Gama menatap datar sembari mendengus kasar. ”Kamulah masalahnya. Kamu seorang pasien. Tugasmu istirahat selama masa pemulihan. Kenapa banyak bergerak?”
“Tapi ada yang harus–““Aku akan mengurusnya untukmu,” sambar Gama.Lawan bicaranya terdiam. Berpikir beberapa saat sebelum menghempas tangan Gama dari tubuhnya.“Ini bukan urusanmu.”Marsha keluar dari kamar.Gama mengikutinya dengan setia. Tanpa berisik atau bertingkah sehingga Marsha dapat mengusirnya.“Aku akan antar sampai ke tempat tujuan.”Gama kembali berucap saat mereka telah di luar gedung rumah sakit–setelah kondisi mereka aman.Marsha menatapnya lurus. “Kenapa harus kamu? Banyak taxi yang bisa aku tumpangi.”Gama memutar bola matanya malas dan mencegat langkah Marsha yang hendak pergi ke tepi trotoar untuk menghentikan transportasi jalanan pribadi.“Biarkan aku mengantarmu. Aku tak akan banyak tanya lagi. Jika kam“Hari ini kita sekolah?” Yana dan Naya terdiam kaget dengan kedua mata membulat lebar. “Sungguh?” Derren berseru. Ia tak kalah terkejut dengan kedua adik perempuannya. Marsha mengangguk. “Seragam kalian ada di dalam lemari. Setelah sarapan, kalian bisa mandi dan langsung bersiap.” Marsha tersenyum lembut melihat wajah semringah Yana dan Naya. “Kami akan mengantar kalian.” Dengan cepat Naya dan Yana menyelesaikan sarapannya dan segera berlari ke dalam kamar mereka–bersiap pergi ke sekolah. Derren menatap lurus ke arah Marsha. Hanya diam, tak mengucapkan sepatah kata pun sampai Marsha sadar dengan pandangan itu. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Marsha. “Kamu baru keluar dari rumah sakit. Apa tidak masalah pergi ke luar? Kepalamu pasti masih pusing, kan?” Derren mencoba bersikap perhatian. Walau semua sikap itu terasa sangat sulit ia lakukan karena sikap alaminya
“Suamimu sangat perhatian.” “Ya, Bu Marsha. Kamu pasti bahagia hidup dengannya.” Marsha menggelengkan kepalanya. Mencoba menghapus semua pemikiran itu dari kepalanya. Setelah memberikan bekal buatan Derren pada rekan kerjanya, mereka semua tak berhenti menyanjung Derren di depannya. Membuatnya pening seharian. “Kenapa kamu?” tanya Derren, melihat tingkah aneh Marsha. Marsha segera sadar dari lamunannya. Ia menatap Derren yang duduk di sampingnya–join nonton TV. “Kapan kamu pulang?” ucapnya, sedikit terkejut. “Baru saja. Sudah makan malam?” Marsha melihat ke arah jarum jam sebelum ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak makan malam.” Derren menatapnya tajam. “Kamu lupa kata Dokter Tomo?" Marsha melirik ambigu dan menggeleng. “Tidak. Tapi tadi sore aku sudah makan beberapa potong roti isi. Sekarang aku kenyang.” Derren mengangguk. Ia tak lagi mempermasalahkannya dan melihat pon
Derren terdiam. Bima dapat melihat kegugupan mulai menyerang pemuda itu. “Tidak sopan. Aku bertanya padamu.” Bima berjalan mendekat. “Kamu tidak mendengarnya?” “Maaf Tuan Bima. Saya mendengarnya.” “Lalu, apa jawabannya?” Derren melirik dua sepeda yang masih di bungkus rapi, di samping Bima. Bima mengikuti pandangan itu. “Itu milikmu?” Derren mengangguk pelan. “Marsha membelinya untuk kedua adik perempuan saya. Mereka baru masuk sekolah hari ini.” Derren menatap sungkan. “Dan Marsha salah memberikan alamat pengirimannya. Jadi saya datang untuk mengambilnya agar mereka bisa menggunakannya berangkat sekolah hari ini.” “Kamu akan membawanya sendiri? Di mana Marsha?" Bima terus bertanya dengan nada ketus. Tapi tampaknya ia tak berniat untuk mengusirnya. “Marsha masih tidur, Tuan. Ia begadang semalaman karena pekerjaan.” Bima mempersilahkan Derren mengambil sepeda itu. “
”Ayah kan bucin!” Bima membulatkan matanya. Ia menatap tajam putri bungsunya. “Marsha, jangan kurang ajar!” Marsha memutar bola matanya malas–tak menanggapi. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mengambil barang-barangnya sebelum kembali berjalan keluar. Ia menyalami tangan Bima dan izin berangkat kerja. “Aku berangkat.” “Bukannya kamu masuk siang?” “Aku tukar shift dengan teman. Aku akan pulang sore agar bisa menemani Ayah dan anak-anak nanti.” Bima mengangguk paham. “Berhati-hatilah ketika mengemudi.” Marsha hanya melambaikan tangannya dan meninggalkan Bima. Ia menatap Ayahnya yang berdiri di teras dengan tatapan menyelidik. “Ia pasti memiliki rencana.” Marsha tersenyum pada Bima sebelum ia masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah. Bima menghela napas penat. Senyuman manisnya hilang dalam sekejap. “Mereka sangat gaduh,” cemoohnya. Bima berjalan masuk ke dalam rumah dan membongkar tasnya. Ia mengeluarkan perkakas. Banyak kamera kecil yang telah ia siapkan. “Cari
