Share

Part 2

Semburat sang surya di luar sana, sudah mulai menembus melalui sela-sela jendela. Anin yang memang sudah bangun sejak subuh tadi, tentunya mulai disibukkan dengan rutinitasnya menyiapkan pakaian sang suami.

“Mana bajuku?” tanya Bagas ketika sudah keluar dari kamar mandi. “Jangan lupa sepatu dan tasku.”

“Ini baju kamu, Mas” Anin meletakkan setelan jas untuk Bagas di atas ranjang. “Aku ambilkan sepatu kamu dulu.”

“Cepat! Jangan lama-lama. Aku sudah kesiangan.”

Anin berbalik cepat dari ruangan yang dikhususkan untuk menaruh koleksi sepatu dan barang pribadi milik Bagas.

“Ini,” kata Anin kemudian.

Bagas duduk di tepi ranjang sambil mengancing kemejanya. “Pakaikan, cepat!” perintah Bagas.

Meskipun sentakan itu sudah menjadi makanan Anin setiap pagi, tapi tetap saja Anin masih sering terhenyak dan kaget. Bahkan kadang rasanya lebih sakit saat Anin terlalu memikirkannya.

Tanpa berpamitan layaknya suami istri pada umumnya, Bagas yang sudah siap justru langsung nyelonong begitu saja keluar dari dalam kamar.

“Di mana Anin?” tanya Hanggoro. “Nggak kamu ajak sarapan?”

Bagas meletakkan tas kerjanya di kursi kosong yang sebelahnya dia duduki. “Dia belum mandi. Katanya mau makan nanti.”

Jawaban Bagas mungkin dimaklumi oleh papa dan mama, tapi tidak dengan Jonan. Jonan tentu saja tahu kalau Bagas memang berniat tidak mengajak Anin untuk sarapan.

“Ya sudah, kita tinggal,” kata mama kemudian. “Nanti biar Anin menyusul.”

Keluarga ini memang sangat sibuk. Setiap hari tidak ada yang menganggur di rumah. Hanggoro yang sibuk dengan bisnis properti, Bagas yang ditunjuk sebagai menejer perusahaan, dan Sasmita yang harus sibuk di salon, tentunya membuat mereka lebih sering berada di luar. Mereka akan berada di rumah sekitar pukul lima sore sampai pagi.

Bagaimana dengan Jonan? Jonan lebih sering di rumah. Bukan karena dia tidak memiliki pekerjaan, tapi Jonan sudah mempercayakan pada para karyawannya. Dan yang paling utama, ada asisten pribadinya bernama Tirta.

“Kamu tidak pergi ke pabrik?” tanya Anin sambil membereskan sisa makanan di atas meja.

Anin muncul setelah semua orang sudah pergi dan hanya menyisakan Jonan yang justru masih asik menikmati sepiring nasi goreng.

“Tidak. Sudah ada Tirta di sana,” jawab Jonan. “Kau mau makan?” tawar Jonan kemudian.

Sambil tersenyum, Anggun menggeleng. “Aku belum lapar.”

“Sini biar Bibi saja yang bereskan,” kata Bibi Niah sambil merebut pelan setumpuk piring yang ada di tangan Anin.

“Nggak pa-pa, Bi. Aku biasa bantu kan?” Anin tersenyum.

Kalau sudah melihat senyum Anin yang manis, Bibi Niah pun akan melumer. Bukan hanya Bibi Niah, Jonan yang sempat melirik senyum itu pun sejujurnya merasa terpesona.

Bibi Niah sudah kembali ke dapur. Dan kini hanya ada Anin dan Jonan di ruang makan.

“Duduklah, temani aku makan,” pinta Jonan santai. “Kamu juga harus makan. Jangan sampai perutmu sakit.”

Bukankan itu terdengar seperti sebuah perhatian? Anin merasa nyaman dengan ucapan tersebut.

Masih dengan mode diam, Anin pada akhirnya ikut duduk dan mulai menikmati sarapan pagi yang sudah beranjak siang.

“Kenapa kamu tidak mencoba membuktikan kalau kamu tidak bersalah?”

Anin diam masih sambil mengunyah makanan. Anin sedang membiarkan Jonan terus bicara.

“Kalau kamu memang tidak bersalah, cari tahu lalu buktikan. Jangan biarkan Bagas terus mempermainkanmu.”

Anin meletakkan kedua sendoknya di atas piring. “Tidak semudah itu. Kamu pikir aku harus membuktikan dengan cara apa?” tanya Anin kemudian.

