Pak Hans bangun dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah belati dari dalam jas kemejanya. Ia menodongkan ujung belatinya pada Anis. "Padahal tadinya saya berniat melepaskan Anda jika Anda pura-pura bodoh." Anis mempertajam penglihatannya. Ia pun telah menodongkan pistol pada Pak Hans. "Namun tampaknya, kita tidak bisa mempertahankan tali persaudaraan ini, ya?!" Anis tersenyum miring dan .... DOR! Derren terdiam. Baru 5 menit sejak ia keluar dari lift, suara tembakan tiba-tiba berseru di seluruh gedung. "Apa yang terjadi?" Banyak orang berlalu lalang di sekitar Derren dengan wajah panik. "Anda tidak perlu menghiraukan masalah ini, Tuan. Kita serahkan pada tim keamanan sekolah saja." Seorang lelaki muda yang kemarin ia temui, kini telah berdiri di depannya dengan tatapan dingin. Derren memicingkan matanya. "Jangan menyembunyikan rasa gugupmu di depan orang yang mudah peka. Kamu akan terlihat seperti orang bodoh, Nak!" Marco menatapnya dengan gusar. Kini ia tak lagi menyembuny
Marsha menatap lurus pada Derren beberapa saat. "Kamu tidak percaya padaku?" Derren berpikir sejenak sebelum ia menggeleng pelan. Marsha berbalik dan melanjutkan langkahnya. "Aku tidak menerima pasien atas namanya. Kamu bisa mencari di mana ia, kan?" Marsha melirik suaminya tajam. "Meja resepsionis terbuka untuk umum!" Setelah mengatakan hal tersebut, Marsha meninggalkan Derren. Menghela napas kasar, Derren segera mengejar istrinya. "Tunggu aku. Kita pulang bersama agar Ayah Mertua tidak curiga." Marsha menoleh. Ia melihat Derren yang berjalan di sampingnya. "Curiga tentang apa?" "Pernikahan kita?" Derren menjawab dengan wajah ambigu. Wanita muda itu tersenyum simpul. “Ayahku bukan orang bodoh. Kita memang berhasil menikah kontrak, tapi hal itu tak akan bisa mengelabuinya." Derren mengerutkan keningnya tak paham. "Lalu alasanmu menikah denganku?"
Bima makan dengan tenang. Ia duduk di sebelah Marsha, sementara Derren duduk di depannya. "Kenapa makananku tidak pedas?" Marsha menatap Derren dengan tatapan kecewa. "Katamu, Tuan Bima tidak bisa makan pedas! Ya sudah, aku tidak menambahkan cabai di dalamnya," jawab Derren, santai. Walau tidak terlalu senang karena makanannya tidak pedas, namun ia tetap makan dengan lahap. Masakan Derren memang pantas untuk di akui. Tak heran ia menjadi kepala koki dari Hotel Bintang 5 yang ternama. "Kamu sangat pandai memasak." Bima mengelap mulutnya dengan tisu dan menatap Derren dengan pandangan sengit. "Kamu bekerja di warung makan mana?" ucapnya, sedikit mencemooh. Derren melirik Marsha. Ia melihat wanita itu berhenti makan dan menatap Ayahnya dengan tatapan tak kalah sengit. "Apa maksud Ayah?" Marsha terlihat tak senang. Bima menoleh padanya dan memelototkan mata. "Telan dul
"Bisakah kamu bersikap lebih normal?" Rama–Dokter Spesialis Dalam–menatap Marsha yang tak henti-hentinya tersenyum dengan pandangan aneh. "Hentikan tawa aneh itu, Marsha! Kita sedang dalam operasi penting! Jangan melakukan kesalahan karena kamu membawa masalah luar, ke dalam ruang operasi!" Namun yang di tegur tak kunjung peka. Ia terus tersenyum malu-malu dan melakukan pekerjaannya tanpa terganggu. Suster Senior–Valerie, Lintang dan Bagas yang mendampingi operasi mereka hanya menggelengkan kepalanya ampun melihat keduanya bertengkar. "Anda tidak perlu mempermasalahkan hal itu, Dokter Rama. Bu Marsha melakukan operasinya dengan baik walau wajahnya begitu," ucap Jia–Dokter Anestesi. Rama membuang napas kasar dan kembali melihat organ dalam yang harus segera ia jahit. Sayangnya, ia melewatkan detik bagiannya dan Marsha telah mengerjakannya tanpa banyak berbicara. "Pasienmu bisa meninggal walau kita hanya k
