Kalimat-kalimat yang Jonan katakan pagi tadi, tak mudah untuk Anin abaikan begitu saja. Jika biasanya Jonan hanya sekedar menggodanya atau menyindir hal-hal sepele, tapi kali ini Jonan justru mulai menjerumus.
Anin yang memang tak tahan menyimpan rahasianya sendiri, ia selalu memilih meluapkannya pada sahabat dari semasa kecil.
“Apa ada masalah lagi?” tanya Nana.
Anin yang sedang duduk di atas ayunan, terlihat tersenyum pias. “Aku memang selalu ada masalah ....”
Nana menyeret kursi lebih dekat ke samping Anin lalu duduk. “Bukan begitu ... tapi masalah yang lain.”
Anin menghentikan gerak ayunannya. “Aku capek, Na,” desah Anin. “Aku ingin menyudahi semuanya, tapi bagaimana?”
“Kalau begitu, kamu sudahi saja,” sahut Nana. “Beranikan diri.”
Anin mendesah kemudian mendongakkan wajah. Memandangi birunya langit untuk sesaat, kemudian Anin menoleh ke arah Nana dengan senyum getir. “Nggak semudah itu, Na.”
Membalas senyum tipis yang tak terniat itu, Nana lantas berdiri. “Tapi kamu akan terus tersiksa kalau kaya gini terus,” kata Nana sambil mengayun pelan ayunan tersebut.
“Aku tahu ...” Anin menoleh. “Aku hanya takut kalau menyudahinya. Kamu tahu kan, aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi?”
Kalau Anin sudah membahas tentang hidupnya yang memang hanya sebatang kara, itu membuat Nana tak bisa memaksa Anin untuk berhenti menyudahi pernikahannya. Nana sendiri hanya sekedar pelayan restoran, untuk hidup sendiri dan keluarganya saja baru bisa dikatakan cukup. Jadi, untuk membantu Anin lebih lanjut Nana tentu saja belum bisa.
Keduanya sama-sama diam untuk beberapa menit, hingga kemudian Anin meminta Nana untuk menghentikan ayunannya.
“Aku pulang dulu ya, Na,” kata Anin kemudian.
“Mau aku antar?” tawar Nana.
Anin tersenyum sambil mencangklong tasnya yang sedari tergeletak di kursi panjang. “Nggak usah. Kamu kan juga harus pergi ke restoran. Jam kerja kamu hampir mulai.”
Nana meringis. “Aku lupa.” Menjitak kepala sendiri kemudian Nana memeluk Anin. “Hati-hati ya. Jangan terlalu dipikirkan. Ingat, kamu juga harus jaga kesehatan.”
Saat pelukan terlepas, Anin tersenyum. “Makasih kamu selalu menemani aku.”
Keduanya kemudian terpisah. Anin dan Nana sama-sama beranjak pergi dari atas rerumputan hijau di taman pinggir kota. Tentu saja arah keduanya berlawanan.
“Apa aku ikuti saran Nana saja ya,” gumam Anin saat mobil sudah melaju. “Tapi ... aku takut.” Anin menciut di kalimat terakhir.
“Bagas?” pekik Anin tiba-tiba.
Anin lantas membelokkan mobilnya. “Apa itu Bagas?” masih fokus dengan gerak mobilnya, Anin juga terlihat masih memantau dua orang yang sedang bergandengan masuk ke dalam sebuah hotel.
Dada mulai berkecamuk dan rasa penasaran terus meronta, Anin kemudian menghentikan mobil di area halaman hotel tersebut. Tanpa berpikir panjang, Anin melompat turun dari mobil kemudian segera menyusul orang yang Anin duga adalah suaminya.
“Kemana arahnya?” tanya Anin sambil celingukan.
Anin ingin tanya pada resepsionis, tapi tampaknya tak akan mendapat jawaban. Lebih baik cari sendiri saja.
Anin kemudian berjalan cepat memasuki lorong utama. Saat ada siku belokan ke arah lain, Anin mendadak mundur. Dari jaraknya berdiri saat ini, terlihat Bagas sedang bergandengan mesra dengan seorang wanita memasuki sebuah lift.
Didorong rasa curiga dan penasaran, Anin pun mendekati pintu lift tersebut. “Lantai empat,” kata Anin kemudian saat melihat monitor dengan tulisan warna hijau di atas pintu lift.
