Share

Mencari Bukti

Author: Maheera
last update Huling Na-update: 2024-12-26 21:30:08

"Sayang, mana es-nya?" Tepukan di bahu membuatku mengusap kelopak mata agar cairan yang tergenang di sana tak jatuh. Aku tak mau Mas Dayat curiga padaku.

Aku berbalik dan mengulas senyum, meski s@kit dan rasa muak padu di dalam dada aku harus menahan diri. Aku tak ingin Mas Dayat menaruh syak wasangka yang membuatnya berhati-hati. Mulai hari ini aku harus bisa berpura-pura menjadi istri penurut agar dia merasa bisa membodo-hiku.

"Rame, Mas, aku malas antri." Tatapanku jauh ke belakang pundak Mas Dayat. Fina, pelakor itu berdiri di belakang lelaki itu. "Dia ngapain ngekorin kamu terus? Abis ngerayu kamu, ya? Atau kalian lagi merencanakan sesuatu?"

"Sayang!" Mas Dayat berdeham, dia melirik Fina. Aku bisa melihat dia memberi isyarat agar wanita itu pergi. "Kamu kenapa suka nuduh aku yang tidak-tidak? Selama ini apa pernah aku aneh-aneh di belakang kamu?"

Aku berdecih melihat lihainya Mas Dayat bersilat lidah. Entah berapa lama dia mencurangiku, yang pasti bukan sebulan-dua bulan ini.

"Memang tidak pernah. Aku harap kamu tetap seperti itu, karena aku tidak akan pernah mentolerir perselingkuhan." Aku sengaja menekan kata perselingkuhan. Aku yakin Mas Dayat menangkap ultimatum tadi. "Ya udah, aku pulang dulu. Di mana Gio?"

"Tadi aku suruh Eko ambilan camilan untuk Gio. Mungkin di sana." Mas Dayat menunjuk ke bagian rak khusus camilan. Bagus sekali, dia sengaja menjauhkan Gio agar bebas bicara dengan pelakor mura-han tadi.

"Ck, aku nitip ke kamu malah dikasih ke orang. Aku pulang dulu." Tanpa menunggu jawaban Mas Dayat, aku berjalan ke arah yang ditunjuk Mas Dayat tadi. Kebetulan, ada yang harus kubicarakan dengan Eko.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku gegas mendekati Eko yang sedang memilih camilan untuk Gio di rak.

"Eko, aku mau bicara sama kamu!" Aku memegang lengan pemuda itu. "Kamu jangan menghindar lagi."

"Eh, Mbak, aku ...."

"Udah, kamu jangan alasan apa-apa. Aku tahu kamu butuh uang untuk bayar uang semesteran adikmu. Kamu bantu aku, aku janji bayar uang kuliah adikmu dua semester." Aku pura-pura membantu Eko memasukkan camilan Gio ke kantong kresek dan merendahkan nada suara agar Mas Dayat tidak curiga.

"Mbak serius?"

Aku mengangguk. Tentu saja Eko tak akan menolak tawaranku, uang semester jumlahnya tidak sedikit, aku tak keberatan merogoh kocekku dalam-dalam asal bisa mendapatkan bukti kecurangan Mas Dayat.

"Caranya Mbak?"

Aku melihat ke arah Mas Dayat, beruntung lelaki itu sedang bicara dengan seorang pelanggan hingga dia tak memperhatikanku dan Eko.

"Kamu cari dan serahkan laporan keuangan toko ini satu tahun terakhir padaku. Selain itu, kamu awasi gerak-gerik Mas Dayat dan pelakor itu."

Kelopak mata Eko membulat. "Jadi Mbak udah tahu kalau ...."

"Aku baru tahu tadi," selaku. Aku tak ingin berlama-lama bicara dengan Eko agar Mas Dayat tidak curiga. "Kamu ambil bukti sebanyak-banyaknya, entah foto atau video lalu kirim ke w******p-ku."

Setelah melihat anggukan Eko, aku membimbing Gio keluar toko. Aku masih sempat melihat Fina duduk di meja kasir. Cara dia melayani pembeli sudah seperti bos saja. Lihat saja nanti, akan kuberi pelajaran yang tak akan bisa dia lupakan.

"Sayang, kalau pulang hati-hati, ya. Nanti pulang tolong mampir ke rumah Ibu. Dia kangen martabak manis katanya."

Aku menghela napas pelan. Mas Dayat mengejarku ke parkiran hanya untuk menyuruhku membelikan pesanan Ibunya. "Mana uangnya?" Aku menadahkan tangan, mulai sekarang apa pun yang dia suruh beli harus dari uangnya.

"Pakai uangmu dulu, cuma dua puluh ribu."

"Aku tidak punya uang. Kamu lupa ngasih aku cuma lima ratus ribu? Semingggu juga sudah habis. Pokoknya kamu harus tambah uang belanja. Toh, toko ramai, tidak sepi seperti yang kamu bilang."

