Setelah ikrar untuk serius menjalani hubungan, kami pun sering bersama. Bukan berniat untuk bermesraan, tapi fokus pada bisnis. Pagi, siang, sore, dia pasti singgah. Walaupun ada sedikit sentuhan, itu hanya sebagai selingan pengurai penat. Sekarang aku menambah tiga pegawai. Bik Yanti sebagai orang kepercayaanku dan aku bisa tenang ketika ada keperluan di luar. "Mas Hendra sudah yakin? Kalau tidak, lebih baik niat ini diurungkan." "Seribu persen yakin, Dek." "Itu bukan uang sedikit, Mas." "Demi calon istri, apa sih yang enggak." Pagi ini kami makan pagi bersama. Atas usulannya, aku merubah sistem penjualan di warung. Yang biasanya aku melayani pembeli dengan mengambilkan makanan, sekarang semi prasmanan. "Aku melihat ini saat di Bali, Dek. Ada warung masakah Jawa yang menggunakan sistem ini. Jadi pembeli merasa puas dengan makanan yang diambil." "Trus apa tidak rawan diaduk-aduk masakanku. Bisa rusak kalau begitu. Kadang kan ada juga pembeli yang ceroboh." "Oh itu.
"Jadi ini jawabannya iya, kan. Kita bukan sandiwara lagi, tapi benar-benar serius akan menikah." Tangannya mengeratkan pelukan. Kepala ini juga menyelusup di dadanya. Sungguh, kehangatan ini tidak rela aku lepaskan. "Kok diem aja." Aku mendongak. "Sudah begini masak aku bilang tidak." "Ya, siapa tahu ada kandidat lain. Sudah yakin, kan?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ini kali kedua aku membuat keputusan untuk memasrahkan hidupku kepada laki-laki. Keraguan sebelumnya mulai memudar seiring keyakinan yang diberikan oleh lelaki ini. Tadi setelah tertidur, kami berbincang sambil rebahan. Dia menceritakan siapa dia sebenarnya. Latar belakang dan bagaimana sampai menjadi posisi sekarang. "Aku ini orang biasa, Mas. Seharusnya Mas Hendra mendapatkan pendamping yang sepadan." "Memang sepadan untukku harus bagaimana?" Tangannya yang aku gunakan sandaran kepala memainkan rambutku. Aku beringsut beralih kepadanya. "Mas Hendra masih muda sudah menjadi pengusaha, pinter, dan..." telunjukk
"Boleh aku cium sedikit?" Bagaimana aku bisa menjawab, ketika logika dan rasa dalam diri berseteru. Isi kepalaku bersikukuh dengan keputusan kami untuk jaga jarak. Akan tetapi, hati dan tubuh ini berkehendak kebalikkan. Aku diam membalas tatapan yang awalnya terbelalak, lambat laun mata ini meredup. Dalam dada semakin bergemuruh dan napas pun seakan tercekat ketika bisik suaranya terdengar kembali."Boleh, Dek?"Isi kepalaku menyerah, terkalahkan dengan hasrat yang mulai terpatik. Bohong kalau aku tidak menginginkan dirinya, kedekatan ini sudah menjadi candu bagiku. Kepala ini mengangguk samar. Dengan kurang ajarnya, mata ini justru terpejam seakan mendamba untuk disegerakan.Tubuh ini meremang seiring jarak mulai terkikis. Tidak ada cukup dengan cium sedikit. Yang terjadi justru saling menuntut lebih. Kebutuhan yang sudah aku matikan pun kembali berkobar. Bukannya menolak, aku justru memberi keleluasaan kepadanya. Tidak hanya bibir yang menjelajah, tangan besarnya pun membuat mu
Pandangan aku tajamkan, menelisik wanita itu. Wanita berkulit putih itu tinggi badannya hanya sebahu Mahendra. Tidak langsing, tapi dada besar dan pantat bundar berbentuk sempurna dalam balutan baju ketat dengan krah rendah yang menunjukkan belahan. "Kucing mana yang tidak ngiler melihat dada yang hampir tumpah itu. Pasti dalam pikiranya sudah membayangkan ini dan itu." Bisikku dalam hati sambil melirik bagian depanku yang tidak begitu besar. Mungkin ini juga yang menjadikan aku kalah saingan dengan wanita lain. Dahiku berkerut mengamati reaksi Mahendra. Terlihat sekali wanita berbaju merah itu berusaha menyentuh. Tangannya berusaha menggandeng dan seakan berbuat tidak sengaja dadanya yang besar menempel lelaki itu. Aku mendengkus, kedua alis mataku pun mulai bertaut. Namun, bibirku menyungging sedikit senyuman ketika melihat kekasihku itu berusaha menghindar. "Wanita itu benar-benar gatal. Apa dia tidak malu dilihat tukang-tukang yang cekikikan itu?" gumamku sambil membua
Rasanya ingin marah, tapi kok aku merasa tidak tahu diri, ya? Siapa lah aku yang mungkin bagi lelaki sekaliber Mahendra hanya persinggahan di waktu luang. Dia seperti paket lengkap, keren, pinter, dan berduit. Masih beruntung dia memperlakukan aku seperti kekasih seperti sekarang ini. Namun... dada ini lama kelamaan kok semakin sesak, ya?"Kita sarapan, yuk!" Mahendra yang sudah bersiap menunjukkan kunci mobil.Laki-laki ini memang bikin mata tidak berkedip. Tidak mandi dan hanya cuci muka saja sudah terlihat segar. Menggunakan celana cargo yang dipadukan dengan kaos lengan panjang, menjadikannya mata wanita enggan berkedip."Sebentar, Mas." Aku mengambil tas cangklong, mengeluarkan ikat rambut kemudian menggelung tinggi. "Ayok. Aku sudah siap.""Tunggu.""Ada yang ketinggalan?"Dia mendekat. Sorot matanya lekat ke arahku. Tubuhku menyurut ketika tangannya terulur. "Kenapa, Mas?""Diam sebentar, Dek. Jangan gini ngikatnya." Dia menarik ikat rambut dan mengikat ke bawah. Aku terkesiap
"Sebentar lagi kita sampai," ucap Mahendra sambil menoleh ke arahku. Lampu jalan mulai menunjukkan keberadaannya. Meskipun tidak rapat, tapi bisa menunjukkan pemandangan di luar jendela mobil. Lalu lalang di jalanan pun mulai terlihat, dan rumah penduduk berjajar seakan menyambut kedatangan kami. Walaupun terlihat pohon-pohon jati menjulang di belakang pemukiman. Pemandangan yang aku dapati begitu lain dari daerah lain yang pernah aku kunjungi. Di pinggir jalan tumpukan kayu jati glondongan dan akar kayu menjadi pemandangan. "Masih gelap. Kita masih ada waktu untuk istirahat." Mobil kami berhenti di depan pintu gerbang bangunan seperti gudang. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua keluar dan membuka setelah membungkuk memberi hormat kepada kami. "Dia penjaga gudang. Dari kemarin sudah saya kasih tahu kedatangan kita," ucapnya setelah melambaikan tangan ke aras lelaki itu. Pandangan mata ini memutari ke sekeliling. Kami berada di gudang besar yang di sisi sana terdapat