Anin bergegas masuk dan tentunya langsung menekan tombol menuju lantai empat.
“Kamu jahat tahu, Mas!” kata Ela sambil memukul dada Bagas. “Kamu sudah menghianati istrimu.”
Bagas tertawa sambil merangkul Ela. “Aku tidak jahat, justru dia yang jahat. Dia yang sudah tega membohongiku.”
Ela tersenyum kemudian merangkulkan kedua tangannya di tengkuk Bagas. “Kalau aku, pasti nggaj jahat, kan?”
“Tentu saja enggak.” Bagas memepet tubuh Ela pada pintu berwarna coklat. “Kamu justru wanita baik yang aku cintai saat ini.” Sebuah kecupan mendarat sempurna di bibir Ela.
“Apa-apaan ini?” lirih Anin dengan tubuh bergetar dan mata berkaca-kaca.
Dari balik dinding tempatnya berdiri sekarang, Anin bisa melihat dengan jelas berbuatan tak senonoh itu. Sang suami sudah tega berselingkuh di belakannya. Bermesraan di depan pintu kamar sebuah hotel, Anin tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah kedua orang itu masuk dalam kamar tersebut
“Ke-kenapa, kenapa begini?” lirih Anin lagi. Air mata sudah tak terbendung lagi dan akhirnya meluap begitu saja membasahi wajah.
Saat pandangan Anin mendongak, dua orang tersebut sudah raib. Mereka berdua sudah menghilang. Saat itulah Anin menangis hingga membuat dadanya sakit. Suami yang ia harapkan masih ada cinta untuknya, ternyata dengan tega berkhianat dan memilih tidur bersama wanita lain.
Anin kemudian menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan secara cepat, lalu Anin mengusap kasar wajahnya yang basah. “Aku harus pulang,” kata Anin.
Anin meraup wajahnya sekali lagi, barulah kemudian berjalan cepat keluar dari hotel tersebut. Apa yang baru saja Anin lihat, adalah sebuah bukti nyata kalau memang sudah tak ada rasa cinta dari Bagas untuk Anin. Kenangan manis yang terjadi sebelum pernikahan dulu, kini pada akhirnya berakhir dengan sebuah pengkhianatan.
BRAK!
Anin membanting pintu kamarnya sampai-sampai tidak tahu ada orang yang sempat memandanginya tadi.
“Kenapa dia?” gumam Jonan yang tahu Anin sedang bertingkah aneh.
Jonan yang awalnya sedang berdiri di depan rak buku, kemudian berjalan mendekat ke arah pintu kamar yang baru saja dibanting oleh Anin.
“Apa dia menangis lagi?” Jonan masih bertanya-tanya.
Sangat perlahan, kemudian Jonan memutar knop pintu. Mendorong pintu tersebut, hingga sosok wanita sedang menelungkup di bawah tepian ranjang pun terlihat.
Itu Anin. Ya, dia sedang menangis. Tebakan itu terlihat jelas dari kedua pundak Anin yang bergerak-gerak. Isak tangis pun bisa Jonan dengar.
Sudah tak tahan melihat Anin mengumpat tangis, Jonan kemudian berjalan mendekat secara perlahan. “Hei,” kata Jonan kemudian.
Masih dengan wajah yang basah dan mata sembab, Anin refleks mendongak. Ketika tahu siapa yang ada di hadapannya saat ini, Anin segera berdiri dan mengusap wajahnya dengan cepat. Jonan yang terkejut juga ikut berdiri.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Anin sesenggukan.
“Tidak ada,” sahut Jonan sambil angkat bahu. “Aku cuma lihat ada wanita cantik yang berlari masuk kamar sambil menangis.”
Anin mundur hingga bagian tengkuk lutut menabrak tepian ranjang. “Si-siapa yang menangis,” elak Anin. Jemari-jemari lentik itu masih sibuk mengusap wajah dengan kasar.
“Sudahlah, jangan kasar begitu. Wajah kamu nanti lecet.” Jonan menarik kedua tangan Anin supaya menjauhi wajah.
Anin berdehem lantas membuang muka. “Kamu keluar dari kamarku. Aku mau sendiri,” kata Anin.
