Suara musik dari depan mulai diperdengarkan. Suara keras tetapi merdu dan tetap enak ditangkap telinga. Ini permintaan khusus dari suamiku. "Dek, aku ingin semua yang hadir menikmati pesta tanpa jantungan karena musiknya terlalu keras. Apalagi yang datang banyak orang tua. Dan mereka masih bisa berbincang dengan orang sebelah tanpa teriak atau bisik-bisik di telinga."Saat itu aku mengiyakan saja. Mengingat kalau hajatan di kampung, pengeras suara sampai memekakkan telinga. Tidak jelas lagu apa yang diputar, seakan yang terpenting bikin huru-hara yang menunjukkan sedang berlangsung hajatan. Semuanya diurus oleh suamiku itu. "Yang penting kamu tidak banyak pikiran, Dek. Biar nanti saat dirias tidak terlihat cemas.""Memang pengaruh?""Kata tukang rias begitu. Kondisi emosi akan terpancar dari balutan make-up."Aku menatap bayanganku di depan cermin. Baju terusan berwarna putih dengan lengan pendek, dan potongan leher berbentuk V. Bahan yang berkelas menunjukkan keanggunan. Model ya
"Kasihan istrinya Aditya. Sebenarnya dia tadi itu mabok."Terkejut aku mendengarkan yang diucapkan suamiku. "Mabok? Maksudnya karena minum minuman keras?""Hu-um. Kalau tidak, mana dia berani mempermalukan diri seperti itu. Ditonton banyak orang.""Terus, kenapa ada orang yang menjemput dia?""Kamu tidak kenal dengan namanya Arya itu?"Aku menggelang. "Tidak, Mas. Walaupun Nayna sering bilang kalau dia temanku saat di SMA, aku tidak mengenal dekat dengannya. Apalagi saat selepas lulus.""Oh, gitu. Tadi selepas berbincang, aku meminta nomor telpon saudaranya yang bisa dihubungi. Istrinya Aditya sendiri yang memberikan nomor yang namanya Arya itu.""Oh, gitu. Berarti dia di tangan yang aman," ujarku merasa lega.Aku menghela napas. Sebegitu berat hidup Nayna sampai melakukan hal seperti itu. "Sebenarnya aku kasihan dengan dia, Mas. Anaknya masih bayi, suaminya seperti itu, dan sekarang suaminya malah masuk penjara.""Iya betul. Kabarnya, warungnya juga bangkrut." Aku tersenyum miris. Wa
POV Larasati Antara marah, gemas, bingung, dan kasihan. Rasa itu bercampur aduk saat melihat perempuan ini.Aku merasa tidak mempunyai salah kepadanya, tetapi kenapa dia terlihat dendam denganku? Bukannya seharusnya aku yang marah dengannya karena mengganggu rumah tanggaku yang terdahulu?"Yang menjadi korban tidak hanya aku, Nayna. Walaupun aku mencabut laporan, belum tentu suamimu bebas."Bukannya mengerti, dia justru semakin menjadi. Segala sumpah serapah dilontarkan. Bahkan orang yang berkerumun pun diserangnya karena menyebutnya perempuan tidak waras. "Kamu Laras. Seperti dewi tetapi sebenarnya kamu penghancur!""Maaf. Aku tidak pernah menghancurkan siapapun. Apalagi kamu yang aku tidak kenal. Bukankan kamu sendiri yang menenggelamkan hidup kamu menjadi seperti sekarang ini?" Aku tersenyum miring, teringat pertengkaran orang di kamar sebelah ketika di hotel. Yang aku yakin itu adalah Nayna. Sebenarnya aku bisa saja membuka fakta kalau dia menjebak Aditya dengan kehamilan yang
POV Nayna Aku mengidolakan dia sekaligus membencinya.Kalau teman sebaya mengidolakan artis, lain denganku yang mengidolakan teman satu sekolahan. Di mataku dia orang yang sempurna. Cantik, pintar, baik hati, tidak sombong, tetapi ada satu yang membuatku kecewa: dia tidak menjadikan aku temannya apalagi sahabatnya.Namun, bukan berarti aku menyerah untuk mendekatinya. Dulu ketika kami masih SMA, aku bahkan rela tidak jajan di kantin untuk ikut kebiasaannya membaca di perpustakaan saat jam istirahat. "Boleh aku duduk di sini?" "Silakan," jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari buku bacaannya.Aku duduk dengan tumpukan buku yang senada dengannya. Meskipun aku tidak tahu arti dari hukum fisika apalagi rumus kimia. Tak apalah, demi dekat dengan dia. Bukankah kita harus sehobby untuk menjadi teman?"Bagus bukunya?" Aku mencoba memancing percakapan. Harapanku, aku dan dia menjadi lebih dekat. Siapa yang tidak bangga berteman dengan Larasati si bintang sekolah. Dia melirikku s
"Bukan orang sini, Bu Laras. Saya tidak pernah melihat orang ini, apalagi datang ke warung." Satu karyawanku yang baru masuk dari pintu samping memberi laporan. Dahiku berkerut. "Terus siapa dia? Jangan-jangan salah alamat?""Tadi menyebut nama Mbak Laras. Terus ngomong apa begitu. Dan sekarang sedang dikerubuti orang-orang. Katanya dia tidak akan berdiri sebelum bertemu Mbak Laras.""Tidak mau berdiri? Memang orang itu sedang apa?" tanyaku semakin heran."Dia sujud-sujud sambil menangis."Kerutan di dahiku semakin dalam. Apa maksudnya orang ini? Kenapa dia melakukan hal aneh? Kalau pun ada masalah denganku, kenapa dia tidak permisi baik-baik? Bukan malah membuat kehebohan dengan berlaku aneh di depan banyak orang. "Jangan-jangan orang minta sumbangan atau sejenisnya gitu?""Sepertinya bukan. Orangnya tidak seperti pengemis atau orang susah. Cuma terlihat seperti ada masalah. Kayak orang stress."Aku semakin tidak bisa menerka. Siapa aku yang sampai dicari orang yang membutuhkan ban
Aku duduk di kursi depan meja kayu. Dulu sesaat sebelum pernikahanku yang pertama, aku juga didudukkan di kursi ini. Ibu duduk di tepi ranjang dan Bapak berdiri di sebelahnya. Saat itu mereka memberiku nasehat banyak sekali tentang pernikahan. "Nduk, menikah itu adalah pintu menuju hidupmu yang baru. Kamu harus hidup bersama orang lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda dan kebiasaaan yang tidak sama. Kamu siap?"Kala itu aku baru lulus SMA. Keadaanya lah yang memaksaku harus mengambil keputusan ini. "Siap, Buk."Kemudian Bapak mengambil bangku untuk duduk di sebelahku. “Pernah melihat Bapak dan Ibuk bertengkar seperti orang-orang?”Aku menggeleng. Memang benar, mereka pasangan harmonis. Kalau pun berbeda pendapat, bukan tentang hubungan pribadi.“Itu bukan berarti kami tidak memiliki masalah. Tetapi sebagai pasangan suami istri harus mikul duwur mendem jero," tambah Bapak.“Tahu artinya, Nduk?” tanya Ibu menyela.“Artinya, menjunjung tinggi dan mengubur dalam,” jawabku dis