Pernikahan yang megah, tak selalu menjamin kebahagiaan di baliknya. Susana bahagia nan sakral pagi itu, ternyata menjadi petaka kala malam datang. Pria yang berstatus menjadi suami, mendadak berubah karena suatu hal. Menyerah atau berlanjut?
Malam itu, saat usai pernikahan ...
“Beruntung aku belum menjamah kamu!” suara lantang itu memekik gendang telinga Anin. Suaranya terdengar menusuk dan sangat nyaring. “Dasar wanita murahan!” hardiknya lagi penuh hinaan.
“Aku bukan wanita seperti itu, Mas!” sahut Anin membela diri. “Jangan percaya dengan foto itu. Itu hanya salah paham.”
Anin masih terduduk memandangi sang suami yang tengah menyalak.
Bagas mendecih. “Jangan sok polos kamu. Bilang saja padaku, sudah berapa banyak pria yang menidurimu?”
Degh! Dada Anin terasa sakit tatkala kalimat itu menyobek raga. Kalimat yang menurut Anin sangatlah keterlaluan.
“Tega sekali kamu berkata begitu!” sahut Anin. “Aku bukan wanita murahan, Mas.”
Bagas melengos. “Sudahlah, nggak usah mengelak. Bicara saja yang jujur, toh aku tidak akan menceraikan kamu.”
“Apa maksudmu?” Anin menatap serius.
“Aku akan menutupi kelakuan bejatmu. Aku masih membutuhkanmu di sini. Bukan sebagai istri yang akan aku sayang, melainkan sebagai senjataku untuk mendapatkan perusahaan ayahku.”
Bibir Anin lantas bergetar dengan mata berkaca-kaca. Di malam pertama setelah pernikahan, bukan kebahagiaan yang Anin dapatkan, akan tetapi sebuah hinaan dan cacian hanya karena sebuah foto syur. Sebuah foto yang memamerkan Anin sedang dipeluk mesra oleh seorang pria di sebuah kelab.
“Tega sekali kamu padaku,” kata Anin sambil menangis. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada di foto itu.”
Bagi wanita, menangis adalah cara utama saat menghadapi masalah.
“Jangan khawatir, tak akan ada orang yang tahu tentang kelakuan buruk kamu. Aku akan menyimpannya rapat-rapat.” Bagas menyeringai. “Yang harus kamu ingat, jangan menyentuhku, aku bahkan tak akan menjamahmu apalagi bersetubuh dengan kamu. Jijik aku!”
Bagas berlalu keluar dari kamar meninggalkan Anin sendirian yang masih menangis.
Sebuah pernikahan yang indah di pagi itu, kini harus sirna saat datang malam hari. Anin menangis sejadi-jadinya kala itu. Dibiarkan oleh sang suami di malam pertama, suatu hal yang tak akan bisa Anin lupakan.
Niatnya Anin tidak ingin mengingat kejadian itu, karena memang Anin sudah terbiasa menjalani pernikahan tanpa ada kata sentuhan. Anin selalu disayang saat di depan keluarga mertua, tapi selalu dicaci saat tiada siapapun.
Satu tahun berlalu, nyatanya tak ada yang berubah. Wanita bernama Hanindiya Saputri atau sering dipanggil Anin, tetap harus pura-pura bahagia dengan pernikahannya, sementara di dalam hatinya sedang menyimpan tangis yang amat pedih rasanya.
Suami yang Anin cintai selama ini, sudah berubah. Pria itu bahkan sudah kehilangan selera untuk sekedar menyentuh sedikit bagian kulit mulus milik Anin. untuk bagian lainnya, Anin tidak akan berharap.
Satu tahun, harusnya sudah cukup untuk menjerat sosok Anin, karena Anin memang ingin bebas.
***“Duduk sini, Anin,” perintah Sasmita—mama mertua. “Biar Bibi Niah dan yang lain yang membersihkan semuanya.”Anin mengangguk kemudian ikut duduk. Namun, baru saja duduk Anin terpaksa harus berdiri lagi.
“Ambilkan aku jus dulu,” perintah Bagas. Tentunya dengan nada bicara yang Bagas buat sehalus mungkin.
Anin tersenyum lalu berdiri dan melangkah ke arah dapur.
“Kamu kan bisa minta ambilkan Bibi Niah. Tidak usah memerintah Anin terus,” kata mama.
Bagas acuh. “Tak apa, Ma. Anin kan istri aku. Sudah sepantasnya dia melayaniku.”
Mama mendesah kasar kemudian bersandar pada dinding sofa. Sementara pandangannya fokus ke arah layar televisi, satu tangannya sedang memegang dan memencet tombol untuk mencari acara yang bagus.
“Mau sampai kapan kamu diam terus?” suara serak mengejutkan Anin. “Kamu nggak bosan?” kata dia lagi.