Aku tersenyum dalam hati melihat Mas Dayat mengeluarkan lembaran merah seratusan enam lembar. Aku mengambil semuanya, tak peduli protesnya. Aku yakin dia berbohong soal pendapatan toko. Entah ke mana semua uang penjualan dia berikan. Aku menstarter sepeda motor meninggalkan Mas Dayat yang cemberut. Masa bod0h, siapa suruh sok-sok bohong bilang toko sepi, sekali aku inspeksi ketahuan.

Aku mampir ke tukang martabak langgananku untuk membeli dua martabak manis. Kebetulan aku punya alasan ke rumah Ibu mertua, sekalian menuntaskan rasa penasaran apa yang kulihat di kamar Mas Dayat beberapa hari yang lalu. Sesampai di depan rumah Mas Dayat, dahiku berkerut melihat sepeda motor masih baru terparkir di pekarangan. Apakah Ibu mertua sedang menerima tamu? Aku menurunkan Gio dari boncengan lalu menenteng satu kotak martabak, sedangkan sisanya kutinggal di keranjang untukku makan dengan Gio nanti di rumah.

"Ibu tahu, teman-temanku memuji sepeda motorku. Aku senang sekali, syukur Dayat cepat membelikan sepeda motor itu, kalau tidak bisa malu aku sama teman-teman di reunian tadi."

Aku yang hendak masuk ke dalam rumah mengurungkan niat ketika mendengar suara Mbak Anis. Sekarang terjawab tulisan di kuitansi yang kutemukan tadi pagi, pasti untuk membeli sepeda motor untuk Mbak Anis. Keterlaluan kamu, Mas! Menyunat uang belanja dan memakai pendapatan toko untuk kepentingan Kakakmu yang tidak tahu diri itu.

"Iya, Ibu juga senang, tapi jangan sampai di Halimah tahu, bahaya."

"Bahaya apa sih, Buk. Dia cuma parasit, kerjanya cuma nampung ke Dayat."

Dar-ahku mendidih mendengar percakapan Ibu dan anak itu. Keduanya benar-benar tidak tahu diri. Baiklah, kubiarkan kalian berdua memperlakukanku seperti ini sampai waktunya nanti. Aku berdeham keras untuk memberitahu keberadaanku.

"Ibu, aku bawa pesananmu." Aku masuk setelah mengucap salam lalu meletakkan kantong kresek berisi martabak manis yang kubeli tadi.

"Eh, Halimah, sejak kapan kamu datang?" Ibu Mas Dayat tampak salah tingkah, berbeda dengan Mbak Anis yang acuh tak acuh. Benar-benar keturuan Dajj-al! Sudahlah memakai uang dari toko, sombongnya nauzubillah.

"Baru aja, Buk. Aku sekalian ambil pakaian kotor Gio kemarin. Aku lupa, takutnya nanti jamuran."

Tanpa menunggu jawaban Ibu Mas Dayat, aku nyelonong masuk ke kamar lelaki itu. Dengan cepat kubuka laci meja lalu mengambil map yang kulihat kemarin. Jantungku berdegup kencang melihat map tersebut. Bagaimana tidak, isinya adalah sertifikat rumah dan toko. Rupanya Mas Dayat tidak main-main mengambil alih warisan mendiang Ayah.

"Halimah, ngapain kamu? Bantuin cuci piring sana, tidak ada lagi piring bersih."

Aku menghela napaa panjang mendengar suara Ibu Mas Dayat. Bagian mana yang tidak dimengerti dari kata, aku tak mau mengerjakan apa pun di rumah ini. Setelah memasukkan map tadi ke dalam tas, aku keluar kamar.

"Heh, mau ke mana kamu?" Ibu Mas Dayat berseru melihat aku membimbing Gio keluar.

"Pulang, Bu, ke mana lagi?"

"Kamu tidak dengar aku nyuruh cuci piring?"

Langkahku seketika mati. Aku menatap Ibu Mas Dayat dan Mbak Anis bergantian. "Maaf, aku tidak pernah makan di sini, jadi bukan tugasku membersihkan. Kalau Ibu mau rumah bersih, piring bersih, dan semua rapi, suruh Mbak Anis. Jangan bisanya suruh ini-itu, dia bukan Ratu!"

Aku segera menaikan Gio ke jok lalu menstarter sepeda motorku. Omelan Ibu Mertua dan Mbak Anis kuanggap angin lalu. Terserah disebut menantu durhaka, toh aku tak pernah dianggap. Jadi, untuk apa menghormati mereka.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Ruhiyani
selamat semua aset y .halimah .hati" jgn sampe di rebut sma laki" dajal klrga dajal
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 62 (Ending)

    "Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 61

    "Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 60

    Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 59

    "Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 58

    "Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p

  • Suami Licik Istri Cerdik   Bab. 57

    Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status