Pak Hans bangun dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah belati dari dalam jas kemejanya. Ia menodongkan ujung belatinya pada Anis. "Padahal tadinya saya berniat melepaskan Anda jika Anda pura-pura bodoh." Anis mempertajam penglihatannya. Ia pun telah menodongkan pistol pada Pak Hans. "Namun tampaknya, kita tidak bisa mempertahankan tali persaudaraan ini, ya?!" Anis tersenyum miring dan .... DOR! Derren terdiam. Baru 5 menit sejak ia keluar dari lift, suara tembakan tiba-tiba berseru di seluruh gedung. "Apa yang terjadi?" Banyak orang berlalu lalang di sekitar Derren dengan wajah panik. "Anda tidak perlu menghiraukan masalah ini, Tuan. Kita serahkan pada tim keamanan sekolah saja." Seorang lelaki muda yang kemarin ia temui, kini telah berdiri di depannya dengan tatapan dingin. Derren memicingkan matanya. "Jangan menyembunyikan rasa gugupmu di depan orang yang mudah peka. Kamu akan terlihat seperti orang bodoh, Nak!" Marco menatapnya dengan gusar. Kini ia tak lagi menyembuny
Marsha menatap lurus pada Derren beberapa saat. "Kamu tidak percaya padaku?" Derren berpikir sejenak sebelum ia menggeleng pelan. Marsha berbalik dan melanjutkan langkahnya. "Aku tidak menerima pasien atas namanya. Kamu bisa mencari di mana ia, kan?" Marsha melirik suaminya tajam. "Meja resepsionis terbuka untuk umum!" Setelah mengatakan hal tersebut, Marsha meninggalkan Derren. Menghela napas kasar, Derren segera mengejar istrinya. "Tunggu aku. Kita pulang bersama agar Ayah Mertua tidak curiga." Marsha menoleh. Ia melihat Derren yang berjalan di sampingnya. "Curiga tentang apa?" "Pernikahan kita?" Derren menjawab dengan wajah ambigu. Wanita muda itu tersenyum simpul. “Ayahku bukan orang bodoh. Kita memang berhasil menikah kontrak, tapi hal itu tak akan bisa mengelabuinya." Derren mengerutkan keningnya tak paham. "Lalu alasanmu menikah denganku?"
Bima makan dengan tenang. Ia duduk di sebelah Marsha, sementara Derren duduk di depannya. "Kenapa makananku tidak pedas?" Marsha menatap Derren dengan tatapan kecewa. "Katamu, Tuan Bima tidak bisa makan pedas! Ya sudah, aku tidak menambahkan cabai di dalamnya," jawab Derren, santai. Walau tidak terlalu senang karena makanannya tidak pedas, namun ia tetap makan dengan lahap. Masakan Derren memang pantas untuk di akui. Tak heran ia menjadi kepala koki dari Hotel Bintang 5 yang ternama. "Kamu sangat pandai memasak." Bima mengelap mulutnya dengan tisu dan menatap Derren dengan pandangan sengit. "Kamu bekerja di warung makan mana?" ucapnya, sedikit mencemooh. Derren melirik Marsha. Ia melihat wanita itu berhenti makan dan menatap Ayahnya dengan tatapan tak kalah sengit. "Apa maksud Ayah?" Marsha terlihat tak senang. Bima menoleh padanya dan memelototkan mata. "Telan dul
"Bisakah kamu bersikap lebih normal?" Rama–Dokter Spesialis Dalam–menatap Marsha yang tak henti-hentinya tersenyum dengan pandangan aneh. "Hentikan tawa aneh itu, Marsha! Kita sedang dalam operasi penting! Jangan melakukan kesalahan karena kamu membawa masalah luar, ke dalam ruang operasi!" Namun yang di tegur tak kunjung peka. Ia terus tersenyum malu-malu dan melakukan pekerjaannya tanpa terganggu. Suster Senior–Valerie, Lintang dan Bagas yang mendampingi operasi mereka hanya menggelengkan kepalanya ampun melihat keduanya bertengkar. "Anda tidak perlu mempermasalahkan hal itu, Dokter Rama. Bu Marsha melakukan operasinya dengan baik walau wajahnya begitu," ucap Jia–Dokter Anestesi. Rama membuang napas kasar dan kembali melihat organ dalam yang harus segera ia jahit. Sayangnya, ia melewatkan detik bagiannya dan Marsha telah mengerjakannya tanpa banyak berbicara. "Pasienmu bisa meninggal walau kita hanya k