"Sudah, ya, Mas pergi dulu."
Aku bergeming meski Mas Dayat menc-ium dahiku. Hatiku sudah hambar padanya, hanya demi Gio aku masih bertahan di pernikahan ini. Aku menatap datar sarapan yang terhidang di atas meja. Usahaku sejak subuh sia-sia, dia bahkan melupakan bekal makan siangnya. Aku mengingat-ingat sejak kapan rasa di hatiku hilang? Mungkinkah sejak Mas Dayat selalu mementingkan keluarganya dibanding anak dan istri? Atau sejak dia menyuruhku menjadi b-abu untuk Ibunya? Aku tersenyum getir, manisnya pernikahan kurasakan hanya di satu tahun pertama, di tahun selanjutnya aku menjadi pemba-ntu gratisan untuk keluarganya. Seperti kerbau dicucuk hidung aku menurut saja, bahkan hin-aan demi hin-aan aku telan dalam diam. Bukan apa-apa, aku berharap Mas Dayat bisa melihat usahaku membahagiakan Ibunya. Harusnya aku sadar kalau tidak selamanya kebaikan akan dibalas kebaikan juga. Tangis Gio membuyarkan lamunanku. Aku gegas menghampiri putra kecilku yang menggemaskan. Sayangnya, demam selama dua hari membuat bobotnya sedikit berkurang. "Anak Bunda kenapa nangis?" Aku meraih Gio lalu memangkunya di atas pa-ha. "Gio lapel, mau maem." Gio menjawab. Di usia tiga setengah tahun dia sudah lancar bicara, tetapi masih cadel melapalkan huruf, R. "Oo, laper. Kebetulan Bunda udah bikin sarapan untuk Gio. Mandi dulu, ya, setelah itu baru sarapan." Gio menggeleng. Dia menyurukkan wajahnya ke da-daku. "Gak mau, badan Gio masih panas, Ibun." Aku meraba dahi Gio, tidak panas. "Gak panas. Gio takut kena air dingin, ya?" Melihat anggukan Gio aku tersenyum. "Kalau mandinya pakai air hangat mau, ya?" Gio diam, aku menjauhkan kepalanya dari da-da lalu menatapnya dengan lembut. "Kalau gak mandi nanti kuman-kumannya senang, mau badannya gatel-gatel?" Aku membujuk dengan sabar. Aslinya Gio anak yang patuh, hanya saja bila sedang sakit dia akan menjadi super manja dan mageran. "Iya, deh, mandi aja, tapi benelan ya, Ibun, mandi pakai air hangat?" Mata jernih Gio menatapku lekat. Setelah aku mengangguk barulah Gio mau turun dari tempat tidur. Aku membimbingnya keluar kamar lalu mendudukkan di depan televisi selagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Sembari menunggu aku membersihkan tempat tidur, mengganti sprei baru, dan mengumpulkan pakaian kotor Mas Dayat di kamar mandi yang ada di dalam kamar. Semua pakaian kotor itu kumasukkan ke mesin cuci. Seperti biasa aku selalu memeriksa semua saku berjaga-jaga ada surat-surat penting agar tidak ikut tergiling. Aku menemukan selembar kuitansi yang dilipat kecil-kecil. Dahiku berkerut membaca nomimal yang tertera di sana. Tiga puluh juta? Untuk apa uang sebanyak itu? Bukankah Mas Dayat bilang toko sedang sepi? Kejanggalan demi kejanggalan membuatku semakin yakin untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. * Setelah memandikan lalu menyuapi Gio, aku bersiap-siap ke toko. Biasanya setiap akhir pekan aku selalu datang ke sana, tetapi dulu sebelum aku disibukkan mengurus Gio dan Ibu mertua. Nyaris semua waktuku tersita sampai untuk beristirahat pun hanya di malam hari. "Kita mau jalan-jalan, ya, Ibun?" "Iya, kita ke toko sekalian antar makan siang untuk Ayah," jawabku sambil menaikan resleting jaket Gio. "Nah, udah ganteng, ayo berangkat." Aku meraih tas rotan berisi rantang untuk makan siang Mas Dayat, setidaknya aku punya alasan datang ke sana. Peninggalan Ayah bukan hanya ruko itu, tetapi ada beberapa ruko lain yang dikelola dua saudara tiriku. Meski begitu tak ada iri di hati kami, karena sebelum meninggal