Meninggalkan area hotel, Jonan berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.
Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.
Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.
“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.
“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”
Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus masuk ke dalam sana. Seumur-umur, Jonan sama sekali belum pernah yang namanya menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Bagi Jonan, hiburan malam hanya tempat yang dikhususkan untuk orang-orang yang sudah kehilangan akal sehat.
Mungkin tidak semuanya, tapi itu yang Jonan tahu.
“Kemana perginya wanita itu?” tanya Jonan saat sudah masuk. Jonan celingukan mencari sosok Ela di antara kerumunan para pengunjung yang sedang berjoget ria.
“Aku yakin pasti ada hubungannya sama si Ela.” Jonan terus berjalan melewati kerumunan hingga mendapati sosok Ela sedang duduk di sofa yang tak jauh letaknya dari meja bartender.
Ela tidak sendirian. Dia duduk bersama seorang pria berambut gondrong sebahu dengan tato bergambar bunga merah madam di punggung telapak tangan sebelah kanan.
“Sial!” umpat Jonan saat tangannya merogoh saku dan tak mendapati ponselnya di dalamnya. “Aku taruh di mana ponselku?” batin Jonan.
Jonan bergeser sambil mencoba menutupi wajah dengan berpaling ke arah lain. “Sepertinya aku taruh di kamar, tadi.” Jonan kemudian duduk, di depan meja bartender dan pura-pura bercengkerama dengan salah satu pengunjung.
Beruntung, Jonan bertemu dengan pria yang jauh dari kata menyeramkan, jadi setidaknya Jonan tidak terlalu was-was.
“Apa kamu kenal wanita itu?” tanya Pria yang duduk di depan Jonan. Sebut saja namanya Tian.
“Eh, ha?” Jonan refleks memutar pandangan. “Siapa?”
“Wanita yang di sana.” Tian menunjuk ke arah Ela yang sedang bergelayut manja di dada pria kekar itu. “Aku perhatikan, dari tadi kamu melihat ke arah dia terus.”
Jonan mengetuk-ketuk meja dengan jemari bergantian. “Aku memang lagi membuntuti dia,” ujar Jonan kemudian.
Tian meraih segelas wine yang disodorkan seorang bartender. “Mau?” tawar Tian pada Jonan.
Jonan menggeleng. “Aku tidak minum.”
Tian lantas tertawa mendengar jawaban Jonan. Tertawa lagi hingga kemudian wajahnya berkerut ketika satu tegukan wine mengalir masuk ke tenggorokan.
“Dia itu wanita sialan,” kata Tian kemudian. “Apa kamu mantan kekasihnya?”
Jonan menggeleng lagi. “Aku sebenarnya juga nggak kenal sama dia.”
“Lalu, ngapain kamu membuntuti dia?” tanya Tian. “Ah, jangan-jangan kamu naksir dia ya?” Tian sampai menyodorkan gelas kosong ke arah Jonan.
“Tidak juga. Aku cuma lagi mencari informasi,” ujar Jonan.
Tian manggut-manggut. “Isi lagi!” perintah Tian pada seorang bartender. “Maaf, aku memang suka minum.” Tian nyengir ke arah Jonan.
Meskipun Jonan sedang berbicara dengan orang asing, tapi mata Jonan tetap terus memantau gerak-gerik Ela bersama pria di sampingnya itu.
“Apa kamu butuh uang?” tanya Jonan tiba-tiba.
“Akh!” Tian membuang udara dari mulut usai meneguk satu gelas minumannya lagi. “Apa maksudmu?” tanya Tian setelah itu.
“Aku memang belum mengenalmu, tapi aku sangat butuh bantuan. Kalau kamu mau membantuku, aku siap membayarmu. Bagaimana?” Jonan menatap serius ke arah Tian.
Tian nampak berpikir sejenak hingga kemudian berkata. “Apa ini menyangkut wanita itu?”
Jonan mengangguk mantap.
Tian tiba-tiba menyeringai. “Berani bayar berapa kamu?”
“Tidak banyak.” Jawaban Jonan sangat singkat.
“Baiklah,” jawab Tian kemudian. “Ini nomorku.” Tian tiba-tiba mengeluarkan kartu nama dari dalam dompet. “Hubungi Aku kapan pun kamu butuh informasi.”