Satu yang sebenarnya sedikit Anin khawatirkan— Jonan yang notabenya sebagai adik Bagas— ternyata tahu tentang semua rahasia di balik pernikahannya dengan Bagas. Jonan tahu semuanya, termasuk dengan kebahagiaan palsu yang Anin buat.

“Cari tahu siapa pelakunya,” kata Jonan enteng. “Telusuri dan ingat-ingat kenapa kamu berada di kelab malam itu?”

“Apa kamu juga tahu tentang kelab?” tanya Anin curiga. Selera makan mendadak sudah lenyap. “Jawab!” tegas Anin.

Jonan terlihat santai dan seperti tak peduli dengan pelototan Anin. “Jangan kamu pikir aku dalang dari semuanya,” cibir Jonan.

“Lalu, kenapa kamu bahas tentang kelab itu?” salak Anin. "Padahal aku yakin kamu hanya tahu kenapa Bagas mendadak membenciku. Tidak yang lain.”

Jonan menghela napas. Memutar bola mata malas kemudian mendorong kursi dan berdiri. “Kamu itu terlalu bodoh. Makanya mudah dikibulin.”

“Apa kamu bilang?” Anin ikut berdiri dan memberi tatapan tajam. “Tarik ucapan kamu!”

Lagi-lagi Jonan menghela napas. Tidak pergi menjauh, melainkan maju tiga langkah hingga sampai tepat di hadapan Anin. Jonan tidak langsung berkata, melainkan memilih memandangi Anin mulai dari bawah hingga ke atas.

Anin yang tak suka dengan tatapan itu sontak mengatupkan kedua tangan—memeluk tubuhnya sendiri. “Apa yang kamu lihat!” salak Anin. “Jangan macam-macam!”

“Hei!” Jonan yang jauh lebih tinggi dari Anin lantas mensejajarkan wajah. “Kalau aku memang berniat macam-macam sama kamu, sudah aku lakukan sejak dulu. Dasar bodoh!”

Anin mencengkeram erat pada sandaran kursi. Tatapannya terpaku lurus ke arah Jonan yang wajahnya semakin dekat. Mendadak Anin merasakan degup jantungnya meloncat-loncat lebih cepat dari sebelumnya.

“Ada apa ini?” batin Anin yang tak kunjung bisa berkedip maupun bergerak.

“Jangan menatapku begitu, nanti kamu terpesona.” Seringaian mengembang sempurna di wajah Jonan.

Saat Jonan sudah menarik mundur punggungnya, saat itulah Anin segera tersadar dari lamunannya.

“Jangan terlalu dekat denganku. Ingat, aku ini istri kakak kamu,” kata Anin sambil membuang muka.

Jonan mendecih setengah meringis. “Istri yang bahkan sampai detik ini belum dijamah.”

“Kau!” Anin melotot sambil mengacungkan jari telunjuk.

“Apa?” dengan santainya Jonan membalas pelototan mata Anin. “Memang begitu kan?”

“Sangat tidak sopan!” gertak Anin sambil mengentakkan kaki.

Ketika Anin sudah mendorong mundur kursinya dan hendak angkat kaki, Jonan justru menarik lengan Anin. “Tunggu!”

Anin mengibas. “Apa, sih!” 

“Jadilah istriku. Aku janji akan membahagiakan kamu.”

Degh! Anin kembali mematung. Kalimat yang baru saja Anin dengan terasa lebih kuat dari sambaran petir saat hujan. Anin termenung dengan bibir sedikit terbuka, sementara dua bola matanya buyar entah memandang apa.

“Jangan asal bicara!” hardik Anin saat tatapan sudah menunduk.

“Aku tidak main-main,” sahut Jonan. “Aku tahu kamu butuh kasih sayang, kamu butuh sentuhan. Kamu mendambakan hubungan suami istri.”

PLAK!

Satu tamparan melayang begitu saja mendarat tepat di pipi kiri Jonan. Mata Anin terlihat memerah dan mulai berkaca-kaca.

“Lancang sekali bicaramu. Aku ini istri kakak kamu!” Anin menyala-nyala.

“Aku tahu!” balas Jonan. “Aku memang tahu kau istri kakakku, tapi aku hanya ingin membahagiakan kamu. Jangan berkorban terus untuknya, Anin!”

Anin terdiam sesaat. Anin sedang mengatur napasnya yang mulai memburu.

“Dengar ....” Anin kembali menatap Jonan. “Ini urusanku. Aku tahu kamu hanya kasihan padaku. Jadi ... berhentilah membahas hal seperti ini.”

Anin menunduk, kemudian berlalu meninggalkan Jonan.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nietha
Anin sabar apa bodoh sih ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status