Semburat sang surya di luar sana, sudah mulai menembus melalui sela-sela jendela. Anin yang memang sudah bangun sejak subuh tadi, tentunya mulai disibukkan dengan rutinitasnya menyiapkan pakaian sang suami.
“Mana bajuku?” tanya Bagas ketika sudah keluar dari kamar mandi. “Jangan lupa sepatu dan tasku.”
“Ini baju kamu, Mas” Anin meletakkan setelan jas untuk Bagas di atas ranjang. “Aku ambilkan sepatu kamu dulu.”
“Cepat! Jangan lama-lama. Aku sudah kesiangan.”
Anin berbalik cepat dari ruangan yang dikhususkan untuk menaruh koleksi sepatu dan barang pribadi milik Bagas.
“Ini,” kata Anin kemudian.
Bagas duduk di tepi ranjang sambil mengancing kemejanya. “Pakaikan, cepat!” perintah Bagas.
Meskipun sentakan itu sudah menjadi makanan Anin setiap pagi, tapi tetap saja Anin masih sering terhenyak dan kaget. Bahkan kadang rasanya lebih sakit saat Anin terlalu memikirkannya.
Tanpa berpamitan layaknya suami istri pada umumnya, Bagas yang sudah siap justru langsung nyelonong begitu saja keluar dari dalam kamar.
“Di mana Anin?” tanya Hanggoro. “Nggak kamu ajak sarapan?”
Bagas meletakkan tas kerjanya di kursi kosong yang sebelahnya dia duduki. “Dia belum mandi. Katanya mau makan nanti.”
Jawaban Bagas mungkin dimaklumi oleh papa dan mama, tapi tidak dengan Jonan. Jonan tentu saja tahu kalau Bagas memang berniat tidak mengajak Anin untuk sarapan.
“Ya sudah, kita tinggal,” kata mama kemudian. “Nanti biar Anin menyusul.”
Keluarga ini memang sangat sibuk. Setiap hari tidak ada yang menganggur di rumah. Hanggoro yang sibuk dengan bisnis properti, Bagas yang ditunjuk sebagai menejer perusahaan, dan Sasmita yang harus sibuk di salon, tentunya membuat mereka lebih sering berada di luar. Mereka akan berada di rumah sekitar pukul lima sore sampai pagi.
Bagaimana dengan Jonan? Jonan lebih sering di rumah. Bukan karena dia tidak memiliki pekerjaan, tapi Jonan sudah mempercayakan pada para karyawannya. Dan yang paling utama, ada asisten pribadinya bernama Tirta.
“Kamu tidak pergi ke pabrik?” tanya Anin sambil membereskan sisa makanan di atas meja.
Anin muncul setelah semua orang sudah pergi dan hanya menyisakan Jonan yang justru masih asik menikmati sepiring nasi goreng.
“Tidak. Sudah ada Tirta di sana,” jawab Jonan. “Kau mau makan?” tawar Jonan kemudian.
Sambil tersenyum, Anggun menggeleng. “Aku belum lapar.”
“Sini biar Bibi saja yang bereskan,” kata Bibi Niah sambil merebut pelan setumpuk piring yang ada di tangan Anin.
“Nggak pa-pa, Bi. Aku biasa bantu kan?” Anin tersenyum.
Kalau sudah melihat senyum Anin yang manis, Bibi Niah pun akan melumer. Bukan hanya Bibi Niah, Jonan yang sempat melirik senyum itu pun sejujurnya merasa terpesona.
Bibi Niah sudah kembali ke dapur. Dan kini hanya ada Anin dan Jonan di ruang makan.
“Duduklah, temani aku makan,” pinta Jonan santai. “Kamu juga harus makan. Jangan sampai perutmu sakit.”
Bukankan itu terdengar seperti sebuah perhatian? Anin merasa nyaman dengan ucapan tersebut.
Masih dengan mode diam, Anin pada akhirnya ikut duduk dan mulai menikmati sarapan pagi yang sudah beranjak siang.
“Kenapa kamu tidak mencoba membuktikan kalau kamu tidak bersalah?”
Anin diam masih sambil mengunyah makanan. Anin sedang membiarkan Jonan terus bicara.
“Kalau kamu memang tidak bersalah, cari tahu lalu buktikan. Jangan biarkan Bagas terus mempermainkanmu.”
Anin meletakkan kedua sendoknya di atas piring. “Tidak semudah itu. Kamu pikir aku harus membuktikan dengan cara apa?” tanya Anin kemudian.
Satu yang sebenarnya sedikit Anin khawatirkan— Jonan yang notabenya sebagai adik Bagas— ternyata tahu tentang semua rahasia di balik pernikahannya dengan Bagas. Jonan tahu semuanya, termasuk dengan kebahagiaan palsu yang Anin buat.
“Cari tahu siapa pelakunya,” kata Jonan enteng. “Telusuri dan ingat-ingat kenapa kamu berada di kelab malam itu?”
“Apa kamu juga tahu tentang kelab?” tanya Anin curiga. Selera makan mendadak sudah lenyap. “Jawab!” tegas Anin.