Tian kemudian berdiri setelah menyulut satu rokok yang ia ambil berbarengan dengan dompetnya. Setelah itu Tian pergi ke ruang dalam.
Sebelum diketahui oleh Ela, Jonan pun beranjak pergi. Melangkahkan kaki dengan cepat supaya segera menjauh dari tempat mengerikan ini.
“Tian Pamungkas.” Begitu nama yang tertulis di kartu nama yang sedang Jonan pegang. “Apa dia bisa aku andalkan?” batin Jonan.
"Tunggu dulu!" Jonan menatap tulisan berwarna silver di kartu nama tersebut. "Jadi, Tian pemilik kelab ini? Hm, kenapa juga dia mau membantuku?"
Tepat pukul sebelas malam, Jonan akhirnya sampai di hotel lagi. Jonan langsung berjalan memasuki lorong kemudian masuk lift dan naik ke lantai tiga.
“Anin!” pekik Jonan saat memasuki lorong lantai dua. Jonan mendapati Anin sedang celingukan di depan pintu kamarnya. Tidak seluruhnya terlihat, Jonan hanya melihat bagian leher hingga kepala Anin yang menyembul keluar.
“Hei!” tegur Jonan sambil memukul lantai dengan langkah kakinya. “Ngapain?”
Anin yang kaget luar biasa hampir saja terpentok ke pintu bagian belakang kepala. “Selalu saja kamu!” hardik Anin.
Jonan maju mendekati Anin yang masih berdiri di ambang pintu yang tidak terbuka sempurna. “Ngapain di situ?” tanya Jonan lagi.
“Nggak pa-pa.”
Grep! Anin menutup pintu tanpa permisi.
Tok! Tok! Tok!
“Anin! Buka!” panggil Jonan. Jonan sampai lupa kalau kemungkinan di dalam sana ada Bagas.
Anin berdecak saat pintu terbuka lagi. “Apa sih!” sungut Anin.
“Kamu ngapain malam-malam celingukan di depan pintu?” tanya Jonan penuh penekanan. “Lagi nunggu Bagas?”
“Nggak,” jawab Anin cepat.
Dahi Jonan berkerut. “Terus?”
“Nggak ada terusnya. Aku cuma lagi lapar, tadi aku lupa makan,” jawab Anin kemudian. “Ah, sudahlah. Sudah malam juga kan.”
“Mau makan?” tawar Jonan.
Anin diam sambil berpikir. Anin terlihat menggigit bibir sementara kedua kakinya saling injak bergantian.
“Lapar kan?” Jonan bertanya lagi. Sepertinya Jonan berniat menggoda Anin.
Anin merengut kemudian berdecak. “Tentu saja aku mau makan!” sembur Anin kemudian sambil menghentakkan kaki.
Jonan langsung tertawa sampai-sampai memukuli pahanya sendiri.
Anin yang merasa sedang dipermainkan, mendadak merengut dan langsung jengkel. “Sudahlah! Aku tidur saja!”
“Eh, Eh!” Jonan meraih pinggang Anin saat hendak masuk ke dalam kamar lagi.
“Apa sih! Lepas!” Anin menangkis tangan Jonan.
“Iya, maaf. Salah kamu sih, kenapa pakai ngambek segala!” seloroh Jonan tak mau disalahkan.
Anin melipat kedua tangan masih dengan wajah merengut.
“Ayo makan. Di luar masih ada restoran yang buka,” kata Jonan sambil membelai rambut Anin.
“Aku ganti baju dulu,” kata Anin.
Jonan lantas berdecak. “Tidak usah. Pakai baju tidur juga nggak pa-pa. Lagian tertutup kan?”
Anin mengerutkan bibir sebelum akhirnya mengangguk. “Oke lah.”
“Ngomong-ngomong, Bagas kemana?” tanya Jonan saat memasuki lift.
Anin angkat bahu. “Aku nggak tahu.”
Jonan menghela napas lirih sambil tersenyum tipis melihat sebagian wajah Anin.
“Seperti inikah, wanita yang Bagas sia-siakan?” batin Jonan.
“Ngapain liatin aku terus?” tegur Anin. Tatapan Jonan membuat Anin merasa risih.
