Share

Part 12

Meninggalkan area hotel, Jonan  berpikir sebaiknya segera mencari kebenaran tentang foto itu. Jonan sebenarnya terlalu lambat untuk mencari bukti. Akan tetapi, itu bukan berarti Jonan tidak peduli dengan Anin. Jonan sangat peduli, sungguh peduli. Namun, Jonan hanya sedang memperlambat semuanya.

Jangan katakan Jonan termasuk pria jahat karena membiarkan pernikahan Bagas dan Anin terus berlanjut. Jonan terlalu mencintai Anin sehingga memilih membiarkan Anin tetap di sisi Bagas sampai Anin benar-benar merasa lelah.

Menurut Jonan, mungkin inilah saatnya mencari tahu supaya bisa segera membebaskan Anin dari tuduhan Bagas.

“Mungkinkah itu kelab di mana Anin pernah dijebak?” batin Jonan saat mendapati Ela turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam kelab.

“Ela memang ada hubungannya dengan foto itu.”

Jonan menepikan mobil kemudian turun. Berdiri sejenak di halaman tempat hiburan malam tersebut, membuat Jonan bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus masuk ke dalam sana. Seumur-umur, Jonan sama sekali belum pernah yang namanya menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Bagi Jonan, hiburan malam hanya tempat yang dikhususkan untuk orang-orang yang sudah kehilangan akal sehat.

Mungkin tidak semuanya, tapi itu yang Jonan tahu.

“Kemana perginya wanita itu?” tanya Jonan saat sudah masuk. Jonan celingukan mencari sosok Ela di antara kerumunan para pengunjung yang sedang berjoget ria.

“Aku yakin pasti ada hubungannya sama si Ela.” Jonan terus berjalan melewati kerumunan hingga mendapati sosok Ela sedang duduk di sofa yang tak jauh letaknya dari meja bartender.

Ela tidak sendirian. Dia duduk bersama seorang pria berambut gondrong sebahu dengan tato bergambar bunga merah madam di punggung telapak tangan sebelah kanan.

“Sial!” umpat Jonan saat tangannya merogoh saku dan tak mendapati ponselnya di dalamnya. “Aku taruh di mana ponselku?” batin Jonan.

Jonan bergeser sambil mencoba menutupi wajah dengan berpaling ke arah lain. “Sepertinya aku taruh di kamar, tadi.” Jonan kemudian duduk, di depan meja bartender dan pura-pura bercengkerama dengan salah satu pengunjung.

Beruntung, Jonan bertemu dengan pria yang jauh dari kata menyeramkan, jadi setidaknya Jonan tidak terlalu was-was.

“Apa kamu kenal wanita itu?” tanya Pria yang duduk di depan Jonan. Sebut saja namanya Tian.

“Eh, ha?” Jonan refleks memutar pandangan. “Siapa?”

“Wanita yang di sana.” Tian menunjuk ke arah Ela yang sedang bergelayut manja di dada pria kekar itu. “Aku perhatikan, dari tadi kamu melihat ke arah dia terus.”

Jonan mengetuk-ketuk meja dengan jemari bergantian. “Aku memang lagi membuntuti dia,” ujar Jonan kemudian.

Tian meraih segelas wine yang disodorkan seorang bartender. “Mau?” tawar Tian pada Jonan.

Jonan menggeleng. “Aku tidak minum.”

Tian lantas tertawa mendengar jawaban Jonan. Tertawa lagi hingga kemudian wajahnya berkerut ketika satu tegukan wine mengalir masuk ke tenggorokan.

“Dia itu wanita sialan,” kata Tian kemudian. “Apa kamu mantan kekasihnya?”

Jonan menggeleng lagi. “Aku sebenarnya juga nggak kenal sama dia.”

“Lalu, ngapain kamu membuntuti dia?” tanya Tian. “Ah, jangan-jangan kamu naksir dia ya?” Tian sampai menyodorkan gelas kosong ke arah Jonan.

“Tidak juga. Aku cuma lagi mencari informasi,” ujar Jonan.

Tian manggut-manggut. “Isi lagi!” perintah Tian pada seorang bartender. “Maaf, aku memang suka minum.” Tian nyengir ke arah Jonan.

Meskipun Jonan sedang berbicara dengan orang asing, tapi mata Jonan tetap terus memantau gerak-gerik Ela bersama pria di sampingnya itu.

“Apa kamu butuh uang?” tanya Jonan tiba-tiba.

“Akh!” Tian membuang udara dari mulut usai meneguk satu gelas minumannya lagi. “Apa maksudmu?” tanya Tian setelah itu.

“Aku memang belum mengenalmu, tapi aku sangat butuh bantuan. Kalau kamu mau membantuku, aku siap membayarmu. Bagaimana?” Jonan menatap serius ke arah Tian.

Tian nampak berpikir sejenak hingga kemudian berkata. “Apa ini menyangkut wanita itu?”

Jonan mengangguk mantap.