Anin menoleh. Anin tentu sangat mengenali suara itu. Suara milik pria yang sama tampannya dengan Bagas. Sama-sama berpawakan tegap atletis. Hanya saja pria di hadapan Anin saat ini lebih tinggi dari Bagas.
Namanya Jonan, Jonan Hanggoro. Dia Putra kedua dari pasangan Hanggoro dan Sasmita. Bagas dan Jonan hanya berpaut umur sekitar lima tahun saja.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” kata Jonan lagi.
Masih sibuk menuang jus ke dalam gelas, Anin menoleh. “Maksud kamu apa?”
“Kamu tidak capek melayani suami kamu yang tidak jelas itu?” tanya Jonan. “Berhenti pura-pura bahagia.”
Anin tersenyum. “Untuk apa aku pura-pura? Aku memang bahagia dengan pernikahanku,” elak Anin.
Jonan terlihat menyeringai. Usai meletakkan gelas yang sedari ia pegang, Jonan maju ke arah Anin. “Yakin kalau kamu bahagia?”
Anin terpojok di sudut meja konter dapur. “Tentu saja aku bahagia,” jawab Anin sambil mencoba menyingkir.
Jonan mendecih. Seperti tak peduli dengan gerak Anin yang mencoba menghindar, Jonan terus mencoba memepet tubuh Anin.
“Berhentilah menyiksa dirimu. Kamu lumayan sebenarnya.” Seringaian muncul di wajah Jonan.
“Awas!” pekik Anin kemudian sambil mendorong tubuh Jonan.
Jonan sontak tertawa getir. “Aku siap menggantikan Bagas jika kamu mau!” kata Jonan saat Anin sudah berjalan keluar dari dapur membawa segelas jus mangga.
Anin mencoba acuh dan terus berjalan meskipun kata-kata Jonan berhasil nyangkut di otaknya. Ini bukan pertama kalinya Jonan berkata begitu. Hari-hari yang lalu Jonan juga sempat menggoda Anin saat tak ada Bagas. Anin tak tahu apa yang direncanakan pria itu, hanya saja terkadang Anin terhibur dengan celotehan Jonan yang tidak masuk akal.
“Kenapa lama sekali?” sungut Bagas sesampainya Anin di dekatnya.
Di ruangan tersebut sudah tidak ada mama atau siapapun. Hanya tinggal Bagas yang semula sedang berbaring.
“Maaf, tadi aku harus ngupas mangganya dulu,” jelas Anin.
“Alasan!” sembur Bagas sambil merebut gelas dari tangan Anin. “Sudah sana! Kau bersihkan kamar. Hari ini aku mau tidur lebih awal.”
Memejamkan mata sesaat, Anin kemudian mengangguk. Tak perlu menjawab. Selain karena memang tidak perlu, toh Bagas tak peduli dengan jawaban Anin.
Anin kemudian berjalan menaiki anak tangga. Langkahnya ia buat lebih cepat karena ada sesuatu yang hampir keluar dari persembunyiannya. Rasanya sesak dan tidak mengenakkan.
BRAK! Anin menutup pintu dengan sangat keras. Tubuhnya merosot di balik pintu dengan kedua kaki tertekuk untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah basah kuyup.
“Sampai kapan? Sampai kapan, Tuhan?” Anim sedang mengadu dalam umpatan. “Aku capek!”
Anin tak tahu kalau ada orang lain di balik pintu bagian luar. Dia sedang berdiri dengan bibir menipis penuh rasa iba. Mungkin ingin menolong, tapi untuk apa?
“Aku harus bagaimana supaya bisa lepas?” Anin masih terisak.
Tak mendengar lebih lanjut, Jonan memilih berbalik kemudian kembali turun ke lantai satu.
“Kamu belum mau tidur?” tanya Jonan saat sudah duduk di samping Bagas.
“Sebentar lagi,” sahut Bagas singkat. Bagas nampaknya masih fokus dengan acara berita malam.
“Aku lihat Anin sudah naik ke atas, kamu tidak menyusulnya?” tanya Jonan lagi.
“Iya, ini aku mau menyusulnya,” Bagas masih acuh.
“Apa kamu sudah bosan dengan Anin?”
Pertanyaan itu membuat Bagas menoleh. “Apa maksudmu?”
“Tidak,” Jonan menaikkan kedua pundak lantas memangku bantal. “Aku hanya merasa aneh dengan hubungan kalian.”
Bagas berdiri usai melempar repot TV di samping Jonan. “Jangan ikut campur. Kamu urus saja urusanmu sendiri.”
Bagas pergi. Jonan terlihat mendengus sebal. “Kalau kamu tak mau, lepaskan saja Anin untukku.”
“Astaga!” pekik Jonan tiba-tiba. “Apa yang aku katakan barusan? Aku sudah gila!”