Ayah sudah membagi semua warisan untuk anak-anaknya. Kalau bukan karena bantuan mereka belum tentu aku bisa bertahan sampai sekarang. Entah berapa kali keduanya menyuntikkan dana agar usahaku tetap berjalan, lalu sekarang dijalankan oleh Mas Dayat. Kalau sampai dia macam-macam lihat saja apa yang aku lakukan. Jarak ruko dari rumahku hanya memakan waktu tiga puluh menit. Aku memarkir sepeda motor di depan toko. Alisku bertaut, suasana toko sangat ramai. Beberapa mobil bak tampak memuat beberapa karung beras dan kardus mie instant. Ada juga empat bentor yang menukar puluhan tabung gas juga berpak-pak makanan ringan. Ini yang disebut Mas Dayat sepi? "Eh, Mbak Halimah?" Salah seorang pekerja di toko grosirku menyapa. "Apa kabar, Ko?" Aku bertanya sambil memperhatikan suasana toko. "Rame, ya? Apa gini setiap hari?" "I, iya, Mbak. Biasanya juga rame." Ada yang mengganjal di hatiku melihat raut Eko. Dia adalah salah satu pekerja yang cukup lama ikut denganku. Aku yakin darinya aku bisa mengorek informasi kondisi keuangan toko. "Ko, Mbak boleh minta laporan keuangan toko satu tahun belakangan ini?" Eko tampak gugup, dia juga berusaha menghindari kontak mata denganku. "Kenapa? Ada yang salah?" Aku bertanya lagi. "Bu, bukan, Mbak. Anu, itu." Kepala Eko celingak-celinguk melihat sekeliling. "Maaf, Mbak, udah satu tahun ini bukan saya yang urus pembukuan toko." Dahiku berkerut. Mas Dayat tak pernah membicarakan apa pun denganku. Kenapa dia mengganti orang kepercayaanku tanpa meminta pertimbangan dariku? "Lalu siapa?" Aku mendesak Eko. Belum sempat lelaki itu menjawab, suara seseorang menegurnya keras. "Eko! Kamu dibayar bukan untuk ngobrol. Sana, ada yang mintak sirup sepuluh dus." Aku menoleh dan melihat seorang wanita berpakaian serba ketat memelotot. Gayanya sudah seperti juragan saja. Seingatku tak ada pekerja seperti dia, sejak kapan wanita ini bekerja di sini? "Ko, siapa dia?" Aku menahan lengan Eko agar dia tak pergi sebelum menjawab pertanyaanku. "Dia, dia ... sebaiknya Mbak tanya saja sama Mas Dayat. Saya takut salah." Eko menggeliatkan tangannya, sehingga mau tak mau aku melepaskan dan membiarkan dia pergi. "Maaf, Mbak, mau beli apa?" Wanita itu menghampiri. Dia melirikku dari kepala hingga kaki. "Aku gak mau beli apa-apa." Raut wanita itu berubah pongah, apalagi saat dia menatap lama sandal jepit yang aku pakai. "Mau nge-mis, ya? Maaf, di sini gak terima pengemis. Sana, sana! Bawa sia-l saja." Aku menahan letupan emosi di dada karena perlakuan tidak sopan wanita itu. Aku penasaran, siapa dia hingga terlihat sangat berkuasa di sini? "Apa saya terlihat seperti penge-mis?" "Apa lagi kalau bukan penge-mis? Liat pakaianmu, pakai jepit lagi." Tanganku terkepal kuat mendengar mulut lancang wanita itu. "Jadi, kalau pakaiannya biasa saja, trus pakai jepit kamu bilang penge-mis? Trus gimana sama kamu, pakai baju ketat dan make up kerja di toko? Apa aku sebut mau jualan?" Wajah wanita itu memerah. Dia mengangkat tangannya, tetapi suara Mas Dayat menginterupsi. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Bagus, Mas Dayat datang tepat waktu. Aku berbalik dan mengeratkan genggaman tanganku ke Gio. "Harusnya aku yang bertanya, siapa wanita ini? Sampai merasa punya kuasa di tokoku?" Seketika wajah Mas Dayat memucat seperti melihat hantu."Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap
"Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps
Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru
"Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S