Home / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Bab 6 : Masuk Ke Dunia Baru

Share

Bab 6 : Masuk Ke Dunia Baru

Author: Nanasshi
last update Last Updated: 2025-01-09 21:13:29

Hasya duduk di sudut sofa kulit hitam yang terasa terlalu empuk untuk tubuhnya yang kaku. Matanya menatap langit-langit apartemen Kara yang tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan di atasnya. Seluruh ruangan ini terasa seperti bagian dari majalah interior mewah—dengan dinding marmer putih, lukisan-lukisan mahal, dan perabotan yang tampak lebih mahal dari total biaya hidupnya selama setahun.

Ia meneguk ludah, merasa kecil dan tidak pada tempatnya. Napasnya berat, seolah udara di ruangan ini terlalu tipis untuknya.

“Kamu kenapa duduk di situ seperti tersesat?”

Suara Kara mengagetkan Hasya. Wanita itu baru saja keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang rapi dan elegan. Sepatunya berbunyi pelan di atas lantai marmer saat ia mendekat.

Hasya berusaha tersenyum, tapi yang keluar lebih seperti seringai canggung. “Aku nggak tahu harus ngapain,” jawabnya jujur.

Kara memiringkan kepalanya, menatap Hasya seolah sedang menilai sesuatu yang penting. “Kamu kelihatan seperti anak kucing yang dibuang ke rumah besar. Jangan seperti itu.”

“Aku memang nggak biasa dengan tempat seperti ini.” Hasya menggaruk belakang kepalanya. “Jujur saja, aku bahkan takut menyentuh sesuatu di sini. Kayak semuanya bakal pecah kalau aku salah gerak.”

Kara terkekeh kecil. “Well, kalau pecah, kita beli lagi. Tapi yang lebih penting dari itu…” Kara duduk di seberangnya, menatap Hasya lekat-lekat. “Penampilanmu harus berubah.”

Hasya mengernyit. “Penampilanku?”

Kara melirik pakaian yang dikenakan Hasya—kaus polos abu-abu yang sudah agak pudar dan celana jeans lusuh. Sandalnya pun sudah terlihat usang. “Ya, penampilanmu. Kamu adalah suami seorang CEO sekarang. Orang-orang akan menilai kita dari apa yang mereka lihat. Dan aku tidak bisa membiarkanmu terlihat seperti ini.”

Hasya merasa telinganya memanas. “Apa maksudmu? Aku nggak punya baju mahal, kalau itu yang kamu pikirkan.”

“Justru itu masalahnya.” Kara berdiri dan mengambil tas tangannya. “Ayo, kita pergi belanja.”

^^^^

Hasya menatap pantulan dirinya di cermin besar di dalam ruang ganti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang sangat pas di tubuhnya, dengan kemeja putih bersih dan dasi sutra yang rapi. Rambutnya yang biasanya berantakan kini disisir rapi oleh salah satu pegawai butik.

Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.

Kara berdiri di sampingnya dengan senyum puas. “Nah, ini baru kelihatan seperti suami seorang CEO.”

Hasya memandangi dirinya sendiri lagi. “Aku kelihatan… aneh.”

Kara mengangkat alisnya. “Aneh? Tidak, Hasya. Kamu kelihatan elegan.” Ia berjalan mengitari Hasya, menilai setiap detail dari penampilannya. “Kamu hanya belum terbiasa. Tapi percayalah, orang-orang akan memperlakukanmu dengan lebih hormat kalau kamu terlihat seperti ini.”

Hasya meremas telapak tangannya, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang diberikan para pegawai butik padanya. Sejak ia masuk ke toko ini, semua mata seolah tertuju padanya. Ia bisa merasakan tatapan penilaian, meski mereka berusaha menyembunyikannya dengan senyum ramah.

“Kalau begini, aku nggak bisa jadi diri sendiri.”

Kara menatapnya tajam. “Diri sendiri? Dengarkan aku, Hasya.” Ia mendekat, suaranya menurun namun penuh tekanan. “Aku mempekerjakanmu untuk memainkan peran ini. Aku membutuhkan seseorang yang bisa berdiri di sampingku tanpa membuatku terlihat lemah. Jadi, kalau kamu mau melakukan ini dengan benar, maka kamu harus mulai bersikap seperti seorang pria yang pantas berada di dunia ini.”

Hasya membuka mulutnya untuk membalas, tapi kemudian menutupnya lagi. Kata-kata Kara terasa menusuk, tapi ia tahu wanita itu benar. Ini bukan tentang Hasya sebagai pribadi. Ini tentang peran yang harus ia jalankan.

Hasya mengangguk pelan. “Baiklah.”

Kara tersenyum kecil. “Bagus.”

^^^^

Setelah tiga jam berpindah dari satu butik ke butik lain, Hasya merasa kelelahan. Ia tidak pernah membayangkan bahwa berbelanja bisa jadi sangat melelahkan. Tas-tas belanja dari merek-merek terkenal menumpuk di tangan para asisten toko, siap dikirimkan ke apartemen Kara.

Setelah membeli jas, kemeja, sepatu kulit mahal, dan jam tangan yang harganya bisa membayar biaya hidupnya selama berbulan-bulan, Hasya merasa tercekik.

Ketika mereka akhirnya duduk di kafe mewah di pusat perbelanjaan itu, Hasya memandangi Kara dengan canggung.

“Kamu yakin semua ini perlu?” tanyanya sambil menunjuk ke tas-tas belanja di sekitar mereka.

Kara menyesap kopinya dan mengangguk. “Lebih dari perlu. Ini investasi.”

“Investasi?”

