Dia begitu tergesa membuka pintu. Tidak memasang sabuk pengaman, tapi justru mencondongkan badan ke arahku. "Dek, aku kangen.""Mas kita ini sedang di mo__" ucapanku terhenti saat tangan besarnya sudah meraih tengkuk dan mulut ini dikunci olehnya. Posisiku yang terjepit, meleluasakan niatnya. Percikan gairah mulai di gubug tadi seakan menuntuk pelampiasan. Mungkin ini juga akibat ketegangan tadi. Tangan yang sempat akan mendorong tubuhnya, sekarang justru meremas ujung kemejanya. Terlebih ketika wajahnya terbenam di leher ini. Perlakuan yang tiba-tiba membuatku tidak berkutik. Bisa jadi ini hukuman karena membuatnya sempat was-was. Kami sama-sama terengah sambil saling menatap. Dengan ibu jarinya, dia mengusap bibir ini. Sepertinya, dia mengakibatkan pewarna bibirku berantakan. Aku mendorongnya pelan memberi jarak. Gerakanku tak sengaja menyingkap ujung rok. Seketika aku mengatup kedua kaki ketika tanganku terulur. "Kalau di depan laki-laki lain tidak boleh sampai kelihatan." Terny
"Aku ingin pemeriksaan kesehatan reproduksi."Seketika dia menoleh dengan wajah penuh keterkejutan. Terdiam sebentar, kemudian mengarahkan mobil ke sisi jalan. Di pelataran yang agak luas, dia menghentikan mobilnya.Dia melepas sabuk pengaman, dan mengarahkan badannya ke arahku. "Ada apa, Dek? Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan itu?" Nada suaranya terdengar tenang, dengan gerakan kepala yang menunjukkan perhatian. Akan tetapi di mataku ini seperti pengadilan. Menuntut aku yang sudah memberi harapan yang ternyata kosong."Ada masalah?" tanyanya lagi dengan tatapan menelisik. Aku menggeleng sambil tersenyum, berusaha menutupi ketakutanku. "Tidak ada, Mas. Hanya aku ingin jaga-jaga supaya nantinya kamu tidak kecewa.""Kecewa?""Iya," jawabku mantap. Aku sudah mulai mendapatkan keberanian. Sambil menegakkan badan, aku menjelaskan. "Ini bukan hal baru. Banyak kok pasangan yang memeriksakan kesehatan reproduksi di awal supaya clear di awal."Dia beringsut. Wajahnya menunjukkan ketidak terim
"Syukurlah sudah tidak menangis lagi," seru Mahendra yang tergopoh diikuti mbak pengasuh. Aku menoleh ke arah kekasihku. Tersenyum dan rasa bangga terselip di dada ini. Seandainya nanti aku diberi kesempatan mendapatkan keturunan, aku pasti sangat bahagia melebihi saat ini.*** Berkata jujur atau tidak, itu pilihan. Akan tetapi, kita akan merugi kalau mengkhianati kepercayaan orang terkasih. Karena ketika kepercayaan itu retak, tidak akan bisa kembali ke sedia semula.Itu ada ada di benakku saat ini. Sambil memangku bayi laki-laki itu, kekasihku duduk di sampingku sembari memberi candaan. Walaupun makhluk kecil ini tertawa, tetapi tangan kecilnya justru erat menggenggam bajuku. "Dia menyukai kamu, Dek.""Iya. Dari tadi tidak bisa dilepas."Aku menoleh kepada pengasuh yang membawa botol susu. "Siapa namanya adik ini, Mbak?" tanyaku sambil menerima botol yang dia berikan. "Awalnya diberi nama Putra Anugrah. Ternyata saat kerabatnya datang, adik ini namanya Eka. Jadinya sekarang nam
"Cie... yang mau ketemuan dengan cinta pertamanya," celetukku setelah masuk ke dalam mobil. Dia hanya senyum-senyum, kemudian membalas lambaian tangan Pak Sobirin.Mobil mulai masuk ke jalan raya. Aku berusaha diam tidak mengusik dia yang sedang berjibaku dengan pengendara lain. Sepertinya ada parade yang memaksa mobil ini berjalan pelan dan waspada pada pejalan kaki yang bersliweran. Ketika jalan mulai lancar, dia yang di sampingku mulai bicara. Ternyata celetukanku tidak diabaikan, hanya ditunda penjelasannya saja. "Indri itu bukan cinta pertama, Dek. Tetapi cinta monyet yang tidak ada artinya. Kalau pun nanti aku bertemu, yah paling hanya tertawa-tertawa saja. Sure, tidak ada yang spesial di antara kami." Dia menoleh ke arahku sebentar. "Kalau dia tidak spesial, kenapa harus pacaran?""Ya karena saat itu aku ingin mempunyai sesuatu yang dibanggakan. Mereka selalu bangga siapa orang tuanya, sedangkan aku anak panti asuhan yang tidak tahu asal usulnya. Sekolah di situ saja karena
Kami benar-benar ke tempat sejarahnya lelakiku ini. Aku dilewatkan di SD, SMP, dan SMA. Setiba di sekolah yang termasuk untuk golongan elit ini dia memarkirkan mobil. Bapak-bapak yang menyapu di pelataran dengan tergopoh keluar dari pintu gerbang. "Eh, Nak Hendra. Mobilnya mau dimasukkan saja," ucapnya. Dia akan membuka gerbang lebar-lebar, tetapi Mahendra mencegahnya. "Tidak usah, Pak Sobirin. Biarkan saja mobil di luar. Tapi saya permisi masuk sebentar, boleh?"Bapak tua itu tersenyum lebar menunjukkan gigi depannya yang ompong. "Sangat boleh, dong. Monggo silakan," ucapnya sambil memundurkan badan. Laki-laki dengan rambut sudah penuh uban, tetapi penampilannya begitu rapi untuk sebutan tukang sapu. Mata ini menelisik sandal jepit yang bermerk, begitu juga dengan baju dan celana pendek selutut yang dia kenakan. Walaupun tidak mewah, tetapi terlihat berkelas. Apalagi rambutnya yang panjang diikat rapi ke belakang.Aku mengangguk kepadanya dengan isi kepala mulai menerka-nerka. Tid
Mengingat mimpiku barusan, diri ini merasa begidik. Aku memutar ke setiap sudut. Jangan-jangan ada makhluk astral seperti di film-film itu. Hiii....Aku menggelengkan kepala, mengusir bayangan yang menakutkan tadi. Lebih baik aku fokus pada hariku sekarang. Ada yang bilang, kalau ketakutan akan hal goib sebenarnya bermula pada diri sendiri. Dengan memikirkan makhluk mengerikan itu, secara tidak sengaja justru menciptakan keberadaan mereka."Huuus! Pergi pikiran jelek!"Tadi malam Mahendra mengatakan kalau akan mengajakku jalan-jalan lagi. Katanya, ke tempat yang bersejarah dan akan dikenalkan pada orang terdekatnya. Dia ingin memperkenalkan siapa dia sebenarnya. Karenanya, aku harus jaga penampilan dan sikap.Sebagai wanita, aku berusaha se-feminim mungkin. Karenanya, aku memilih baju terusan berwarna dasar merah muda sedikit gelap dengan bunga-bunga kecil berwarna biru muda. Panjang melebihi lutut dengan ujung melebar bergelombang. Lengan pendek dan potongan leher berbentuk V. Menuru