong sama aku, mungkin pernikahan kita akan baik-baik saja,” desah Bagas sesampainya di depan sebuah apartemen.Bagas melepas sabuk pengaman, kemudian segera turun. “Jangan salahkan aku kalau aku mencari kenikmatan di luar sana.”Bagas berdiri mema
Makan malam berlangsung tanpa kehadiran Bagas. Hingga menjelang malam, Bagas juga tak kunjung pulang. Tidak ada yang curiga karena setelah semua selesai makan, mereka segera masuk kamar untuk istirahat.Keluarga ini memiliki bisnis masing-masing, jadi akan jarang ada waktu untuk sekedar begadang malam. Lebih baik gunakan waktu untuk tidur.Hingga keesokan paginya, Anin tak menjumpai sosok Bagas di dalam kamar. Sepertinya semalam memang Bagas tidak pulang.Sampai di lantai bawah, semua penghuni rumah nampak sudah tidak ada. Semalam mama sempat bilang kalau akan pergi ke rumah seseorang untuk merias wajah pengantin. Kalau papa, memang sudah biasanya pergi sekitar pukul tuju pagi.“Apa sudah berangkat semua, Bi?” tanya Anin pada Bibi Niah.Bibi Niah yang sedang menyapu teras rumah lantas mengangguk. “Nyonya berangkat pagi sekali tadi. Kalau Tuan, beliau baru saja berangkat.”Anin manggut-manggut. Saat hendak kembali masuk ke dalam rumah, mobil
Keberuntungan untuk Jonan dan kesialan untuk Anin. Entah bisa tahu dari mana, saat ini Jonan sudah berdiri di halaman tempat karaoke. Jonan tengah bersandar pada mobilnya sambil memandangi Anin yang sedang berjalan ketawa-katiwi bersama Nana.Hingga sampai di dekat mobil Jonan terparkir, tawa Nana mendadak hilang. Anin yang belum menyadari akan hal itu, dengan cepat Nana sikut dan tawa pun terhenti.“Apa sih!” dengus Anin. Nana tidak menjawab, melainkan menyikut lengan Anin dan memainkan mata.“Apaan?” Anin bertanya lagi. Kali ini pandangannya mengikuti gerak jari telunjuk Nana.Saat pandangannya berhenti pada sesuatu yang membuat tawa Nana mendadak berhenti, Anin menelan ludah dan mengerjapkan mata cukup lama.“Jonan?” kata Anin usai berkedip dan sedikit berkedip. “Ngapain di sini?”“Nyari kamu lah!” sahut Jonan. Jonan melempar puntung rokok lalu menginjaknya. “Di telpon malah dimatikan!”Anin berdecak tak peduli. “Aku kan suda