Jonan mendecih. Sesaat kemudian, tiba-tiba Jonan justru memeluk tubuh Anin dengan erat. Anin yang terkejut awalnya sempat menolak, tapi merasa ada kehangatan yang menjalar, Anin mendadak diam membisu.
“Dia menyakiti kamu lagi?” tanya Jonan lirih sambil menghirup aroma wangi rambut Anin.
Anin menangis lagi. Menangis dengan air mata lebih banyak dari sebelumnya. Baju Jonan bagian dada bahkan sudah mulai basah.
“Bagas ... Bagas menghianati aku. Di-dia ... dia selingkuh.” Pecah sudah air mata itu semakin deras.
Anin sudah tak tahan memendamnya lagi. Rasa kecewa dan sakit di hati pada sosok Bagas, semakin meluap begitu saja.
“Sshhtt!” Jonan melepas pelukannya, kemudian menangkup wajah Anin dengan kedua tangan. Dua ibu jarinya bergerak-gerak mengusap pipi basah itu. “Jangan menangisi orang seperti itu. Kamu hanya menyiksa diri sendiri kalau seperti ini.”
Anin menatap sendu wajah Jonan. Wajah Jonan terlihat tampan dan penuh kasih sayang. Andai saja ini Bagas? Ah, Bagas tidak mungkin seperti ini. Anin kemudian mengerjapkan matanya beberapa detik, sebelum akhirnya tersadar kalau memang pria yang saat ini sedang menenangkan dirinya bukanlah Bagas. Pria ini tak lain adalah Jonan. Sosok pria yang selama setahun ini selalu menjahili Anin.
***
Saat Anin sudah tertidur pulas, Jonan pun berdiri. Puas sudah sedari tadi Jonan duduk di atas lantai memeluk tepian ranjang sambil memegangi tangan Anin yang sedang berbaring.Dalam kondisi seperti ini, Jonan bahkan sampai lupa kalau saat ini berada di kamar yang seharusnya tidak dipijak. Kamar Bagas dan Anin tentunya. Namun, Jonan bisa bernapas lega karena sampai Anin terlelap sosok Bagas tetap tidak muncul.“Aku akan memilikimu. Pasti,” kata Jonan saat sudah berdiri.Hampir saja Jonan memberi kecupan di kening, tapi Jonan buru-buru tersadar dan segera angkat kaki.Baru beberapa langkah menjauh dari pintu kamar Anin, Jonan mendengar suara langkah seseorang menaiki anak tangga. Nampaknya sedang berbicara di telpon.“Iya, besok aku pasti datang. Kamu nggak usah khawatir. Dadah, emmmuah!”Jonan terperanjat mendengar kata penutup panggilan itu. Jonan yang sedang berdiri di depan tralis pembatas tepian lantai dua, hanya sekedar melirik hingga Ba
Jonan Hanggoro, putra kedua dari pasangan Hanggoro dan Sasmita. Dia adalah adik dari Bagas. Sebenarnya hidup dia tidaklah buruk. Dia bukan tipe pria yang sering keluar malam seperti Bagas. Hanya saja, Jonan adalah tipe pria yang terkadang merasa malas jika harus berurusan dengan seorang wanita.Jika ditanya mengapa Jonan bisa jatuh hati pada Anin, Jonan sendiri tidak tahu. Yang Jonan ketahui, Anin adalah wanita menyedihkan yang tinggal di rumah ini. Wanita terbodoh yang mau disakiti oleh suaminya sendiri.Jonan ingin tertawa saat berulang kali menggoda Anin dengan kata ‘Bodoh’. Jonan sering meledek Anin hingga menyebut hal sensitif. Anehnya, Anin tidak pernah marah saat Jonan melakukan hal tersebut. Di situlah Jonan mulai tertarik untuk terus menggoda Anin.Tertarik pada kakak ipar mungkin salah, tapi kalau hati sudah memaksa, mau bagaimana lagi? Jonan ingin membantah, hanya saja terasa begitu sulit.“Kamu mau pergi ke mana?” tanya Jonan ketika Anin muncu
“Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Anin. Pandangannya nanar menatap lurus ke arah air danau yang terlihat tenang.Jonan yang duduk di samping Anin, menipiskan bibir sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke tengah danau. Alhasil lemparan itu menghasilkan gelombang rendah.“Aku mau tanya,” kata Jonan yang tak menggubris pertanyaan Anin.“Apa?” Anin menoleh. Anak rambut yang menjuntai di pelipis, Anin sibakkan ke balik daun telinga.Masih melempari batu kerikil ke tengah danau, Jonan kemudian bertanya lagi, “Apa kamu merasa begitu menyedihkan?”Pertanyaan Jonan membuat Anin terdiam sejenak. Sambil memikirkan jawabannya, Anin juga ikut melempari batu kerikil ke tengah danau.“Aku memang menyedihkan. Hidupku kacau setelah kepergian kakek,” kata Anin berwajah datar. “Aku terkadang merasa tak berguna.” Anin tersenyum getir.Jonan paling malas kalau berada di situasi yang menyedihkan. Jonan orangnya paling tidak tegaan melihat ad
Apa yang dikatakan Jonan, pada akhirnya membuat Sasmita dan Hanggoro kepikiran. Sasmita sendiri, sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dan tepat sekitar pukul enam sore, Hanggoro pun pulang.Setelah Hanggoro membersihkan diri, Sasmita langsung menarik suaminya untuk segera duduk. Duduk dengan wajah serius dan sama-sama saling penasaran.“Ada apa sih, Ma?” tanya Hanggoro.“Aku mau tanya sama papa,” kata Sasmita. “Ini soal Jonan.”Hanggoro mendadak serius ketika nama putra keduanya disebut. Tampang Hanggoro bahkan lebih serius dari Sasmita.“Apa kamu juga diajak bicara sama Jonan, Ma?” tanya Hanggoro.Sasmita menggeleng. “Aku cuma penasaran kenapa tadi Jonan berkata aneh padaku. Aku jadi penasaran,” kata Sasmita.“Apa tentang Bagas dan Anin?” tanya Hanggoro.Sasmita langsung mengangguk. “Jonan sepertinya tahu sesuatu diantara Bagas dan Anin.”Hanggoro diam sambil mengusap dagu. Hanggoro sedang mengi
Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”“
“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masal
Sesampainya di halaman rumah, Jonan tidak langsung keluar dari mobil. Usai melepas sabuk pengaman, Jonan meraih tangan Anin. Anin yang hampir membuka pintu seketika duduk kembali.“Ada apa?” tanya Anin.Masih menggenggam tangan Anin, Jonan setengah berdiri kemudian menghadap ke jok belakang. Satu tangannya menjulur meraih paper bag berwarna hitam.“Ini untuk kamu,” kemudian Jonan menyodorkan paper bag tersebut.“Apa ini?” tanya Anin sambil memgamati paper bag yang berada dalam pangkuannya.“Kan tadi aku sudag bilang, aku membelikan baju untukmu,” jawab Jonan. “Kalau kau mau, silahkan pakai. Kalau nggak, kamu bisa menyimpannya.”Anin terdiam lalu tangannya merogoh masuk ke dapam paper bag. Kini dua tangannya mencengkeram setiap ujung pundak dres tersebut lalu menjembrengnya. “Sungguh ini untukku?”Dress simpel dengan pita di bagian pinggang, lengan bernahan brukat, semua wanita pasti akan terlihat cantik saat mengenakannya.Jona
Hari sudah mulai gelap, para tamu juga sudah berkumpul di aula hotel yang luas. Semua para pesohor juga sudah siap menyambut keluarga Hanggoro yang pastinya akan menjadi pusat perhatian selama acara dimulai hingga akhir.Demi melancarkan acara malam ini, Bagas terpaksa harus bergandengan dengan Anin. Berpura-pura menjadi pasangan bahagia seperti biasanya. Sosok Ela yang sebenarnya juga hadir, hanya bisa memandang pias dari kejauhan.Ucapan demi ucapan, bergantian terlontar untuk Bagas dan Anin. Ucapan selamat atas resminya menjadi pemilik perusahaan Hanggoro yang lain, menjadikan Jonan dipandang sosok yang saat ini sedang dibangga-banggakan. Harusnya Anin ikut berbangga, tapi tentunya tidak. Anin justru terlihat muram dan hanya bisa tersenyum tipis menyambut para tamu undangan yang lain.“Anin, kamu nggak pa-pa?” bisik Mama. “Kamu nggak enak badan?”Anin tersenyum. “Nggak, Ma. Aku baik-baik saja kok.”Anin kembali menoleh ke arah para tamu lagi. Sa