Sebuah lukisan yang masih terbungkus rapi dan tertutup sangat rapat tiba di Gedung Pusat Victory Eternal Shipping Jakarta.
"Nona, mohon tanda tangani resi penerimaan barang ini. Dan dimana lukisan ini harus kami letakkan? Harganya ratusan juta rupiah, jangan sampai rusak!" tutur kurir pengirim paket itu dengan nada cemas.
Dengan segera Meirasty menanda tangani resi penerimaan barang itu karena nama tujuan dan alamatnya memang untuk bosnya dengan alamat perusahaan ini. "Tolong ikuti saya masuk ke ruangan CEO, Pak. Ini dikirim untuk bos saya, ruangannya yang itu," jawab Meirasty seraya menunjuk ke sebuah pintu lebar yang tertutup.
Dua pria petugas pengiriman barang itu mengangkat lukisan itu di sebelah kanan dan kiri dengan hati-hati. Mereka mengikuti langkah Meirasty masuk ke ruangan CEO.
"Selamat siang, Pak Edward. Ada kiriman lukisan dari Belanda, apa benar Bapak yang memesannya?" ujar Meirasty di seberang meja kerja Edward.
Pria itu pun bangkit berdiri dan berjalan mendekati lukisan yang masih terbungkus rapat itu. Kemudian ia berkata, "Memang aku yang memesan sebuah lukisan replika karya Rembrandt. Suruh mereka membuka pembungkusnya agar aku bisa memeriksa lukisan itu, Mey!"
Lukisan itu bukan untuk ia pajang di kantor atau di rumahnya, tetapi akan Edward kirimkan untuk seseorang yang spesial yang mengagumi karya sang pelukis kontroversial berkebangsaan Belanda itu.
Kedua pria kurir itu pun membuka pembungkus lukisan berharga ratusan juta itu dengan hati-hati, jangan sampai mereka merusakkannya.
The Storm on the Sea of Galilee adalah judul lukisan replika karya Rembrandt yang dibeli oleh Edward dari seorang pelukis profesional di Belanda. Sebuah peringatan untuk badai yang akan ia bawa ke dalam rumah tangga Inez dan Mario. Pria itu berharap Inez akan menyukai hadiahnya, dari seseorang yang dia pikir telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan ledakan mobil di Paris.
"Mau dipasang dimana lukisannya, Pak?" tanya salah satu kurir itu sembari berharap tugasnya bisa segera selesai.
"Bungkus lagi lukisannya! Aku ingin mengirimkan lukisan ini ke Jansen Pharma. Oya, John akan mengantarkan pesanku juga untuk Nyonya Inez Jansen!" ujar Edward berjalan mengambil sepucuk surat dari laci meja kerjanya.
John Whitmann yang baru saja masuk ke ruang CEO pun melangkahkan kakinya mendekati bosnya. Dia menerima amplop putih panjang itu dari tangan Edward.
"John, pastikan suratku sampai ke tangan Nyonya Inez langsung ya! Kau bisa berangkat sekarang," kata Edward melepas kepergian pengawal pribadinya bersama dua kurir pengiriman lukisan itu.
"Baik, Master Edward. Saya permisi sekarang," jawab John Whitmann lalu memimpin kedua petugas kurir pengiriman lukisan itu menuju ke lift.
Sebenarnya nama kakak iparnya sebagai penerima lukisan itu sedikit menggelitik rasa keingintahuan Meirasty. Namun, ia tak berani menanyakan kepada bosnya mengenai tujuan pemberian lukisan mahal itu.
"Maaf, Pak Edward, apa ada yang bisa saya bantu lainnya sebelum saya keluar ruangan ini?" ujar Meirasty dengan suara lembut dan sopan.
Edward yang sedang duduk di kursi kerjanya pun berkata, "Pesankan aku makan siang di Restoran Padang Sederhana. Mereka sudah tahu menu makan siangku biasanya seperti apa, Mey."