Jonan menjitak kepalanya sendiri yang mendadak terlihat kurang waras.
***
Semburat sang surya di luar sana, sudah mulai menembus melalui sela-sela jendela. Anin yang memang sudah bangun sejak subuh tadi, tentunya mulai disibukkan dengan rutinitasnya menyiapkan pakaian sang suami.“Mana bajuku?” tanya Bagas ketika sudah keluar dari kamar mandi. “Jangan lupa sepatu dan tasku.”“Ini baju kamu, Mas” Anin meletakkan setelan jas untuk Bagas di atas ranjang. “Aku ambilkan sepatu kamu dulu.”“Cepat! Jangan lama-lama. Aku sudah kesiangan.”Anin berbalik cepat dari ruangan yang dikhususkan untuk menaruh koleksi sepatu dan barang pribadi milik Bagas.“Ini,” kata Anin kemudian.Bagas duduk di tepi ranjang sambil mengancing kemejanya. “Pakaikan, cepat!” perintah Bagas.Meskipun sentakan itu sudah menjadi makanan Anin setiap pagi, tapi tetap saja Anin masih sering terhenyak dan kaget. Bahkan kadang rasanya lebih sakit saat Anin terlalu memikirkannya.Tanpa berpamitan layaknya suami istri pada umumnya, Bagas yang s
Kalimat-kalimat yang Jonan katakan pagi tadi, tak mudah untuk Anin abaikan begitu saja. Jika biasanya Jonan hanya sekedar menggodanya atau menyindir hal-hal sepele, tapi kali ini Jonan justru mulai menjerumus.Anin yang memang tak tahan menyimpan rahasianya sendiri, ia selalu memilih meluapkannya pada sahabat dari semasa kecil.“Apa ada masalah lagi?” tanya Nana.Anin yang sedang duduk di atas ayunan, terlihat tersenyum pias. “Aku memang selalu ada masalah ....”Nana menyeret kursi lebih dekat ke samping Anin lalu duduk. “Bukan begitu ... tapi masalah yang lain.”Anin menghentikan gerak ayunannya. “Aku capek, Na,” desah Anin. “Aku ingin menyudahi semuanya, tapi bagaimana?”“Kalau begitu, kamu sudahi saja,” sahut Nana. “Beranikan diri.”Anin mendesah kemudian mendongakkan wajah. Memandangi birunya langit untuk sesaat, kemudian Anin menoleh ke arah Nana dengan senyum getir. “Nggak semudah itu, Na.”Membalas senyum tipis yang tak
Saat Anin sudah tertidur pulas, Jonan pun berdiri. Puas sudah sedari tadi Jonan duduk di atas lantai memeluk tepian ranjang sambil memegangi tangan Anin yang sedang berbaring.Dalam kondisi seperti ini, Jonan bahkan sampai lupa kalau saat ini berada di kamar yang seharusnya tidak dipijak. Kamar Bagas dan Anin tentunya. Namun, Jonan bisa bernapas lega karena sampai Anin terlelap sosok Bagas tetap tidak muncul.“Aku akan memilikimu. Pasti,” kata Jonan saat sudah berdiri.Hampir saja Jonan memberi kecupan di kening, tapi Jonan buru-buru tersadar dan segera angkat kaki.Baru beberapa langkah menjauh dari pintu kamar Anin, Jonan mendengar suara langkah seseorang menaiki anak tangga. Nampaknya sedang berbicara di telpon.“Iya, besok aku pasti datang. Kamu nggak usah khawatir. Dadah, emmmuah!”Jonan terperanjat mendengar kata penutup panggilan itu. Jonan yang sedang berdiri di depan tralis pembatas tepian lantai dua, hanya sekedar melirik hingga Ba
Jonan Hanggoro, putra kedua dari pasangan Hanggoro dan Sasmita. Dia adalah adik dari Bagas. Sebenarnya hidup dia tidaklah buruk. Dia bukan tipe pria yang sering keluar malam seperti Bagas. Hanya saja, Jonan adalah tipe pria yang terkadang merasa malas jika harus berurusan dengan seorang wanita.Jika ditanya mengapa Jonan bisa jatuh hati pada Anin, Jonan sendiri tidak tahu. Yang Jonan ketahui, Anin adalah wanita menyedihkan yang tinggal di rumah ini. Wanita terbodoh yang mau disakiti oleh suaminya sendiri.Jonan ingin tertawa saat berulang kali menggoda Anin dengan kata ‘Bodoh’. Jonan sering meledek Anin hingga menyebut hal sensitif. Anehnya, Anin tidak pernah marah saat Jonan melakukan hal tersebut. Di situlah Jonan mulai tertarik untuk terus menggoda Anin.Tertarik pada kakak ipar mungkin salah, tapi kalau hati sudah memaksa, mau bagaimana lagi? Jonan ingin membantah, hanya saja terasa begitu sulit.“Kamu mau pergi ke mana?” tanya Jonan ketika Anin muncu
“Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Anin. Pandangannya nanar menatap lurus ke arah air danau yang terlihat tenang.Jonan yang duduk di samping Anin, menipiskan bibir sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke tengah danau. Alhasil lemparan itu menghasilkan gelombang rendah.“Aku mau tanya,” kata Jonan yang tak menggubris pertanyaan Anin.“Apa?” Anin menoleh. Anak rambut yang menjuntai di pelipis, Anin sibakkan ke balik daun telinga.Masih melempari batu kerikil ke tengah danau, Jonan kemudian bertanya lagi, “Apa kamu merasa begitu menyedihkan?”Pertanyaan Jonan membuat Anin terdiam sejenak. Sambil memikirkan jawabannya, Anin juga ikut melempari batu kerikil ke tengah danau.“Aku memang menyedihkan. Hidupku kacau setelah kepergian kakek,” kata Anin berwajah datar. “Aku terkadang merasa tak berguna.” Anin tersenyum getir.Jonan paling malas kalau berada di situasi yang menyedihkan. Jonan orangnya paling tidak tegaan melihat ad
Apa yang dikatakan Jonan, pada akhirnya membuat Sasmita dan Hanggoro kepikiran. Sasmita sendiri, sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dan tepat sekitar pukul enam sore, Hanggoro pun pulang.Setelah Hanggoro membersihkan diri, Sasmita langsung menarik suaminya untuk segera duduk. Duduk dengan wajah serius dan sama-sama saling penasaran.“Ada apa sih, Ma?” tanya Hanggoro.“Aku mau tanya sama papa,” kata Sasmita. “Ini soal Jonan.”Hanggoro mendadak serius ketika nama putra keduanya disebut. Tampang Hanggoro bahkan lebih serius dari Sasmita.“Apa kamu juga diajak bicara sama Jonan, Ma?” tanya Hanggoro.Sasmita menggeleng. “Aku cuma penasaran kenapa tadi Jonan berkata aneh padaku. Aku jadi penasaran,” kata Sasmita.“Apa tentang Bagas dan Anin?” tanya Hanggoro.Sasmita langsung mengangguk. “Jonan sepertinya tahu sesuatu diantara Bagas dan Anin.”Hanggoro diam sambil mengusap dagu. Hanggoro sedang mengi
Memang cinta terkadang tidak pandang bulu. Mungkin itu sepatah kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Bagas saat ini. Di saat menjelang acara penting nanti malam, bukannya pergi berbelanja bersama sang istri, Bagas justru memilih berkencan dengan wanita lain.Tentu saja itu adalah Ela. Wanita berparas cantik yang berstatus selingkuhan Bagas. Begitulah Anin menyebutnya. Mau Bagas berpenampilan asing—memakai masker—atau apapun itu, Anin yang sudah terlanjur memergoki mereka berdua hanya bisa mengelus dada.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nana saat Anin terus memandangi sosok pria kekar bertopi dan memakai masker itu. “Harusnya kamu datangi mereka, Anin.”Nana tahu siapa itu tanpa Anin memberi tahu. Dari pandangan Anin yang sendu dan postur tubuh pria yang sedang bersama seorang wanita itu, Nana dengan mudah bisa menebak.Anin kemudian mendesah dan berbalik arah. “Sudahlah, nggak penting,” lirih Anin. “Toh sebentar lagi aku dan dia akan berpisah.”“
“Ngapain ngajak ke sini?” tanya Anin begitu sampai dan sudah duduk di sebuah kafe.“Nggak pa-pa, cuma pengen ngajak makan saja,” kata Jonan santai. “Sudah jadi beli baju?” tanya Jonan kemudian.Anin meletakkan tas jinjingnya di kursi sebelahnya. “Sudah. Tadi beli sama Nana,” jawab Anin.“Yah,” desah Jonan. “Padahal aku sudah belikan kamu baju lho.” menampakkan wajah sesal.“Untuk apa? Aku kan bisa beli baju sendiri,” saur Anin lagi. “Sudah ya, aku mau pulang.” Anin tiba-tiba berdiri.“Tunggu!” Jonan ikut berdiri dan mencegah Anin untuk pergi. “Temani aku makan dulu.”“Malas ah!” tepis Anin. “Aku udah pengen pulang.” Wajah Anin berubah merengut.Jonan menyusuri sebentar ekspresi yang tergambar di wajah Anin. Kemungkinan Anin sedang marah atau apapun itu yang jelas pasti sedang merasa jengkel.“Oke. Ayo pulang.” Jonan menyerah.Pada akhirnya Jonan gagal makan siang hanya karena tak ditemani oleh Anin. Bukan itu masal