"Apa yang kamu bicarakan?" Zahra menatap Tomo dengan tatapan sengit. Beberapa perawat yang melihatnya hanya terdiam dengan tatapan takut. Keduanya memang tidak akrab, karena Tomo sering memancing emosi Zahra. "Sekali lagi aku dengar kamu berbicara seperti itu tentang jabatan! Aku akan benar-benar mengeluarkan–“ "Mama." Zahra menoleh dan melihat seorang anak perempuan berusia 4 tahun, berlari ke arahnya dengan senyuman lebar. Amarah Zahra langsung luntur. Ia segera bangun dari duduknya dan memeluk putri kecilnya. "Kamu datang bersama siapa, Tiya?" Gadis kecil itu menunjuk ke arah seorang lelaki tampan bersetelan jas hitam, berjalan mendekati mereka dengan wibawa yang kuat. "Tiya, Ayah sudah bilang, kan! Jangan lari-lari di tempat ramai. Bagaimana kalau Ayah kehilanganmu?" Dean–lelaki berusia 28 tahun yang menyandang status suami Zahra–tampak marah dengan cara yang menggemaska
4 orang berpakaian loreng hijau-coklat berjalan masuk ke dalam rumah sakit dengan wajah panik. Tanpa sadar, mereka telah membuat warga rumah sakit bergidik ngeri melihat kehadiran keempatnya. Derren berjalan ke meja resepsionis dan bertanya. “Atas nama Marsha Anindira, di ruang operasi berapa ia berada?” Perawat menunjukkan arah untuk pergi ke ruang operasi Marsha. Derren dan tiga teman Tentaranya bergegas pergi dan menemui Naya serta Yana yang ada di ujung lorong di depan sana. Keduanya tengah meringkuk di atas kursi besi dengan seorang lelaki berkumis hitam–duduk di samping mereka–menunggu bersama keduanya. “Naya, Yana, bagaimana keadaan Kak Marsha? Ia baik-baik saja, kan?” Derren mendekat dengan langkah lebar. Naya dan Yana bangkit dari tempatnya dan segera memeluk Derren dengan erat–mereka menangis dengan tubuh gemetar. “Jangan berisik, ini rumah sakit!” bisik Derren, mengingatkan keduanya.
Perlahan-lahan tapi pasti, Marsha membuka mata dan melihat seorang lelaki asing tengah duduk di samping ranjang dengan membaca sebuah buku psikologi yang tebal. “Siapa?” Marsha bergumam lembut. Lelaki itu menutup bukunya. Ia bangun dari tempatnya dan menatap Marsha yang membuka matanya dengan sedikit kesulitan. “Anda bisa melihat saya?” tanya lelaki bersuara berat itu, masih memandanginya. “Tidak. Aku tidak tahu kamu. Pandanganku tidak jelas! Yang jelas, aku tahu kamu botak.” Arasy menatap datar. Ia menarik rambutnya yang di kucir buntut kuda ke samping dan menunjukkannya pada Marsha. “Saya hanya mengikat rambut saya. Bukannya botak, Nyonya!” jelasnya, ketus. Marsha menunjukkan wajah masam. Ia segera meminta maaf setelah menyadari perasaan kesal lawan bicaranya. “Siapa kamu? Kamu belum menjawab pertanyaan itu.” Kini perlahan-lahan Marsha bisa melihat siapa yang ada di depannya.
“Tidak perlu ikut campur, Lea. Ini bukan urusanmu.” Derren menghela napas panjang dan mengambil alkohol dan beberapa perban untuk mengobati dirinya sendiri. Lea mengerutkan kening. “Apa yang kamu maksud bukan urusanku? Kita kan–“ Derren menaikkan sebelah alisnya. “Kita apa?” Lea diam. Ia sedikit memalingkan wajah dan berusaha menenangkan napasnya yang telah menggebu karena amarah. “Bukan apa-apa.” Lea merebut kasa dari tangan Derren dan membantunya mengobati luka. “Biar aku sa–“ Marsha muncul. Ia telah menggenggam tangan Lea yang hendak menyentuh Derren untuk mengobatinya. “Apa yang akan kamu lakukan?” Derren terdiam melihat kobaran amarah pada mata istrinya. Ia tak menyangka Marsha bisa semarah itu hanya karena Lea. Apa mereka sudah benar-benar bermusuhan sekarang? “Marsha, ia hanya mencoba membantu–“ “Siapa yang kamu bela?” sela Mars