Jonan terlihat santai dan seperti tak peduli dengan pelototan Anin. “Jangan kamu pikir aku dalang dari semuanya,” cibir Jonan.
“Lalu, kenapa kamu bahas tentang kelab itu?” salak Anin. "Padahal aku yakin kamu hanya tahu kenapa Bagas mendadak membenciku. Tidak yang lain.”
Jonan menghela napas. Memutar bola mata malas kemudian mendorong kursi dan berdiri. “Kamu itu terlalu bodoh. Makanya mudah dikibulin.”
“Apa kamu bilang?” Anin ikut berdiri dan memberi tatapan tajam. “Tarik ucapan kamu!”
Lagi-lagi Jonan menghela napas. Tidak pergi menjauh, melainkan maju tiga langkah hingga sampai tepat di hadapan Anin. Jonan tidak langsung berkata, melainkan memilih memandangi Anin mulai dari bawah hingga ke atas.
Anin yang tak suka dengan tatapan itu sontak mengatupkan kedua tangan—memeluk tubuhnya sendiri. “Apa yang kamu lihat!” salak Anin. “Jangan macam-macam!”
“Hei!” Jonan yang jauh lebih tinggi dari Anin lantas mensejajarkan wajah. “Kalau aku memang berniat macam-macam sama kamu, sudah aku lakukan sejak dulu. Dasar bodoh!”
Anin mencengkeram erat pada sandaran kursi. Tatapannya terpaku lurus ke arah Jonan yang wajahnya semakin dekat. Mendadak Anin merasakan degup jantungnya meloncat-loncat lebih cepat dari sebelumnya.
“Ada apa ini?” batin Anin yang tak kunjung bisa berkedip maupun bergerak.
“Jangan menatapku begitu, nanti kamu terpesona.” Seringaian mengembang sempurna di wajah Jonan.
Saat Jonan sudah menarik mundur punggungnya, saat itulah Anin segera tersadar dari lamunannya.
“Jangan terlalu dekat denganku. Ingat, aku ini istri kakak kamu,” kata Anin sambil membuang muka.
Jonan mendecih setengah meringis. “Istri yang bahkan sampai detik ini belum dijamah.”
“Kau!” Anin melotot sambil mengacungkan jari telunjuk.
“Apa?” dengan santainya Jonan membalas pelototan mata Anin. “Memang begitu kan?”
“Sangat tidak sopan!” gertak Anin sambil mengentakkan kaki.
Ketika Anin sudah mendorong mundur kursinya dan hendak angkat kaki, Jonan justru menarik lengan Anin. “Tunggu!”
Anin mengibas. “Apa, sih!”
“Jadilah istriku. Aku janji akan membahagiakan kamu.”
Degh! Anin kembali mematung. Kalimat yang baru saja Anin dengan terasa lebih kuat dari sambaran petir saat hujan. Anin termenung dengan bibir sedikit terbuka, sementara dua bola matanya buyar entah memandang apa.
“Jangan asal bicara!” hardik Anin saat tatapan sudah menunduk.
“Aku tidak main-main,” sahut Jonan. “Aku tahu kamu butuh kasih sayang, kamu butuh sentuhan. Kamu mendambakan hubungan suami istri.”
PLAK!
Satu tamparan melayang begitu saja mendarat tepat di pipi kiri Jonan. Mata Anin terlihat memerah dan mulai berkaca-kaca.
“Lancang sekali bicaramu. Aku ini istri kakak kamu!” Anin menyala-nyala.
“Aku tahu!” balas Jonan. “Aku memang tahu kau istri kakakku, tapi aku hanya ingin membahagiakan kamu. Jangan berkorban terus untuknya, Anin!”Anin terdiam sesaat. Anin sedang mengatur napasnya yang mulai memburu.
“Dengar ....” Anin kembali menatap Jonan. “Ini urusanku. Aku tahu kamu hanya kasihan padaku. Jadi ... berhentilah membahas hal seperti ini.”
Anin menunduk, kemudian berlalu meninggalkan Jonan.