“Nggak,” elak Jonan. “Aku cuma sedang melihat tombol itu.” Jonan mengelak sambil menunjuk beberapa tombol di samping pintu lift.
***
Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.“E, Anin. Aku … e …”“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.Anin menegakka
Pagi harinya, Anin sudah dikejutkan dengan sosok Bagas yang ternyata sudah tidur di sampingnya. Bagas tidur dalam posisi miring ke arah tembok. Meskipun tidur seranjang, toh bagi Anin tetap merasa sedang tidur sendirian.“Sejak kapan Mas Bagas balik ke hotel?” Anin bertanya-tanya.Sebelum Bagas terbangun, Anin lebih dulu beranjak dari tempat tidur. Duduk di tepi ranjang, Anin menggulung rambut panjannya ke atas. Setelah itu Anin mengambil handuk di atas gantungan dan pergi mandi.Acara semalam memang lumayan meriah karena ada riuh tepuk tangan dan berbagai ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, bagi Anin, acara semalam adalah satu acara yang begitu membosankan.Berpindah dari Anin yang sedang mandi, Hanggoro dan Sasmita juga sudah terbangun dan sedang berbenah untuk kembali pulang ke rumah. Sementara Hanggoro sedang melipat lengan bajunya, Sasmita nampak sedang bercermin sambil menyisir rambut. Tidak jauh dari posisi mereka, ada sebuah koper beruk
Anin sudah dipindahkan ke dalam kamar. Ia saat ini tengah duduk bersandar pada dinding ranjang dengan kedua kali lurus saling menyilang. Di atas pangkuan, Anin meletakkan satu bantal guling sementara dua tangannya saling menggenggam.Tak jauh dari posisinya, nampak Bagas sedang membawakan makanan untuk Anin. Ya … Anin memang pingsan karena kelaparan. Sudah dari semalam Anin tidak makan.Anin tak mau mengingat kejadian semalam. Bukan pertama kali Jonan menggoda Anin hingga terlewat batas. Namun anehnya, Anin tak pernah bisa marah. Mungkinkah karena Anin rindu belaian?"Terimakasih sudah perhatian sama aku," kata Anin saat Bagas sudah meletakkan nampan berisi nasi dan lauk pauk-pauk.Bagas melengos. “Nggak usah kepedean. Aku hanya nggak mau mama dan papa curiga.”Anin ingin mengutuki dirinya yang sangat bodoh. Harusnya Anin sadar kalau Jonan tidak mungkin benar-benar peduli apalagi sampai perhatian. Semua hanya sandiwara belaka.“A
Tidak bisa dipungkiri dengan mudah, mungkin Bagas masih menyimpan rasa pada Anin. Bagas mungkin bisa mengelak dengan cara acuh dan berkata kasar. Namun, melihat bagaimana Anin pingsan tadi, sangat bohong jika Bagas tidak merasa khawatir.Bukankah dulu Bagas menikahi Anin karena dasar cinta? Betapa buruknya Anin, Bagas belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa tertariknya.Lalu, bagaimana dengan Ela? Bagas mencintai Ela karena rasa lama. Ela datang saat puncak masalah pernikahan malam pertama datang. Keesokan harinya setelah petaka malam hari bersama Anin, secara tiba-tiba takdir mempertemukan Bagas dengan Ela. Sekedar kebetulan atau bukan, Bagas tak pernah memikirkan akan hal itu.“Andai saja kamu tidak bohong sama aku, mungkin pernikahan kita akan baik-baik saja,” desah Bagas sesampainya di depan sebuah apartemen.Bagas melepas sabuk pengaman, kemudian segera turun. “Jangan salahkan aku kalau aku mencari kenikmatan di luar sana.”Bagas berdiri mema
