Seperti biasa, aku tidak diperbolehkan keluar mobil sebelum dia membukakan pintu. Dia menengadahkan tangan, dan aku menerimanya, kemudian aku keluar dari mobil. Tanpa melepas genggaman, kami memasuki lift. "Mau beli apa lagi, sih, Mas? Aku tidak mau disebut cewek matre.""Cewek matre itu kalau dia minta-minta. Ini kan aku yang ingin memberimu.""Sudah kebanyakan."Dia mempererat genggaman. "Untuk calon istri Mahendra, itu belum cukup. Masih banyak kejutan untukmu."Kaki ini mundur dengan sendirinya ketika dia mendekat. Kebiasaan di setiap kesempatan selalu begitu. Ini di tempat umum, kalau ada yang masuk lift gimana?"Mas...." Aku memalingkan wajah ketika tangannya terulur. Bukan menangkup tengkuk ini seperti biasanya, tetapi tangannya berhenti pada dahiku. Dia menyingkirkan helaian rambut dan menyelipkan di belakang telinga. "Rambutnya harus dirapikan dulu. Ini ada daun juga." Dia menunjukkan daun kering, mungkin ini terselip ketika kami di tepi sawah. "Kaget aku, Mas. Aku pikir m
"Dari tamu dari Belgia itu. Sebentar aku baca""Apa yang dia katakan?" Aku mendekatkan diri padanya. Kemudian dia menyodorkan ponsel yang menunjukkan isi pesan yang membuat kekasihku ini tersenyum. Pesan dalam bahasa inggris. Walaupun aku tidak kuliah, aku masih ingat pelajaran bahasa inggris saat SMA dulu."Jadi Mas Hendra bertemu dengan mereka dua hari lagi?""Iyap, betul. Mereka mau liburan ke Bali dulu. Ini kabar baik.""Kenapa? Bukankah justru urusannya tidak kelar-kelar?" Dia tertawa. "Ya kabar baik, lah. Jadinya aku bisa mengantarmu pulang, tidak harus menyuruh Pak Salim. Sebenarnya, aku tidak mau kamu pulang bersama dengan Pak Salim, apalagi saat ke sini juga dijemput dia.""Ya tidak apa-apa. Mas Hendra lebih baik mengurus hal pekerjaan di sini. Aku tidak mau menjadi beban dan membuat Mas Hendra kerjaannya berantakan.""Tidak, lah, Dek. Semua sudah aku handle sesuai porsinya. Kalau aku terlalu ikut campur ke oprasional, apa kerjaannya manager? Nanti dia justru tidak mandiri
Dia begitu tergesa membuka pintu. Tidak memasang sabuk pengaman, tapi justru mencondongkan badan ke arahku. "Dek, aku kangen.""Mas kita ini sedang di mo__" ucapanku terhenti saat tangan besarnya sudah meraih tengkuk dan mulut ini dikunci olehnya. Posisiku yang terjepit, meleluasakan niatnya. Percikan gairah mulai di gubug tadi seakan menuntuk pelampiasan. Mungkin ini juga akibat ketegangan tadi. Tangan yang sempat akan mendorong tubuhnya, sekarang justru meremas ujung kemejanya. Terlebih ketika wajahnya terbenam di leher ini. Perlakuan yang tiba-tiba membuatku tidak berkutik. Bisa jadi ini hukuman karena membuatnya sempat was-was. Kami sama-sama terengah sambil saling menatap. Dengan ibu jarinya, dia mengusap bibir ini. Sepertinya, dia mengakibatkan pewarna bibirku berantakan. Aku mendorongnya pelan memberi jarak. Gerakanku tak sengaja menyingkap ujung rok. Seketika aku mengatup kedua kaki ketika tanganku terulur. "Kalau di depan laki-laki lain tidak boleh sampai kelihatan." Terny
"Aku ingin pemeriksaan kesehatan reproduksi."Seketika dia menoleh dengan wajah penuh keterkejutan. Terdiam sebentar, kemudian mengarahkan mobil ke sisi jalan. Di pelataran yang agak luas, dia menghentikan mobilnya.Dia melepas sabuk pengaman, dan mengarahkan badannya ke arahku. "Ada apa, Dek? Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan itu?" Nada suaranya terdengar tenang, dengan gerakan kepala yang menunjukkan perhatian. Akan tetapi di mataku ini seperti pengadilan. Menuntut aku yang sudah memberi harapan yang ternyata kosong."Ada masalah?" tanyanya lagi dengan tatapan menelisik. Aku menggeleng sambil tersenyum, berusaha menutupi ketakutanku. "Tidak ada, Mas. Hanya aku ingin jaga-jaga supaya nantinya kamu tidak kecewa.""Kecewa?""Iya," jawabku mantap. Aku sudah mulai mendapatkan keberanian. Sambil menegakkan badan, aku menjelaskan. "Ini bukan hal baru. Banyak kok pasangan yang memeriksakan kesehatan reproduksi di awal supaya clear di awal."Dia beringsut. Wajahnya menunjukkan ketidak terim
"Syukurlah sudah tidak menangis lagi," seru Mahendra yang tergopoh diikuti mbak pengasuh. Aku menoleh ke arah kekasihku. Tersenyum dan rasa bangga terselip di dada ini. Seandainya nanti aku diberi kesempatan mendapatkan keturunan, aku pasti sangat bahagia melebihi saat ini.*** Berkata jujur atau tidak, itu pilihan. Akan tetapi, kita akan merugi kalau mengkhianati kepercayaan orang terkasih. Karena ketika kepercayaan itu retak, tidak akan bisa kembali ke sedia semula.Itu ada ada di benakku saat ini. Sambil memangku bayi laki-laki itu, kekasihku duduk di sampingku sembari memberi candaan. Walaupun makhluk kecil ini tertawa, tetapi tangan kecilnya justru erat menggenggam bajuku. "Dia menyukai kamu, Dek.""Iya. Dari tadi tidak bisa dilepas."Aku menoleh kepada pengasuh yang membawa botol susu. "Siapa namanya adik ini, Mbak?" tanyaku sambil menerima botol yang dia berikan. "Awalnya diberi nama Putra Anugrah. Ternyata saat kerabatnya datang, adik ini namanya Eka. Jadinya sekarang nam
"Cie... yang mau ketemuan dengan cinta pertamanya," celetukku setelah masuk ke dalam mobil. Dia hanya senyum-senyum, kemudian membalas lambaian tangan Pak Sobirin.Mobil mulai masuk ke jalan raya. Aku berusaha diam tidak mengusik dia yang sedang berjibaku dengan pengendara lain. Sepertinya ada parade yang memaksa mobil ini berjalan pelan dan waspada pada pejalan kaki yang bersliweran. Ketika jalan mulai lancar, dia yang di sampingku mulai bicara. Ternyata celetukanku tidak diabaikan, hanya ditunda penjelasannya saja. "Indri itu bukan cinta pertama, Dek. Tetapi cinta monyet yang tidak ada artinya. Kalau pun nanti aku bertemu, yah paling hanya tertawa-tertawa saja. Sure, tidak ada yang spesial di antara kami." Dia menoleh ke arahku sebentar. "Kalau dia tidak spesial, kenapa harus pacaran?""Ya karena saat itu aku ingin mempunyai sesuatu yang dibanggakan. Mereka selalu bangga siapa orang tuanya, sedangkan aku anak panti asuhan yang tidak tahu asal usulnya. Sekolah di situ saja karena