***
Kalimat-kalimat yang Jonan katakan pagi tadi, tak mudah untuk Anin abaikan begitu saja. Jika biasanya Jonan hanya sekedar menggodanya atau menyindir hal-hal sepele, tapi kali ini Jonan justru mulai menjerumus.Anin yang memang tak tahan menyimpan rahasianya sendiri, ia selalu memilih meluapkannya pada sahabat dari semasa kecil.“Apa ada masalah lagi?” tanya Nana.Anin yang sedang duduk di atas ayunan, terlihat tersenyum pias. “Aku memang selalu ada masalah ....”Nana menyeret kursi lebih dekat ke samping Anin lalu duduk. “Bukan begitu ... tapi masalah yang lain.”Anin menghentikan gerak ayunannya. “Aku capek, Na,” desah Anin. “Aku ingin menyudahi semuanya, tapi bagaimana?”“Kalau begitu, kamu sudahi saja,” sahut Nana. “Beranikan diri.”Anin mendesah kemudian mendongakkan wajah. Memandangi birunya langit untuk sesaat, kemudian Anin menoleh ke arah Nana dengan senyum getir. “Nggak semudah itu, Na.”Membalas senyum tipis yang tak
Saat Anin sudah tertidur pulas, Jonan pun berdiri. Puas sudah sedari tadi Jonan duduk di atas lantai memeluk tepian ranjang sambil memegangi tangan Anin yang sedang berbaring.Dalam kondisi seperti ini, Jonan bahkan sampai lupa kalau saat ini berada di kamar yang seharusnya tidak dipijak. Kamar Bagas dan Anin tentunya. Namun, Jonan bisa bernapas lega karena sampai Anin terlelap sosok Bagas tetap tidak muncul.“Aku akan memilikimu. Pasti,” kata Jonan saat sudah berdiri.Hampir saja Jonan memberi kecupan di kening, tapi Jonan buru-buru tersadar dan segera angkat kaki.Baru beberapa langkah menjauh dari pintu kamar Anin, Jonan mendengar suara langkah seseorang menaiki anak tangga. Nampaknya sedang berbicara di telpon.“Iya, besok aku pasti datang. Kamu nggak usah khawatir. Dadah, emmmuah!”Jonan terperanjat mendengar kata penutup panggilan itu. Jonan yang sedang berdiri di depan tralis pembatas tepian lantai dua, hanya sekedar melirik hingga Ba
Jonan Hanggoro, putra kedua dari pasangan Hanggoro dan Sasmita. Dia adalah adik dari Bagas. Sebenarnya hidup dia tidaklah buruk. Dia bukan tipe pria yang sering keluar malam seperti Bagas. Hanya saja, Jonan adalah tipe pria yang terkadang merasa malas jika harus berurusan dengan seorang wanita.Jika ditanya mengapa Jonan bisa jatuh hati pada Anin, Jonan sendiri tidak tahu. Yang Jonan ketahui, Anin adalah wanita menyedihkan yang tinggal di rumah ini. Wanita terbodoh yang mau disakiti oleh suaminya sendiri.Jonan ingin tertawa saat berulang kali menggoda Anin dengan kata ‘Bodoh’. Jonan sering meledek Anin hingga menyebut hal sensitif. Anehnya, Anin tidak pernah marah saat Jonan melakukan hal tersebut. Di situlah Jonan mulai tertarik untuk terus menggoda Anin.Tertarik pada kakak ipar mungkin salah, tapi kalau hati sudah memaksa, mau bagaimana lagi? Jonan ingin membantah, hanya saja terasa begitu sulit.“Kamu mau pergi ke mana?” tanya Jonan ketika Anin muncu
“Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Anin. Pandangannya nanar menatap lurus ke arah air danau yang terlihat tenang.Jonan yang duduk di samping Anin, menipiskan bibir sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke tengah danau. Alhasil lemparan itu menghasilkan gelombang rendah.“Aku mau tanya,” kata Jonan yang tak menggubris pertanyaan Anin.“Apa?” Anin menoleh. Anak rambut yang menjuntai di pelipis, Anin sibakkan ke balik daun telinga.Masih melempari batu kerikil ke tengah danau, Jonan kemudian bertanya lagi, “Apa kamu merasa begitu menyedihkan?”Pertanyaan Jonan membuat Anin terdiam sejenak. Sambil memikirkan jawabannya, Anin juga ikut melempari batu kerikil ke tengah danau.“Aku memang menyedihkan. Hidupku kacau setelah kepergian kakek,” kata Anin berwajah datar. “Aku terkadang merasa tak berguna.” Anin tersenyum getir.Jonan paling malas kalau berada di situasi yang menyedihkan. Jonan orangnya paling tidak tegaan melihat ad
Apa yang dikatakan Jonan, pada akhirnya membuat Sasmita dan Hanggoro kepikiran. Sasmita sendiri, sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dan tepat sekitar pukul enam sore, Hanggoro pun pulang.Setelah Hanggoro membersihkan diri, Sasmita langsung menarik suaminya untuk segera duduk. Duduk dengan wajah serius dan sama-sama saling penasaran.“Ada apa sih, Ma?” tanya Hanggoro.“Aku mau tanya sama papa,” kata Sasmita. “Ini soal Jonan.”Hanggoro mendadak serius ketika nama putra keduanya disebut. Tampang Hanggoro bahkan lebih serius dari Sasmita.“Apa kamu juga diajak bicara sama Jonan, Ma?” tanya Hanggoro.Sasmita menggeleng. “Aku cuma penasaran kenapa tadi Jonan berkata aneh padaku. Aku jadi penasaran,” kata Sasmita.“Apa tentang Bagas dan Anin?” tanya Hanggoro.Sasmita langsung mengangguk. “Jonan sepertinya tahu sesuatu diantara Bagas dan Anin.”Hanggoro diam sambil mengusap dagu. Hanggoro sedang mengi
Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”“
“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masal
Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.“Ada apa?” tanya Anin.Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.Jona