Tian tiba-tiba menyeringai. “Berani bayar berapa kamu?”

“Tidak banyak.” Jawaban Jonan sangat singkat.

“Baiklah,” jawab Tian kemudian. “Ini nomorku.” Tian tiba-tiba mengeluarkan kartu nama dari dalam dompet. “Hubungi Aku kapan pun kamu butuh informasi.”

Tian kemudian berdiri setelah menyulut satu rokok yang ia ambil berbarengan dengan dompetnya. Setelah itu Tian pergi ke ruang  dalam.

Sebelum diketahui oleh Ela, Jonan pun beranjak pergi. Melangkahkan kaki dengan cepat supaya segera menjauh dari tempat mengerikan ini.

“Tian Pamungkas.” Begitu nama yang tertulis di kartu nama yang sedang Jonan pegang. “Apa dia bisa aku andalkan?” batin Jonan.

"Tunggu dulu!" Jonan menatap tulisan berwarna silver di kartu nama tersebut. "Jadi, Tian pemilik kelab ini? Hm, kenapa juga dia mau membantuku?"

Tepat pukul sebelas malam, Jonan akhirnya sampai di hotel lagi. Jonan langsung berjalan memasuki lorong kemudian masuk lift dan naik ke lantai tiga.

“Anin!” pekik Jonan saat memasuki lorong lantai dua. Jonan mendapati Anin sedang celingukan di depan pintu kamarnya. Tidak seluruhnya terlihat, Jonan hanya melihat bagian leher hingga kepala Anin yang menyembul keluar.

“Hei!” tegur Jonan sambil memukul lantai dengan langkah kakinya. “Ngapain?”

Anin yang kaget luar biasa hampir saja terpentok ke pintu bagian belakang kepala.  “Selalu saja kamu!” hardik Anin.

Jonan maju mendekati Anin yang masih berdiri di ambang pintu yang tidak terbuka sempurna. “Ngapain di situ?” tanya Jonan lagi.

“Nggak pa-pa.”

Grep! Anin menutup pintu tanpa permisi.

Tok! Tok! Tok!

“Anin! Buka!” panggil Jonan. Jonan sampai lupa kalau kemungkinan di dalam sana ada Bagas.

Anin berdecak saat pintu terbuka lagi. “Apa sih!” sungut Anin.

“Kamu ngapain malam-malam celingukan di depan pintu?” tanya Jonan penuh penekanan. “Lagi nunggu Bagas?”

“Nggak,” jawab Anin cepat.

Dahi Jonan berkerut. “Terus?”

“Nggak ada terusnya. Aku cuma lagi lapar, tadi aku lupa makan,” jawab Anin kemudian. “Ah, sudahlah. Sudah malam juga kan.”

“Mau makan?” tawar Jonan.

Anin diam sambil berpikir. Anin terlihat menggigit bibir sementara kedua kakinya saling injak bergantian.

“Lapar kan?” Jonan bertanya lagi. Sepertinya Jonan berniat menggoda Anin.

Anin merengut kemudian berdecak. “Tentu saja aku mau makan!” sembur Anin kemudian sambil menghentakkan kaki.

Jonan langsung tertawa sampai-sampai memukuli pahanya sendiri.

Anin yang merasa sedang dipermainkan, mendadak merengut dan langsung jengkel. “Sudahlah! Aku tidur saja!”

“Eh, Eh!” Jonan meraih pinggang Anin saat hendak masuk ke dalam kamar lagi.

“Apa sih! Lepas!” Anin menangkis tangan Jonan.

“Iya, maaf. Salah kamu sih, kenapa pakai ngambek segala!” seloroh Jonan tak mau disalahkan.

Anin melipat kedua tangan masih dengan wajah merengut.

“Ayo makan. Di luar masih ada restoran yang buka,” kata Jonan sambil membelai rambut Anin.

“Aku ganti baju dulu,” kata Anin.

Jonan lantas berdecak. “Tidak usah. Pakai baju tidur juga nggak pa-pa. Lagian tertutup kan?”

Anin mengerutkan bibir sebelum akhirnya mengangguk. “Oke lah.”

“Ngomong-ngomong, Bagas  kemana?” tanya Jonan saat memasuki lift.

Anin angkat bahu. “Aku nggak tahu.”

Jonan menghela napas lirih sambil tersenyum tipis melihat sebagian wajah Anin.

“Seperti inikah, wanita yang Bagas sia-siakan?” batin Jonan.

“Ngapain liatin aku terus?” tegur Anin. Tatapan Jonan membuat Anin merasa risih.

“Nggak,” elak Jonan. “Aku cuma sedang melihat tombol itu.” Jonan mengelak sambil menunjuk beberapa tombol di samping pintu lift.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rimazein
mahal bet koinnya dah gitu buka bab koinnya banyak ...
goodnovel comment avatar
Niza Anisyah
koin buat buka hrs 10 bonus dr 20 skrg cmn 13 g bs banyak yg dibaca jd g seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status