"Baik, Pak Edward, akan segera saya pesankan. Permisi," jawab Meirasty lalu keluar dari ruangan CEO.
Sekitar setengah jam kemudian layanan pesan antar restoran masakan Padang itu tiba di ruangan CEO Victory Eternal Shipping. Meirasty menghidangkan pesanan makan siang bosnya di meja makan yang ada di dalam ruang CEO.
'Gila deh ini kok kayak restorannya dipindah ke sini ya, semua menunya serba ada. Yakin Pak Edward bisa habisin segini banyaknya?!' batin Meirasty sedikit ragu.
Sedangkan, yang sedang dibatin oleh Meirasty berjalan di belakangnya dan kemudian duduk di kursi menghadap meja makan yang penuh dengan berbagai masakan Padang. Dia tersenyum lalu mencekal pergelangan Meirasty yang akan keluar dari ruangan CEO. "Temani aku makan siang, Mey!" titahnya.
"Baik, Pak. Saya akan ambilkan nasi dan lauknya. Pak Edward mau makan yang mana dulu?" jawab Meirasty dengan kalem lalu mengambil sebuah piring kosong.
"Nasinya jangan banyak-banyak ya, pakai rendang daging dan sayuran lengkap, gulai ikan tongkol juga mau," pesan Edward sembari memerhatikan Meirasty yang mengambilkan menu makan siangnya.
Pria itu tertawa pelan. "Nasinya masih terlalu banyak buatku, Mey. Aku diet karbo. Pindahin ke piringmu saja nasinya separuh," ujar Edward.
"Ohh, maaf, Pak. Sebentar—" Meirasty pun segera memindahkan separuh nasi di piring Edward ke piring kosong lainnya.
'Aduh, dikit banget porsi nasinya!' batin Meirasty lalu menaruh piring itu ke hadapan Edward.
"Makasih, aku makan duluan ya, Mey. Kamu boleh ambil lauk mana pun yang kamu suka, bebas dan gratis. Silakan saja!" Edward pun mulai menikmati makan siangnya sembari mengamati lauk apa yang menjadi favorit gadis itu.
Sementara itu rombongan pengirim lukisan itu telah sampai di Gedung Kantor Pusat Jansen Pharma. John Whitmann berjalan mendului kedua pria petugas pengiriman barang itu menuju ke meja sekretaris Inez yang ada di depan ruang kantor CEO.
Sekretaris Inez yang bernama Mery itu yang menyambut kedatangan mereka. "Selamat siang apa ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapanya sembari melihat barang yang dibawa oleh kedua orang di belakang pria bertampang bule itu.
"Selamat siang, saya John Whitmann, ada sebuah kiriman hadiah dari bos saya untuk Nyonya Inez Jansen. Mungkin Anda bisa menyampaikan kepada beliau," ujar pria itu.
"Ohh, tentu. Sebentar saya panggilkan ke ruangan beliau," jawab Mery lalu bergegas menuju ke ruangan Inez.
"TOK TOK TOK." Ketokan di pintu itu menghentikan aktivitas Inez yang sedang membaca laporan divisi riset obat herbal baru.
"Masuk saja!" seru Inez yang ditanggapi oleh Mery.
Wanita itu berjalan mendekati meja Inez dan berkata, "Bu Inez, ada kiriman hadiah dari orang di depan ruangan ini. Dia ingin menyampaikannya langsung ke Anda."
"Boleh, Mer. Suruh saja bawa masuk kiriman hadiahnya. Nama pengirimnya siapa?" jawab Inez penasaran.
"Nama yang membawa hadiah itu John Whitmann, Bu Inez. Sebentar akan saya suruh masuk saja," sahut Mery lalu bergegas membukakan pintu untuk pengirim barang itu.
Sebuah nama yang tidak asing bagi Inez dan berhubungan dengan seseorang di masa lalunya yang kelam. Mungkinkah?