“Ya. Penampilan itu aset.” Kara meletakkan cangkirnya dan menatap Hasya serius. “Kita tidak bisa menghindari sorotan. Akan ada orang yang memandang kita dan berusaha mencari celah untuk menjatuhkan kita. Aku sudah cukup berpengalaman dengan itu. Jadi, kita harus selalu satu langkah di depan.”

Hasya terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hidup dari sudut pandang seperti itu. Baginya, selama ini hidup adalah soal bertahan—makan, tidur, dan menjaga agar kakaknya tetap hidup. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana orang lain memandangnya.

Namun, di dunia Kara, segalanya tampak seperti permainan catur yang rumit.

“Aku cuma takut nggak bisa menyesuaikan diri,” ucap Hasya akhirnya.

Kara tersenyum tipis. “Kamu akan terbiasa. Tapi jangan lupa satu hal.”

“Apa?”

“Jangan biarkan dirimu terlalu nyaman.”

Hasya menatap Kara bingung.

“Kita di sini bukan karena cinta, Hasya. Ingat tujuanmu dan aku. Begitu semua ini selesai, kamu bebas kembali ke hidupmu. Jadi, jangan sampai kamu lupa siapa dirimu sebenarnya.”

Saat mereka kembali ke apartemen, para staf langsung mengantarkan semua barang belanjaan mereka. Hasya duduk di sofa sambil menatap kotak-kotak berisi pakaian dan aksesori yang kini menjadi miliknya.

Ia merasa terjebak di antara dua dunia—dunia lamanya yang sederhana dan penuh perjuangan, dan dunia baru ini yang dipenuhi kemewahan, tapi terasa kosong dan dingin.

Kara memerhatikan Hasya dari kejauhan. Ia tahu Hasya merasa canggung, tapi Kara juga tahu bahwa ini perlu.

“Kamu akan terbiasa,” ucap Kara sambil berjalan mendekat. “Dan ingat, ini hanya sementara.”

Hasya menatap Kara, lalu mengangguk pelan.

Namun, jauh di dalam hatinya, Hasya mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar bisa menjalani peran ini tanpa kehilangan dirinya sendiri.

^^^^

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 35 : Ending Story About Kara-Hasya

    Hujan rintik-rintik turun dari langit kelabu, membasahi jendela kantor Kara yang menghadap kota. Perempuan itu duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata yang tajam dan penuh amarah yang terpendam. Di sampingnya, Hasya berdiri dengan tangan terlipat, menunggu Kara berbicara."Aku sudah menyelidiki semua transaksi keuangan perusahaan selama setahun terakhir," suara Kara akhirnya terdengar, dingin seperti baja yang baru diasah. "Dan hasilnya?"Hasya mendekat, membaca dokumen yang tertera di layar. Matanya membulat. "Alice… dia benar-benar gila."Angka-angka dalam laporan itu berbicara sendiri. Puluhan miliar dana perusahaan telah dialirkan ke rekening-rekening asing, perusahaan fiktif, dan berbagai proyek yang ternyata tak pernah ada. Alice bukan hanya sekadar menyebarkan rahasia Kara ke media, tapi juga telah mengkhianati perusahaan dengan cara yang jauh lebih busuk.Kara mengepalkan tangannya, jemarinya gemetar karena emosi. "Dia pikir aku nggak bakal tahu? Dia pikir aku ak

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 34 : Alice Biang Kerok

    Malam itu, angin berembus pelan, tapi dinginnya menembus hingga ke tulang. Kara duduk di ruang kerja, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya menggenggam ponsel erat, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan dalam kekacauan ini. Hasya berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Kara menggulirkan layar, mencari tahu sumber berita yang telah menghancurkan segalanya.Lalu, di sanalah mereka menemukannya.Nomor ponsel Adrian.Kara mematung. Hatinya menolak percaya. Adrian? Teman lamanya? Orang yang dulu dia anggap sebagai rekan sekaligus seseorang yang pernah ia percayai?Hasya, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Kara, menarik napas dalam. "Kita harus memastikan ini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Kita ke rumah sakit sekarang."Rumah sakit berbau khas antiseptik, bercampur dengan aroma samar kecemasan yang melayang di udara. Langkah Kara dan Hasya cepat, hampir berlari. Mereka bertanya pada perawat, lalu diarahkan ke kamar perawatan Adrian.Namun, sebelum

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 33 : Konferensi Pers

    Ruangan itu sunyi, sepi yang menusuk lebih dalam daripada kemarahan yang baru saja meledak. Hasya berdiri tegak, dadanya naik-turun menahan emosi. Matanya menatap lurus ke arah sang mertua, meski sorot mata lelaki tua itu lebih tajam daripada pisau yang baru diasah.Kara masih memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan tadi, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Melainkan kenyataan bahwa ayahnya sendiri ingin menghancurkan sesuatu yang—walaupun dia enggan mengakuinya sebelumnya—sudah menjadi bagian dari hatinya.Hasya menelan ludah, lalu maju satu langkah."Ayah," suaranya tegas, tapi tetap penuh hormat. "Saya tahu Anda marah. Saya tahu berita itu mencoreng nama baik keluarga Wihardjo. Tapi sebelum Anda memutuskan sesuatu, biarkan saya bicara."Ayah Kara menatapnya dengan rahang mengeras, tapi tak berkata apa-apa."Kami memang memulai hubungan ini dengan sebuah perjanjian," Hasya melanjutkan, memastikan suaranya stabil. "Kami berdua tahu itu. Kami paham risiko dan konsekuensi

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 32 : Rahasia Terbongkar

    Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 31 : Hasya Galau

    Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 30 : Rahasia yang Diketahui Dhea

    Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status