Makan malam berlangsung tanpa kehadiran Bagas. Hingga menjelang malam, Bagas juga tak kunjung pulang. Tidak ada yang curiga karena setelah semua selesai makan, mereka segera masuk kamar untuk istirahat.Keluarga ini memiliki bisnis masing-masing, jadi akan jarang ada waktu untuk sekedar begadang malam. Lebih baik gunakan waktu untuk tidur.Hingga keesokan paginya, Anin tak menjumpai sosok Bagas di dalam kamar. Sepertinya semalam memang Bagas tidak pulang.Sampai di lantai bawah, semua penghuni rumah nampak sudah tidak ada. Semalam mama sempat bilang kalau akan pergi ke rumah seseorang untuk merias wajah pengantin. Kalau papa, memang sudah biasanya pergi sekitar pukul tuju pagi.“Apa sudah berangkat semua, Bi?” tanya Anin pada Bibi Niah.Bibi Niah yang sedang menyapu teras rumah lantas mengangguk. “Nyonya berangkat pagi sekali tadi. Kalau Tuan, beliau baru saja berangkat.”Anin manggut-manggut. Saat hendak kembali masuk ke dalam rumah, mobil
Keberuntungan untuk Jonan dan kesialan untuk Anin. Entah bisa tahu dari mana, saat ini Jonan sudah berdiri di halaman tempat karaoke. Jonan tengah bersandar pada mobilnya sambil memandangi Anin yang sedang berjalan ketawa-katiwi bersama Nana.Hingga sampai di dekat mobil Jonan terparkir, tawa Nana mendadak hilang. Anin yang belum menyadari akan hal itu, dengan cepat Nana sikut dan tawa pun terhenti.“Apa sih!” dengus Anin. Nana tidak menjawab, melainkan menyikut lengan Anin dan memainkan mata.“Apaan?” Anin bertanya lagi. Kali ini pandangannya mengikuti gerak jari telunjuk Nana.Saat pandangannya berhenti pada sesuatu yang membuat tawa Nana mendadak berhenti, Anin menelan ludah dan mengerjapkan mata cukup lama.“Jonan?” kata Anin usai berkedip dan sedikit berkedip. “Ngapain di sini?”“Nyari kamu lah!” sahut Jonan. Jonan melempar puntung rokok lalu menginjaknya. “Di telpon malah dimatikan!”Anin berdecak tak peduli. “Aku kan suda
Satu bulan sudah berlalu sejak peresmian Bagas. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan sandiwara cinta masih terus berlanjut sampai detik ini. Bedanya, kian hari Bagas semakin menjauh dari Anin. Bisa dikatakan, Anin hanya bertemu Bagas saat sarapan pagi dan menjelang tidur.Anin tak peduli akan hal itu sekarang. Setelah Jonan terus mengganggu Anin hampir setiap hari, Anin sampai-sampai lupa kalau statusnya saat ini masih menjadi istri Bagas. Bukan berarti Anin berselingkuh dengan Jonan, melainkan Anin hanya lebih sering menghabiskan waktu bersama Jonan.Tidak ada ikatan khusus di antara mereka terkecuali masih sebatas saudara ipar.“Kalau mama tanya, bilang saja aku sedang ada urusan bisnis sampai malam,” kata Bagas sebelum berangkat kerja.Anin cukup mengangguk saja. Sejujurnya Anin sudah malas berhadapan dengan Bagas. Bagas terlihat aneh dan selalu terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Entah ini hanya perasaan Anin, atau memang begitu adanya.
Seperginya dari rumah lagi, Bagas bukan kembali ke kantor melainkan pindah arah ke tempat lain. Bagas menghentikan mobil tepat di depan halaman rumah seseorang. Tak lama kemudian, baru saja Bagas turun dari mobil, seorang wanita berlalu menghambur datang dan langsung memeluk Bagas.“Kenapa lama sekali, Mas?” keluh Ela sambil menggesek-gesekkan pipi pada lengan Bagas. “Aku kan kangen,” rengeknya lagi.Sifat manja Ela selalu saja berhasil membuat Bagas semakin cinta.“Maaf, tadi aku sekalian mampir ke rumah dulu. Ambil berkas penting,” kata Bagas.“Ya sudah, ayo masuk,” ajak Ela kemudian. “Aku sudah membuatkan kamu puding yang enak.”Apapun yang dilakukan Ela, akan membuat Bagas selalu mengangguk dan berkata ‘Iya’. Sambil berjalan masuk ke dalam, Bagas sempat memberi tepukan di area pantat Ela. “Sebentar lagi, aku akan menikmati benda ini.”“Mas, jangan begitu,” umpat Ela. “Kamu kan emang sudah pernah menikmatinya. Kamu yang pertama kan?” Ela menyen