Pria bule itu masuk ke ruangan Inez dengan langkah santai mendekati meja kerja Inez. Dia menyunggingkan senyum santun yang tak sampai ke matanya. Ada suatu perasaan kecewa dalam diri John Whitmann ketika di Paris setahun yang lalu wanita itu melarikan diri bersama Mario.
"Lama tak bertemu dengan Anda, Nyonya Inez Jansen. Apa kabar?" ucapnya ringan yang mengirimkan efek histeria ke dalam jiwa Inez.
Sepasang mata itu seolah terasa panas dan digenangi air mata bening. "Apakah Edward masih hidup?" bisiknya lirih nyaris tak terdengar.
Tepat pukul 18.00 WIB, pesawat private jet membawa Edward dan Meirasty yang tetap dikawal oleh John Whitman beserta 2 rekan pengawal lainnya terbang menuju ke Amsterdam. Sekitar 16 jam durasi perjalanan itu tanpa mendarat transit sama sekali. Pukul 04.00 waktu Amsterdam mereka tiba di bandara, memang ada perbedaan waktu kedua negara yang lebih cepat 6 jam di Indonesia bagian barat dengan Amsterdam."Mey, kita check in hotel dulu saja buat istirahat, nanti pukul 11.00 baru mulai jalan-jalan ke kota," ujar Edward menggandeng tangan Meirasty menuruni undakan pesawat private jet itu."Aku ngikut rencana Kak Edu aja," sahut Meirasty mengikuti langkah-langkah lebar kaki suaminya yang bertubuh jangkung itu melintasi lobi bandara internasional Amsterdam. Mereka dijemput karyawan kantor VES dengan mobil SUV hitam merk buatan Belanda.Hotel yang dipilih Edward sengaja sama seperti saat dia menginap di kota itu bersama Inez, Inntel Hotels Amsterdam Zaandam. Saat memasuki kamar yang sama, dia t
"Halo, Pak Edward. Ada sebuah kiriman lukisan dari Nyonya Inez Jansen di kantor VES Jakarta," ujar David Sutomo, sekretaris pribadi Edward yang mengurusi kantornya yang ada di Jakarta Pusat.Pria itu mengerutkan keningnya, dia menduga itu pasti lukisan replika karya Rembrandt berjudul The Storm on The Sea of Galilee yang dulu pernah ia kirimkan untuk mengancam Inez. Kemudian ia pun bertanya, "Apa ada surat yang dikirimkan untukku juga, David?""Ada, Pak Edward. Saya belum membukanya, apa perlu saya fotokan isinya atau bacakan di telepon?" jawab David yang memang sedang memegangi sepucuk surat beramplop putih dengan tulisan tangan di alamat tujuan penerima."Bacakan saja, tapi nanti fotokan juga dan kirim ke nomorku, oke?" balas Edward lalu diam menunggu sekretarisnya membacakan surat dari Inez.David pun membacakan isi surat dari Inez itu, "Hai, Mas Edward. Semoga kabarmu baik-baik saja di sana. Inez ingin mengembalikan lukisan ini, aku harap Mas sudah mengakhiri dendam yang ada di an
Seusai makan malam di rumahnya yang ada di Paris bersama keluarga kecilnya, Edward duduk sendiri dalam ruang kantor rumahnya. Di genggaman tangannya ada beberapa lembar kertas bertuliskan "Surat Pernikahan Kontrak" dimana pada bagian bawah dari surat itu terdapat tanda tangan Meirasty dan juga tanda tangannya sendiri. Sudah hampir 2 tahun ini dia mengenal Meirasty, segalanya berjalan di luar dugaannya. Rencana awalnya untuk menghancurkan rumah tangga Inez dan Mario menggunakan adik kandung Mario memang awalnya berhasil. Namun, dalam perjalanannya justru dirinyalah yang terjerat dalam perasaan cinta yang sulit untuk ditepis olehnya.Inez terlalu keras kepala baginya, wanita itu lebih memilih untuk menjadi gila dibanding merelakan dirinya menjalin percintaan dengannya. Sungguh mengecewakan!Dari informan yang dia bayar untuk memata-matai Inez di rumah wanita itu yang ada di Jakarta, kondisi kesehatan mental dan kejiwaan Inez berangsur pulih sekalipun pada akhirnya dia berhenti bekerja
Sekalipun pernikahan kali ini adalah yang kedua bagi Clara, tetapi dia masih merasakan debaran kencang di dadanya saat mendengar calon suaminya mengucap janji di hadapan penghulu. Ketika semua mengucapkan kata "SAH", dia dan Tristan menghela napas lega. Sekarang mereka berdua adalah pasangan suami istri resmi di mata hukum dan agama."Tris, nitip puteri kesayanganku ya! Tolong kamu bahagiakan dan jaga dia selalu," pesan Inez saat dia menerima sujud sungkem mohon doa restu orang tua dari Tristan, menantu barunya.Kemudian dengan yakin Tristan pun menjawab, "Pasti, Nez. Ehh—Mama Mertua ... aku pasti serius jagain Clara. Mohon doa restunya ya!" Mario yang diam-diam mendengarkan pembicaraan istrinya dengan Tristan pun mendengkus geli. Pasalnya, kedua orang itu pernah terlibat cinta terlarang, sebuah one-night-stand. Dan itu pun karena Tristan merasakan obsesi cinta yang hampir sama dengan Edward. Bedanya, takdir berbicara lain untuk hubungan kedua pria itu dengan Inez."Mama ... Clara, m
Hari-hari selanjutnya setelah Inez kembali ke Jakarta terasa menenangkan. Dia memang terkadang seperti melamun saat sedang sendirian. Namun, histeria mimpi buruknya berangsur mulai jarang muncul. Mario pun mendukung penuh proses pemulihannya dengan tidak memaksakan harus berhubungan suami istri secara intim. Baginya kesehatan mental kejiwaan istrinya jauh lebih penting dibanding memaksakan ego serta kebutuhan biologisnya.Pagi jelang siang itu Nyonya Valeria Jansen, mama mertua Inez dari mendiang suami pertamanya dulu mengunjunginya di rumah. Dia sudah mendengar cerita dari Clara serta Mario mengenai penculikan Edward. Sekalipun bagi dirinya sebagai orang awam terasa absurd peristiwa itu. Namun, begitulah kenyataannya ... ketika seseorang dibutakan oleh obsesi gila segalanya dihalalkan untuk mendapatkan keinginannya."Pagi, Inez!" sapa Nyonya Valeria yang masih begitu sehat berjalan tanpa alat bantu sekalipun rambut sepunggungnya sebagian besar telah memutih. Inez menoleh lalu berjal
Sepasang kekasih yang akan segera menikah beberapa hari ke depan itu duduk berdekatan di bangku ruang tunggu bandara. Clara melihat-lihat berita yang sedang menjadi trending topik di jagad maya melalui layar ponselnya, sedangkan Tristan yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu lebih tertarik untuk bermesraan dengan kekasihnya.Dia menempelkan badannya dan wajahnya kepada Clara sambil membelai rambut panjang dan wajah pacarnya itu dengan gaya pria yang sedang bucin. Mau tak mau Clara pun menjadi geli sendiri dengan tingkah pacarnya yang menggemaskan. Memang Tristan itu seorang CEO perusahaan berkelas nasional, smart, ganteng, perfectlah pokoknya. Namun, kelakuannya kalau sedang bersamanya seperti bocah yang manja begitu kekanak-kanakan. "Mas Tristan nggak lapar?" tanya Clara iseng.Tristan langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Clara. "Apa kamu lapar, Sayangku? Mau dibeliin apa?" tanyanya kembali."Hahaha. Hey, 'kan yang nanya duluan aku! Mas jawab dong," balas Clara ter